close

10 Contoh Puisi Oka Rusmini

Oka Rusmini & Contoh Puisinya –  Siapakah Oka Rusmini? Sosok sastrawan yg mengusung fatwa feminisme ini lahir di Jakarta, 11 Juli 1967. Saat ini Oka tinggal di Denpasar, Bali. Ia menulis puisi, dongeng pendek, novel, drama & dongeng anak. Antologi yg memuat karyanya, antara lain, Doa Bali Tercinta (1983), Rindu Anak Mendulang Kasih (1987), Bali Behind The Seen (Australia, 1996), Utan Kayu: Tafsir dlm Permainan (1998), Menagerie 4 (2000), Bali: The Morning After (Australia, 2000), Bali Living in Two Worlds (Basel, 2000). Karya-karyanya banyak memperoleh penghargaan. Cerita pendeknya, “Putu Menolong Tuhan”, terpilih selaku cerpen terbaik Majalah Femina 1994. Noveletnya, Sagra, memenangi kisah bersambung terbaik Majalah Femina 1998. Cerita pendeknya, “Pemahat Abad”, terpilih sebagai cerpen terbaik 1990-2000 majalah sastra Horison.

Pada tahun 2002 ia menerima penghargaan puisi terbaik Jurnal Puisi. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia memilihnya sebagai “Penerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003” atas novelnya, Tarian Bumi.

Ia pula sering diundang dlm banyak sekali forum sastra nasional & internasional. Di antaranya mengikuti “Mimbar Penyair Abad 21” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (1996); mewakili Indonesia dlm writing acara penulis ASEAN (1997); tampil dlm Festival Puisi Internasional di Surakarta (2002), Festival Puisi Internasional di Denpasar, Bali (2003) serta Festival Sastra Winternachten di Den Haag & Amsterdam, Belanda, sekaligus hadir sebagai penulis tamu di Universitas Hamburg, Jerman 92003). Buku puisi, novel & kumpulan kisah pendeknya yg telah terbit: Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003) & Patiwangi (2003).

peristiwa: 14-05-1995

suatu pintu kubuka dgn darah.
harapan-keinginan pecah di genggam tangan
berharap sepotong daging
menambal lubang yg tekun dicangkul
seorang perempuan yg pernah memintaku jadi anaknya.
sebuah pintu kubuka dgn luka
”jangan mendekat. bara di tanganku akan membakarmu”
namun gue tidak memiliki sungai tak pula maritim.
sajak kau muntahkan untuk seorang perempuan.
suatu pintu kututup.
mata lelaki itu datang padaku.
Berpuluh-puluh tahun ia sembunyikan rahasia kami
”kau miliki permainan itu.
Jangan mendekat.
Perahu layar.
Laut yg kuuntai.
Huruf-karakter yg kusebar dipejam matamu”

Sebuah jendela kubuka
(sarat belatung.
Bangkai insan.
sepotong kepala anjing.
lendir wanita)

1999


ZIARAH
:mg


engkau berkembang menjadi kuda dgn dua kaki patah. Anak lelaki yg kau tanam dlm lautan darahmu, memasuki seluruh lubang pori-porimu. Kau biarkan tubuhmu terbuka, bahkan tatkala ia minta igamu. Kau berkata:

  5 Contoh Puisi Hujan Pilihan

”petikkan api di pohon. Siapkan ranting, air suci, & kelopak teratai. Bingkai wajahku dgn daun sirih. Juga ilalang panjang yg menutupi daging linggaku. Makanlah tanah-tanah yg kucangkul dr tubuhku. Anakku perempuan tak ahli memanggul badan. Serakkan tulangku dipasir” kamu-sekalian bermetamorfosis rajawali dgn satu sayap. Mendarat dirambutku. Kau makan otakku. Seorang wanita kau titipkan. Tubuhnya penuh ulat, mulutnya bengkak. ia siram hatiku dgn belatung. kemana anak lelakimu? katamu; ”anak lelakiku telah menghabiskan seluruh tanahku. tanpa paras , ia larutkan tubuhku di api. setiap detik uratku diperas. Kepalanya tombong, tubuhnya beringin tua” kamu-sekalian meletus. meninggalkan sepotong wanita dgn dua tunas kecil di rahimnya.

Tak ada sesaji api aben tubuhmu. Lelakimu sudah mengunyah tanahmu. Menanamnya di tubuh anak-anaknya. Aku terus mencairkan wujudmu, bersama perempuan gue menjilati butir tanah yg kami pijak.

1999


DI DEPAN MEJA RIAS


sebatang lipstik mendekat. Aromanya liar.

dengan pintar dilumatnya bibirku.

dia meneteskan:

arak, kekentalan susu, & aroma asin gue melihat topeng menari-nari melalui mataku (seorang pria mendekat) Kau perlukan segenggam bedak.

kurebut kucairkan di wajahku gue mulai mengurai butir-butir itu menutupi lubang pori-pori wajahnya.

Pori-pori itu diam, menikmati kehangatannya Sebatang pensil alis mengangkat dirinya tinggi-tinggi.

Dia pandai memainkan abjad-abjad di atas mataku ia mulai melukis & membuat huruf baru katanya: aksara ini hanya milik wanita (seorang pria mendekat) ia kagumi keliaran warna-warna yg menempel.

aku mulai menggeliat, agak panas.

benda-benda itu terus menahanku.

aku berloncatan, mengurai diriku.

hati-hati kubakar wajahku.

(laki-laki itu menjauh)


Denpasar, Januari 1997





kunikahi kelahiranmu. Kita memang sudah berjanji, tatkala kekasih kita masih darah menggumpal yg mengganjal badan wanita dgn tulang-tulang besar, lemak busuk menutupimu.

“ke mana orang-orang itu? Tatkala kekasih kita mendekat mereka berlarian,
Mengusung sejarah & mitos. Anak-anak mereka dimandikan cahaya.
Kenapa warnanya hitam? Bukankah kakek mereka delegasi Tuhan?”

kekasih kita datang. Kau mulai merekatkan pori-pori, & menutup masa silam. Kautenggelamkan kuncinya di cairan otakmu.

“Dendamkah yg mencair di rongga tubuhku? Wajah-wajah penuh taring mengunci pintuku, tubuhku pecah menjelma pisau, & keris sarat racun menjilati kulit, membunuh mahkota pendetanya”

Kekasih kita datang, dgn mata besar. Tatkala sakit tak dirasakannya darah & tulangnya patah. Besikah tulangnya? Emaskah matanya? Aku ingin menanam hutan-hutan & jurang di tubuhnya. Apa yg kau tanam untuknya?

  Jagalah Kehormatan Insan

Akan kurakit sampah badan para pendeta. kutancapkan pandan berduri di gentanya. Kulayarkan menyeberangi tubuh lelaki pengasah panah. Tahukah kau, panah itu jadi bengkak busuk. Aku tekun memeras lukanya & membasuhkan wajahku. Cantikkah saya? Dengan ular-ular yg siap menelan kepala pendetanya. Aku akan menelan, mengunyahnya dgn halus, lalu menyusupkan di sumsum tulang kekasih kita”

kita akan menikahinya dgn beratus upacara & sesaji. Mungkin Tuhan lapar & menanti kita.

“saat upacara dimulai tak ada lelaki tiba. Aku menelan bisul busuk yg berlayar dlm darah. Kelak kubakar bareng lelaki milik Bapak”


1999



KEPOMPONG
(14-5-1999)


Tahun-tahun mengering, air mata, masa kemudian.
Dan tumpukan kebusukan-kebusukan menanam rohnya di tubuhku.
aku rajin merangkainya,
kukalungkan di kepala
tapi mana hatiku?
Seorang wanita dgn mulutnya bersungguh-sungguh menerkam tubuhku
saya mulai menyusun sajian
kusantap tubuhku (di sebuah meja makan)
kuteguk air mataku
seorang wanita tiba
pedang di matanya.
Seratus prajurit di mulutnya (beliau minta kakiku)
saya mulai pintar menanak hati,
juga jantung dgn sop darah yg kuisap dr permainan ini
trotoar kuimpikan jadi kubur
orang-orang akan tiba tanpa jari
mereka akan lumat tubuhku
seperti perempuan yg meminta tubuhku pula
keringat yg kusulam jadi kertas
seorang lelaki, atau seorang perempuan yg menanamku
mulai menanam insan baru
tak ada lagi wajahku,
mereka menari sendiri
dengan anak-anak yg pandai melepaskan busur ke jantungku.

Lelaki itu cuma mampu diam.
Dia ikut memakan tubuhku.
Orang-orang datang & memakiku.

”Sebuah pementasan kau mainkan lagi”
mereka menyulam darahku di atas watu.

1999




LELAKI TUA DAN 6 PERI


Anjing-anjing buas telah melahap daging-daging merah
orang-orang tak lagi mampu menanam padi
melarutkan bawah umur ikan di laut
pabrik-pabrik menciutkan nafasnya
orang-orang berlari ke luar
tak ada lagi mesin-mesin duit yg menunggu
anak-anak menjerit perutnya menggelembung,
wanita-wanita mulai memasarkan badan untuk susu
orang-orang mulai tega melahap temannya untuk sepiring nasi satu potong daging lelaki tua itu mengirim pengganjal perut yg dikemas kertas coklat
”aku peduli rakyatku”

Esok pagi tatkala matahari membuka matanya
orang-orang itu tak lagi melihat kertas coklat itu
(suatu kepompong terbuka namun bukan kupu-kupu)
mereka menenteng spanduk, berteriak & menggiring
orang-orang tak puas memaksa mengaitkan nurani
satu demi satu kepompong dirajam
(lelaki renta itu membuka sayapnya, terbang)

Kali ini mereka menjadi peri
darahnya menjadi api membakar kota-kota,
menelan gedung-gedung & peluru
orang-orang kerauhan menari di atas bangkai sobat-temannya
(lelaki bau tanah itu hanya berkata: cuma 6 Peri kecil)

  Puisi Perihal Cerai Yang Melukai Hati Setiap Hari

Denpasar, 12 Mei 1998




LELAKI TUA DAN 6 POTONG DAGINGNYA


Kota-kota jadi debu
bangkai-bangkai tertanam di dinding-dinding pucat
lelaki itu tetap duduk
sebuah upacara besar dilaksanakan sambil mendekap 6 potong dagingnya yg berkembang menjadi jadi buas
mirip anjing-anjing lapar yg menggigit rupiah, gedung-gedung bertingkat, flora, hewan
(mereka pula melahap seluruh benda-benda hidup di bumi ini)
”perempuanku mati 2 potong dagingku meletuskan api merubuhkan pagar penjagaku”

Lelaki renta itu melepasnya
amarahnya, mirip kanak-kanak yg kehilangan gundu
membisu-diam dibukanya sayapnya
anjing-anjing mulai mendekat berharap menjadi penjaganya sambil sesekali ikut melahap seluruh benda hidup milik rakyatnya
Anjing-anjing itu menjadi penjaga
mereka menari di layar TV
ketika lelaki renta itu memberi mereka nama
”jaga 6 potong dagingku, telah kuselamatkan bumi dr rajam sejarah hitam”

Denpasar, 12 Mei 1998




METAMORFOSA
14-5-1995


percakapan-percakapan jadi api tubuhku berubah menjadi kayu kutanam dlm bara gue mulai tekun menjilati badan menyimpan hati yg mulai hitam dimana kuburku?

(sebuah pesta dimulai. Perempuan & pria menanam manusia di rahim bumi) ”maukah kau ikut? Menjadi petani. beternak manusia?”

lelaki itu tiba dgn air mata. setumpuk kitab terbuka menyiram tubuhku. mana tubuhnya? Matanya jadi serpihan kecil ibunya telah menanam impian keliaran dgn dongeng-dongeng yg terus berputar tentang: rasa lapar tanah-tanah dipagari ulat-ulat ”ia sudah bunuh seorang wanita dgn dua anaknya” gue mulai membuka meja. Sebuah permainan dimulai (aku terjebak) gue mulai rajin mengkremasi usia

1999


PELABUHAN API


setiap kubakar dupa
percikan api mengurai seluruh luka menanamnya kembali dlm darah
(seekor parkit melepas bulunya mengubur tanah & sedikit bangkai pohon)

aku melata di sini lidah anyir bayanganku yg mengepung hidup
(aku tetap perempuan yg rajin mengurai debu perjalanannya. dekat perapian, para pemangku melahap asap)

aku membisu menimbang setiap sepi yg datang sambil menguapkannya

April 1997



(kelahiran)


tubuhku meneteskan debu
ulat-ulat menguliti setiap perjalanan yg kupentaskan
mereka gres belajar menanam akar
di setiap liang nafasku kukalungkan nafsu
bulan retakan lumut melekat
pada setiap watu mereka mengisapnya
watu-watu diletakkan di kepala
para wanita menopang bumi
saya hanya bisa menghimpun bagian keringat & menggulung setiap abu yg retak

Denpasar, 1997