A. SEJARAH ISTILAH DAN ARTI PENGANTAR ILMU HUKUM
Sepanjang pengetahuan para ahli hukum yang terdahulu[1] perumpamaan Pengantar Ilmu Hukum pertamakali dipergunakan di Indonesia, yakni ketika Perguruan Tinggi Gajah Mada diresmikan di Yogyakarta pada 13 Maret 1946. Istilah ini merupakan terjemahan pribadi dari mata kuliah Inleiding tot de Rechtswetenschap, yang diberikan di Rechtshoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia pada zaman Hindia Belanda, yang diresmikan pada .tahun 1924. Istilah ini pun bantu-membantu terdapat juga dalam Hoger Onderwijswet 1920 atau Undang-undang Perguruan Tinggi Negeri Belanda yang menggantikan ungkapan Encyclopaedie der RechtsWetenschap, yang ternyata berasal dari ungkapan Jerman Einfuchrung in die Rechtswissenschaft.[2] Dengan demikian, jika .digambarkan secara skematis dan kronologis maka akan terlihat seperti berikut ini:
Sejarah Munculnya Istilah Pengantar Ilmu Hukum
Enzyklopaedia der Rethtswissenschaft
|
Einfuhrung in die Rechtswissenschaft (Akhir Abad XIX-Awal Abad XX)
|
Encylopaedie der Rechtswetenschap
|
Inleiding tot de rechtswetenschap pada Hoger Onderwijswet 1920
|
Inleiding tot de rechtswetenschap pada Rechtshoge School di Batavia 1924
|
Pengatar Ilmu Hukum pada Perguruan Tinggi Gajah Mada pada 13 Maret 1946
|
Di setiap Fakultas Hukum atau Sekolah Tinggi Hukum, Pengantar Ilmu Hukum yakni mata kuliah prasyarat bagi semua mata kuliah keahlian hukum dan termasuk ke dalam kalangan mata kuliah dasar keahlian (MKDK) yang mempunyai bobot empat Satuan Kredit Semester.[3]Sedangkan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, cuma di beri bobot dua SKS.
Sebagai mata kuliah dasar keterampilan, Pengantar Ilmu Hukum memberiakan landasan guna mendukung mata kuliah lain sehingga mampu membantu mempermudah dan melancarkan studi mata kuliah hukum yang bukan bersifat pengirim lagi.
Pengantar Ilmu Hukum dalam arti luas berniat mempelajari dasar-dasar atau sendi-sendi hukum di dalam mengantarkan orang yang hendak berguru aturan ke arah hukum yang bahu-membahu. Dengan demikian Pengantar Ilmu Hukum dalam arti luas adalah Pengantar Ilmu Hukum dalam arti sempit ditambah Pengantar Hukum Indonesia, dan kalau digambarkan maka akan terlihat seperti di bawah ini:
Pengantar Ilmu Hukum dalam Arti Luas
|
|
Pengantar Ilmu Hukum dalam Arti Sempit (General Theory of Law) |
Pengantar Hukum Indonesia Ius Positivus Ius Constitutum Stelligrecht
|
Begitu juga halnya dalam Pengantar Ilmu Hukum diperkenalkan konsep rancangan, generalisasi-generalisasi dan teori aturan biasa , pemahaman-pengertian dan asas-asas hukum (grondbegrippen & grondbeginselen). Kaprikornus Pengantar Ilmu Hukum adalah mata kuliah dasar yang bermaksud untuk memperkenalkan ilmu hukum secara keseluruhan dalam garis besar. Dengan demikian mampu dikemukakan bahwa hakikat Pengantar Ilmu Hukum adalah sebagai dasar dari wawasan hukum yang mengandung pemahaman-pengertian dasar yang menjadi akar dari ilmu aturan.[4]
Selanjutnya kalau kita amati salah satu bunyi keterangan dalam Universiteits Reglement Hindia Belanda yang juga diberlakukan pada Rechts Hoge School di Batavia menetapkan bahwa, “Inleiding tot de Rechtswetenschap omvat zowel de historische vorming van de instellingen van het hedendaagsche recht, als een wijsgerige inleiding in haar geeste lijke en maatschappelijke betekenis.[5] Secara bebas kalimat itu dapat diterjemahkan selaku berikut, “Pengantar Ilmu Hukum mencakup uraian tentang sejarah terbentuknya forum. forum aturan remaja ini maupun pengirim falsafahnya dalam arti kerohanian maupun kemasyarakatan”.[6]
Dengan demikian menurut Undang-undang Perguruan Tinggi Hindia Belanda, Pengantar Ilmu Hukum itu memberikan tinjauan wacana lembaga. lembaga aturan dilihat dari sudut sejarah dan sudut filsafat. Dari sudut sejarah mempertanyakan ihwal dari mana asalnya, bagaimana bentuknya, dan bagaimana tahap perkembangannya. Dari sudut filsafat mempertanyakan apakah maksudnya, siapakah yang berhak memilih nilai-nilai kebenaran dan keadilan aturan serta apa kriterianya, kepentingan siapa yang dilindungi aturan, bagaimana dan siapa yang harus melaksanakan kaidah-kaidah aturan. Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga hukum yaitu seluruh praktek aturan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku secara mantap, berlakunya telah melembaga, bukan hanya sebagai sebuah pelaksanaan yang insidentil atau dipaksakan dengan kekerasan dari luar.[7]
B. ILMU-ILMU LAIN YANG MEMBANTU ILMU HUKUM
Dalam mempelajari Pengantar Ilmu Hukum akan ditemui hal-hal yang berkenaan dengan sejarah aturan, politik hukum, ilmu aturan kasatmata, sosiologi hukum, dan filsafat aturan. Hal ini disebabkan semua yang disebut di atas memiliki obyek yang sama ialah aturan, dan semuanya dapat dikatakan sebagai ilmu pembantu bagi ilmu aturan (hulp-wetenschap).
- Sejarah Hukum (rechtsgeschiedenis) yakni salah satu bidang studi aturan yang mempelajari pertumbuhan dan asal undangan hukum dalam masyarakat tertentu.[8]
- Politik Hukum (rechtspolitiek) adalah suatu bidang ilmu yang memiliki ciri tertentu, yaitu kegiatan untuk menentukan atau memilih hukum mana yang cocok untuk meraih tujuan yang dlkehendaki oleh penduduk . Politik hukum meliputi aktivitas-aktivitas memilih nlai-nllai dan menterapkan nilai-nilai.[9]Sedangkan menurut Teuku Mohammad Radhie politik aturan diartikan sebagai pernyataan kehendak penguasa negara perihal aturan yang berlaku di daerahnya, dan mengenai arah ke mana aturan hendak dikembangkan.[10] Utrecht sendiri menyebutkan bahwa politik aturan berusaha membuat kaidah-kaidah yang akan memilih bagaimana semestinya insan bertindak Dengan kata lain politik hukum berusaha melenyapkan ketegangan antara positiviteit dengan sociale werkelijkheid.[11]
- Ilmu Hukum Positif (positieve rechtswetenschap) yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari aturan yang berlaku pada suatu waktu dan kawasan tertentu (living law) atau sebuah tata aturan negara tertentu.
- Sosiologi Hukum (rechtssociologie) yakni suatu cabang ilmu wawasan yang secara empiris dan analitis mempelajari korelasi timbal balik antara aturan selaku gejala sosial dengan tanda-tanda-tanda-tanda sosial lainnya.[12]
- Filsafat Hukum (rechtsfilosofie) yakni refleksi perihal hukum yang mempermasalahkan aturan dari pelbagai pertanyaan yang fundamental, contohnya:
- Apakah hakikat hukum (quit ius)?
- Apa dasar-dasar mengikatnya hukum?
- Mengapa hukum berlaku lazim?
- Bagaimana kekerabatan antara aturan dengan kekuasaan, budbahasa, dan keadilan?
Dengan demikian semakin terang apa yang menjadi target perhatian filsafat aturan yaitu hukum sebagai tanda-tanda lazim, kemudian dianalisis dengan memakai pertanyaan fundamental mirip di atas.
Filsafat aturan mengetahui aturan selaku gejala umum atau fenomena universal yang tidak mampu dijawab oleh ilmu aturan.[13] Sedangkan menurut Soetjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, filsafat hukum yaitu perenungan dan perumusan nilai-nilai. Kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasian antara ketertiban dengan ketenteraman, antara kebendaan dengan keahlakan, antara kelanggengan (konservatisme) dengan pembaharuan.[14]
C. BATASAN DAN PENGERTIAN HUKUM
Pada permulaan mempelajari Pengantar Ilmu Hukum, pertanyaan yang dianggap paling sulit yakni, “Apakah yang dinamakan aturan”. Dahulu lazimnya orang menjawab pertanyaan itu dengan memberikan definisi yang agak indah. Namun nampaknya ada dua kubu yang berbeda usulan. Pendapat pertama diantaranya menyatakan bahwa tidak mungkin memperlihatkan definisi wacana hukum, yang sungguh-sungguh mampu memadai realita.
Pendapat pertama ini didasari atas kenyataan bahwa sejak lama orang sibuk mencari suatu definisi perihal hukum, tetapi belum pernah menerima sesuatu yang membuat puas. Hampir semua jago hukum yang menunjukkan definisi perihal aturan berbeda isinya. Ini menandakan bahwa hukum itu bersifat absurd, banyak seginya, dan luas cakrawalanya, sehingga mustahil orang menyatukannya dalam satu rumus secara membuat puas. Maka tepatlah apa yang dibilang Immanuel Kant, “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht.[15] Sedangkan Lemaire dalam bukunya yang berjudul Het rech in Indonesia mengatakan, “…De veelzijdigheid en veelomvattendheid van het recht brengen niet alleen met zich, dat her onmogelijk is in een enkele definitie aan te geven wat recht is”. Artinya, “Hukum itu banyak seginya dan mencakup segala lapangan. Oleh alasannya itu orang tidak mungkin menciptakan sebuah definisi apa sesungguhnya hukum itu”.[16] Pakar aturan lain yang berjulukan I. Kisch dalam bukunya Rechtswetenschap mengatakan, ”Doordat het recht onwaamembaar is ontstaat een moeilijkheid bij hat vinden van een algemen bevredigende definitie”.[17] Artinya, “Oleh sebab aturan itu tidak dapat ditangkap pancaindera, maka sukar membuat sebuah definisi hukum yang memuaskan umum. Pendukung lainnya ialah Gustav Radbruch dan Walther Burckhardt.
Pendapat kedua menyampaikan bahwa definisi itu ada keuntungannya, karena pada saat itu juga dapat menunjukkan sekedar pemahaman pada orang yang baru mulai wacana apa yang dipelajarinya, setidak-tidaknya dipakai selaku pegangan.
Istilah hukum identik dengan istilah law dalam bahasa Inggris, droit dalam bahasa Perancis, Recht dalam bahasa Jerman, recht dalam bahasa Belanda, atau dirito dalam bahasa Italia. Hukum dalam arti luas dapat disamakan dengan aturan, kaidah, norma, atau ugeran, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang intinya berlaku dan diakui orang selaku peraturan yang mesti ditaati dalam kehidupan bermasyarakat dan kalau dilanggar akan dikenakan sanksi. Sedangkan berdasarkan Ensiklopedi Indonesia, .”Hukum ialah rangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata hukum, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, yang menentukan atau menertibkan relasi-hubungan antara para anggota penduduk .[18]Rumusan di atas memperlihatkan bahwa penekanannya diletakkan pada aturan selaku rangkaian kaidah, peraturan dan tata aturan (proses dan mekanisme) serta pembedaan antara sumber aturan undang undang (kaidah yang tertulis) dan kebiasaan (kaidah yang tidak tertulis).
Berbeda dengan di Amerika, penekanannya justru ditaruh pada peranan pengadilan sebagai forum hukum seperti tampakdalam rumusan Oliver Wendel Holmes, Law is what the courts will do in fact”.[19] Di negeri Belanda, aturan atau Recht dirumuskan selaku berikut:
“Recht is de gedragslijn die door de overheid wordt getrokken in verband met bepaalde maatschappelijke situaties en waarvan niet kan warden afgeweken zonder dat de overheid reageert”.[20]
Di sini penekanannya ditaruh pada sikap yang diwajibkan pemerintah dan penyimpangannya diberi sanksi.[21]
Diantara para ahli aturan yang mau memperlihatkan definisi hukum yaitu selaku berikut:
Aristoteles:
“Particular law is that which each community lays down and applies to its own members. Universal law is the law of nature”.
Grotius (Hugo de Groot):
“Law is a rule of budpekerti action obliging to that which is right”.
Thomas Hobbes:
“Where as law, properly is the word of him, that by right had command over others”.
Cornelis van Vollenhoven:
“Recht is een verschijnsel in nisteloze wisselwerking van stuw entegenstuw”.[22]
Bellefroid: .
“Stellig recht is een mdening van het maatschappelijk leven, die voor een bepaalde gemeenschap geld en op haar gezag is vastgesteld.[23] Artinya, “Hukum yang berlaku di sebuah masyarakat mengatur tata tertib penduduk itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada penduduk tersebut”.
Hans Kelsen:
“Law is not, as is sometimes said, a rule. It is ,a set of rules having the kind of unity we understand by a system”.[24]
Erns Utrecht:
“Hukum yakni himpunan petuniuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengendalikan tata tertib dalam sesuatu penduduk , dan seharusnya ditati oleh anggota “marakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran isyarat hidup tersebut dapat menjadikan langkah-langkah dari pihak pemerintah penduduk itu”.[25]
Dari beberapa Pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa aturan itu meliputi banyak sekali unsur adalah;
a. Peraturan tentang tingkah laris manusia;
b. Peraturan itu dibentuk oleh tubuh berwenang;
c. Peraturan itu bersifat memaksa, walaupun tidak mampu dipaksakan;
d. Peraturan itu diikuti hukuman yang tegas dan dapat dirasakan oleh yang bersangkutan.
Sedangkan ciri-cirinya ialah sebagai berikut:
a. Adanya sebuah perintah, larangan, dan Icebolehan;[26]
b. Adanya hukuman yang tegas.
D. MANUSIA, MASYARAKAT, DAN HUKUM
Sudah menjadi Sunatullah bahwa insan itu semenjak dilahirkan sampai meninggal dunia, hidup di antara insan lain dalam sebuah pergaulan masyarakat. Hal ini disebabkan manusia itu condong mempunyai harapan untuk senantiasa hidup bareng (appetitus societatis).[27]Kenyataan ini oleh filsuf Aristoteles disebut selaku zoon politicon, yang berdasarkan keterangan sarjana ulung yang Paham bahasa Yunani bermakna manusia itu ialah mahluk sosial dan politik (man is a social and political being).[28] Sedangkan P.J. Bouman mengatakan, “De mens wordt eerst mens door samenleving met anderen”.[29] Artinya, “Manusia itu baru menjadi insan alasannya adalah beliau hidup bersama dengan insan yang lain”.
Di dalam sistem pergaulan hidup, secara prinsip manusia itu diciptakan bebas dan sederajat. Men are created free and equal, demikian kata John Locke dan Thomas Jefferson.[30]
Meskipun demikian, masing-masing anggota penduduk telah pasti mempunyai kepentingan yang kadang kala sama dan sering pula berlainan. Perbedaan kepentingan tersebut jika dibiarkan lama kelamaan akan menjelma kontradiksi. Pertentangan kepentingan ini selanjumya mampu menyebabkan kesemrawutan dalam masyarakat kalau tidak ada aturan yang mampu menyeimbangkannya. Aturan itu pada mulanya disebut: Kaida (Arab), norma (Latin), norma (Francis), norm (Inggris),[31] atau ugeran (Sunda-Jawa), dan dalam Bahasa Indonesia baku disebut kaidah. Kaprikornus dapatlah dibilang, bahwa apa yang disebut kaidah adalah standar atau ukuran ataupun pedoman untuk berperikelaku atau bersikap tindak dalam hidup.[32]
Seperti sudah diuraikan di atas, dalam sebuah teladan hidup tertentu insan memiliki aneka macam kebutuhan dasar yang menurut Maslow keperluan tersebut mencakup:
a. Food, shelter, and clothing;
b. Safety of self and proferty; .
c. Self-esteem;
d. Self-actualization;
e. Love.[33]
Aturan-hukum itu dibentuk guna menangani kontradiksi kebutuhan dasar tadi, dan masyarakat yang tak inginmengindahkan aturan-hukum tadi bermakna tidak mengamati hak dan kewajiban yang ada pada masyarakat itu.
Apabila titik tolak kita mengacu pada hak dan keharusan, maka hukum yang paling sempurna adalah apa yang dinamakan hukum. Dengan demikian kini kita mengenali bahwa hukum dapat mengendalikan segala kepentingan manusia mulai dari jabang bayi yang masih dalam kandungan ibunya sampai seseorang itu meninggal dunia. Begitu juga halnya, bahwa berdasarkan kuman penyelidikan para sosiolog dan antropolog modern hukum itu ada di mana saja dan kapan saja asal manusia itu bermasyarakat, terlepas apakah masyarakat itu dianggap sudah beradab maupun masih belum beradab. Untuk itulah maka pengertian penduduk , aturan ialah pengertian yang tidak mampu dipisahkan.[34] Pendapat ini sejalan dengan A.H. Post yang menyatakan, “Es gibt kein Volk der Erde, welches nicht die Anfange eines Rechtes besasse”,[35] meskipun hal ini tidak sejalan dengan pendapat N.S. Timasheff yang mengatakan bahwa, “Hukum baru ada bila suatu bangsa telah meraih kebudayaan tertentu, sehingga pada waktu itu masih terdapat sejumlah bangsa primitif yang tidak memedulikan aturan”.[36] Namun Timasheff sendiri ternyata tidak dapat menunjukkan pola, dan pendapatnya ini tidak sejalan dengan adagium Romawi yang disampaikan Cicero (106-43 SM) dalam bukunya De Legibus, “Ubi societas, ibi ius”.[37]
[1]Djoko Soetono dan Achmad Sanusi dalam Moch. Hasan Wargakusumah, dkk., Bahan-materi Perkuliahan (Course Materials) Bagian PIH, (Bandung: Penerbit FH-Unpad, 1976), hlm. 1-2.
[2]Muchtar, H., Dudu Duswara, dan Somad Rossana. Himpunan Kuliah Pengantar llmu Hukum, (Bandung: Universitas Langlangbuana, 1990), hlm. 1. Namun menurut Soebroto Brotodiredjo. Einfuchrung in die Recthwissenschaft-pun berasal dari Enzyklopaedia der Rechtswissemchaft.
[3]Tim, Buku Pedoman Penyelenggara Program Pendidikan, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1991). hlm. 45.
[4]J.B. Daliyo, dkk., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 5.
[5]Achmad Sanusi. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1991), hlm. 5.
[6]Ibid
[7]Op cit. hlm. 136.
[8]Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 11.
[9]Ibid
[10]A. Siti Soetaml. szanmr Tara Huhum Indonesia. (Bandung: Eresco. 1992). hlm. 3.
[11]E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Penerbitan Universitas. 1966). hlm. 75.
[12]Serjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, (Bandung: Alumni, 1981). hlm. 13
[13]J.B. Daliyo, dkk., Op cit. him. 144.
[14]‘Purnadi Purbacaraka, Op cit. him. 11.
[15]L.J. Van Apelodoorn, Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht (Terjemahan Oetarid Sadino), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), him. 13. Lihat juga Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum itu? (Bandung: Remadja Katra, 1985), hlm. 1.
[16]W.L.G. Lemaire. Het Recht in lndonesie. 1955. hlm. 7.
[17]I. Kisch. Rechstwetenschap – Scientia ll, t.t., hlm. 313.
[18]Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ichtiar Batu van Hove, 1982). hlm. 1344. ‘
[19]Encyclopaedie International, (USA: Lexicon Publ. Inc., 1979), p. 409.
[20]Winkler Prins, Encyclopaedie, (Amsterdam: Elsevier, 1952), p. 716.
[21]C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni. 1991), hlm. 39.
[22]Sudiman Kartohadiprodjo, Pangantar Tara Hukum di Indonesia, Jilid 1, (Jakarta: FH-UI, 1956), hlm. 11.
[23]J.P.H. Bellefroid, Inleiding tot de Rechtstenschap in Nederland. 1952, hlm. 1.
[24]Hans Kelsen. General of Law and State, 1949, hlm. 3.
[25]E. Utrecht, Op cit, hlm. 13.
[26]‘Purnadi Purbacaraka, Op cit, hlm. 37.
[27]R.H. Soebroto Brotodiredjo; Catatan Kuliah Perdana PIH, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana, 5 dan 7 Oktober 1995.
[28]Sudiman Kartohadiprojo, Op cit, hlm. 23.
[29]P.J. Bouman. Algemene Maatschappijleer, 1949, hlm. 14.
[30]Sudiman Kartohadiprodjo, Op cit, hlm. 21.
[31]St. Munadjat Danusaputro. Hukum Lingkungan (l: Umum). (Bandung: Penerbit Binacipta, 1981), hlm. 7.
[32]Purnadi Purbacaraka, Op cit, hlm. 14.
[33]A.H. Maslow. Motivation and Personality, (New York: Harpes. 1954). p. 25.
[34]Mochtar Kusumaatmadja. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Binacipta, t. t.) hlm. 3.
[35]A.H. Post, Grundris der Ethnologischen. (Leipzig: Oldenburg, 1895), hlm. 8.
[36]N.S. Timasheff, An Introduction to the Sociolog of Law. (Cambridge, 1939), hlm. 273.
[37]Dudu Duswara Machmuddin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hlm. 11.