BENDERA DARAH DAN AIR MATA KAMI
Telah kami pertahankan bagimu suatu ruang di langit
Berkibarlah s’kemudian ! lambailah angkatan-angkatan yg akan datang
dari ufuk sejarah. Biarlah mereka tengadah padamu senantiasa
Bawah hujan darah, bawah taufan api !
Kami yg datang hari ini & yg bernaung di kakimu
sudah jauh berjalan, melangkahi mayat sanak sendiri
Kami yg sekarang tegak beradu pundak di sini, yakni akan kebesaran
semangat kami yg dilambangkan oleh kedua warnamu.
Bendera darah & air mata kami, berkibarlah, berkibarlah !
Kami masing-masing tak mampu memberi lebih dr pada satu nyawa
dan tangan-tangan yg akan jadi kaku selagi memegang tiangmu
sepasang tangan di antara berjuta, yg tiba & yg pergi.
(1968)
Gunung-gunung perkasa, lembah-lembah yg akan tinggal menganga
api yg bernyanyi. Tak habis-habisnya keinginan menyanjung & memuja
engkau dlm laguku.
Bumi yg tahan dlm derita, sukmaku tinggal terpendam bawah puing-
puing, bawah darah kering di luka, pada denyut daging muda
Damaikan kiranya anak-anakmu yg dendam & sakit hati,
ya Ibu yg parah dlm duka kasihku !
Kutatap setiap mata di stasiun, pada jendela-jendela terbuka kucari fajar
semangat yg pijar bernyala-nyala
surya esok hari, matahari sawah & sungai kami
di langit yg bebas terbuka, langit burung-burung merpati.
Arif tertembak mati. Kata seorang mahasiswa pada kawannya,
di Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya, pada suatu hari.
Udara tiba-tiba jadi panas mendidih, alasannya adalah beribu mata menyorotkan api
Belatipun menggeliat-geliat, gusar dlm sarungnya.
Arif tertembak mati, kata sejuta orang pada sejuta temannya,
kemudian mereka tundukkan kepala, menghadap ke arah ibukota
di mana seorang pahlawan belia dibaringkan di pangkuan Pertiwi
berdampingan dgn tirani, yg terkubur tanpa diketahui.
Arif tertembak mati, teriak seratus juta tenggorok lagi
di kantor-kantor, di sawah-sawah, di langit & di tambang dlm bumi
Dengan khidmat seorang guru menandai angka 66 dgn pinsil : Merah
Murid-muridnya membuka halaman baru catatan sejarah : Putih
(1966)
Kami sambut fajar kami dgn cara tersendiri
Tenggorok perunggu serak menghujat-maki angkasa hitam
yang gemetar atas bumi karat dang rongsokan
tempat tulang-tulang kurun lampau rapuh oleh asin air mata.
hari ini perjaka-perjaka mengubah hati mereka dgn baja
Agar bisa tidur berbantal batu & berselimut angin
Sedang bagi gadis-gadis kami hadiahkan mawar api
Kembang di ujung senapan, anyir mesiu alangkah wangi !
Dengarlah ! Lidah-pengecap api mengundang di malam sepi, berdetam, berdesing
kami pun keluar, membajak Tanah Ari dgn sangkur telanjang
Menyiramnya dgn darah, memupuknya dgn cuilan daging,
karena langit cuma menghunjamkan api & besi, api & besi.
(1965)
Melepas : Julius Usman
Akhirnya. Akhirnya untaian bunga yg berserak layu di kuburan
rekah kembali di dlm kalbu. Semoga terhunjam akarnya
walau jiwa bangsa kami sudah membatu; gampang-mudahan setia
kami menyirami. Dengan darah kalau kembali perlu.
Ketika iringan mayat diusung dr kota ke kota
gemetarlah gempa bumi derap berjuta kaki
dari suatu pasukan yg berdiri tanpa panglima
tanpa perintah, selain bisik nurani
Tuhanku, kami persembahkan hidup kerabat-saudara kami
yang suci & muda belia ini, selaku tumbal negeri.
Sembuhkan kami dr kepengecutan, sikap budak & penjilat
Tulis sejarah kami dgn sejuta nama jagoan lagi. Amin
(1966)