Pengawasan dan Peradilan Administrasi
PENGERTIAN PENGAWASAN
Pengawasan intinya diarahkan sepenuhnya untuk menyingkir dari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang mau dicapai. melalui pengawasan dibutuhkan mampu membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang sudah dijadwalkan secara efektif dan efisien. Bahkan, lewat pengawasan tercipta sebuah kegiatan yang berkaitan akrab dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja telah dilakukan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dilakukan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.
Konsep pengawasan demikian sebenarnya menawarkan pengawasan ialah bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap selaku bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya.” Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai:
“observasi atas pelaksanaan seluruh aktivitas unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin supaya seluruh pekerjaan yang sedang dikerjakan sesuai dengan planning dan peraturan.”
atau;
“suatu usaha semoga sebuah pekerjaan mampu dilaksanakan sesuai dengan planning yang telah ditentukan, dan dengan adanya pengawasan mampu memperkecil timbulnya kendala, sedangkan hambatan yang sudah terjadi mampu secepatnya dimengerti yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya.”
Sementara itu, dari sisi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai selaku
“proses acara yang membandingkan apa yang dijalankan, dikerjakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang diinginkan, dijadwalkan, atau ditugaskan.”
Hasil pengawasan ini harus mampu menawarkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan mendapatkan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun administrasi pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang bagus), pengawasan merupakan faktor penting untuk mempertahankan fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan membuat sebuah metode pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external control). Di samping mendorong adanya pengawasan penduduk (social control).
Sasaran pengawasan yakni temuan yang menyatakan terjadinya penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, langkah-langkah yang dapat dijalankan adalah:
- mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan;
- menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;
- mengoptimalkan pekerjaan untuk meraih target planning.
Pada dasarnya ada berbagai macam pengawasan yang mampu dijalankan, yakni:
a. pengawasan intern dan pengawasan ekstern
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dijalankan oleh orang atau tubuh yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.” Pengawasan dalam bentuk ini mampu dilaksanakan dengan cara pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control) atau pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh inspektorat jenderal pada setiap departemen dan inspektorat kawasan untuk setiap tempat yang ada di Indonesia, dengan menempatkannya di bawah pengawasan Departemen Dalam Negeri.
Sejak 1988-1998, pengawasan intern dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) dan Pengawasan Pembangunan (Menko Ekuin dan Wasbang).[1] Selain itu juga terdapat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang merupakan pelaksana teknis operasional pengawasan, dibentuk menurut Keputusan Presiden RI No. 31 tahun 1983.
b. pengawasan preventif dan represif;
c. pengawasan aktif dan pasif;
d. pengawasan kebenaran formil berdasarkan hak (rechtimatigheid) dan pemeriksaan kebenaran materiil tentang maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid).
Dalam kaitannya dengan keuangan negara, pengawasan ditujukan untuk menyingkir dari terjadinya “korupsi, penyelewengan, dan pemborosan budget negara yang tertuju pada aparatur atau pegawai negeri.” Dengan dijalankannya pengawasan tersebut dibutuhkan pengelolaan dan pertanggungjawaban budget negara dapat berjalan sebagaimana direncanakan.
Dalam aspek pengawasan keuangan negara, DPR memiliki kepentingan kuat untuk melaksanakan pengawasan terhadapnya. Hal demikian disebabkan “duit yang dipakai membiayai aktivitas-acara negara yakni diperoleh dari rakyat.” Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan:
“Oleh alasannya penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk memilih nasibnya sendiri, maka segala langkah-langkah yang menempatkan beban kepada rakyat, selaku pajak dan lain-yang lain, harus ditetapkan dengan undang-undang, ialah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Persetujuan dewan perwakilan rakyat kepada budget negara yang diajukan pemerintah sebenarnya memiliki makna pengawasan pula. Hal demikian disebabkan kesepakatan yang diberikan DPR bukan berarti membebaskan pemerintah melakukan segala kegiatan yang berhubungan dengan budget negara. Adanya pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran negara bekerjsama diarahkan lalu pada upaya, “menindaklanjuti hasil pengawasan, sehingga ada hukuman aturan.”
Sementara itu, pembagian macam pengawasan terbagi atas dasar pengawasan intern yang mempunyai arti “ Sementara itu, pengawasan eksternal dimaksudkan selaku “pengawasan yang dikerjakan oleh orang atau badan yang ada di luar lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.”[2] Pengawasan dalam bentuk ini dijalankan oleh sebuah tubuh yang ditetapkan oleh pasal 23 ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan,“Untuk mengusut tanggung jawab ihwal keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”
Adanya forum ini dimaksudkan semoga pengawasan kepada keuangan negara mampu berjalan secara obyektif dan konsekuen, tanpa adanya pengaruh dari manapun. Dalam mengerjakan fungsinya, BPK mampu menjalin kerja sama dengan aparat pengawasan intern pemerintah dengan maksud supaya terwujud suatu “penilaian yang obyektif, sehingga hasil pemeriksaannya mampu diterima oleh semua pihak.”[3] Konsekuensinya, dapat BPK menawarkan menguji hasil pemeriksaan yang dilaksanakan pegawanegeri pengawasan intern pemerintah, untuk lalu disampaikan kepada dewan perwakilan rakyat. Adapun maksud pemeriksaan diserahkan terhadap DPR disebabkan DPR yang menunjukkan utusan terhadap pemerintah untuk melakukan undang-undang APBN. Dengan demikian, tepat sekiranya pengawasan yang dijalankan oleh BPK merupakan, “pengawasan ekstern, sehingga faktor obyektivitasnya yang merupakan salah satu norma dari pemeriksaan mampu terjamin.”[4]
Sementara itu, pengawasan preventif lebih dimaksudkan selaku , “pengawasan yang dilakukan kepada sebuah aktivitas sebelum acara itu dilakukan, sehingga dapat menghalangi terjadinya penyimpangan.”[5] Lazimnya, pengawasan ini dijalankan pemerintah dengan maksud untuk menghindari adanya penyimpangan pelaksanaan keuangan negara yang mau membebankan dan merugikan negara lebih besar. Di segi lain, pengawasan ini juga dimaksudkan biar sistem pelaksanaan anggaran dapat berlangsung sebagaimana yang diinginkan. Pengawasan preventif akan lebih bermanfaat dan mempunyai arti bila dikerjakan oleh atasan langsung, sehingga penyimpangan yang kemungkinan dilakukan akan terdeteksi lebih permulaan
Di segi lain, pengawasan represif yaitu “pengawasan yang dikerjakan terhadap sebuah aktivitas sesudah kegiatan itu dilakukan.”[6] Pengawasan keuangan versi ini biasanyadilaksanakan pada akhir tahun budget, di mana anggaran yang sudah ditentukan lalu disampaikan laporannya. Setelah itu, dikerjakan investigasi dan pengawasannya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan.
Selain itu, pengawasan erat (aktif) dijalankan sebagai bentuk “pengawasan yang dilakukan di tempat acara yang bersangkutan.”[7] Hal ini berlawanan dengan pengawasan jauh (pasif) yang melakukan pengawasan lewat “penelitian dan pengujian terhadap surat-surat pertanggungjawaban yang diikuti dengan bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran.”[8] Di segi lain, pengawasan menurut pemeriksaan kebenaran formil menurut hak (rechmatigheid) yakni “pemeriksaan kepada pengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan, tidak kadaluarsa, dan hak itu terbukti kebenarannya.” Sementara, hak menurut investigasi kebenaran materil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid) yakni “investigasi terhadap pengeluaran apakah telah memenuhi prinsip ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diharapkan dan beban biaya yang serendah mungkin.”[9]
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dikerjakan oleh unit pengawas intern organisasi yang diawasi di mana tugasnya adalah membantu fungsi pengawasan pimpinan organisasi serta menolong menyusun laporan pelaksanaan kegiatan organisasi. Pengawasan ini lazimnya dikerjakan instansi pemerintahan dengan membentuk suatu organisasi khusus yang menangani secara menyeluruh pengawasan kepada pelaksanaan budget negara. Konsep pengawasan ini diperlukan dengan maksud biar penyimpangan pelaksanaan budget lebih cepat teratasi oleh unit intern yang bersahabat dengan organisasi tersebut.
Di dalam organisasi pemerintahan negara, Presiden yang dibentuk kabinet mengadakan pemerintahan menurut undang-undang. Salah satu pelaksanaan pemerintahan tersebut yakni melaksanakan UU APBN, yang secara terpusat dan terintegrasi dilakukan oleh Departemen Keuangan. Guna melaksanakan pengawasan terhadap keuangan negara yang dilakukan pemerintah, dibuat suatu badan yang khusus melaksanakan pengawasan, yakni Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menurut Keputusan Presiden No. 31 tahun 1984 tentang Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Selain itu, di dalam pemerintahan juga dibuat aneka macam abdnegara pengawasan fungsional pemerintah, baik di sentra mirip inspektorat jenderal pembangunan, inspektorat jenderal departemen/unit pengawasan lembaga. Juga, pengawasan fungsional pemerintahan di tingkat kawasan seperti inspektorat wilayah kawasan tingkat I dan tingkat II.[10]
Banyaknya forum pengawasan dalam struktur kelembagaan pemerintahan bahwasanya tidak mengandung efektivitas dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian disebabkan kemungkinan terjadinya tumpah tindih sungguh besar yang akhir adanya, “…dalam sebuah waktu yang serentak atau dalam jangka waktu yang dekat, dua abdnegara pengawasan fungsional atau lebih melakukan pemeriksaan kepada sebuah instansi/proyek tertentu dengan sasaran yang sama…”[11]
Sebenarnya, tumpang tindih demikian tidak akan terjadi jika terdapat pengelompokan atas dasar kewenangan unit pengawas intern yang ada. Sebab, sesuai dengan struktur pengawasan yang dianut dalam ICW 1925, di mana pelaksanaan APBN didasarkan atas administratief beheer dan comptabel beheer, maka pengawas intern akan membagi atas salah satu di antaranya atau kedua-duanya. Dengan tugas pemeriksaan yang dibedakan tersebut bergotong-royong akan terdeskripsikan sebuah teladan pengawasan berjenjang. Pengawasan tersebut pada dasarnya dilakukan di mana, “…abdnegara pengawasan yang lebih tinggi tingkatnya secara hierarkis organisatoris melaksanakan tugas yang lebih luas pendekatannya atau lebih makro wawasannya dibandingkan dengan aparat pengawasan yang lebih rendah. Dengan perkataan lain, sasaran pengawasan antar-pegawapemerintah pengawasan berbeda satu sama lain, tergantung mana yang lebih ekstern dan mana yang lebih intern.”[12]
Selama ini, penjenjangan pengawasan keuangan negara tampaknya belum dapat diwujudkan secara optimal disebabkan “tidak adanya budi pengawasan secara nasional dan tidak adanya alat yang dapat dipakai untuk melakukan koordinasi pelaksanaan pengawasan.”[13] Akan tetapi, kemudian pemerintah mengambil langkah yang sedikit maju dengan menugaskan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) untuk melakukan kerjasama pengawasan pembangunan (wasbang). Selain itu, Presiden memperlihatkan tugas kepada Wakil Presiden untuk melakukan pengawasan pembangunan, yang salah satu bagian di antaranya yaitu tentang pengawasan keuangan negara.
Dalam hal pengawasan intern keuangan negara, kedudukan BPKP cukup berpeluang untuk mengerjakan tugas mempersiapkan perumusan kebijakan pengawasan keuangan dan pembangunan. Selain itu juga menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan. Guna mendukung peran BPKP tersebut, BPKP mampu melakukan investigasi lokal, meminta informasi perihal tindak lanjut hasil investigasi yang dilaksanakan BPKP atau abdnegara pengawas yang lain. Juga meminta informasi pada semua pejabat yang terkait erat dengan obyek pemeriksaan. Hasil investigasi BPKP lalu disampaikan langsung terhadap menteri atau pejabat instansi yang diawasi.
Apabila ditelaah secara mendalam keberadaan pengawasan intern keuangan negara sesungguhnya ditujukan pada upaya menolong presiden dalam bidang pemeriksaan dan pengendalian lingkup pemerintahan negara. Sebagai kepala pemerintahan yang melakukan fungsi pemerintahan, presiden tidak mampu selalu melaksanakan pengawasan. Oleh alasannya itu, presiden meminta pertolongan aparatur pemerintahan juga untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan. Dengan statusnya selaku aparatur pemerintahan, yang juga aparat pengawas intern, pihaknya “tidak boleh mengeluarkan pernyataan pendapat yang mampu dijadikan dasar bagi masyarakat umum dalam mengambil sebuah keputusan.”[14]
Sementara itu, berbeda dengan BPK yang menyerahkan hasil laporan pengawasannya kepada dewan perwakilan rakyat, pegawapemerintah pemeriksa intern pemerintahan tidak dapat menyampaikan laporan hasil pemeriksanaannya pribadi terhadap DPR, tetapi jika DPR berminat atas hasil pemeriksaan BPKP, pemerintahlah yang menyampaikannya terhadap DPR.[15] Hal demikian dimaksudkan semoga mampu dibedakan posisi investigasi BPK dan BPKP supaya tidak terjadi kesalahkaprahan dalam proses penilaian kinerja pelaksanaan APBN oleh DPR.
D.2 Pemeriksaan Ekstern
Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dikerjakan oleh unit pengawasan yang berada di luar unit organisasi yang diawasi. Dalam hal ini di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang ialah forum tinggi negara yang terlepas dari imbas kekuasaan manapun. Dalam melaksanakan tugasnya, BPK tidak mengabaikan hasil laporan pemeriksaan pegawapemerintah pengawasan intern pemerintah, sehingga telah sepantasnya di antara keduanya perlu terwujud harmonisasi dalam proses pengawasan keuangan negara. Proses harmonisasi demikian tidak mengurangi independensi BPK untuk tidak memihak dan menilai secara obyektif kegiatan pemerintah.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan keuangan negara, beberapa pandangan dikemukakan bahwa BPK tidak sepatutnya melakukan kendali atas semua bentuk keuangan negara, tergolong di dalamnya kekayaan negara. Akan lebih memiliki arti jika BPK melakukan fungsi pengawasan keuangan yang bersifat “makro strategis” yang mempunyai dampak sosial ekonomis yang luas.”[16] Konsekuensinya, BPK tidak perlu bersusah payah melakukan pengawasan keuangan negara dengan rentang yang tidak terbatas. Akan namun, cukup pada pengujian atas hasil investigasi keuangan yang dilakukan aparat intern pengawas pemerintah dan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN.
Hasil investigasi BPK yang ‘diberitahukan’ terhadap dewan perwakilan rakyat, sebetulnya mengandung makna yuridis yang kurang tegas dipandang dari pemakaian istilahnya. Dengan demikian, perlu ada pergeseran kata ‘diberitahukan’ menjadi ‘dilaporkan’ kepada dewan perwakilan rakyat.[17] Hal demikian juga akan membawa efek psikologis terhadap dewan perwakilan rakyat untuk segera menindaklanjuti temuan pemeriksaan dan pengawasan BPK, sehingga mampu dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pelaksanaan tindak lanjut ini dilakukan secepat mungkin untuk menyelesaikan persoalan dan menangkal penyimpangan yang hendak merugikan posisi keuangan negara. Apabila dalam temuan investigasi terdapat indikasi terjadinya penyelewengan, laporan tersebut dapat disampaikan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme hukum.
CATATAN KAKI;
[1]Koordinasi pengawasan pada Kabinet Pembangunan VII (Maret-Mei 1998) dan kabinet Reformasi Pembangunan (Mei 1998-Oktober 1999), diserahkan terhadap Menteri koordinator yang khusus menangani pengawasan pembangunan dan aparatur negara, adalah Menko Wasbang dan PAN.
[2]Sumosudirjo, Op.cit., hal. 216.
[3]Sekretariat Jenderal BPK, Op.cit., hal. 88.
[4]Sumosudirjo, Op.cit., hal. 218.
[5]Ibid., hal. 216.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Ibid.
[10]Mengenai penyebutan tingkat I dan tingkat II sejalan dengan dibentuknya UU No. 22 tahun 1999 ihwal Pemerintahan Daerah, ungkapan tersebut dihapuskan. Dengan demikian, nama inspektorat daerah daerah tingkat I dan tingkat II menjadi inspektorat kawasan propinsi dan inspektorat tempat kabupaten/kotamadya.
[11]Gandhi, Op.cit., hal. 46. Lebih lanjut disampaikan bahwa tumpang tindih dalam pelaksanaan pengawasan intinya ialah pemborosan, baik ditinjau dari sudut pengawas maupun dari sudut yang diperiksa. Bahkan terdapat kemungkinan, adanya instansi yang tidak diperiksa.
[12]Dani Sudarsono, “Interaksi Eksternal Auditor Pemerintah dan Internal Auditor Pemerintah: antara Harapan dan Kenyataan,” (makalah yang disampaikan dalam Seminar Reinventing Auditor Internal Pemerintah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan, Jakarta 7 Juni 2000), hal. 2.
[13]Gandhi, Op.cit., hal. 49.
[14]Gandhi (2), “Sistem Pemeriksaan Keuangan Negara,” (Makalah yang disampaikan dalam lokakarya “Reformasi Sistem Pengelolaan Keuangan Negara, Jakarta, 17 Mei 2000), hal. 4.
[15]Ibid., hal. 5.
[16]Atmadja (6), Op.cit., hal. 263.
[17]Ibid.