close

5 Contoh Puisi Saini K.M.

Saini K.M. & Contoh Karyanya – Siapakah Saini K.M. itu? Saini K.M. merupakan sastrawan yg dilahirkan di Sumedang pada tanggal 16 Juni 1938. Ia menyelesaikan pendidikan di Jurusan Bahasa & Sastra Inggris IKIP Bandung.

Perhatiannya terhadap sastra & teater sudah berkembang sebelum ia memasuki perguruan tinggi. Latar belakang itulah yg kemudian mendorongnya mengambil prakarsa untuk mendirikan Jurusan Teater di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung. Disamping menjadi pengajar tetap di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Saini K.M. pula melaksanakan aktivitas di bidang kesenian, terutama di bidang sastra & teater. Di bidang sastra ia aktif menulis esai & puisi. Tiga buah buku puisinya yg sudah diterbitkan yakni Nyanyian Tanah Air (Mimbar Demokrasi Press, 1969), Rumah Cermin (Sargani & Co., 1979), & Sepuluh Orang Utusan (PT Granesia, 1989). Kumpulan esai sastranya yg diterbitkan ialah Protes Sosial dlm Sastra (Angkasa, 1983).

Bersama Jakob Sumardjo, Saini K.M. menulis buku Apresiasi Kesusastraan (Gramedia, 1986) & Antologi Apresiasi Kesusastraan (Gramedia, 1986) untuk siswa sekolah menengah lanjutan atas. Selain itu, ia pula menulis buku untuk belum dewasa, yaitu Cerita Rakyat Jawa Barat (Grasindo, 1993). Pada tahun 1960—1994 Saini menjadi pengasuh kolom puisi harian lazim Pikiran Rakyat. Berbagai tulisan kritisnya tentang puisi karya penyair muda yg dimuat harian Pikiran Rakyat diterbitkan dlm bentuk buku dgn judul Puisi & Beberapa Masalahnya (Penerbit ITB, 1993). Berkat kegiatannya yg tak pernah lelah dlm mengasuh para penyair dewasa, Saini mendapat Anugerah Sastra dr Yayasan Forum Sastra Bandung pada tahun 1995.



BENDERA DARAH DAN AIR MATA KAMI


Telah kami pertahankan bagimu suatu ruang di langit
Berkibarlah s’kemudian ! lambailah angkatan-angkatan yg akan datang
dari ufuk sejarah. Biarlah mereka tengadah padamu senantiasa
Bawah hujan darah, bawah taufan api !

  Kumpulan Puisi Wacana Hari Lahir Pancasila Yang Singkat Dan Menyentuh Hati

Kami yg datang hari ini & yg bernaung di kakimu
sudah jauh berjalan, melangkahi mayat sanak sendiri
Kami yg sekarang tegak beradu pundak di sini, yakni akan kebesaran
semangat kami yg dilambangkan oleh kedua warnamu.

Bendera darah & air mata kami, berkibarlah, berkibarlah !
Kami masing-masing tak mampu memberi lebih dr pada satu nyawa
dan tangan-tangan yg akan jadi kaku selagi memegang tiangmu
sepasang tangan di antara berjuta, yg tiba & yg pergi.


(1968)

NYANYIAN TANAH AIR 

Gunung-gunung perkasa, lembah-lembah yg akan tinggal menganga 

dalam hatiku. Tanah Airku, saya mengembara dlm bus dlm kereta
api yg bernyanyi. Tak habis-habisnya keinginan menyanjung & memuja
engkau dlm laguku. 

Bumi yg tahan dlm derita, sukmaku tinggal terpendam bawah puing-
puing, bawah darah kering di luka, pada denyut daging muda
Damaikan kiranya anak-anakmu yg dendam & sakit hati,
ya Ibu yg parah dlm duka kasihku !

Kutatap setiap mata di stasiun, pada jendela-jendela terbuka kucari fajar
semangat yg pijar bernyala-nyala
surya esok hari, matahari sawah & sungai kami
di langit yg bebas terbuka, langit burung-burung merpati.

PADA SUATU HARI


Arif tertembak mati. Kata seorang mahasiswa pada kawannya,
di Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya, pada suatu hari.
Udara tiba-tiba jadi panas mendidih, alasannya adalah beribu mata menyorotkan api
Belatipun menggeliat-geliat, gusar dlm sarungnya.

Arif tertembak mati, kata sejuta orang pada sejuta temannya,
kemudian mereka tundukkan kepala, menghadap ke arah ibukota
di mana seorang pahlawan belia dibaringkan di pangkuan Pertiwi
berdampingan dgn tirani, yg terkubur tanpa diketahui.

Arif tertembak mati, teriak seratus juta tenggorok lagi
di kantor-kantor, di sawah-sawah, di langit & di tambang dlm bumi
Dengan khidmat seorang guru menandai angka 66 dgn pinsil : Merah
Murid-muridnya membuka halaman baru catatan sejarah : Putih


(1966)

  Puisi Rakyat Tradisional Hidup Senang Sepanjang Masa

SURAT BERTANGGAL 17 AGUSTUS 1946


Kami sambut fajar kami dgn cara tersendiri
Tenggorok perunggu serak menghujat-maki angkasa hitam
yang gemetar atas bumi karat dang rongsokan
tempat tulang-tulang kurun lampau rapuh oleh asin air mata.

hari ini perjaka-perjaka mengubah hati mereka dgn baja
Agar bisa tidur berbantal batu & berselimut angin
Sedang bagi gadis-gadis kami hadiahkan mawar api
Kembang di ujung senapan, anyir mesiu alangkah wangi !

Dengarlah ! Lidah-pengecap api mengundang di malam sepi, berdetam, berdesing
kami pun keluar, membajak Tanah Ari dgn sangkur telanjang
Menyiramnya dgn darah, memupuknya dgn cuilan daging,
karena langit cuma menghunjamkan api & besi, api & besi.


(1965)

TIDURLAH PAHLAWAN 
Melepas : Julius Usman

Akhirnya. Akhirnya untaian bunga yg berserak layu di kuburan 
rekah kembali di dlm kalbu. Semoga terhunjam akarnya
walau jiwa bangsa kami sudah membatu; gampang-mudahan setia
kami menyirami. Dengan darah kalau kembali perlu.

Ketika iringan mayat diusung dr kota ke kota
gemetarlah gempa bumi derap berjuta kaki
dari suatu pasukan yg berdiri tanpa panglima
tanpa perintah, selain bisik nurani

Tuhanku, kami persembahkan hidup kerabat-saudara kami
yang suci & muda belia ini, selaku tumbal negeri.
Sembuhkan kami dr kepengecutan, sikap budak & penjilat
Tulis sejarah kami dgn sejuta nama jagoan lagi. Amin


(1966)