Kejahatan di Meja Makan | Cerpen Mashdar Zainal

Baru-gres ini, ibuku punya seorang sahabat kencan. Seorang laki-laki botak bertubuh tambun. Ia sosok yg kurang menawan. Ini bukan semata soal fisik. Ada hal lain yg sukar kudeskripsikan. Entah bagaimana ceritanya, ibu bisa menggemari laki-laki mirip itu. Lelaki itu memang tak jahat, tetapi ia menjijikkan. Dan kalau dipikir-pikir, sebetulnya, menjadi menjijikkan yakni sebuah kejahatan. Sebab, bisa memberi akibat buruk bagi seseorang. Lelaki botak itu begitu, memberiku balasan jelek.

Bapakku meninggal belum genap satu tahun alasannya terserang Covid-19. Tapi, menurut ibu, itu tak benar. Menurut ibu, bapak meninggal sebab serangan jantung. Dokter yg merawat bapak menyampaikan, dr gejala-gejalanya, kemungkinan besar bapak terpapar. Sebuah langkah-langkah penjagaan mesti diambil. Sambil menunggu hasil tes keluar, kami dipaksa menjalani serangkaian pemeriksaan, & kami harus melakukan isolasi berdikari. Sebagai orang yg paham kesehatan, ibu paham itu semua. Kami menjalaninya dgn patuh. Termasuk tatkala bapak harus dimakamkan dgn tata cara Covid-19. Rumah kami dijaga ketat. Kami tak boleh ke mana-mana. Dan tak satu pun dr tetangga maupun kerabat boleh tiba melayat. Hasil tes keluar dua pekan kemudian: bapak aktual. Menyusul hasil tes kami berdua yg memperlihatkan hasil negatif.

“Bagaimana mungkin?” Ibu mengelak.

Hari-hari menjelang kepergian bapak, ibu tak pernah jauh dr bapak. Kalau bapak konkret, sebaiknya kami pula nyata. Kami makan satu piring bareng . Kami minum dr gelas yg sama. Bagaimana mungkin? Tatkala ia meminta klarifikasi lebih, dokter tak bicara banyak. Kata dokter, kondisi imunitas bapak sedang anjlok & terperinci sekali bahwa ia punya riwayat jantung yg mengkhawatirkan.

Selepas kepergian bapak, kami didera kesedihan selama berhari-hari, berbulan-bulan. Kesedihan itu seperti wabah itu sendiri. Mengerikan & terus merundung kami. Sampai kemudian kami betul-betul sadar bahwa hidup harus kami lanjutkan. Kami terus hidup sambil berusaha memperoleh kebahagiaan kami. Dan suatu usaha untuk memperoleh kebahagiaan tak selalu mudah. Wabah sedang hangat-hangatnya & tampaknya masih akan berlangsung usang, tatkala suatu malam, dgn mata berbinar-binar, ibu mengatakan, “Sepertinya ibu sudah mendapatkan kebahagiaan ibu.”

Ibu mengatakannya seperti ia anak akil balig cukup akal yg gres saja mendapat sahabat kencan. Aku turut bahagia mendengar itu. Beberapa malam berselang, ibu memanggil laki-laki itu ke rumah.

“Nanti, jika sobat ibu datang ke rumah, jangan pernah tampakkan batang hidungmu! Tetaplah berada dlm kamar! Kau tak boleh mengusik!”

Bukankah akan lebih baik jikalau ibu mengenalkan lelaki itu kepadaku, pikirku. Tapi gue tak membantah. Dan ibu memang tak suka disanggah. Dari dlm kamar, gue mengintip dr lubang kunci yg mengarah sempurna ke ruang makan. Dan dr balik lubang kunci, gue bisa melihat lelaki itu datang & melepaskan maskernya. Ia mengenakan setelan hitam mengkilap. Jas yg dikenakannya begitu besar, membuatku membayangkan ada banyak hal mengerikan di baliknya. Ia mengenakan dasi mungil berwarna gelap, yg lebih ibarat tali penjerat leher ketimbang suatu dasi. Lelaki itu duduk memenuhi bangku. Lalu ia tersenyum pada ibu, & ibu tersenyum kepadanya. Begitu menyaksikan sosoknya untuk pertama kali, gue merasakan kebahagiaan yg kubangun untuk ibu runtuh ke lantai, hancur porak-poranda. Sulit membayangkan ibu jatuh hati pada orang seperti itu. Apakah laki-laki itu akan mengambil alih posisi bapakku? Oh Tuhan, tidak, terima kasih.

  Jalan Ini dan Jalan-Jalan Itu, Sepanjang Pantura | Cerpen Ahmad Abu Rifai

Lelaki itu melirik ke arah ibu & tersenyum sekali lagi. Ia mengedipkan matanya dgn badung. Lambat laun, gue mengetahui perasaanku: sebuah perasaan jijik. Mungkin itu tak adil. Melihat seseorang tanpa mengenalnya lebih dekat & tiba-tiba kamu merasa jijik. Aku membayangkan, barangkali perasaan itu sama mirip perasaan tatkala gue melihat belatung yg mengerubungi bangkai tikus di bawah lemari sementara waktu kemudian. Berhari-hari setelah insiden itu, gue tak doyan makan. Itulah kenapa menjadi menjijikkan adalah sebuah kejahatan.

Malam itu, ibu mempersiapkan begitu banyak makanan, seakan-akan jamuan makan malam itu akan dihadiri orang sekampung. Selama mengolah masakan, ibu melarangku mendekat. Ia mengenakan masker & sarung tangan. Supaya higienis, katanya. Dan setelah semua kuliner terhidang, ibu berseru, “Jangan sentuh apa pun yg ada di meja makan ini! Ini khusus untuk teman ibu! Mendekat pun jangan! Masuklah ke kamarmu! Teman ibu akan secepatnya tiba.”

“Kalau begitu, izinkan gue bikin roti lapis untuk teman ibu,” kataku. Ini hari senang ibu & gue mesti andil di dalamnya, pikirku.

“Lakukanlah dgn cepat,” ibu menyahut.

Dan roti lapis buatanku pun selesai dlm waktu kurang dr lima belas menit. Tak lama berselang, bel pintu berbunyi. Ibu menggusahku semoga masuk ke kamar. Setelah sekian usang, mungkin ini malam yg sungguh memiliki arti bagi ibu. Malam yg ia tunggu-tunggu. Dan ia tidak ingin gue mengganggunya. Aku mencoba mengerti itu.

Ibu duduk berhadap-hadapan dgn lelaki itu. Lelaki itu di ujung meja yg satu, & ibu berada di ujung yg yang lain. Menurutku, untuk sebuah kencan makan malam, jarak itu terlalu jauh. Tapi, pada masa pandemi mirip ini, mempertahankan jarak ialah hal terbaik. Mereka tampak berbincang-bincang kalem. Lelaki itu mengutarakan sesuatu & ibu membalasnya. Setelah basa-kedaluwarsa sekitar sepuluh menit, ibu berdehem agak lantang, & bilang: sudah waktunya makan.

Mereka berdoa sebelum menjamah santapan. Dan begitu doa selesai, laki-laki itu menyerukan sesuatu yg tak terperinci, tetapi dr ekspresi wajahnya, ia mirip berseru: Hore! Waktunya pesta!

  Seribu Cahaya di Langit Muram | Cerpen Bia R

Lelaki itu menyendok puding buah dlm sendokan besar & menghabiskannya dlm tiga suapan. Selanjutnya ia menenggak jus jeruk sampai separuh gelas, kemudian menciptakan gunungan nasi dlm piringnya, mencongkel paha kalkun, menyendok sambal goreng kentang, menyendok beberapa potong tumis brokoli, menumpahkan ke gunungan nasi & melahapnya. Selanjutnya, pai nanas tandas jadi bulan-bulanannya. Sekarang gue paham kenapa ibu masak begitu banyak & gue tak boleh menyentuhnya. Ia harus memberi makan babi besar yg lapar luar biasa malam ini. Bahkan ibu sendiri tak menjamah menu-hidangan itu.

Melihat lelaki itu makan membuatku kenyang secara tiba-tiba. Seleraku pada kuliner yg terhidang di meja menguap begitu saja. Malam itu, ibu lebih mirip penonton yg terpukau menyaksikan lomba banyak-banyakan makan daripada terlibat dlm suatu jamuan makan malam yg santun & romantis. Aku membayangkan adegan selanjutnya, laki-laki itu muntah di atas meja, tetapi itu tak terjadi. Seiring dgn waktu, makanan di atas meja mirip menghilang satu per satu. Dan gue begitu heran, kenapa perut itu tak pula meledak.

Melihat laki-laki itu makan dgn lahapnya, seolah-olah ibu mendapat kepuasan yg tak terlukiskan. Di atas meja makan, semua makanan telah disentuhnya. Menyisakan beberapa tangkup roti lapis buatanku. Sambil terus menggumam sesuatu yg tak terperinci, lelaki itu melirik roti lapis buatanku. Dan terjadilah….

Irisan tomat dlm roti itu, gue yg mengirisnya dgn penuh kasih. Begitu pelan, agar bentuknya terlihat manis & simetris. Semula, gue membayangkan, seorang laki-laki ganteng & berwibawa mengunyah roti lapis itu dgn santun, dgn kunyahan paling manis, tanpa menyisakan sedikit saus pun di bibir atau ujung jari. Tapi terang, itu semua hanya omong kosong. Lelaki menjijikkan itulah yg menamatkan roti lapisku dgn cara paling sadis.

Aku membayangkan bagaimana rasanya menjadi irisan tomat dlm setangkup roti lapis itu. Tubuh yg teriris tipis, terbaring tak berdaya, diselimuti daun selada yg hambar, ditindih daging panggang, becek oleh saus & mayones. Sepasang tangan gemuk mencengkeram besar lengan berkuasa-berpengaruh roti lapis itu, badan yg tipis terjepit, terayun, & masuk ke mulut beraroma busuk. Puluhan gigi menumbuknya bersama yg lain, bercampur liur, sampai halus, kemudian meluncur lewat kerongkongan, teraduk dlm lambung. Begitu menderita. Mengalami perjalanan panjang & berlendir. Dari usus ke usus, tercemar kuman, sebelum akhirnya terjun bebas, terempas ke lubang jamban. Perjalanan itu belum selesai, tetapi gue enggan membayangkan adegan-adegan berikutnya. Begitu menakutkan.

Dan, hoeeek…. Isi perutku hampir tumpah. Lelaki itu menghentikan kunyahannya & memandang tajam ke arah pintu di mana gue mendekam di seberangnya sambil membekap verbal. Ibu memelototiku dr jarak jauh. Aku duduk bersandar pintu dgn dada berdegup. Beberapa menit kemudian, gue mendengar ibu tertawa-tawa. Aku kembali memasang mata dr balik lubang kunci. Lelaki itu sudah berdiri di balik meja & tampaknya sedang siap-siap undur diri. Aku tak menduga, & pastinya merasa lega, pesta menjijikkan itu begitu cepat selesai. Sebuah jamuan makan malam yg gila. Seolah-olah ibu tak mengharapkan apa pun, kecuali menyaksikan laki-laki itu makan semua masakannya dgn lahap.

  Hanya Anjing yang Boleh Kencing Disini

Begitu laki-laki itu pergi, ibu bergegas mengambil kantong sampah besar, & dgn masker di wajah serta sarung tangan yg masih utuh membungkus jemarinya, ia memasukkan semua sisa makanan itu ke dlm kantong sampah, beserta wadahnya, beserta taplak mejanya. Mangkuk, piring, sendok, gelas, terdengar pecah berantakan dlm kantong plastik hitam. Ibu menyeret kantong sampah itu ke belakang, menumpahkan sebotol bensin, & membakarnya. Suara ribut barang pecah belah menggema dr liang pembakaran. Aku berdiri terpana menyaksikan tingkah laris ibu yg ganjil.

“Apa artinya ini, Bu?” gue mendesak. Ibu masih saja gusar. Ia melepas sarung tangan, melepas masker, & melemparkannya ke liang pembakaran. Ia bergegas menuju kamar mandi & mengguyur tubuhnya selama hampir sepuluh menit. Begitu keluar dr kamar mandi, dgn handuk yg disampirkan di pundak, ibu duduk dgn napas terengah-engah. Rambutnya yg masih berair sebagian menutupi wajah. Memberi kesan seperti ia habis membunuh seseorang & menyembunyikannya di suatu daerah.

“Lelaki itu, ia sobat ibu di rumah sakit! Ibu tahu, ia salah satu oknum yg menukar hasil tes bapakmu! Sudah lama ibu menunggu peluang ini. Mungkin ibu tak berhasil memanggil dokter itu untuk makan malam, tapi setidaknya, ibu berhasil mengundangnya,” ibu mendengus penuh kesumat, wajahnya mengingatkanku pada banteng matador yg kelewat marah. “Suatu saat dokter itu akan menerima bagiannya,” ia melanjutkan.

“Lalu?” Aku masih benar-benar resah.

“Kau tahu kenapa ibu melarangmu menjamah semua kuliner itu?”

Aku menggeleng.

“Ada ludah-ludah pasien yg ibu rawat pada kuliner-makanan itu.”

Aku menelan ludahku sendiri. Berusaha merangkai sesuatu. Dan sebuah gambar besar mulai timbul dlm kepalaku: ledakan suatu dendam. Ibu berpikir, membalas dendam akan menambal luka hatinya sementara waktu silam. Tapi ibu keliru. Nyatanya, membalas dendam yaitu menciptakan luka baru yg lebih menganga.

Ibu tak tahu, tatkala ibu membukakan pintu untuk temannya, gue sempat menyelinap ke meja makan untuk mencicipi saus puding buah, mencuil sedikit daging kalkun, serta mencomot beberapa potong brokoli. (*)