Hikayat si Kritikus | Cerpen Hendy Pratama


SI KRITIKUS kenamaan itu bersetia dgn layar laptop yg menyala bagai bola lampu & kadang-kadang mengantuk.

Tidak ada pekerjaan lain, selain membaca & mengkritik. Lalu mengkritik & kemudian mengkritik. Ia merasa dilahirkan untuk itu.

Ia merasa dilahirkan untuk melakukan peran suci itu: menyelamatkan sastra dr tumpukan sampah wangi. Sampah-sampah dr karya penulis pemula yg hancur & lebur hingga acak-acakan bagai bumbu banyak garam—atau bahkan tak mampu membedakan mana gula mana garam. Begitulah kegiatan rutin si kritikus. Maka, demi problem itu, ia rela tersadar semalaman suntuk & bangkit kesiangan.

Ketika si kritikus berhasil mengkritik suatu karya sastra—misalnya cerpen—maka ia mendapatkan poin & kedudukan yg lebih tinggi dibandingkan dengan cerpenis yg karyanya sudah ia kritik. Kedudukan yg lebih tinggi itu diakui oleh cerpenis & kritikus lain. Serta, apabila belum menerima celah untuk mengkritik karya sastra milik sastrawan lain, ia akan senantiasa mencarinya. Hingga ketemu & selsai dgn semburan caci makian.

“Ompol bayi. Ini ompol bayi.” Begitulah cacian yg kerap dilayangkan oleh si kritikus.

Saban hari, si kritikus membaca & membaca, kemudian (tentu saja) mengkritik. Kalkulasinya sederhana: apabila si sastrawan produktif menulis, ia mesti lebih produktif mengkritik. Pun ia tak pernah melupakan satu karya luput dr kritikannya. Bila ditanya kenapa demikian, ia akan menjawab, “Itu demi kedudukan.”—di luar tugasnya yg katanya menyelamatkan sastra itu sendiri.

Selain mengkritik, si kritikus pula tekun membaca karya-karya terjemahan serta teori kritik. Menurutnya, membaca mirip menegak jus buah. Ia butuh nutrisi & asupan teori yg banyak. Beberapa sastrawan mancanegara yg karya-karyanya sering ia baca seperti Ernest Hemingway, Gabriel García Márquez, John Steinbeck, Kawabata, & Anton Chekhov. Untuk persoalan itu, si kritikus merasa harus menertibkan waktu. Jadi, boleh dibilang bahwa hari-hari si kritikus cukup sibuk. Bahkan kadang-kadang ia lupa punya anak untuk didanai & punya istri untuk dinafkahi.

  Suara di Bandara | Cerpen Budi Darma

Apabila ditanya: semenjak kapan ia mulai mengkritik, si kritikus akan melongo lama. Ia tak mempertimbangkan jawabannya. Menjawab atau tidak, itu urusannya. Toh, jika tak menjawab, ia tak akan mendapat bencana alam atau hukuman. Si kritikus termangu cukup lama sebab teringat kejadian sepuluh tahun silam.

Sebagai seorang kritikus kenamaan yg sering menyampahkan karya-karya sastrawan lain, tentu ia lebih dulu merasakan kegetiran itu. Sepuluh tahun yg kemudian ialah benih kegetiran yg kini telah berbuah.

Dulu, sebelum menjadi kritikus, Subagio (nama lahir si kritikus) sering diabaikan oleh sastrawan-sastrawan tersohor tatkala bertemu di suatu potensi . Subagio berjumpa dgn mereka di acara workshop penulisan di Jogjakarta. Setelah acara itu selesai, Subagio menyempatkan waktu duduk bersama kumpulan petinggi & penjaga gawang sastra. Hidup-mati sastra ada ditangan mereka & Subagio menjadi belahan terkecil yg amat sangat kecil diantara mereka.

Subagio sering diabaikan. Dianggap angin, dikira makhluk astral yg (tentu) tak berwujud di mata mereka. Berkali-kali Subagio mengajak bicara sebagian dr mereka, tetapi tak sekalipun salah seorang dr mereka menyahutnya. Bahkan, tatkala Subagio memperlihatkan karya sastranya, berupa cerpen, dgn keinginan mendapat komentar atau kritikan, sastrawan-sastrawan tersohor itu justru menimbulkan lembaran kertas tersebut sebagai asbak, penguburan puntung rokok. Belasan puntung rokok mengoyak kata-kata yg tergores di atas kertas itu & kadang kala membakarnya.

“Pak, ini cerpen saya.” Begitu kata Subagio dgn nada terkulai.

“Oh, maaf. Saya tak tahu.”

Tentu Subagio sedih & marah. Api di dlm dadanya berkecamuk. Hatinya kecil, nyalinya menciut. Ia jadi pesimistis dlm menulis. Selepas peristiwa itu, ia tak pernah lagi menulis barang karakter pun. Ia merasa tak berbakat menulis & tak pantas menjadi sastrawan. Subagio cuma pantas menjadi anak jalanan, memulung sampah, & bila punya modal, ia bakal kerja berjualan koran di persimpangan lampu merah.

  Pezikir Jembatan | Cerpen Ken Hanggara

Ratusan kali Subagio mengirim karya-karyanya ke media, tetapi tak satu pun media memuatnya. Ia geram & murka. Lantas menginginkan sesuatu yg instan. Ia sempat berpikir untuk meneror si redaktur salah satu media.

Subagio membayangkan menemui redaktur di kediamannya. Kemudian, mencekik batang lehernya sembari berucap, “Katakanlah, berapa harga satu goresan pena!”

“Yang terperinci, lebih mahal dr harga dirimu!”

*****

Anehnya, sepekan sejak ia membayangkan hal itu, salah satu karyanya berhasil tembus ke majalah besar. Seketika itu, namanya mulai meluncur ke angkasa layaknya sebuah roket. Tidak sedikit orang yg mengenal & datang-datang mengaguminya. Ia mulai dielu-elukan bagaikan selebritis. Bahkan, para kritikus tersohor—yang sepuluh tahun silam pernah mencacinya—kini berebut temu dengannya. Takdir berputar laksana sebuah roda.

Subagio dibanjiri ajakan. Dari komunitas biji timun sampai yg ternama, pernah mengundangnya sebagai pemateri.

Tentu saja Subagio senang. Undangan demi ajakan yg begitu banyaknya mempunyai arti makin banyak pula pundi-pundi uangnya. Ia tak perlu mempertimbangkan mau makan apa hari ini, mau minum apa esok hari, & mau ke mana esok lusa. Tinggal memakai kemeja terbaik, sepatu paling kinclong, serta mempersiapkan motivasi-motivasi. Subagio tak ubahnya seorang pebisnis yg memberi gagasan kaum sebangsa semut rangrang.

Bahkan, karena keseringan dipanggil itu, dua tahun kemudian Subagio mampu berbelanja satu mobil & membangun sebuah rumah. Orang-orang yg bertamu di rumahnya dibuat takjub dgn bangunan yg mirip istana. Ratusan buku mengisi tiap-tiap sudut. Beberapa bingkai kesuksesan Subagio terpajang pada sebentang tembok.

“Apakah Tuhan telah membangun nirwana di sini?”

“Sungguh, betapa ini ibarat sebuah istana dlm kepala anakku!”

Begitulah beragam decak kagum para tamu. Dan, tatkala ditanya, sejak kapan ia mampu mempunyai semua itu, Subagio dgn menyeringai menjawab, “Sejak masterpiece cerpenku tembus di media besar!”

  Macet | Cerpen Alif Febriyantoro

Tetapi. Ya, tetapi. Sejak mendaulatkan diri selaku kritikus, Subagio jarang mencipta karya sastra lagi. Hidupnya lebih sibuk mengkritik karya sastrawan lain. Ia tak pernah jemu dgn pekerjaannya itu. Kebanyakan kritikus mengkritik demi mempertahankan martabat sastra, namun tak dgn Subagio. Sebenarnya, hal itu ia lakukan untuk menutupi karya-karyanya yg lebih jelek ketimbang sampah.

Ada yg luput dr bidikan kamera & wawancara reporter di program sastra, bahwa Subagio bahu-membahu tak betul-betul menulis cerpen yg tayang di media besar itu. Karya sastra mahadahsyat yg pernah diciptakannya bahu-membahu tak lain merupakan saduran. Si kritikus kenamaan berjulukan Subagio, hanyalah menyadur cerpen milik Gabriel García Márquez. Untuk memperdaya si redaktur, Subagio tinggal mengganti beberapa susunan kata & nama-nama tokoh. Ia berbuat begitu alasannya adalah impitan ekonomi.

Untuk menutupi keburukan karyanya itu, Subagio mengkritik karya sastra orang lain, sebagaimana lalat terbang menenteng tahi. Bahwa dirinya tak lebih wangi daripada tahi. Subagio memang mengerti teori penulisan & kritik. Tetapi, bukankah seseorang yg mengetahui teori belum tentu mampu mempraktikannya?

Di tamat hidupnya, Subagio lupa perihal alur kehidupan: bahwa orang-orang yg sering mendapat kritik akan tumbuh jauh lebih baik. Memang tak semua, tapi itu cukup untuk memenangkan si kritikus kenamaan berjulukan Subagio. Mereka yg pernah dikritik akan berbalik mengkritik—mirip dongeng hidup Subagio sepuluh tahun silam—dan pastinya karya-karya mereka berkembang sungguh pesat. Penikmat sastra hingga berdecak kagum & tak percaya bahwa ada karya semenarik itu di dunia. Begitu bagus, melebihi secuil kebohongan yg pernah ditulis oleh Subagio di suatu media besar.(*)