Aku pernah mendengarnya—saat dulu kakekku sering bercerita dlm kuliah Subuh. Kisah yg selalu kusukai, lantaran begitu menggetarkan hati & patut diteladani.
Ini ihwal kisah seoarang perjaka yg jujur & senantiasa mencari kehalalan dlm tiap masakan yg ditelan. Namanya Idris. Suatau waaktu ia tengah berlangsung di sekitar sungai. Kala itu, ia merasa haus. Lalu ia pun mengambil air & meminumnya. Tak lupa berucap syukur pada Allah yg pemiliki semuanya. “Terima kasih ya Allah, Engkau masih memberi lezat minum.”
Sebentar kemudian, ia menyaksikan sesuatu yg mengapung di atas air. Idris pun mengambilnya, berpikir itu yaitu rezeki yg Allah berikan padanya. Tanpa ragu, Idris memakan buah delima itu. Setelah beberapa kali gigitan—tepatnya setengah buah ia makan, Idris terjaga akan sesuatu.
“Astagfirullahal ‘adhim. Kalau ada buah jatuh di sekitar sungai ini, pastinya ada seseorang yg memiliki. Tidak mungkin buah ini turun sendirinya dr langit,” ucap Idris berspekulasi.
“Ya, gue harus mencari tahu siapa pemiliki pohon buah delima ini. gue harus menghalalkan makanan yg masuk ke perutuku biar tak bermetamorfosis api.” Tiba-tiba Idris teringat pesan sang guru biar senantiasa menjaga apa yg masuk ke perutnya agar senantiasa diisi dgn hal-hal yg halal.
Lalu Idris pun menyusuri sungai sehari penuh, mencari dr mana buah ini jatuh hingga sampai di aliran sungai. Dan benar saja, setelah menyusuri sungai itu, ia menyaksikan ada suatu kebun delima yg sungguh lebat. Pasti buah itu dr sana.
Idris memperhatikan & mencocokkan dgn buah yg tadi ditemukannya.
Idris pun secepatnya melangkah memberanikan diri menuju tempat itu. ia mesti meminta maaf sebab sudah menyantap buah orang itu tanpa izin.
“Maaf, Pak. Saya telah menyantap sebagian buah delima bapak tanpa izin. Tolong berilah keikhlasan agar apa yg tadi saya makan berbuah halal.” Idris tanpa ragu pribadi mengutarakan maksudnya.
Pemilik kebun melihat Idris dr atas hingga bawah. Bertanya-tanya siapakah perjaka yg begitu gila ini; tiba-tiba meminta maaf tanpa si pemilik tahu ke mana arah pembicaraannya.
“Apakah yg membuat ananda meminta maaf pada saya, Nak?” si pemilik kebun pun mengajukan pertanyaan setengah penasaran pada Idris.
Idris pun menceritakan semua peristiwa yg ada tanpa meminimalkan atau menambahi. Si pemiliki kebun merasa kagum dgn adab yg dimiliki cowok di depannya itu. Masya Allah…
Aku tak pernah menyaksikan perjaka mirip ini. Kalau umumnya, banyak orang yg lebih gampang melalaikan tanpa harus sukar-susah meminta maaf. Pemuda ini malah sebaliknya.
Idris yg menyaksikan pemilik kebun cuma diam saja, tiba-tiba merasa takut & khawatir. Apakah perbuatannya akan dimaafkan atau tidak.
Si pemilik kebun menghela napas, kian menciptakan Idris khawatir & was-was.
“Begini, anakku. Aku bisa saja memaafkanmu. Namun, kamu harus memenuhi terlebih dahulu syarat yg gue olok-olokan,” ucap si pemilik kebun agak sangar.
“Baiklah, Pak. Saya terima semua syarat yg akan bapak usikan. Asalkan bapak mengikhlasakan tindakan yg sudah saya lakukan.” Idris yakin.
Si pemilik kebun pun menerangkan syaratnya. Ia meminta Idris untuk menikahi putrinya yg tuli, bisu, buta & lumpuh.
Seketika Idris terhenyak. Ya Allah apakah ini memang jalan satu-satunya. Apakah ini adil dgn segala tindakan yg telah dilakukannya? Idris nampak berpikir keras. Menimbang-nimbang usulan yg diajukan.
“Nah, itulah syarat dariku, Nak. Bagaimana?” tanya si pemilik kebun setengah memaksa.
“Baiklah, Pak. Saya menerimanya asal apa yg tadi saya kerjakan mendapat pemaafan.”
Mendengar penuturan Idris, si pemilik kebun tersenyum & berkata, “Baiklah, gue ikhlaskan segala perbuatanmu & kuharap kamu pun lapang dada dgn persyaratanku.”
“Saya lapang dada, Pak.” Idris mengulurkan tangan untuk saling berjabatan.
“Baiklah, sebelum kamu menikahi putriku, alangkah baiknya kamu menemuinya apalagi dahulu,” perintah si pemilik kebun lembut.
Idris berjalan menuju ruang tengah yg tadi diberitahukan si pememilik kebun. Ada perasaan was-was yg sejatinya masih menghinggapi diri Idris. ia mendorong pintu dgn sedikit kaku sambil menahan detak jantungnya sendiri. “Kira-kira bagaimana kandidat istrinya yg tuli, buta, lumpuh & bisu?”
Namun, di sana Idris tak memperoleh standar yg disampaikan si pemilik kebun. Yang ada hanyalah seorang wanita elok jelita yg sedang merenda. Idris pun gundah & kembali pada si pemilik kebun untuk bertanya. ia menceritakan bahwa tak ada seseorang yg dikatakan si pemilik kebun.
“Ya, dialah calon istrimu,” terang si pemilik kebun.
“Tapi, bukankah kata bapak calon istriku seorang yg buta, tuli, lumpuh & bisu?” Idris sedikit galau.
“Dan yg di sana yakni perempuan anggun jelita,” jantung Idris berdetak kencang.
Si pemilik kebun tersenyum, lantas menjawab, “Begini anakku. ia memang buta; buta akan kemaksiatan. ia memang tuli; tuli dr segala hal yg menyebabkan marah Allah. ia memang bisu; bisu lantaran tak pernah mengatakan yg menimbulkan fitnah & tak ada gunanya, tak ghibah atau memaki. ia memang lumpuh; lantaran ia tak pernah pergi ke kawasan yg tak diridhai Allah. Tak pernah ke daerah maksiat, tempat para setan berada.”
“Itulah yg kumaksud buta, tuli, bisu & lumpuh. Karena ia tak pernah berkumpul dgn segala maksiat. Dan kupikir, kaulah yg paling patut dijadikan pasangan untuknya. Karena kau adalah pemuda yg mampu menjaga diri dr segala hal yg yang berhubungan dgn dosa, haram & kemaksiatan.”
Mereka pun risikonya dinikahkan. Pernikahan yg begitu indah lantaran berminat akan keridhaan Allah Ta’ala. Maka dr rahim itu—Fathimah al-Azdiyyah—istri Idris bin ‘Abbas, (masih mempunyai silsilah selaku saudara Rasulullah) lahirlah imam Syafi’i—Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Syafiʿī—seorang ulama besar yg pendiri madzhab Syafi’i. Beliau lahir dr orangtua yg begitu suci.
Itulah buah keteguhan & kejujuran dr seorang ayah dr ulama besar, & sang ibu yg selalu menjaga kesucian diri. Hingga segala doa yg diminta, insya Allah dikabulkan Ilahi, yakni mempunyai anak shaleh nan berbakti. [Kazuhana El Ratna Mida/wargamasyarakat.net]
Srobyong, 5 Mei 2015
Editor: Pirman Bahagia