Odong-Odong | Cerpen Seno Gumira Ajidarma



RATRI tak pernah menduga betapa semuanya akan rampung di Negeri Kegelapan.

Semua ini dimulai dgn keremangan, tatkala odong-odong sudah kosong, & tinggal dirinya sendiri yg belum diturunkan. Tukang odong-odong itu rupanya menerka semua anak sudah turun dgn pengasuh masing-masing, & ia mampu secepatnya melarikan odong-odongnya pulang.

Saat ia matikan lagu kanak-kanak dr kotak yg berisik itu, barulah ia tersadar bahwa ia tak sendirian. Dalam remang, Ratri yg kecil memang tak pribadi kelihatan.

“Ah! Nèng! Kok belum turun?”

“Pan belum nyampé…”

“Belum nyampé? Emang mesti turun di mana?”

“Depan rumah …”

“Iya, rumahnya di mana?”

“Tau’.”

Maka tahulah tukang odong-odong itu bahwa ia mampu mendapat masalah, & kesudahannya ia secepatnya memutar balik odong-odong yg terbuat dr sambungan sepeda motor & kolam mobil itu, melarikannya di sepanjang jalan yg telah dilalui.

“Di sini rumahnya?”

“Bukan.”

“Dari sini naiknya?”

“Bukan.”

“Dari mana dong?”

“Tau’.”

Pusinglah tukang odong-odong itu, tatkala semakin malam jalanan itu makin membingungkannya. Lampu kendaraan & lampu toko-toko berkelap-kelip mengalihkan pengamatan, bunyi sepeda motor yg saringannya dicopot, toa masjid yg terdengar meminta sumbangan berbaur dgn toa obral baju di pasar terkejut . Ini masih jalan yg sama pastinya, namun kenapa tiada lagi yg dikenalinya?

Ditengoknya anak perempuan itu, cuma termenung saja, mirip bukan persoalan bahwa hari sudah gelap, & ia belum hingga ke rumah.

“Ratri!”

Terdengar teriakan dr tepi jalan, & di kaki lima yg sudah selalu simpang siur itu terlihat sejumlah orang mondar-mandir dgn gelisah.

Tukang odong-odong itu tak tahu bila anak ini berjulukan Ratri. Ia mendengar teriakan itu, tetapi ada banyak pula teriakan lain. Siapalah kiranya yg akan tahu pasti bahwa teriakan yg satu itu yakni teriakan kegelisahan, berbalut kemarahan yg mendadak meluap, alasannya adalah odong-odong itu tak berhenti?

  Kambing-Kambing Peninggalan Ibrahim | Cerpen Junaidi Khab

“Kejar!”

Suara kaki-kaki bersandal jepit berlarian menyela suara mesin bajaj, lagu qasidah dr toko pakaian muslim, & lagi-lagi raungan knalpot sepeda motor tanpa saringan. Dalam kemacetan di perempatan, odong-odong itu terkejar & dua-tiga orang melompat masuk, tatkala pengemudinya masih sempat bertanya, “Sebelah mana Nèng?”

Setelah itu terjadi kekacauan yg membuat kemacetan makin parah, alasannya adalah sehabis pengemudi itu ditarik ke belakang, oleh tangan yg mencekal leher bajunya, odong-odong itu melaju ke tengah arus yg sedang saling bersilang. Sejumlah kendaraan tertabrak & saling berbenturan. Sejumlah yg lain berbelok menepi namun tetap tak bisa pergi, tatkala hal yg sama terjadi dr arah bertentangan.

Deretan panjang dr segala arah membunyikan klakson bersamaan, suaranya membubung ke langit, bagaikan doa salah alamat yg tak akan pernah dikabulkan. Pusat kekacauan terdapat di tengah perempatan itu, seperti pusaran air bergejolak yg tak pergi ke mana pun.

“Mau menculik ya? Bangs*t!”

Saat seorang banpol muda tiba diperempatan itu, kemacetan belum pula terurai, tetapi tukang odong-odong itu terkapar dijalanan dgn paras tanpa bentuk. Bapak bau tanah penjaga kios rokok yg berupaya menolongnya, kesusahan menyeberangi jalan menuju ke kaki lima. Seragam banpol yg terus-menerus meniup peluit itu sedikit menolong penertiban. Namun sehabis kemacetan dituntaskan, banpol itu merasa mesti kembali pada tugas sesuai peraturan.

“Ini kendaraan tak terperinci jenisnya, tak ada nomor polisinya, kok berani berkeliaran sambil mengutip uang? Apa ada izinnya? Mana surat-suratnya?”

Tukang odong-odong yg pingsan itu tentu tak mendengar, & bapak bau tanah penolongnya mendongak dgn lisan ternganga.

Odong-odong itu sendiri tak terlalu rusak. Teronggok miring diatas selokan.

*****

Dengan perasaan berbunga-bunga Ratri menaiki odong-odong pada sebuah senja. Lagu-lagunya sangat meriah, liriknya berkisah wacana kehidupan didunia yg penuh dgn kebahagiaan bertamasya maupun kebahagiaan memiliki ayah ibu adik kakak. Odong-odong bagaikan datang dr surga, membagi-bagikan kebahagiaan sepanjang jalan bagi belum dewasa yg kurang mengenal kebahagiaan itu, sehingga dgn mudah mendapatkan kebahagiaan maya melihat gambar-gambar di sisi odong-odong.

  Filosofi Rumah | Cerpen Risda Nur Widia

Gambar-gambar badut, makhluk menyedihkan itu, & lagu-lagu riang. Amboi! Alangkah senangnya!

Ratri merasa dirinya melayang terbang. Bukankah lagu-lagunya berkisah dgn ceria ihwal pelangi yg melengkung dr ujung ke ujung, mega jingga, langit ungu, bintang-gemintang, & serba gemerlapnya semesta alam? Semua itu pula tergambar pada kedua sisi odong-odong, kendaraan yg seolah-olah akan menenteng belum dewasa ke surga, bersama badut-badut yg akan selalu membuat mereka tertawa.

Anak-anak dlm gendongan pengasuhnya, dibuntal kain yg mengikat ketat, kepalanya terbenam begitu dalam, apakah yg bisa dilihatnya selain ketiak & atap odong-odong? Namun Ratri sudah tak menyaksikan anak-anak dgn mata kosong itu, entah kapan & entah di mana mereka turun. Tinggal dirinya kini tinggi di awan, bebas dr kampung kumal , rumah sumpek, celoteh banyabicara, senyum palsu, wangi apak maupun wewangian tiruan yg mengecoh sebentar sebelum memudar.

Ratri menengok ke bawah, bahkan sepasang ondel-ondel yg bergerak-gerak itu pun tampak begitu kecil kini. Hatinya terasa ringan alasannya adalah keriangan yg terasa meyakinkan seperti dirinya sungguh-sungguh berbahagia.

Ia sempat melihat kampungnya. Melihat ibunya berlangsung keluar dr balik pintu tripleks menuju ke ujung gang, tempat banyak orang menunjuk-nunjuk ke atas. Ke arahnya!

Apakah ibunya itu sedang mencari dirinya & akan menyuruhnya pulang?

“Jangan pernah naik odong-odong lagi ya Ratri! Awas kamu! Apakah ananda mau jadi anak tukang odong-odong?! Coba kalau waktu itu tak ada yg lihat, tak tahu sudah ada di mana ananda sekarang!”

Mesti ada di manakah dirinya? Ratri merasa dirinya berada di daerah yg paling diinginkannya, duduk di kursi dgn dagu berbantalkan punggung tangan di sisi odong-odong, menyaksikan lapisan-lapisan langit yg ditembus tanpa suara, selain gema lagu kanak-kanak yg kini membahana dlm pengertian sebetulnya.

  Cerita Buat Bapak Presiden | Cerpen Agus Noor

“Turun di mana Nèng?”

Didengarnya tukang odong-odong itu bertanya dgn suara terpendam. Ratri menoleh. Perban membalut seluruh kepala tukang odong-odong itu, dgn lubang hanya pada mata & hidungnya.

*****

Ratri memang tak pernah menduga betapa semuanya akan rampung di Negeri Kegelapan, meski bagi anak itu tak penting benar ia berada di mana, asal selalu berada di dlm odong-odong, menembus dunia-dunia yg tak pernah dikenalnya.

Juga tak penting benar baginya, tatkala nun jauh di Bumi seorang wanita berkutang yg lepas kancing atasnya, berlari sambil menjinjing kain & berteriak ke langit.

“Ratriiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!!”. (*)