“PULANGLAH ke rumah Akung. Kuda-kuda sudah terpasang. Genting-genting sedang dinaikkan.”
Pagiku rusak oleh pesan pendek dr Paman. Tak ada lagi gelegak selera pada kopi hangat di meja. Tak ada yg menarik dr koran minggu yg terserak. Dada tiba-tiba sesak. Kebak dgn udara yg mendesak-desak. Tetes demi tetes menyeruak dr bola mata & membasahi tulang tengkorak yg menyembul di pipi. Sudah tak saatnya Akung membangun rumah. Bukan waktunya. Tidak sempurna masanya.
Aku tak mengetahui, kenapa Akung tetap maju bergerak. Ia bahkan tak mampu lagi merangkak. Aku tak paham, kenapa ia tak sudi mundur sejenak. Bukankah acap kali gue menolak? Tidakkah berkali-kali gue menyampaikan tidak?
“Sejak dulu, Bapak memang keras kepala,” kata Paman.
“Jika punya harapan, Akungmu tak akan pernah mundur,” tegas Bibi.
Apakah Akung ingin menawarkan bahwa ia adalah karang yg tak mampu roboh oleh apa pun? Ataukah ia hendak menjadi sungai yg tak henti mengalirkan kasih? Mungkinkah ia serupa lilin yg terang, tetapi aben tubuhnya sendiri?
Tekadnya yg sekeras baja mewujud dlm kata-kata sejak gue masih balita. Masih jelas terngiang-ngiang di kepalaku, kata-kata yg senantiasa ia ucapkan kepadaku: rumah itu kelak akan kau tempati.
Rumah itu yaitu rumah kosong dgn dinding mengelupas, bata telanjang yg retak, atap roboh serta jendela & pintu yg bolong. Dapur & kamar mandinya sarat reruntuhan. Bangunan mengerikan itu ialah rumah buyutku yg tak terawat, sebab ditinggal saudara Akung yg pindah ke Jakarta. Rumah itu tepat berdiri di samping rumah Akung. Saat kecil, gue senantiasa menutup korden rapat-rapat kamar rumah Akung dgn jendela yg menghadap rumah itu. Aku membayangkan hantu-hantu bergentayangan & bercengkerama di sana. Terkadang, gue mendengar suara aneh dr balik korden, lalu secepat kilat gue bergelung di balik selimut dgn penuh gidik.
“Aku tak mau tinggal di sana, Kung. Takut. Banyak hantunya,” jawabku ketika itu.
Namun, semenjak ibu meninggal balasan kanker & ayah menikah lagi dgn wanita lain, gue kian jarang mendatangi Akung, kakekku. Aku kembali tiba ke rumah Akung tatkala menginjak dewasa & telah bisa bepergian sendiri. Setidak-tidaknya, tiga bulan sekali. Liburan semester ialah saat-saat yg sempurna. Mangga di depan rumah Akung sedang lebat-lebatnya & jambu-jambu di samping rumahnya berbuah merah merona. Di sungai belakang rumahnya, gue dapat memancing ikan-ikan & berburu udang-udang.
“Rumah itu kelak akan kau tempati.” Akung mengatakannya pada suatu sore saat gue tiba bertandang. Mengenakan sarung & kaus putih, ia menyapu dedaunan pohon mangga.
“Belum mikir ke sana, Kung. Skripsi saja belum selesai,” jawabku sambil mengamati gerak-geriknya. Wajahnya kian kusut keriput dgn garis-garis bau tanah yg sarat .
“Ya, nanti jika sudah bekerja & menikah, ananda tinggal di sana. Itu genting-genting telah tiba,” bujuknya.
“Kelak, Rio akan bangun sendiri, Kung. Belum tahu pula nanti sehabis lulus mau ke mana,” jawabku.
“Sawah masih ditanami padi, Kung?” tanyaku mengalihkan topik obrolan.
“Masih. Nanti jika lulus kuliah, jadi pegawai saja. Jangan jadi petani. Semua serba mahal. Bibitnya mahal. Pupuknya mahal. Tenaga buruhnya pula mahal. Semakin sedikit orang ke sawah. Hanya orang-orang renta seperti gue ini. Dulu, hasil sawah itu bisa buat uang sekolah ibu & paman-pamanmu. Sekarang, balik modal saja amit-amit.”
Masalah sawah, bantu-membantu paman-pamanku telah berusaha membujuk Akung biar berhenti ke sawah. Tak perlu bertani lagi karena anak-anaknya telah mapan. Fisik Akung telah banyak menurun, karena ia pula makin berumur. Namun, ia menolak. “Tidak melakukan apa pun di rumah akan mengundang banyak penyakit,” jawabnya.
Rumah itu kelak akan kau tempati. Kata-kata itu masih tertangkap telingaku. Aku mendatangi Akung sehabis pulang kerja dr pabrik. Gundukan kerikil tampak di halaman. Pasir-pasir menggunung di bawah pohon mangga. Sak-sak semen menumpuk di teras rumah. Aku tahu Akung menabung sungguh lama dr hasil panen sawahnya yg tak seberapa demi membangun rumah ini. Setiap selepas panen, ia berbelanja material bangunan sedikit demi sedikit. Karena setiap kali gue datang berkunjung, pasti terdapat materi-bahan baru seperti genting, bata, pasir, besi, & balok kayu. Kini, semuanya telah lengkap tersedia.
Kini, rumah hantu itu sudah roboh seutuhnya, berganti dgn watu bata yg telah disusun setinggi pinggang orang remaja.
“Lihat, rumahmu sudah dibangun. Kelak, kau akan tinggal di sana,” Akung menyambutku dr dlm rumah.
Aku cuma mengulum senyum. Aku tak tahu mesti bagaimana menimpali kalimatnya. Lebih tepatnya, gue sedang mencari kata yg paling sempurna untuk kusampaikan. Kutimbang-timbang apakah kalimatku akan melukai hatinya atau tidak. Banyak alasan untuk menolak rumah yg dibangun Akung. Rumah itu terlampau jauh jaraknya dgn tempatku bekerja. Aku berencana untuk berbelanja rumah di perumahan yg lebih bersahabat dgn pabrik. Meskipun sekarang gue tinggal di kos, tak lama lagi, tabunganku niscaya cukup untuk berbelanja rumah. Rumah yg sedang dibangun Akung pun terlihat jadul & antik. Sementara saya, seperti lazimnya anak muda sekarang, lebih menentukan rumah modern minimalis.
Di sisi lain, gue pula tidak ingin merawat buah simalakama yg tumbuh di hatiku. Tidak ada satu pun cucu Akung yg dibangunkan rumah olehnya kecuali aku. Ini tak adil. Aku tahu tanah tempat berdirinya rumah itu yakni warisan ibuku, tetapi tak sebaiknya Akung membangunkan rumah untukku. Jika rumah itu telah berdiri, bagaimana nanti gue sebaiknya berbicara dgn paman-pamanku? Bagaimana kelak gue membalas kebijaksanaan baik Akung? Semakin tinggi, bata-bata rumah itu disusun, bata-bata rasa bersalahku pula kian meninggi.
“Rio nanti akan beli rumah yg lebih akrab dgn pabrik, Kung,” kataku dgn hati-hati. Aku tak sampai hati untuk mengatakannya. Tetapi, lebih baik gue menguatkan diri, alasannya adalah banyak duduk perkara timbul akibat ketidakberanian untuk mengatakan “tidak”.
Sontak, wajah Akung berubah layu. Tatapan matanya menerawang ke depan. Entah apa yg ia pikirkan.
“Rumah ini akan kubangun hingga selsai,” ungkapnya.
Akung tak pula berhenti, meskipun gue telah menolak. Ia tak mampu dilarang, kecuali tubuhnya sendiri yg memilih berhenti. Pada sebuah siang, ia ditemukan terduduk tak berdaya di halaman. Hanya kedua bibirnya yg dapat berteriak. Separuh badannya tak dapat bergerak. Kaki kanannya lumpuh. Tangan kanannya mati rasa. Aku mendengar bahwa Akung tak mampu berlangsung siang itu, sebab pada pagi hari ia mengangkat balok-balok kayu yg diperlukan untuk kuda-kuda rumah. Brak! Palu godam rasa bersalah meretakkan jantungku. Akibat membangun rumah, Akung diserang stroke. Ia pasti letih alasannya banyak berpikir. Terlalu banyak anggapan tak baik bagi orang renta.
Selama tiga bulan, Akung dirawat dengan-cara intensif: berkala kendali ke dokter, minum obat-obatan & terapi tiga kali seminggu. Namun, belum ada kabar, ia akan membaik. Pembangunan rumah berhenti, gue sedikit lega. Tetapi, pohon simalakama yg menjalar dlm diriku tak pernah pergi. Ia bertumbuh, semakin lebat.
“Aku bisa mempunyai rumah sendiri, tanpa dibangunkan Akung,” laporku pada Paman demi mengusir rasa bersalahku.
“Ya gue tahu,” jawabnya.
“Aku merasa bersalah. Pembangunan rumah menciptakan Akung lumpuh.”
“Ini bukan kesalahanmu. Bapak kalau sudah punya harapan, memang tak bisa diputus di tengah jalan. Dari dahulu, kita sudah minta Bapak untuk berhenti ke sawah, tapi tetap ngeyel. Sekarang pula malah berdiri rumah. Kita sudah memintanya untuk tak diteruskan. Sudah berkali-kali diberi tahu, tetap tak bisa.”
“Aku minta maaf.”
“Tidak perlu minta maaf. Ini bukan kesalahanmu. Kita doakan saja, Bapak cepat sembuh.”
Akung tak mampu lagi bergerak. Hanya tergeletak di atas kasur. Kaki-kakinya tak mampu lagi menapak. Menuangkan sesendok nasi ke mulutnya sendiri, ia tak sanggup. Tetapi, Akung masih memiliki kehendak. Dari atas kasur, ia panggil tukang-tukang. Dari balik jendela, ia amati proses pembangunan hari demi hari. Bata makin tinggi. Kuda-kuda sudah naik. Pesan pendek datang pada Minggu pagi. Rumah nyaris jadi.
Aku kian karam dlm kebimbangan & teringat kata-kata Paman. “Bapak membangun rumah memang demi kau, cucunya, tetapi pula demi dirinya sendiri. Rumah itu pengobat luka alasannya adalah belum sempat membangunkan rumah ibumu. Bapak seperti dikejar utang. Rumah itu, usahanya menebus khilaf masa lalu. Rumah itu, rumah damai bagi hatinya.”
“Rumah itu kelak akan kau tempati,” kata Akung sebelum kelopak matanya tertutup & tak mengatup lagi.
Aku cuma tertunduk. Uang paras sepetak rumah telah kubayarkan minggu lalu.(*)