Kakek Pencari Kayu Bakar | Cerpen Ratna Ning

Kakek yg terlihat lusuh itu, dgn seikat kayu bakar di pundak, berhenti di depan mesjid kecil yg berada sempurna di depan rumahnya. Hanya terhalang jalan kampung saja. Ia mengamati lima anak lelaki muda yg sedang leyehan di halaman masjid.

Langkahnya mendekat ke mesjid itu. Setelah menurunkan kayu bakar di pundak, ia masuk & mengucap salam. Pemuda pemuda yg sedang tiduran telentang sambil asyik dgn gadjet gadjet mereka, bersamaan membagi tatap & terbangun. Membalas salam.

“Ada apa Kek?” tanya salah seorang.

“Kakek yg sebaiknya bertanya. Anak anak ini sedang apa di mesjid ini? Mau kemana?” si Kakek balik bertanya.

“Ohh…memangnya Kakek siapa?” salah seorang perjaka, yg pakaiannya paling rapi dr yg lain, ia tampaknya anak yg paling mayoritas di antara kelima orang itu. Menatap Kakek dr atas hingga ke bawah.

Sepatuya bots si Kakek dekil. Bajunya kumal & jelek. Wajahnya sarat gurat-gurat keriput, mencirikhaskan ketuaan & sisa sisa kelelahan.

“Anak jaman kini ya, ditanya kok balik nanya. Kakek yg suka mengorganisir mesjid ini Nak. Asli dr kampung ini. Itu…rumah Kakek di seberang Mesjid…” jawabnya sambil menunjuk rumah semi permanen yg tembok temboknya kelihatan melepuh.

Pemuda yg bertanya tadi tersenyum, mengangguk.

“Saya dr kota Kek. Datang kesini mau mendatangi saudara. Tapi…namanya saya lupa. Makanya, kami istirahat di sini sembari menunggu Bapak Saya menjawab telefon untuk memberitahu saya nama kerabatnya. Makanya kami menetapkan untuk menginap di mesjid ini. Sudah nyaris malam juga” jawabnya detail.

Si kakek mengangguk. Ia beringsut, duduk di pinggir teras. Topi lakennya dilepas. Kakek kemudian memberikan tumpangan bermalam di rumah.

“Tidur di mesjid tak baik, apalagi untuk tamu yg gila di sini. Takut ada kesalahpahaman nanti. Sekarang kan banyak teroris Nak!” tawar si Kakek dgn aksen suaranya yg berat & tegas.

  Meniti Jalan ke Surga | Cerpen Rumadi

Rupanya salah seorang anak muda tadi salah memahami. Ia agak berang dgn dugaan Ia & mitra mitra dibilang teroris. Sempat terjadi langgar argumen. Si Kakek membuktikan dgn sarat maklum. Anak-anak muda dgn gerjolak darah mudanya, selalu saja mengkonsumsi mentah mentah omongan orangtua, tanpa dimasukkan dahulu ke dlm anggapan.

Setelah dijelaskan maksud omongan Kakek, mereka baru mengangguk. Lima anak itu beriringan dgn Kakek untuk beristirahat & menginap di rumah sembari menunggu telefon orangtuanya.

Kakek di panggil Kepala Desa. Katanya ada Bapak dr salah satu anak itu yg menelepon Kades & murka murka alasannya adalah anaknya dianggap teroris. Bapak itu mewakilkan adiknya untuk meluruskan persoalan. Nama kerabat itu ternyata Mak Nah. Diam-diam tadi, rupanya salah satu anak yg selalu ngotot itu mengadu pada Bapaknya.

*****

Kakek baru beberapa tahun saja, selepas pensiun, menetap di kampung asalnya. Ia senantiasa ramah menyapa setiap warga. Ia sungguh bersahaja dgn kondisi hidup yg tak begitu beruntung meski tak termasuk melarat. Tak ada yg tahu lebih banyak tentang si Kakek, selain seorang lelaki ringkih yg tak banyak bicara & bahagia menikmati kesendirian, menghabiskan waktunya sampai sepanjang hari di hutan. Tetangga tetangga di sekeliling tempatnya tinggal hanya mengenalnya selaku marabot mesjid, yg setiap selesai subuh melakukan aktipitas yg sama. Mencari kayu bakar ke hutan. Kegiatan itu sudah mirip pengganti kerja, sesudah si kakek pensiun dr perkebunan negara.

Ia senantiasa berangkat selepas sholat subuh, di mesjid depan rumahnya. Setelah adzan yg selalu dikumandangkan olehnya. Selepas sholat Ia pergi menjinjing radio kecil, gadjet android bantuan anaknya meski sudah terlihat usang. Andriod keluaran pertama yg baka dlm penjagaannya. Golok di pinggang, mengenakan topi laken yg robek di tepiannya. Kakek menyusuri jalan desa dlm kebeningan udara pagi. Kaki-kakinya yg masih menapak kuat, kadang mengenakan sepatu bots yg sering dicopotnya dikala menapakkan kaki di jalan beraspal garang, bercampur kerikil koral.

  Jasmine | Cerpen Gola Gong

***

Selepas Isya, Paman salah satu anak muda itu tiba. Diantar Hansip. Mobil fortuner mengkilat di parkir di depan rumah Kakek. Laki-laki renta itu tergopoh menyambut tamu yg tiba, dibarengi oleh kelima anak muda yg sedang leyehan di ruang tamunya.

Seorang lelaki setengah baya menyalaminya. Mungkin sebaya dgn Kakek. Tapi laki-laki itu dgn dandanan necis, terlihat lebih muda.

Tangan-tangan berjumpa . Sang Paman lama menelanjangi tampang Kakek. Tiba-tiba Ia menunjuk, merangkul pundak Kakek.

“Kang Pardi? Ya Alloh Kang. Akang sehat kan?”

Kakek terlongong beberapa dikala. Matanya lekat menyingkap wajah tamunya. Sudah puluhan tahun silam, satu satu wajah sahabat tak diingatnya lagi. Si tamu mengguncang bahu Kakek. Menyebut namanya. Wawan. Alumni siswa SMTN 14.

“Saya adik kelas Kang Pardi, beda dua tahun. Tapi saya masih hafal sama Akang. Siapa yg tak mengenal Akang. Dulu akang siswa yg aktif & arif. Kang Pardi sosok terkenal…” kemudian nostalgia masa mudanya diungkap oleh Paman Wawan. Kakek menepak jidatnya. Tertawa. Mereka balasannya berbincang erat.

“Saya tiba kesini atas utusan kakak saya. Katanya, Jordi pergi ke sini mencari Mak Nah, bibi kami, Nenek dia. Tapi didugateroris oleh seorang Kakek. Kakak saya cemas & marah. Makanya saya kesini…”

Kakek mengambarkan hal yg sebenarnya. Sama sekali Ia tak menuduh. Hanya saja, Ia memperlihatkan rumahnya untuk bermalam karena mesjid kurang baik untuk dijadikan tempat menginap tamu. Untuk mempertahankan hal-hal yg tak dikehendaki berkaitan dgn keberadaannya selaku tempat ibadah saja.

Berulangkali Paman meminta maaf. Lama mereka berbincang. Paman gres pamit tatkala malam kian beranjak bau tanah. Ia sekali lagi memeluk Kakek & menyalami sarat takjim.

  Anjing Berjubah Merah | Cerpen Agus Noor

“Kang…maaf sekali, saya tak berniat menghinakan Kang Pardi. Tapi ini cuma sebagai kenang-ingatan. Ini jaket kulit yg baru saja saya beli. Tolong terima ya Kang. Untuk Akang pakai ke hutan, katanya Akang suka mencari kayu bakar. Udara di sini kan masbodoh Kang….” Paman itu mengangsurkan jaket yg masih dibungkus itu meski kakek menepis dgn halus.

“Suatu kehormatan bagi Saya, kalau Akang mau menerimanya” Ia menepuk bahu Kakek. Kakek mengangguk. Matanya berkaca-beling. Memeluk adik kelasnya itu dgn haru yg menyesak.

Sekali lagi mereka berjabat erat. Paman memperlihatkan tangannya pada si kakek, mengatakan pada keponakan & empat temannya.

“Kalian baik-baik di sini. Dan jangan memandang sebelah mata pada kakek Pardi. Kakek ini dulu seorang siswa aktif bahkan mahasiswa pola di salah satu Universitas terkenal….”

Kelima anak muda itu terkesima. Kakek hanya merunduk. Menepuk pundak adik kelasnya. Mengantarnya menuju kendaraan beroda empat glamor yg terparkir di depan rumah. Lagi-lagi ia tak bisa menolak ketika Wawan menyusupkan sejumlah duit yg dimasukkan ke dlm amplop, pada saku baju Kakek.

Sisa malam, Kakek nyaris tak tidur. Kelima anak muda itu mengajaknya berbincang. Memintanya bercerita ihwal masa lalu kakek yg pernah gemilang. Kakek sungguh bersemangat menggelar cerita, alasannya gres dikala itu, ada yg yakin bahwa dirinya pernah sekolah, bahkan meraih tingkatan lumayan tinggi pada zamannya.

Selama ini Ia senantiasa dianggap berimajinasi & berbual jika Ia menceritakan masa kemudian. Seorang Kakek kumuhyg kerjanya mencari kayu bakar, tidak mungkin jika pernah sekolah. Orang-orang kampung selalu berkomentar miring bahkan mencemooh. Sejak itu Kakek tak ingin banyak kisah. Ia lebih betah sendirian mengingat masa lalunya, berbicara dgn hati & alam, sembari mencari Kayu kayu bakar di hutan. (*)