HUKOO memandang matahari pagi yg mulai timbul di balik awan. Tatapan laki-laki itu begitu perkasa. Seperkasa tatapan matahari yg perlahan mulai membuka matanya. Mendung baru saja berakhir di sini. Sebab itu, riak-riak sungai pun sudah lagi menjadi gemericik bagi burung-burung pipit yg sedang bersukaria menyambut hari.
Seperti pada hari-hari yg biasa, & pada hari-hari yg sudah-sudah, sebelum menjalani takdir sebagai nelayan, Hukoo mengawalinya dgn memasukkan lengan kanannya ke dlm air sungai hingga merendam penggalan siku. Menyusul kemudian tangan kiri, sesudah ajun ia naikkan. Setelah itu, barulah ia menaiki bahtera kecilnya, kemudian mendayungnya menuju lokasi di mana terdapat banyak jenis ikan.
Kebiasaan yg telah menjadi semacam ritual itu kadang-kadang ia lakukan sebagai penangkal buaya. Pada zaman dahulu, sebagaimana diceritakan bebuyutan, konon banyak buaya yg berkeliaran & hidup di sungai itu.
Bahkan, Hukoo mengaku, berulang kali pada suatu malam, menyaksikan sekelompok buaya. Mereka muncul mirip kayu gelondongan yg telah disusun menjadi rakit. Karena alasan itulah, ia tak pernah meninggalkan ritual unik & sederhana tersebut sebelum berangkat mencari nafkah demi menghidupi istri & anak-anaknya.
Hukoo mengusut beberapa jala & joran pancing yg sudah ia tebarkan & sebarkan sejak tiba di lokasi. Butir-butir keringat meleleh dr kepalanya. Tubuhnya lembap. Semangatnya masih berapi-api, meski posisi matahari sebentar lagi akan berada di atas kepalanya. Masih ia periksa dgn teliti & hati-hati jala-jala & joran pancing penangkap ikan itu. Benar-benar tak ada ikan yg masuk & terperangkap ke dalamnya. Juga tak ada ikan yg terkait pada kail pancing. Padahal, sudah enam jam ia berada di situ. ”Ke mana ikan-ikan itu?” keluhnya pada diri sendiri.
Kini matahari sungguh-sungguh berada di atas kepala. Hukoo pun menepikan perahu kecilnya. Ia ingin berteduh di bawah pohon besar yg tumbuh di pinggir sungai sembari menandaskan bekal makan siang yg telah disiapkan istrinya. Tak butuh waktu yg panjang, makan siang selesai. Ia beristirahat. Tertidur. Mendengkur.
Suara klakson kapal membangunkan tidurnya. Hukoo segera berdiri, kemudian duduk ke arah sungai yg warnanya mulai mengeruh itu. Matanya memandang nanar ke arah kapal yg sedang menarik tongkang bermuatan watu bara. Semenjak kapal-kapal itu kemudian-lalang melintasi sungai, hasil tangkapan ikan menjadi tak seramai dulu lagi. Dulu, tatkala posisi matahari tepat berada di atas kepala, lazimnya setengah perahu miliknya sudah terisi beragam jenis ikan yg menjadi keutamaan sungai. Seperti ikan patin, lawang, pipih, lais, seluang, & udang galah. Kini, meski posisi matahari mulai bercondong ke arah barat, tak satu pun ikan ia dapatkan. Bahkan, tak jarang ia pulang ke tempat tinggal dgn tangan hampa.
”Sabar, Kaka. Mungkin hari ini belum rezeki kita,” kata istrinya sembari menggendong balita mereka yg masih tersadar. Sementara anak tertua mereka yg dikala ini duduk di dingklik sekolah dasar sudah terlelap di kamar yg reyot.
Belakangan ini Hukoo sering pulang cuma menjinjing letih. ”Ading, persedian beras kita sudah nyaris habis. Mungkin hanya cukup hingga besok malam,” sahut pria itu dgn raut paras begitu kusut.
”Bagaimana nasib kita kalau besok atau lusa hasil tangkapan ikanku masih pula kosong? Tidakkah dewasa ini uang kita sudah habis? Dan kita lebih sering memakan nasi & garam.”
Kali ini Hukoo tak mencari ikan di sungai utama yg menjadi tempat berlalu-lalang kapal-kapal penarik tongkang batu-watu hitam yg menggunung. Ia lebih menentukan sungai kecil atau anak sungai untuk menjajal peruntungannya. Ia pun segera menuju anak sungai pilihannya. Ia mendayung bahtera kecilnya melintasi hutan belantara. Semakin jauh ia memasuki anak sungai itu, semakin besar pula prospeknya bertemu ikan-ikan & memperoleh nasib yg baik.
Setelah tiba di lokasi yg dianggap strategis, Hukoo menghentikan perahunya. Lalu, dgn gerakan-gerakan yg cepat & terampil, segera disiapkannya alat tangkap ikan. Kali ini ia tak menggunakan jala alasannya adalah memikirkan lokasi yg terbilang sempit, ditambah lagi aspek kedalaman air yg terbilang dangkal. Ia memilih puluhan alat pancing yg telah diberi umpan terbaik, lalu meletakkannya pada tempat-tempat yg menurutnya menjadi persembunyian ikan-ikan. Sebuah alat pancing berupa joran ia pegang sendiri. Di anak sungai ini, ia mengundi nasibnya untuk menerima ikan papuyu alias betok, ikan gabus atau yg pula disebut haruan, & ikan sepat siam.
Satu jam setelahnya. Dua jam. Tiga jam. Empat jam. Lima jam. Ia sudah bagai orang yg sedang bersemedi di sungai itu. Tak ada gejala ikan bergerak-gerak sembari menunjukkan kejutan-kejutan kecil pada joran yg dipegangnya. Bahkan, seluruh alat pancing yg telah disebarnya di situ pun cuma bergeming.
Kini ia sungguh-sungguh tak tahu, entah di mana posisi matahari. Apakah sudah sempurna berada di atas kepalanya? Atau bahkan telah pamit permisi & melewatinya? Ia sungguh-sungguh tak tahu. Sebab, hutan belantara sudah melindunginya dr terperinci cahaya matahari siang itu. Tetapi, ia segera tahu, waktu itu ada yg sedang bergemuruh di perutnya. Dan ia sudah tahu jawabannya.
Hukoo mengangkat joran pancing yg memang dipegangnya. Ia kemudian menilik umpan yg tak kunjung disambar ikan. ”Aneh sekali. Masih utuh. Benar-benar tak ada bekas gigitan ikan,” gumamnya. Ia meletakkan joran pancing itu ke dlm perahu. Kemudian, ia tepikan bahtera kecil itu ke arah pohon besar di dekatnya. Sembari memegang bekal untuk makan siang, ia beringsut naik ke atas daratan. Kemudian berlangsung ke arah pohon yg dianggapnya paling rimbun.
Makan siang selesai. Tetapi kemudian, ia tak tidur & tak mendengkur. Matanya memandang tajam ke arah puluhan alat pancing yg teronggok mematung di sungai itu. ”Tampaknya tak ada ikan di sini,” keluhnya dlm hati.
Ia kemudian mengambil ketapel dr dlm perahunya. Kemudian berlangsung kaki memasuki hutan belantara. Sebuah burung yg bertengger di dahan pohon paling ujung mengganggu pikirannya. Dengan ketapel yg dipegangnya, ia membidik burung itu. Meleset. Burung itu terbang ke udara sebelum akhirnya bertengger lagi pada salah satu ujung dahan tertinggi di pohon sebelahnya. Hukoo masih terus berlangsung memasuki hutan belantara hingga mentok & berjumpa suatu lahan yg dikelilingi pagar seng, bertulisan: Kawasan Kebun Sawit Milik Perusahaan.
Di situ, hutan belantara telah terbuka. Cahaya matahari mampu menerobos masuk. Panasnya terasa aben. Setidaknya bagi Hukoo. Dan bagi beberapa buruh sawit yg sedang bekerja siang itu. Barangkali.
Hukoo memanjat suatu pohon besar yg masih tersisa. Siang itu ia menyaksikan dgn mata kepalanya sendiri kegiatan buruh di kebun yg dikelilingi pagar seng itu. Kebanyakan buruh itu adalah kawan-kawannya di kampung.
Dari atas pohon, ia menyaksikan Lamijo & Reben, tetangganya, sedang membersihkan lahan. ”Hai, Lamijo. Hai, Reben.” Hukoo berteriak, namun Lamijo & Reben bergeming. Barangkali bunyi Hukoo tak hingga ke indera pendengaran mereka berdua yg sedang sibuk melakukan pekerjaan .
”Lamijo. Reben,” ulangnya berkali-kali. Tetapi, masih pula tak ada jawaban.
Sebulan yg kemudian Lamijo & Reben memutuskan untuk pensiun jadi nelayan. Menurut mereka, meski nenek moyang mereka ialah nelayan, kini zaman sudah berubah. Barangkali sungai besar & panjang yg semestinya memberikan faedah bagi warga yg menjalani hidup selaku nelayan tak lagi memperlihatkan berkahnya. Ikan-ikan sepertinya enggan untuk menetap di situ. Barangkali sudah pergi. Entah ke sungai mana.
Kendati begitu, tak pernah ada hasil penelitian yg memberikan kesimpulan dengan-cara serius bahwa acara lalu-lalang tongkang watu bara & pembukaan lahan sawit di tempat itu berdampak pada ekosistem & keanekaragaman hayati ikan-ikan di sungai tersebut.
Dan alasannya adalah itulah, Hukoo belum mengalah jadi nelayan. Meski pada hari itu, lagi-lagi, ia pulang ke rumah tanpa ikan. Beruntung, dikala perjalanan pulang menyusuri hutan belantara, ketapelnya berhasil mengenai seekor burung, yg dlm pikirannya akan dijadikan selaku lauk untuk menandaskan beras terakhir di rumah.
Malam begitu lirih. Nyanyian binatang malam sudah bagai irama keroncong di zaman kolonial. Pada suatu rumah yang reyot, ada sepasang insan. Meski, tentu saja, mereka tak akan lupa jikalau beras tak lagi bersisa di dapur. Karena itu, mereka pun tahu & mengerti, tak ada makan pagi esok hari.
Keringat berleleran dr dua tubuh yg menyatu itu.
”Ading,” sapa Hukoo pada istrinya. Ia melepaskan pelukannya dr perempuan yg telah ia nikahi selama sepuluh tahun itu sembari bangkit untuk duduk di tubir dipan.
”Betapa sekarang jadi nelayan tak lagi menjanjikan. Rasanya gue ingin berhenti. Aku ingin mengikuti jejak Lamijo & Reben yg bekerja di perusahaan kelapa sawit sebagai buruh. Untuk apa lagi gue menjaga tradisi keluarga kita menjalani hidup sebagai nelayan? Toh, pada kesannya, tak ada lagi nelayan di kampung kita. Tentu kamu tahu, satu per satu tetangga kita sudah tak lagi jadi nelayan.”
”Segalanya kusandarkan kepadamu, Kaka. Kau yaitu suamiku. Kau ialah kepala keluarga. Tentu gue harus mendukungmu. Meski kamu memutuskan berhenti & pensiun jadi nelayan.”
Perempuan itu menatap mata suaminya. Wajahnya begitu datar, nyaris tanpa makna.
Malam menjadi kian rapuh. Sementara keduanya terlelap di jantung mimpi. Hanya mimpi.
Pagi bagai sebuah perpisahan. Hukoo berjanji pada diri sendiri bahwa hari ini adalah hari terakhir ia berprofesi selaku nelayan. Besok & selanjutnya, ia akan mengikuti jejak tetangganya, Lamijo & Reben, jadi buruh perusahaan kelapa sawit.
Berat memang rasanya, tetapi kelihatannya Hukoo tidak punya pilihan. Barangkali batinnya berkata, ia telah letih jadi nelayan, sehingga pada kesannya harus menyerah.
Hari ini Hukoo menentukan mencari ikan di sungai yg menjadi saksi bisu acara tongkang watu bara. Betapa kapal-kapal penarik tongkang yg berlalu-lalang itu serupa parade kapal perang, yg memuat miliaran rupiah.
Namun, ia tak habis pikir. Semenjak ia tiba di lokasi & memasang jala, ikan-ikan seolah-olah tiba menyerahkan diri kepadanya. Tak heran, betapa sibuknya Hukoo menjemput beragam jenis ikan yg menjadi keutamaan sungai itu. Puluhan ikan begitu cepat terperangkap di dlm jalanya. Maka, meski matahari belum sempurna berada di atas kepala, kini bahtera miliknya sudah hampir sarat oleh ikan patin, lawang, pipih, lais, seluang, & beberapa udang galah. Semua masih segar & berlompatan.
”Benar-benar ramai seperti dulu lagi,” Hukoo tersenyum semringah.
Hukoo masih sibuk menjemput ikan-ikan yg terperangkap di dlm jalanya. Tampaknya ia tak memedulikan bunyi klakson kapal penarik tongkang kerikil bara yg telah menjerit-jerit semenjak tadi. Bukan cuma menjerit, bahkan sudah meraung-raung layaknya bunyi trompet akhir zaman. Setidaknya, tamat bagi laki-laki itu. (*)