Wajah Wasiat | Cerpen Sule Subaweh

Disamping tubuh Nenek Wo yg kaku, istriku, Nisa, menangis sesenggukan. ia hampir tak mampu berbicara. Tangisnya menggantikan semua bunyi orang yg ada di ruangan itu. Tatapan warga yg semula memperhatikan anak kandung Nenek Wo, sekarang mengarah ke Nisa.

Tetangga mulai memenuhi rumah Nenek Wo. Aku menatap Nisa sambil menyeimbangkan gemuruh dada dikala satu per satu orang tiba tanpa mengetuk pintu kamar, daerah Nenek Wo didapatkan meninggal. Kesedihan & cemas menempel di mata mereka. Sambil bercerita pelan, sambil merencanakan kain kafan, sambil menekan dadanya yg patah-patah, mereka melirik ke arah Nisa. Lirikan penuh tanya, pula curiga, pada Nisa yg mandi air mata.

Segera gue gandeng ia pulang. Tapi di kamar, tangisnya tak kunjung reda.

“Ada apa?” ia tak menjawab. Pertanyaan itu cuma menciptakan air mata Nisa makin deras.

Jangan-jangan Nisa…. Di ruang tamu, kecurigaan-kecurigaan di kepala terus meluas di antara tangisan Nisa yg semakin sesenggukan.

*****


Kami bukan siapa-siapa Nenek Wo. Kami pendatang yg belum genap empat tahun di Desa W. Kami pula jarang berkomunikasi dgn Nenek Wo, cuma sesekali jika Nenek Wo butuh sesuatu atau saat ke warung tiap pagi yg rutin dilakoninya. Lagi pula, kami—utamanya Nisa—tidak begitu fasih berbahasa Jawa. Entah kenapa kehilangan begitu mengalir deras di air mata Nisa? Padahal, mereka hanya berkomunikasi dgn bahasa yg berlainan, Nisa memakai bahasa Indonesia, Nenek Wo berbahasa Jawa yg kadang menggunakan kromo halus.

Mungkin saja, istriku terngiang dgn kebiasaan Nenek Wo menyapa setiap pagi ketika ke warung Parmi. Kadang-kadang, Nisa membayari lauk yg dibeli Nenek Wo. Nisa tahu, Nenek Wo tak satu dapur dgn anaknya. Dan sering Nenek Wo makan sisa lauk pagi yg dibelinya di warung Parmi untuk makan malam.

Kata tetangga, sejak anaknya punya suami, Nenek Wo mulai pisah dapur. Entahlah, mungkin itu sudah menjadi tradisi. Atau mungkin ada hal-hal lain. Bisik-bisik orang kampung, anak Nenek Wo kesal karena ia cuma dapat warisan rumah sekaligus harus menanggung sisa hidup Nenek Wo, tak seperti saudara yg yang lain. Orang-orang bilang ia masih labil. Meski sudah punya anak empat, ia masih sering meminta uang pada Nenek Wo. Tak jarang Nenek Wo meminjam uang pada Nisa.

  Warung Tetangga | Cerpen Sulistiyo Suparno

“Buat apa?”

“Buat bayar utang.” Nisa meniru ucapan Nenek Wo ketika kutanya. Aku menyaksikan dr jendela dikala Nisa dicegat Nenek Wo di depan pintu rumah. Nenek Wo tampak risau melihat kanan kiri. Mungkin saja, ia tak mau anaknya tahu atau ketahuan warga yg kebetulan melalui di depan rumah.

Di lain waktu, Nenek Wo pula meminjam untuk sangu cucunya pergi ke sekolah, lalu di lain hari pula meminjam untuk beli beras.

“Dia utang lagi?”

“Ya.” Nisa gemetar ketika gue memergoki ia memberi uang pada Nenek Wo.

“Utang yg sebelumnya sudah dibayar?”

“Belum.” Suaranya pelan. “Mungkin lupa.”

“Mungkin tak punya duit,” sanggahku.

Nisa menatapku dgn tatapan iba. Ada diam-diam yg terbenam di matanya. Aku tak mampu menyelami. ia selalu menghindardr tatapanku.

Sebulan yg kemudian, gue pernah memarahinya alasannya meminjamkan duit pada Nenek Wo tanpa sepengetahuanku. Padahal, waktu itu, Nisa cuma pegang uang sisa honor akhir bulan. Sudah sering gue meminta untuk menagih, namun tak pernah dilakoninya.

“Sungkan aku, Yah,” kilahnya sehabis diingatkan berkali-kali.

Dia bicara sambil melipat baju mirip tak ingin menatap mataku. Sesekali saja ia melihatku saat ditanya, tetapi matanya tak mengarah ke mataku. Kadang-kadang, ia mengambilkan air putih untuk gue minum. Dan setiap air itu gue minum, pertanyaan-pertanyaan itu seperti hanyut dlm tenggorokan.

“Dosa kita jikalau tak mengingatkannya. Kalau tak mau menagih, tak perlu memberi pinjaman lagi.” Suatu hari saat kupergoki kesekian kali Nisa memberi utang lagi pada Nenek Wo. Nisa mengangguk, namun dr matanya tampak berat mengamini permintaanku.

Nenek Wo yg umurnya nyaris 80 tahun itu setiap pagi menjelang siang duduk di depan rumahnya yg bergandengan dgn rumah kami. Biasanya, ia menghimpun barang bekas untuk dijual. Belakangan, gue tahu dr Nisa, Nenek Wo dituduh mencuri dikala mencari rongsok. Karena itu, ia mulai jarang mencari rongsok di daerah yg tak ada orang mengenalnya. Nisa sering menghimpun barang-barang bekas atau botol minuman, pula koran langgananku untuk diberikan pada Nenek Wo.

  Rumah Simalakama | Cerpen M Rosyid HW

“Besok bilang ke Nenek Wo, utang yg kemarin tak perlu dibayar. Bilang sudah diikhlaskan,” pintaku sambil menjulurkan beberapa lembar uang lima puluhan ke Nisa.

“Mungkin saja ia pula pinjam ke orang lain. Paling tidak, duit ini akan meringankan bebannya.” Nisa mengangguk diikuti tersenyum lebar. ia tampak bergairah & segera menyimpan duit itu.

Tapi, rahasia usia siapa yg tahu. Pagi, Nisa masih ngobrol dgn Nenek Wo di samping rumah. Siang sebelum Nenek Wo meninggal, Nisa sudah tahu dr anaknya kalau Nenek Wo sakit. ia sudah berniat untuk menjenguk, tetapi planning itu ditelan oleh lelahnya rutinitas masak, mencuci baju, & beres-beres rumah. Baru setelah ia bangun dr tidur, kabar Nenek Wo meninggal telah memompa dadanya.

Di kamar, tangis Nisa masih terdengar. Kantong matanya lebam. Mungkin ia teringat ibunya yg jauh di kampung. Sudah dua kali Lebaran kami tak pulang. Harga tiket pesawat yg melulu melambung menjadi kendala kami yg sudah memiliki anak tiga. Atau, mungkin saja ia ingat almarhum neneknya yg meninggal tanpa kehadirannya.

*****


Sekarang, setiap pulang dr warung atau tatkala melihat tempat duduk Nenek Wo di depan rumah—menunggu untuk pinjam duit, Nisa murung kemudian menangis secara perlahan-lahan di kamar. Begitu saban hari.

Tangisnya memang terdengar lirih, tapi tangis itu akan terdengar merintih setiap kali Nisa mendengar tahlil untuk Nenek Wo. Tangis Nisa mirip mengikuti doa yg dilantunkan oleh orang-orang yg tahlilan.

“Sudah jangan ditangisi terus. Tangismu akan membuat Nenek Wo tersiksa,” pintaku sesudah tujuh hari Nenek Wo meninggal.

Nisa semakin sesenggukan. Air matanya seperti sumber air sungai. Mungkin saja ia menyesal tak secepatnya menawarkan botol-botol & koran yg ia kumpulkan itu. Biasanya, jikalau satu karung sudah sarat , ia akan mengantarkan ke Nenek Wo. Kulihat karung itu baru terisi separuh lebih. Biasanya, karung itu ditaruh di depan rumah. Sorenya karung berisi botol, koran, & barang tak terpakai itu sudah diambil, namun jika sedang berpapasan Nisa memberikan pribadi pada Nenek Wo.

  Bangku Tua Milik Bapak | Cerpen Riyan Prasetio

“Apa cuma sebab itu ia menangis? Pasti ada hal lain,” batinku. Bahkan, ia hingga mengigau memanggil Nenek Wo berkali-kali. Semula cuma pelan, usang-lama keras, seperti minta tolong. Membuatku takut & curiga.

“Apa Nisa punya janji sama Nenek Wo?”

Nisa cuma menangis & semakin keras, selalu mirip itu jikalau ditanya.

“Atau….” Kalimatku belum selesai, Nisa menjulurkan lipatan kertas lalu buru-buru menutup matanya yg merah dgn telapak tangannya. Aku memandang kertas itu kemudian menatap Nisa dgn tatapan curiga.

“Apa ini?” Aku sedikit mengeraskan bunyi, tapi itu percuma, Nisa sama sekali tak menjawab. Yang terdengar cuma tangisan. Semakin keras.

“Apa ada wasiat dr Nenek Wo? Wasiat untuk keluarganya yg belum sempat disampaikan?” batinku. Aku menghela napas sebelum membuka lipatan kertas yg sedikit kuremas itu.

Kubuka pelan-pelan kertas itu. Penuh hati-hati. Aku tercengang membaca catatan Nisa. Catatan berderet panjang ke bawah utang Nenek Wo yg sudah Nisa rencanakan untuk ditagih permulaan bulan. NB: Diingatkan & jangan dianggap utang. Kalimat NB itu berada paling bawah, menutup catatan.

“Uangnya belum….”

Nisa mengangguk dibarengi tangisan yg makin keras sambil menjulurkan beberapa lembar duit lima puluhan. Seketika gue teringat utang pada teman yg kujanjikan permulaan bulan ini. Lamat-lamat wajah Nenek Wo yg berbaring kaku terlintas dlm anggapan, berubah menjadi badan & wajahku.(***)