Bagi bangsa Indonesia antara kebiasaan (gewoonte) dan etika istiadat adalah tidak sama. Tata hukum yang bersumber pada kebiasaan disebut hukum kebiasaan, sedangkan yang bersumber pada budbahasa istiadat disebut hukum akhlak. Hal ini menurut literatur terdahulu yang menyatakan bahwa orang Indonesia asli tunduk pada adatrecht.[1]
Hukum kebiasaan adalah himpunan kaidah yang bahu-membahu tidak dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat, namun dalam realita ditaati juga. Hal ini disebabkan orang sanggup mendapatkan kaidah tersebut sebagai hukum dan dipertahankan oleh para penguasa yang bukan badan legislatif.
Menurut para ahli hukum terdahulu semoga kebiasaan ditaati dan mampu menjadi aturan kebiasaan, maka harus ada dua komponen yang mesti dipenuhi, adalah pertama bahwa sesuatu perbuatan itu harus tetap dilakukan dan kedua mesti ada iktikad bahwa tindakan itu mesti dikerjakan karena telah ialah sebuah kewajiban (opinio necessitatis). Namun, ada juga yang menilai bahwa kedua bagian di atas masih dirasakan belum cukup, masih ada dua unsur lagi yang harus dipenuhi ialah pengesahan (erkenning) dan penguatan (bekrachtiging) penguasa lain yang tidak tergolong lingkungan pembuat perundang-permintaan.
Menurut macamnya aturan kebiasaan terbagi atas tiga:
(1) Kebiasaan yang mengakibatkan hukum;
(2) Kebiasaan yang menyebabkan berubahnya aturan yang sedang berlaku;
(3) Kebiasaan yang menggugurkan aturan yang berlaku.
Di samping hukum kebiasaan dalam pemahaman lazim, ada juga aturan kebiasaan dalam bidang ketatanegaraan. Hukum kebiasaan dalam bidang ketatanegaraan ini disebut konvensi. Konvensi yakni aturan yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan negara untuk melengkapi, menyempurnakan, membangkitkan, mendinamisasi kaidah hukum perundang-undangan atau aturan adab ketatanegaraan.[2]
Sekarang marilah kita membahas hukum etika. Hukum akhlak adalah bab dari tata aturan Indonesia yang berasal dari adab istiadat. Sedangkan etika istiadat yaitu himpunan kaidah sosial yang sejak usang ada dan merupakan tradisi, yang berencana mengendalikan tata tertib penduduk bumi putera. Dapat dibilang pula aturan adab yaitu etika yang bersanksi. Sanksinya ialah reaksi masyarakat terhadap perbuatan itu. Untuk mengetahui apakah sebuah adab itu merupakan hukum budpekerti atau bukan, kita harus mengetahui berbagai keputusan dari yang berkuasa. Apabila yang berkuasa mempertahankan ditaatinya akhlak yang dimaksud, karena hal itu ialah peraturan tata tertib masyarakat persekutuan hukum budbahasa yang bersangkutan, maka etika fersebut merupakan hukum adab.
Dalam membahas aturan adat ini kita tidak dapat begitu saja mengaabaikan Teori Keputusan (Beslissingenleer) dari Ter Haar. Menurut pedoman ini maka hukum budbahasa itu dengan mengabaikan bab-bagiannya yang tertulis yang berisikan peraturan-peraturan desa, surat-surat perintah raja, ialah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht) serta efek (invloed) dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (impulsif) dan dipatuhi dengan sepenuh hati.[3]
Apabila kita telusuri, ternyata ada perbedaan asal antara aturan kebiasaan dengan hukum akhlak:
(1) Hukum kebiasaan sebagian besar berasal dari akulturasi antara kebudayaan Barat dan Timur yang diresepsi selaku sesuatu yang asli, tetapi belum menjadi tradisi. Sedangkan hukum budpekerti berdasarkan asal usulnya bersifat agak sakral dan berasal dari nenek moyang, agama, serta tradisi rakyat;
(2) Hukum kebiasaan seluruhnya tidak tertulis, sedangkan aturan etika sebagian kecil ada yang tertulis (tercatat).[4]
[1]Kleintjes. Staatsinstellingen van Nederlandsch Indie, II, 1933, hlm. 235.
[2]Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan untuk Fakultas Pascasarjana, (Bandung: Armico, 1987), hlm. 15.
[3]Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983). hlm. l7.
[4]Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 93.