Siapa pun laki-laki yg beranjak balig & sudah malu pakai celana pendek, pasti akan bermasalah dengannya. Ia akan mengukur lingkar pinggang, sela pisak, & lingkar betis. Lalu mencatat angka-angka di buku mini di atas mesin jahit. “Ini tak akan lama. Kau akan butuh celana lebih panjang, & lebih panjang lagi,” katanya pada bocah kerempeng berjulukan Jun.
“Aku ngeri menjadi dewasa, Mak Ru. Aku ingin bertahan sebagai belum dewasa!” jawab Jun, nervous.
“Eiit…. Kau tak mampu menolak, Jun. Kelak, pergilah jauh-jauh. Ayunkan langkahmu lebih jauh, lebih panjang dr semua celana panjangmu!” balas perempuan bau tanah itu.
Begitulah. Kaki anak-anak itu makin panjang, langkah mereka makin lebar. Paling lama, ia hanya berkesempatan menggunting acuan & menjahit celana panjang bagi mereka, satu sampai lima kali. Setelah itu, Anjas, Kiren, Banja, Kemal, & Jun tak lagi bakal mampir ke kios jahitnya, karena satu per satu akan beranjak dr kampung di tepi sungai itu. Sebagaimana Jun yg merasa lebih riang dgn celana pendek, Anjas pun begitu adanya. Bedanya, alih-alih ngeri berkembang & membesar, ia malah ingin selekasnya menggapai remaja, meskipun kedewasaan yg ia bayangkan tak akan ditandai oleh seberapa besar lingkar pinggang dr suatu celana panjang. Anjas ingin menjadi pesepak bola seperti Paolo Maldini. Bukankah kepiawaian seorang jenderal lapangan tengah justru tampak faktual manakala ia bercelana pendek di lapangan hijau?
“Celana panjang jahitan Mak Ru ini hanya untuk menggembirakan hati ayah-ibu,” kata Anjas. “Suatu masa nanti, gue akan mengangkat piala dlm posisi berdiri dgn celana pendek saja!” lanjutnya lagi. Mak Ru tersenyum ringan belaka, mendengar kentalnya kemauan Anjas hendak merumput di AC Milan.
“Tapi ketika mendapatkan Ballon d’Or, kamu bahkan tak cuma butuh celana panjang, tetapi pula dasi panjang, Njas,” bisik Jun di pangkal kuping Anjas.
Lain Jun & Anjas, lain pula si Kemal, jebolan Madrasah Ibtidaiyah itu. Sejak duduk di bangku Tsanawiyah hingga ternobat sebagai alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah dgn predikat mumtaz, nyaris setiap tahun anutan baru ia memang rutin menyambangi kios jahit Mak Ru guna menciptakan celana panjang, tetapi setiap kali meteran Mak Ru melingkari pergelangan kakinya, ia tak pernah lupa menegaskan bahwa celana panjang bikinan Mak Ru yg melekat di tubuhnya sekadar tanda bahwa ia sudah cukup umur, tetapi ketersampaian cita-citanya justru akan dimahkotai oleh sarung yg diketatkan dgn gesper di bawah pusarnya.
“Akan tiba saatnya, orang-orang mengenaliku bukan dr contoh jahit celana panjang karya Mak Ru. Sebab, gue akan menjadi mubalig sejuta umat mirip KH Zainuddin MZ,” ungkap Kemal dgn sarat percaya diri.
“Oh, jikalau begitu kamu akan lupa celana panjang model A Rafiq bikinanku, Mal?” goda Mak Ru, bercanda.
“Aku akan merindukan Mak Ru dr suara derit mesin jahit menjelang dini hari,” batin Kemal.
Di kios jahit yg sama, pada Banja & Kiren, Mak Ru pernah menceritakan tentang mendiang suaminya yg dulu adalah seorang qori terbaik, & sudah malang melintang dr mimbar ke mimbar MTQ. Tak mirip pria lain yg doyan nongkrong berlama-lama di kedai kopi, atau berburu babi hutan setiap simpulan pekan, Ngku Yuliswar cuma punya dua kegemaran, yg bila dipertemukan akan terasa amat bertolak belakang, yakni mengaji tilawah & bermain sepak bola. Dari panggung Musabaqah Tilawatil Quran, Ngku Yuliswar tak pernah pulang tanpa menenteng piala. Lemari pajangan di rumahnya hingga miring ke kanan, lantaran beratnya beban dr jejeran piala-piala itu. Sementara di klub sepak bola PS Aroma (Arak-Oper-Masuk), ia yakni kapten kesebelasan dgn nomor punggung 10.
“PS Aroma tanpa kapten Yuliswar mirip tilawah tanpa qalqalah…,” ungkap Mak Ru, bangga. Kerja sama tim tak bisa padu tanpa aba-aba & petunjuk si nomor punggung 10. Alih-alih menjebol gawang lawan, bila kapten Yuliswar cedera, atau katakanlah mangkir karena sedang bertanding di panggung MTQ, PS Aroma ditentukan bakal bonyok digempur serangan balik bertubi-tubi. Adapun yg paling menakjubkan, sepanjang kariernya menggiring si kulit bundar, tiada sekali pun ia diganjar kartu kuning. Itu sebabnya Ngku Yuliswar pernah dijuluki pemain tanpa dosa.
Sementara di gelanggang musabaqah, qori Yuliswar yaitu cahaya yg selalu berpendar. Di mana ada Yuliswar, kontingen MTQ yg seluruh anggotanya pemegang ijazah dr universitas ternama Madinah sekalipun, tiada mungkin dapat menganggap Yuliswar selaku tentangan kaleng-kaleng.
Betapa tidak? Ia bisa merapikan tilawah 3,5 ayat dlm satu entakan napas, dgn cengkok bunyi yg menciptakan semua bulu kuduk pendengar berkibar. Yuliswar yakni qori istimewa yg amat mujur dianugerahi kerongkongan yg begitu lapang hingga mampu menyimpan stok napas di situ. Sungguh tak mampu dimutlakkan apakah langgam tilawahnya berasal dr Pakistan, Baghdad, atau Maroko. Sebab, ia mirip merancang corak tilawahnya sendiri. Menurut para pengamat, formulasi tilawahnya dirangkai dr serpihan ratapan ibu-ibu yg maut anak di usia belasan. Meliuk-liuk seperti batang pimping di tepi sungai, menikam-nikam perasaan.
“Sebagai raja tilawah, suamiku tampil dgn jas & sarung Makassar. Dan selaku kapten PS Aroma, ia dipuja dlm tongkrongan pria bercelana pendek. Sementara gue tak pernah jemu menggunting kain guna membuat celana panjang untuknya,” kata Mak Ru sambil memandang Banja & Kiren.
“Kalau begitu ceritanya, kenapa mendiang suami Mak Ru tak mengabdikan dirinya selaku guru tilawah di kampung tepi sungai ini?” tanya Kiren. Penasaran.
“Atau kenapa ia tak terpanggil untuk berkhidmat sebagai instruktur sepak bola saja di sini? Supaya ia bisa mencetak bakat-talenta gres yg barangkali dapat mengirimkan Anjas ke hadapan manajer AC Milan?” lanjut Banja.
Konon, suara emas itu pula yg menjinjing Yuliswar bertolak ke negeri orang. Seorang saudagar kaya yg masa itu baru selesai membangun masjid pribadi, datang ke kampung tepi sungai, khusus untuk meminta kesediaan si qori berlimpah piala menjadi Imam Besar di masjid itu. Tentu dgn iming-iming yg jauh di atas rata-rata pemasukan Yuliswar sebagai kapten PS Aroma.
“Makmurkanlah masjid saya! Tuhan & saya akan memakmurkan hidup Engkau, Wahai Ngku Yusliswar!” mohon saudagar bernama Haji Mustafa Lutfi Al-Banjari itu. Semula Yuliswar berat hati meninggalkan anggota kontingen musabaqah. Lebih berat hati lagi meninggalkan PS Aroma tanpa kapten, tapi posisi sebagai Imam Besar tentulah mampu merapikan sekian banyak masalah.
“Saya akan membangun klub tua ini dr kejauhan. Sepanjang lapangan hijau masih terhampar luas, kalian berlatihlah guna menjinjing Aroma ke puncak kejayaan!” kata Yuliswar pada para juniornya. “Dirikanlah forum pendidikan tahfiz & tilawah. Akan saya topang setiap ikhtiar kalian dr ranah seberang!” Itulah kalimat terakhir yg sempat didengar oleh para anggota kontingen musabaqah.
“Ngku Yuliswar bakal didaulat sebagai Imam besar di Tanah Banjar, kenapa Mak Ru & belum dewasa tak turut pula ke sana?” tanya Jun sekali waktu.
“Kalau saya jadi anak Mak Ru, saya tak ingin ditinggal begitu saja!” gumam Anjas.
“Mak Ru gamang hidup di negeri orang? Atau Mak Ru berat hari meninggalkan gulungan benang & pedal mesin jahit?” Kiren menyertakan, sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Mak Ru membalas tanya-tanya cerewet itu hanya dgn helaan napas dalam. Ia bukan keberatan turut serta bareng Ngku Yuliswar. Hanya saja masa itu suaminya berangkat terlebih dahulu. Selang beberapa bulan kemudian, ia berjanji akan pulang menjemput Mak Ru & anak-anak. Perempuan tua itu berpegang teguh pada janji dr qori tak terkalahkan & kapten PS Aroma yg sudah teruji keteladanannya.
“Kau siapkan segala sesuatu guna memboyong anak-anak. Bila gue tak pulang untuk melunaskan akad ini, memiliki arti gue sudah mati!” ungkap Ngku Yuliswar.
Bulan demi bulan pun berubah. Tahun demi tahun berlalu. Ipit, putri sulung Mak Ru yg mewarisi bunyi aneh ayahnya, bahkan tak lagi menyanyi di pentas Gambus sebagaimana biasa, setelah dipersunting oleh tauke Pinang dr kampung sebelah, Ngku Yuliswar tak kunjung tiba menjemput. Begitu pula dgn Jasrul, adik laki-laki Ipit, sudah pergi dr rumah sesudah menikah, suami Mak Ru itu belum tiba juga. PS Aroma telah lebih dulu bubar. Kontingen musabaqah mencari peruntungan sendiri-sendiri, sebagaimana jalan yg kemudian pula ditempuh oleh Mak Ru. Hidup sendirian, menginjak pedal mesin jahit sepanjang hari.
“Orang yg kerongkongannya sudah pernah basah oleh air tanah seberang, akan lupa jalan pulang,” kata Ipit pada Mak Ru.
“Baiklah. Akan saya antarkan Mak ke sana, tapi apakah Mak sanggup menyaksikan saya bersalaman dgn ibu tiri?” tanya Jasrul.
Guna membasmi letih penantian, Mak Ru berkeputusan untuk tak lagi menunggu orang-orang terdekat. Tidak kepulangan suami, tak pula kedatangan Ipit & Jasrul yg sudah sibuk mengelola rumah tangga masing-masing. Ngku Yuliswar tak pulang-pulang, bukan karena ia sudah mati sebagaimana ikrarnya dahulu, tetapi karena Imam Besar asal kampung tepi sungai itu menikah lagi di sana. Kalaupun bertahun-tahun kemudian ia dikabarkan sudah meninggal, itu terjadi jauh sehabis ia memproduksi empat orang anak di Tanah Banjar. Kabar akhir hayat itu tak lagi mengguncang perasaan Mak Ru.
Bila masih ada penantian, itu tak lebih dr belum dewasa beranjak balig yg tiba ke kios jahitnya yg makin reyot itu, menenteng bahan kain untuk dijahit sebagai celana panjang, hingga sampailah ia pada generasi Jun, Anjas, Kiren, Banja & Kemal. Masa itu pun telah lebih dulu berlalu. Yang tersisa di buku catatan usangnya cuma garisan teladan & ukuran-ukuran pisak celana panjang mereka. Masing-masing dibedakan berdasarkan tahun aliran tsanawiyah & aliyah. Samar-samar masih terdengar tausiyah ustaz beken Kemal Ataturk dr radio dua grup band yg tersemat di dinding kios jahit Mak Ru. Gelombang radio yg menyiar-ulangkan tausiyah-tausiyah itu tak pernah bergeser dr posisinya. Seolah-olah isi siaran radio yg hingga ke kampung tepi sungai hanyalah rekaman-rekaman tausiyah ustaz Kemal Ataturk.
Pernah pula Mak Ru mendengar sorak-sorai & yel-yel penghormatan dr belum dewasa muda kampung tepi sungai sehabis tersiar kabar perihal agresi evakuasi tak terduga oleh bek handal tim nasional berjulukan Anjas Cannavaro. Anak-anak tiba & pergi. Yang lama terbang hambur dr kampung tepi sungai, tapi yg baru akan tiba lagi. Terus begitu, hingga mata penjahit itu semakin menua. Pinggangnya sudah rapuh digasak watu ginjal. Tapi kakinya tak kunjung berhenti menginjak pedal mesin jahit. Meski sekadar celana belacu atau taplak meja dr kain sisa-sisa.
Sekali waktu, ketika mengantarkan jahitan celana belacu ke tempat tinggal tetangga, sekilas Mak Ru menyaksikan sosok lelaki di layar TV. Agak ragu dgn raut tampang lelaki matang itu, namun ia ingat betul contoh jahit kantong samping celananya. Persis mirip bikinannya.
“Jun. Itu Jun!” gumam Mak Ru. Bocah yg dahulu takut akil balig cukup akal itu, sekarang sedang berdiri di podium, menerangkan duduk kasus alat pemecah batu ginjal mutakhir, temuannya. Bagi orang sepenting Jun, manalah mungkin ada ruang guna mengenang penjahit renta itu. Tapi corak kantong celana itu, acuan jahitan penutup ritsleting itu…. Merujuk pada bikinannya dulu. Sepi hari senja Mak Ru & sakit menahun karena watu ginjal, sekarang terisi oleh haru-bangga & decak kagum saat profesor Jun bicara di layar kaca. Masih ngeri kau jadi orang remaja, Jun?. (*)