PERAN TOKOH KEBANGKITAN NASIONAL DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA

PERAN TOKOH KEBANGKITAN NASIONAL DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA
1. Wahidin Sudirohusodo
Wahidin Sudirohusodo yakni seorang tokoh pencetus ide lahirnya Budi Utomo 1908. Beliau lahir pada tanggal 7 Januari 1852 di Mlati, Sleman, Yogyakarta & wafat pada tanggal 26 Mei 1917 & dimakamkan di Mlati, Sleman, Yogyakarta. Semasa hidupnya, tahun 1895 bareng rekan-rekannya mendirikan Surat Kabar dua bahasa (Jawa & Melayu) Retno Dumilah di Yogyakarta. Pada tahun 1906 hingga sdengna 1907 giat melaksanakan perjalanan menghimpun Studiefonds (Dana Pendidikan) bagi penduduk pribumi. Setelah berjumpa dgn Sutomo berpadulah ide mereka yg teraktualisasi dgn berdirinya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini risikonya menjadi pioner kepada bangkitnya kesadaran nasional sehingga setiap tanggal 20 Mei diperingati selaku hari kebangkitan nasional hingga sekarang.Wahidin Sudirohusodo beristri seorang perempuan Betawi yg berjulukan Anna. Dari perkawinannya lahirlah dua orang anak. Salah satunya bernama Abdullah Subroto yg kemudian menurunkan Sujono Abdullah & Basuki Abdullah (keduanya pelukis).
Sebagai akhir politik etis yg didalamnya terkandung usaha mengembangkan pengajaran maka pada dekade pertama abad XX bagi anak-anak Indonesia masih mengalami kendala kehabisan dana belajar. Keadaan yg demikian mengakibatkan keprihatinan dr. Wahidin Sudirohusodo untuk mampu menghimpun dana itu maka pada tahun 1906-1907 melakukan propraganda keliling Jawa. Perjalanan keliling Jawa ini dilakukan dlm rangka mengusulkan perlunya perluasan pengajaran sebagai salah satu langkah untuk meningkatkan kehidupan rakyat. Anjurannya itu dapat terealisasi tak cuma bergantung pada pemerintah Hindia Belanda, tetapi pula dapat terealisasinjika bangsa Indonesia pula mau berusaha sendiri dgn cara membentuk studiefonds atau dana pelajar yg hasilnya akan digunakan untuk membantu para pelajar yg cerdas tetapi kurang bisa untuk dlm hal ongkos. Dalam tperjalanan kelilingnya itu karenanya pada tahun 1907 hingga di Jakarta & berjumpa dgn para pelajar Stovia (Sekolah Dokter Pribumi). Disitulah Wahidin berjumpa dgn perjaka Sutomo & berbincang-bincang tentang nasib rakyat yg masih kurang mendapat perhatian di bidang pendidikan. Sejak itu rupanya berkembang pemikiran dlm diri Sutomo untuk melanjutkan cita-cita Wahidin Sudirohusodo. Dari sinilah muncul pemikiran untuk mendirikan suatu organisasi.
Dr Wahidin Sudirohusodo adalah salah satu pelopor pergerakan nasional, pendiri organisasi Boedi Utomo dan tokoh yg memberi wangsit kepada usaha kemerdekaan Indonesia. Gagasan penting yg mewarnai usaha pergerakan nasional yakni berinisiatif organisasi yg bermaksud mengembangkan pendidikan & meninggikan martabat bangsa. Diantara itu, ia pula mengemukakan pemikiran perihal strategi usaha kemerdekaan yaitu dgn mencerdaskan kehidupan masyarakat lewat pendidikan, mengabdikan pengetahuannya sebagai dokter yg menawarkan layanan kesehatan dengan-cara gratis pada masyarakat & memperluas pendidikan & pengajaran & memupuk kesadaran kebangsaan.
2. Dr. Sutomo
Dokter Sutomo yg semula berjulukan Subroto kemudian berganti nama menjadi Sutomo lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, pada tangggal 30 Juli 1888. Pada waktu belajar di Stovia (Sekolah Dokter) ia sering bertukar pikiran dgn pelajar-pelajar laintentang penderitaan rakyat balasan penjajahan Belanda. Terkesan oleh nasehat dr. Wahidin untuk mengembangkan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa  dr penjajahan, pada tanggal 20 Mei 1908 para pelajar STOVIA mendirikan Budi Utomo, organisasi terbaru pertama yg lahir di Indonesia. Sutomo diangkat menjadi ketuanya. Tujuan organisasi itu ialah mengembangkan pengajaran & kebudayaan.
Setelah lulus dr Stovia tahun 1911, Sutomo bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang, sehabis itu ia dipindahkan ke Tuban. Dari Tuban dipindahkan ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) & akhirnya ke Malang. Waktu bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yg melanda tempat Magetan. Sering berpindah tempat itu ternyata membawa manfaat. Ia bertambah banyak mengetahui kesengsaraan rakyat & dengan-cara langsung dapat membantu mereka. Sebagai dokter, Sutomo tak menetapkan tarif. Adakalanya si pasien dibebaskan dr pembayaran.
Kesempatan memperdalam wawasan di negeri Belanda diperoleh dr. Sutomo pada tahun 1919. Setibanya kembali di tanah air, ia melihat kekurangan yg ada pada Budi Utomo. Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, diusahakannya biar Budi Utomo bergerak dibidang politik & keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.
Pada tahun 1924 Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yg merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi, & sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinan Sutomo PBI cepat berkembang. Sementara itu, tekanan-tekanan dr pemerintah Belanda terhadap pergerakan nasional makin keras. Karena itu, pada bulan Desember 1935 Budi Utomo & PBI digabungkan menjadi satu dgn nama Partai Indonesia Raya (Parindra). Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk meraih Indonesia merdeka.
Selain bergerak di bidang politik & kedokteran, dr. Sutomo ulet pula di bidang kewartawanan & memimpin beberapa buah surat kabar. Ia meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938 & dimakamkan disana. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember 1961, ia diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
3. HOS Cokroaminoto
Nama lengkap beliau yakni Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S Cokroaminotolahir di Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882 & meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto yakni anak kedua dr 12 bersaudara dr ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada dikala itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah pula menjabat selaku bupati Ponorogo. Sebagai salah satu penggerak pergerakan nasional, ia mempunyai beberapa murid yg berikutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yakni Musso yg sosialis/komunis, Soekarno yg nasionalis, & Kartosuwiryo yg agamis. Namun ketiga muridnya itu saling bertikai. Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dgn organisasi Sarekat Islam.
Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dgn kebijakan-kebijakannya yg tegas namun bersahaja. Kemampuannya berjualan menjadikannya seorang guru yg disegani lantaran mengenali tatakrama dgn budaya yg beragam. Pergerakan SI yg pada mulanya sebagai bentuk protes atas para pedagang aneh yg tergabung selaku Sarekat Dagang Islam yg oleh HOS dianggap selaku organisasi yg terlalu mementingkan jual beli tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik. Dan pada karenanya tahun 1912 SID bermetamorfosis Sarekat Islam.

Seiring perjalanannya, SI digiring menjadi partai politik sesudah memperoleh status Badan Hukum pada 10 September 1912 oleh pemerintah yg saat itu diatur oleh Gubernur Jenderal Idenburg. SI kemudian berkembang menjadi parpol dgn keanggotaan yg tak terbatas pada pedagang & rakyat Jawa-Madura saja. Kesuksesan SI ini menjadikannya salah satu pelopor partai Islam yg berhasil dikala itu.

Perpecahan SI menjadi dua kubu karena masuknya infiltrasi komunisme memaksa HOS Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati kala itu. Ia bersama rekan-rekannya yg masih percaya bersatu dlm kubu SI Putih bertentangan dgn Semaun yg berhasil membujuk tokoh-tokoh cowok saat itu mirip Alimin, Tan Malaka, & Darsono dlm kubu SI Merah. Namun bagaimanapun, kewibaan HOS Cokroaminoto justru diperlukan selaku penengah di antara kedua pecahan SI tersebut, mengingat ia masih dianggap guru oleh Semaun. Singkat kisah jurang antara SI Merah & SI Putih semakin lebar saat muncul pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yg menentang Pan-Islamisme (apa yg senantiasa menjadi aliran HOS & rekan-rekannya). Hal ini mendorong Muhammadiyah pada Kongres Maret 1921 di Yogyakarta untuk mendesak SI semoga secepatnya melepas SI merah & Semaun lantaran memang sudah berbeda aliran dgn Sarekat Islam. Akhirnya Semaun & Darsono dikeluarkan dr SI & kemudian pada 1929 SI diusung selaku Partai Sarikat Islam Indonesia hingga menjadi akseptor pemilu pertama pada 1950.
HOS Cokroaminoto hingga saat ini balasannya dikenal sebagai salah satu satria pergenakan nasional yg berbasiskan perdagangan, agama, & politik nasionalis. Kata-kata mutiaranya mirip “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pandai siasat” akibatnya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yg patriotik, & ia menjadi salah satu tokoh yg berhasil pertanda besarnya kekuatan politik & perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember 1934 pada usia 52 tahun.
4. Douwes Dekker
Douwes Dekker terlahir dr keluarga yg berada. ayahnya bernama Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker yg melakukan pekerjaan sebagai distributor di sebuah bank terkemuka yg berjulukan Nederlandsch Indisch Escomptobank. Kemudian Ibunya berjulukan Louisa Neumann, orang Belanda yg mempunyai darah keturunan Indonesia.
Douwes Dekker diketahui mempunyai kerabat berjumlah tiga orang. Pendidikan Douwes Dekker pertama kali dimulai kota Pasuruan. Tamat dr sana, ia kemudian masuk di HBS di Surabaya, tetapi tak lama disana, orang tuanya kemudian memindahkannya ke sekolah elit di Batavia yg bernama Gymnasium Koning Willem III School. Selepas lulus dr sana, ia kemudian diterima melakukan pekerjaan di kebun kopi di wilayah Malang, Jawa Timur. Disini, ia kemudian menyaksikan bagaimana perlakuan semena-mena yg dialami oleh para pekerja pribumi di kebun kopi tersebut. 
Tindakan semena-mena tersebut menciptakan Douwes Dekker kemudian biasa membela para pekerja kebun tersebut yg menciptakan ia cenderung dimusuhi oleh para pengawas kebun yg lain. Hingga menciptakan ia kemudian berkonflik dgn managernya yg pada karenanya Douwes Dekker kemudian dipindahkan ke perkebunan Tebu tetapi ia kemudian tak lama melakukan pekerjaan disana alasannya ia kembali berkonflik perusahaannya karena persoalan pembagian irigasi antara perkebunan tebu & para petani padi diwilayah tersebut yg pada kesannya menciptakan ia dipecat dr pekerjaannya. 
Setelah dipecat & menjadi seorang pengangguran, ibunya Louisa Neumann kemudian meninggal & menimbulkan Douwes Dekker kemudian depresi. Ia kemudian meninggalkan Hindia Belanda & kemudian ke Afrika Selatan menerima usulan pemerintah kolonial Belanda untuk ikut berperang dlm perang Boer melawan Inggris pada tahun 1899 & Di Afrika Selatan, ia bahkan sempat menjadi warga negara disana & membuat saudaranya yg lain menyusulnya kesana. 
Di Indonesia, Douwes Dekker kemudian kembali aktif di dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya kemudian banyak menyindir kaum kolonial. Di ketika itu juga, Douwes Dekker kemudian mendirikan partai gres penerus Indische Partij yg bernama Nationaal Indische Partij namun partai tersebut tak mendapat izin dr pemerintahan kolonial Belanda.
Di tahun 1919, Douwes Dekker dituduh terlibat dlm kejadian kerusuhan petani perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Namun di pengadilan, ia kemudian dibebaskan lantaran tak terbukti bersalah.
Namun tuduhan baru kemudian menimpanya, Ia dituduh menulis hasutan & melindungi seorang redaktur surat kabar yg menulis komentar tajam terhadap pemerintah kolonial Belanda tetapi setelah di pengadilan kemudian dinyatakan tak bersalah & dibebaskan dr segala tuduhan. Di tahun yg sama juga, ia menentukan bercerai dgn istrinya yakni Clara Charlotte Deije.
Larangan mengajar membuat Douwes Dekker kemudian bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Batavia (Jakarta). Disini, ia kemudian dekat dgn Mohammad Husni Thamrin. Serangan Jerman ke Eropa membuat banyak orang-orang Eropa yg ditangkap termasuk Douwes Dekker yg dituduh selaku Komunis.
Douwes Dekker kemudian dibuang ke Suriname di tahun 1941 yg pula menyebabkan ia kemudian berpisah dgn istrinya Johanna Petronella Mossel yg menentukan untuk menikah lagi dgn seorang pribumi berjulukan Djafar Kartodiredjo. Di Suriname, Douwes Dekker tinggal di kamp ‘Jodensavanne’ yg sempat menjadi kamp orang Yahudi. Di kamp tersebut, kehidupan Douwes Dekker sungguh memprihatikan bahkan tatkala ia berumur 60 tahun, ia sempat kehilangan penglihatan & hidupnya sungguh frustasi.
Usainya perang dunia II, membuat Douwes Dekker kemudian diantarke Belanda tahun 1946. Disana ia bertemu dgn seorang perawat berjulukan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yg kemudian menemaninya ke Indonesia & tiba pada tanggal 2 januari 1947 di Yogyakarta & sempat merubah namanya untuk menghindari intelijen. Di tahun ittu pula ia menikah dgn Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yg kemudian diketahui dgn nama Haroemi Wanasita sesudah mengetahui bahwa istrinya sebelumnya sudah menikah lagi.
Setelah Indonesia memberitahukan kemerdekaan, Douwes Dekker kemudian mengisi posisi penting selaku menteri negara di kabinet Sjahrir III walaupun hanya 9 bulan saja. Douwes Dekker pula sempat menjadi delegasi perundingan dgn Belanda & pengajar di Akademi Ilmu Politik  dan kepala seksi penulisan sejarah yg berada dibawah Kementrian Penerangan tatkala itu. Pada tanggal 28 agustus 1950, Douwes Dekker kesudahannya menghembuskan nafas terakhirnya, tetapi di batu nisan makamnya tertulis ia wafat pada tanggal 29 agustus 1950. Beliau kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
5. Dr. Cipto Mangunkusumo
Cipto Mangunkusumo dilahirkan di Desa Pecagakan, Jepara. Ia ialah putera tertua & Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dlm struktur masyarakat Jawa yg bekerja sebagai guru. Meskipun demikian, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yg tinggi. Tatkala menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto dinilai sebagai pribadi yg jujur, berpikiran tajam, & bersungguh-sungguh. Para guru menjuluki Cipto selaku “een begaald leerling” atau murid yg berbakat. Cipto pula dgn tegas memperlihatkan sikapnya. Ia menciptakan tulisan-goresan pena pedas mengkritik Belanda di harian De locomotive & Bataviaasch Nieuwsblad semenjak tahun 1907. Setelah lulus dari STOVIA, beliau bekerja selaku dokter pemerintah kolonial Belanda yg diperintahkan di Demak. Sikapnya yg tetap kritis melalui aneka macam tulisan membuatnya kehilangan pekerjaan.
Cipto Mangunkusumo menyambut baik kedatangan Budi Utomo sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Ia menginginkan Budi Utomo selaku organisasi politik yg mesti bergerak dengan-cara demokratis & terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Hal ini menjadikan perbedaan antara dirinya & pengurus Budi Utomo lainnya. Cipto Mangunkusumo kemudian mengundurkan diri & membuka praktek dokter di Solo, ia pun mendirikan R.A. Kartini Klub yg bertujuan memperbaiki nasib rakyat.
Ia kemudian berjumpa Douwes Dekker & bersama Suwardi Suryaningrat mereka mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Cipto selanjutnya pindah ke Bandung & aktif menulis di harian De Express. Menjelang peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda & Perancis, Cipto Mangunkusumo & Suwardi mendirikan Komite Bumiputera selaku reaksi atas rencana Belanda merayakannya di Indonesia.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, tatkala harian De Express mempublikasikan artikel Suwardi Suryaningrat yg berjudul “Ais ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Cipto kemudian menulis artikel yg mendukung Suwardi keesokan harinya. Akibatnya, 30 Juli 1913 Cipto Mangunkusumo & Suwardi dipenjara. Melihat kedua rekannya dipenjara, Douwes Dekker menulis artikel di De Express yg menyatakan bahwa keduanya yakni pahlawan. Pada 18 Agustus 1913, Cipto Mangunkusumo bareng Suwardi Suryaningrat & Douwes Dekker dibuang ke Belanda.
Selama di Belanda, kedatangan mereka membawa perubahan besar terhadap Indische Vereeniging, suatu organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yg semula bersifat social menjadi lebih politis. Konsep Hindia bebas dr Belanda & pembentukan suatu negara Hindia yg diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo diperbolehkan pulang kembali ke Jawa & sejak ketika itu ia bergabung dgn Insulinde. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengganti nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Pada tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Cipto Mangunkusumo terpilih sebagai salah satu anggota oleh gubernur jenderal Hindia Belanda mewakili tokoh yg kritis. Sebagai anggota Volksraad, perilaku  Cipto Mangunkusumo tak berubah. Melihat realita itu, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 mengusir Cipto Mangunkusumo ke luar Jawa. Cipto kemudian dibuang lagi ke Bandung & dikenakan tahanan kota. Selama tinggal di Bandung, Cipto Mangunkusumo kembali membuka praktek dokter dgn bersepeda ke kampung-kampung. Di Bandung pula CiptoMangunkusumo bertemu dgn kaum nasionalis yg lebih muda, mirip Sukarno yg pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tak menjadi anggota resmi dlm Algemeene Studie Club & PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda, tergolong oleh Sukarno.
Pada tahun 1927, Belanda Menganggap Cipto Mangunkusumo terlibat dlm upaya sabotase sehingga membuangnya ke Banda Neira. Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Tatkala Cipto Mangunkusumo diminta untuk menandatangani suatu kesepakatanbahwa ia mampu pulang ke Jawa untuk berobat dgn melepaskan hak politiknya, Cipto dengan-cara tegas menyampaikan bahwa lebih baik mati di Banda. Cipto kemudian dipindahkan ke Makasar, kemudian ke Sukabumi pada tahun 1940. Udara Sukabumi yg cuek Ternyata tak baik bagi kesehatan ia sehingga dipindahkan lagi ke Jakarta hingga Dokter Cipto Mangunkusumo wafat pada 8 Maret 1943.
6. Suwardi Suryaningrat
Tokoh berikut ini dikenal selaku penggerak pendidikan untuk masyarakat pribumi di Indonesia tatkala masih dlm masa penjajahan Kolonial Belanda. Beliau merupakan tokoh pendidikan indonesia & pula seorang hero Indonesia.  Beliau sendiri lahir di Kota Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889, Hari kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia selaku Hari Pendidikan Nasional. Beliau sendiri terlahir dr keluarga Bangsawan, ia merupakan anak dr GPH Soerjaningrat, yg merupakan cucu dr Pakualam III. Terlahir sebagai ningrat maka beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para kaum aristokrat. Beliau pula mempunyai nama lain yg terkenal yakni Ki Hajar Dewantara

Mulai Bersekolah & Menjadi Wartawan
Ia pertama kali bersekolah di ELS yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa/Belanda & pula kaum bangsawan. Selepas dr ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yakni sekolah yg dibentuk untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda, yg kini diketahui selaku fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun bersekolah di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara tak sampai tamat karena ia menderita sakit tatkala itu.
Ki Hadjar Dewantara condong lebih tertarik dlm dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal ini dibuktikan dgn melakukan pekerjaan sebagai wartawan dibeberapa surat kabar pada masa itu, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, & Poesara. Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam merefleksikan semangat anti kolonial. Seperti yg ia tuliskan berikut ini dlm surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker :

Masuk Organisasi Budi Utomo

Berdirinya organisasi Budi Utomo selaku organisasi sosial & politik kemudian mendorong Ki Hadjar Dewantara untuk bergabung didalamnya, Di Budi Utomo ia berperan sebagai propaganda dlm menyadarkan masyarakat pribumi ihwal pentingnya semangat kebersamaan & persatuan sebagai bangsa Indonesia. Munculnya Douwes Dekker yg kemudian mengajak Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan organisasi yg berjulukan Indische Partij yang terkenal.
Di pengasingannya di Belanda kemudian Ki Hadjar Dewantara mulai bercita-bercita untuk meningkatkan kaumnya yakni kaum pribumi. ia berhasil menemukan ijazah pendidikan yg diketahui dgn nama Europeesche Akte atau Ijazah pendidikan yg bergengsi di belanda. Ijazah inilah yg menolong dia untuk mendirikan forum-lembaga pendidikan yg akan ia buat di Indonesia.
Di Belanda pula ia memperoleh pengaruh dlm mengembangkan metode pendidikannya sendiri.
Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara kemudian mempersunting seorang wanita keturunan ningrat yg bernama Raden Ajeng Sutartinah yg merupakan putri paku alaman, Yogyakarta.
Dari pernikahannya dgn R.A Sutartinah, Ki Hadjar Dewantara kemudian dikaruniai dua orang anak berjulukan Ni Sutapi Asti & Ki Subroto Haryomataram. Selama di pengasingannya, istrinya senantiasa mendampingi & menolong segala aktivitas suaminya utamanya dlm hal pendidikan.

  Caption Dp Bbm Mancing Mania Keren, Gokil Dan Lucu


Kembali Ke Indonesia & Mendirikan Taman Siswa

Kemudian pada tahun 1919, ia kembali ke Indonesia & langsung bergabung selaku guru di sekolah yg didirikan oleh saudaranya. Pengalaman mengajar yg ia terima di sekolah tersebut kemudian digunakannya untuk membuat sebuah rancangan gres mengenai metode pengajaran pada sekolah yg ia dirikan sendiri pada tanggal 3 Juli 1922, sekolah tersebut berjulukan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa yg kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa.
Di usianya yg menanjak umur 40 tahun, tokoh yg diketahui dgn nama orisinil Raden Mas Soewardi Soerjaningrat resmi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, hal ini ia maksudkan biar ia mampu dekat dgn rakyat pribumi tatkala itu. 

Semboyan Ki Hadjar Dewantara

Ia pun pula membuat semboyan yg terkenal yg sampai kini digunakan dlm dunia pendidikan Indonesia yakni :
·                     Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi acuan).
·                     Ing madyo mangun karso, (di tengah memberi semangat).
·                     Tut Wuri Handayani, (di belakang memberi dorongan).

Beliau dianugerahi gelar selaku Bapak Pendidikan Nasional & pula sebagai Pahlawan Nasional oleh presiden Soekarno tatkala itu atas jasa-jasanya dlm merintis pendidikan bangsa Indonesia. Selain itu, pemerintah pula menetapkan tanggal kelahiran dia yakni tanggal 2 Mei diperingati setiap tahun selaku Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara Wafat pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta & dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Wajah beliau diabadikan pemerintah kedalam uang pecahan sebesar 20.000 rupiah.