ADA lima warung di kampung saya. Warung paling besar milik Mbak Vera di RT 04. Letaknya persis ditimur rumah saya.
Warung Mbak Vera berskala 6 x 6 meter, terletak di samping rumahnya. Dibangun dr hasil menjual belasan pohon sengon, sekira setahun yg lalu.
Warung Mbak Vera senantiasa ramai. Banyak orang suka ke sana, berbelanja sembako & keperluan harian yang lain.
Usia Mbak Vera sebaya dgn saya, anaknya pula dua mirip aku, suaminya pula bukan orang kantoran. Karena merasa senasib, saya & Mbak Vera jadi dekat.
Setelah membenahi urusan-urusan domestik sebagai ibu rumah tangga, sekira pukul 10 pagi aku selalu ke warung Mbak Vera. Bercengkerama, berbincang wacana banyak hal yg postif & inspiratif, utamanya perihal resep kuliner.
Kami sama-sama cerewet. Bedanya, aku bisa menjaga diam-diam. Sedangkan Mbak Vera suka bocor lisan. Entah sedang kesal atau memang sudah tabiatnya begitu, Mbak Vera suka membocorkan diam-diam para pelanggan warungnya. Kadang ia menunjukkan pada saya suatu buku kecil berisi daftar utang para pelanggannya.
“Ya beginilah risiko punya warung, mesti siap diutangi,” kata Mbak Vera.
“Tapi saya nggak pernah utang kan Mbak?” sahut aku.
“Mbak Menik sih pelanggan terbaik aku. Enak ya punya suami pengarang novel, duit tinggal ambil di ATM.”
“Amin,” sahut aku.
Malam menjelang tidur, saya suka menceritakan ulang dongeng-cerita dr Mbak Vera pada suami aku.
“Kamu gali terus dongeng-cerita darinya. Biar gue yg menulisnya menjadi novel,” kata suami saya.
Tak terasa sudah satu tahun perjuangan warung Mbak Vera berjalan. Selama satu tahun itu, aku seperti atasan yg mendapatkan laporan dr Mbak Vera perihal kemajuan warungnya.
Akhir-akhir ini Mbak Vera sering mengeluh warungnya mulai goyah. Barang dagangannya tak lagi penuh seperti dulu. Saya membesarkan hatinya bahwa hidup itu kadang cantik, kadang pahit, & memintanya untuk bersabar.
Suatu pagi, saya bergegas dr dapur menuju ruang tamu, mengintip dr beling nako. Tampak di depan warungnya, Mbak Vera beradu verbal dgn Bu Septi. Sumpah serapah keluar dr mulut dua perempuan bertetangga itu. Entah apa yg mereka ributkan, aku cuma mengira-duga sebab sempat mendengar kata “utang” yg diucapkan beberapa kali oleh Mbak Vera.
“Saya doakan warungmu cepat bangkrut!” kata Bu Septi lalu pergi dgn langkah murka.
Saya menduga, Bu Septi akan utang, namun Mbak Vera menolak karena masih pukul 7 pagi. Ada kepercayaan di kalangan pedagang di tempat aku, jika ada pembeli utang pada pagi hari itu hal yg tabu, tak boleh. Karena bisa bikin bangkrut si pedagang.
Ketika saya bertandang ke warungnya, aku tak berani mengajukan pertanyaan pada Mbak Vera wacana perkelahian tadi pagi. Tetapi, Mbak Vera sendiri yg mulai bercerita.
“Bukan problem utang di pagi, siang, atau malam, tetapi ini duduk perkara ketidakadilan. Kalau tanggal muda, dikala banyak uang, Bu Septi belanja di minimarket. Giliran tanggal bau tanah seperti kini ini, Bu Septi utang belanjaan di warung aku. Apa ini adil?” kata Mbak Vera.
Saya hanya mengangguk-angguk, tak tahu mesti berkata apa.
“Kalau begini terus, bisa bangkrut warung saya. Sudah modal kecil, diutangi terus, bagaimana bisa maju perjuangan saya?” lanjut Mbak Vera dgn napas tersengal menahan murka.
“Sabar ya Mbak. Sifat orang kan berlainan-beda,” kata saya menyentuh bahunya.
Mata Mbak Vera berkaca-beling, ia terlihat resah sekali.
“Terima kasih Mbak Menik. Maaf aku mau tidur saja. Saya pusing,” kata Mbak Vera kemudian bersiap menutup warungnya.
Pada suatu sore tatkala akan membelikan kopi instan untuk suami aku, terlihat sebuah mobil boks di depan warung Mbak Vera. Mungkin ada salesman tiba mengantarkan barang. Tetapi, kenapa Mbak Vera & suaminya dibantu seorang lelaki ajaib memasukkan barang-barang dr warung ke mobil boks itu?
“Ada apa to Mbak?” tanya aku.
“Saya jual semua barang barang jualan saya Mbak,” sahut Mbak Vera.
“Lho?”
“Saya berhenti buka warung, Mbak Menik. Bangkrut diutangi melulu.”
Malam hari, rumah Mbak Vera kosong. Mbak Vera bersama suami & dua anaknya yg masih kecil pindah ke rumah mertua di kota kecamatan. Entah untuk berapa lama.
Melalui WA, Mbak Vera mengabarkan ia akan memasarkan rumahnya. Ia sudah tak mau lagi tinggal di kampung kami. Kampung yg sarat dgn orang tak tahu diri, sarat dgn orang yg suka utang di warung tetangga.
“Tapi Mbak Menik bukan mereka. Mbak Menik ialah pelanggan terbaik warung aku,” tulis Mbak Vera dlm WA-nya.
Saya & suami merasa kehilangan atas kepergian Mbak Vera. Suami aku kehilangan materi dongeng untuk dijadikan novel. Saya kehilangan sahabat senasib & sahabat bercengkerama yg menyenangkan. ***