Kepsek Tasdi | Cerpen Aditya Setiawan


TASDI kembali menelan ludah sehabis membaca surat edaran Dinas Pendidikan yg bertulis semua sekolah mesti tutup kembali, atau lebih tepatnya belajar dgn model daring diperpanjang lagi. Keputusan itu beredar sehabis pemerintah menginformasikan penularan wabah terus meningkat. Ia tak bisa menghindardr edaran itu. Apalagi sekolahnya cuma sekolah swasta yg bangkit di kaki forum yayasan. Sebagai kepala sekolah, Tasdi pun pasrah dgn semua keputusan yg dibuat Dinas Pendidikan.

Tidak lama beredarnya surat itu, Tasdi langsung menugaskan Waka Kesiswaan kembali mempublikasikan surat pemberitahuan wali murid supaya anaknya melanjutkan belajar di rumah.

Dengan langkah lesu, Tasdi keluar dr ruang kepala sekolah. Ia berlangsung di sekeliling lingkungan sekolah. Pandangannya menerawang tiap ruang kelas yg tanpa murid, tanpa bunyi teriakan para siswa yg biasa ia dengar. Papan tulis tanpa kata-kata, lantai kelas berdebu, demikian pula lemari berisi buku-buku pelajaran acak-acakan.

Tiba-tiba saja kepala Tasdi pening, pandang matanya mengabur, & badannya terasa lunglai. Ia duduk di depan kelas, meluruskan kakinya, menyandarkan tubuh pada dinding kelas.

“Pak Tasdi, tanda tangan suratnya,” bunyi waka kesiswaan terdengar lirih.

Dengan tarikan napas sedikit, Tasdi menjangkau surat itu. Suasana tenang, Tasdi sejenak membaca isi surat. Ia serasa kehilangan kata-kata, tak mengucap apapun. Dengan jemari yg gemetar ia bubuhkan tanda tangan di lembaran surat itu. Kemudian mengembalikan suratnya ke waka kesiswaan.

“Terima kasih, Pak,” ucap kembali waka kesiswaan, kemudian meninggalkan Tasdi seorang diri.

Tasdi menghela napas. Meredam kekhawatiran demi tetap bisa berpikir untuk mencari jalan keluar sebaik mungkin. Ia melanjutkan mengitari lingkungan sekolah. Ia merasa kasihan pada muridnya yg terus mencar ilmu di rumah. Muridnya terus dijejali dgn bahan-bahan dr gurunya tanpa mempraktikkan hasil pelajaran yg biasa dilaksanakan di ruang kelas. Tidak hanya itu, ia pun merasa kasihan pada orangtua murid yg mesti tetap membayar biaya sekolah tiap bulan. Namanya sekolah swasta, tanpa ada pemasukan dr orangtua murid, guru tak mendapatkan honor.

  Pahlawan | Cerpen Herumawan PA

Sebelum kembali ke ruang kepala sekolah, Tasdi sejenak bangun di depan jendela kelas. Ia usap peluh yg bertetesan di parasnya. Ia lalu berjalan kembali dgn langkah yg gontai.

*****

Siang itu terik matahari hampir serupa api yg mengkremasi gigir jalan aspal. Pepohonan membisu, seakan angin tak mau lagi memeluknya. Tasdi meninggalkan sekolah sembari menggendong tasnya yg lusuh. Ia pacu motor bebeknya dgn benak yg tetap kalut menimbang-nimbang nasib para murid. Seakan ia gres sadar, betapa banyak manusia yg menjadi tanggung jawabnya. Tidak cuma satu, tetapi ratusan orang di sekolahnya. Kali ini tak hanya keringat yg menetes, namun pula airmata.

Matahari semakin terik. Di kejauhan mulai terlihat rumah yg ia tinggali bersama isterinya. Sesekali, kakinya harus turun untuk menyeimbangkan motornya alasannya jalan yg rusak terbengkalai selama trend wabah ini. Mungkin anggaran perbaikan jalan tersedot untuk menangani pandemi yg tengah melanda. Atau entahlah, dilema itu bukan bidang pekerjaannya.

Setiba di rumah, seusai memarkir motor, Tasdi bergegas mencuci tangan, kebiasaan gres yg ia jalani selama masa pandemi. Istrinya yg mengenakan jilbab bubuk-abu keluar dr kamar menyambut kepulangan sang suami.

“Pulang gasik, Mas?” tanya sang istri.

“Iya, Bu. Sekolah tutup lagi, anak-anak mencar ilmu lagi di rumah,” jawab Tasdi sambil menyembunyikan raut paras yg galau.

“Tidak apa-apa, Mas. Memang situasinya mirip ini. Semoga wabah ini menenteng pesan tersirat ke kita. Saya buatkan kopi saja ya, Mas,” ucap istrinya sambil mengelus punggung Tasdi, kemudian beranjak ke dapur.

Tasdi bertahan duduk seorang diri di ruang tamu. Dua kancing bajunya sengaja ia lepas. Dibiarkan terbuka. Tasdi mengipasi wajah & lehernya yg berkucur keringat oleh terik matahari di sepanjang jalan.

  Sang Teladan dan Komisarisnya | Cerpen Sunaryo Kartodiwiryo

Dengan tatapan mata menerawang ia masih terus berpikir bagaimana cara murid-muridnya bisa kembali belajar normal, dgn bertatap paras di sekolah. Namun benaknya senantiasa mentok. Kenyataannya Tasdi tak bisa berbuat banyak. Ia tak berani melanggar instruksi pemerintah. Jika itu ia lakukan, dirinya & sekolahnya pastilah mendapat teguran, bahkan sanksi dr pemerintah. Lebih parah lagi, bila ia laga aba-aba itu, sama artinya dgn mempertaruhkan nyawa insan satu sekolah.

Istrinya kembali, sambil tangannya menenteng segelas kopi & sepotong ubi rebus.

“Ini kopi & ubi rebusnya, Mas,”

“Terima kasih, Bu,” ucap Tasdi sambil sedikit mengangkat tubuhnya mendekat ke meja.

Dengan tangan yg masih lemas, Tasdi pelan-pelan mengangkat gelas kopi kemudian meniup permukaannya. Ia menyeruput kopi dgn perlahan, meski sesungguhnya masih terlalu panas. Tak seperti umumnya, kali ini kopinya terasa lebih pahit.

Waktu beranjak sore, meski cahaya matahari masih memantul di kilauan keringat kening Tasdi. Ia & istrinya masih duduk bareng di ruang tamu. Sebisa yg ia mampu, dihadapan sang istri parasnya terus mencoba menyembunyikan kekalutan dlm benaknya, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi nyatanya tak sepenuhnya sukses.

“Sudahlah, Mas, sudah, jangan terlalu dipikirkan. Sebentar lagi wabahnya pasti mereda, & sekolah akan kembali wajar .”

Tasdi hanya mengangguk & tersenyum pada si istri. Ia tak mau istrinya ikut bersedih karena masalah yg dihadapinya. Ia raih ubi rebus yg disediakan sang istri, lalu mengunyahnya.

*****

Kemarau kemarin menyisihkan guguran daun-daun yg berserak. Jalanan kering & berdebu. Sepagi mungkin, mirip biasa Tasdi berangkat ke sekolah dgn mengendarai motor angsa tuanya.

Tasdi berhenti di suatu perempatan tatkala lampu rambu-rambu menyala merah. Kendaraan lain pun berbanjar di belakangnya. Deru knalpot kendaraan beroda empat yg melintas membuat bising. Ada bunyi knalpot yg memekik seperti teriakan-teriakan sapi saat disembelih. Mobil-kendaraan beroda empat lain melintas menepiskan angin.

  Kampung Lapar | Cerpen Mashdar Zainal

Saat menanti lampu hijau menyala, seorang anak melintas di depannya sambil memegang setumpuk koran. Diperhatikannya anak itu oleh Tasdi. Tak ia sangka, anak itu salah satu murid di sekolahnya. Setelah lampu kemudian lintas berwarna hijau, sambil mengerjakan motornya, Tasi kembali menengok ke arah anak itu. Ia semakin percaya anak itu salah satu anak didiknya. Tak puas dgn penglihatannya, karenanya Tasdi membelokkan motornya. Setiba di bahu jalan perempatan itu, Tasdi memakir motornya di sebelah becak.

“Titip motor sebentar ya, Kang,” pinta Tasdi sambil membungkukan tubuhnya.

Tasdi mendekati anak itu dgn wajah penuh tanya.

Nak,” Tasdi menyapa anak itu.

Sontak anak itu terkejut menyaksikan Tasdi yg timbul menyapanya. Mereka berdua saling pandang.

Loh Bapak Kepala Sekolah. Bapak lagi ngapain di sini?” si anak itu yg kaget itu bertanya.

“Tadi Bapak lihat ananda pas berhenti di perempatan,” jawab Tasdi sambil tangannya menepuk pundak anak itu.

“Sejak kapan ananda berdagang koran di sini?”

“Sejak sepekan lalu, Pak. Saya berjualan koran untuk menolong orangtua. Ayah saya gres saja dikenai PHK oleh pabriknya.”

Tasdi yg merasa iba, tak melanjutkan obrolan kecuali terus memandangi anak itu. Akhirnya, ia pun pamit ke anak itu sehabis berbelanja beberapa koran yg dijajakan anak itu. Tasdi melanjutkan perjalanan. Dibawah langit yg jelas & panas itu, wajah Tasdi makin mendung. (*)