Nama Asrul pertama diketahui dengan-cara nasional ialah selaku penyair pada kelompok pembaharu sastra Indonesia. la adalah satu dr tokoh penyair Angkatan ’45, disamping Chairil Anwar & Rivai Apin. Dibidang sastra ini disamping menulis puisi, ia pula menulis dongeng pendek, esai, & menterjemahkan banyak naskah teater.
Pada masa revolusi ia menjadi Tentara Pelajar di Bogor, disitu ia mempublikasikan koran Harian Bogor. Kemudian ia menjadi redaktur majalah kebudayaan Gema Suasana, anggota redaksi Gelanggang, ruang kebudayaan yg populer dr majalah Siasat, wartawan majalah kebudayaan Zenith. Kumpulan sajaknya terdapat pada “Tiga Menguak Takdir“, bareng karya Chairil Anwar & Rivai Apin. Kumpulan kisah pendeknya terbit dgn judul “Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat” Awal tahun 1950-an ia sudah mulai nampak kesengsem pada seni film.
Ia menjadi salah satu pelaku paling penting sejarah kebudayaan terbaru Indonesia. Asrul Sani, Chairil Anwar, & Rivai Apin yg menghimpun karya puisi tolong-menolong berjudul “Tiga Menguak Takdir” yg kemudian diterbitkan dlm bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka“, malahan didaulat menjadi tokoh pencetus sastrawan Angkatan 45.
Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dr Ibu“. Sejak puisi “Anak Laut” yg diangkut di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi,
Asrul Sani tak kurang menciptakan 19 puisi & lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menciptakan tujuh buah karya puisi, dua diantaranya diangkut dlm “Tiga Menguak Takdir“, lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, & tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain diangkut di majalah “Siasat“, “Mimbar Indonesia“, & “Zenith“.
Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggungjawab untuk menciptakan karya-karya sastra pada zamannya, tetapi lebih dr itu, mereka ialah pula nurani bangsa yg menggelorakan semangat kemerdekaan. Adalah tak kongkret suatu bangsa mampu merdeka cuma bermodalkan bambu runcing. Namun tatkala para “nurani bangsa” itu mensintesakan cita-cita besar lengan berkuasa bebas merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” & semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk pada suara nurani.
Sesungguhnya bukan cuma bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yg pernah duduk sebangku dgn sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan visi usaha revolusi kemerdekaan ke dlm bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor ia memimpin Tentara Pelajar, mempublikasikan suratkabar “Suara Bogor“, redaktur majalah kebudayaan “Gema Suasana“, anggota redaksi “Gelanggang“, ruang kebudayaan majalah “Siasat“, & menjadi wartawan pada majalah “Zenith“.
Tiada bersua dlm dunia
tiada kenapa hatiku sayang
tiada dunia daerah selama
layangkan angan meninggi awan
Jangan yakin hembusan cedera
berkata tiada hanya dunia
tilikkan tajam mata kepala
sungkumkan sujud hati sanubari
Mula segala tiada ada
pertengahan masa kita bersua
ketika tiga bercerai ramai
di waktu tertentu berpandang jelas
Kalau kekasihmu hasratkan dikau
restu sempana memangku daku
tiba masa kita berdua
berkaca senang di air mengalir
Bersama kita mematah buah
sempana kerja di paras dunia
bunga cerca melayu lipu
cuma bahagia tersenyum harum
Di situ baru kita berdua
sama merasa, sama membaca
tulisan cuaca rangkaian mutiara
di mahkota gapura astana rela.
HARI MENUAI
Lamanya sudah tiada bertemu
tiada kedengaran suatu apa
tiada daerah duduk bertanya
tiada sahabat kawan berberita
Lipu gue diharu sendu
samar sapur cuaca mata
sesak sempit gelanggang dada
senak terhentak raga kecewa
Hibuk mengamuk hati tergari
melolong meraung menyentak rentak
mencampakkan merangsang segala petua
tiada yakin pada siapa
Kutilik diriku kuselam tahunku
muncul terasa terpancar terang
istiwa lama merekah terperinci
merona beresiko membunga sedan
Tahu aku
kini hari menuai api
mengetam ancam membelam redam
ditulis dilukis jari tanganku.
bermain cahaya
Terjaga gue tersentak duduk
terdengar irama panggilan jaya
naik bangga meremang roma
tampakpanji terkibar di muka
Seketika teralpa;
masuk bisik hembusan setan
meredakan darah debur gemuruh
menjatuhkan kelopak mata terbuka
Terbaring badanku tiada berkuasa
tertutup mataku berat semata
terbuka layar gelanggang angan
terulik hatiku di dlm kelam
Tetapi hatiku, hatiku kecil
tiada terlayang di awang dendang
menanggis ia bersuara seni
ibakan panji tiada terdiri.
INSAF
Segala kupinta tiada kauberi
segala kutanya tiada kausahuti
butalah gue terdiri sendiri
penuntun tiada memimpin jari
Maju mundur tiada terdaya
sempit bumi dunia raya
runtuh ripuk astana cuaca
kureka bangga di lapangan dada
Buta tuli bisu kelu
tertahan gue di muka dewala
terpana gue di jalan buntu
tertebas putus sutera sempana
Besar benar salah arahku
nyaris tertahan tumpah berkahmu
nyaris tertutup pintu restu
gapura rahsia jalan berjumpa
Insaf diriku dera durhaka
gugur tersungkur merenang mata;
samar terdengar suwara suwarni
sapur melipur merindu temu.
Insaf saya
bukan ini perbuatan kekasihku
tiada mungkin reka tangannya
kerana cinta tiada mendera
IBUKU DEHULU
Ibuku dehulu marah padaku
membisu ia tiada berkata
akupun kemudian merajuk pilu
tiada peduli apa terjadi
matanya terus mengawas daku
meskipun bibirnya tiada bergerak
mukanya masam menahan sedan
hatinya pedih kerana lakuku
Terus gue berkesal hati
menurutkan setan, mengkacau-balau
jurang celaka terpandang di muka
kusongsong pula – biar chedera
Bangkit ibu dipegangnya saya
dirangkumnya secepatnya dikucupnya serta
dahiku berapi pancaran neraka
sejuk sentosa turun ke kalbu
Demikian engkau;
ibu, bapa, kekasih pula
berpadu satu dlm dirimu
mengawas daku dlm dunia.
DI DALAM KELAM
Kembali lagi marak-meriah
jilat melonjak api penyuci
dalam hatiku tumbuh jahanam
terbuka neraka di lapangan swarga
Api melambai melengkung lurus
merunta ria melidah belah
menghangus debu mengitam belam
buah tenaga bunga suwarga
Hati firdausi segera sentosa
Murtad merentak melaut topan
Naik kabut mengarang awan
menghalang cuaca nokta utama
Berjalan gue di dlm kelam
terus lurus moal berhenti
jantung dilebur dlm jahanam
kerongkong hangus kering peteri.
Meminta gue kekasihku sayang;
turunkan hujan embun rahmatmu
supaya padam api membelam
semoga pulih pokok percayaku.
berjalan pelan
tangis anak bertambah besar lengan berkuasa
rasa resah bermaharajalela
mengangkat kaki melangkah cepat.
Jauh ibu lenyap di mata
muncul takut di hati kecil
gelombang bimbang mengharu fikir
berkata jiwa menanya bonda
lekas patut mengejar ibu
sambil tersedu rindu berseru
dari sisi suara hingga
suara raya kerikil bertangkup
Lompat ibu ke lisan watu
besar terbuka menanti mangsa
tutup terkatup lisan ternganga
berderak-derik tulang belulang
Terbuka pula, merah basah
lisan maut menanti mangsa
lapar lebar tercingah pangah
meraung riang mengecap sedap..
Tiba dara kecil sendu
menangis mencari ibu
terlihat cerah darah merah
mengerti hati bonda tiada.
Melompat dara kecil sendu
berdasarkan hati meletakkan rindu…
Batu belah, batu bertangkup
watu tepian kawasan mandi
Insha Allah tiadaku takut
sudah demikian kuperbuat akad.
TURUN KEMBALI
Kalau gue dlm engkau
dan kau dlm aku
adakah begini jadinya
jaku hamba kamu-sekalian penghulu ?
Aku & kamu-sekalian berlawanan
engkau raja, maha raya
cahaya halus tinggi mengawang
pohon rindang menaung dunia.
Di bawah teduh kamu-sekalian kembangkan
taku bangkit memati hari
pada bayang kamu-sekalian mainkan
aku melipur meriang hati
Diterangi cahaya kau-sekalian sinarkan
saya menaiki tangga, mengawan
kecapi firdausi melena indera pendengaran
menyentuh gambuh dlm hatiku
Terlihat ke bawah
kandil kemerlap
melambai cempaka ramai tertawa
hati duniawi meroket
berpaling gue turun kembali.
bersamaan genta genderang
memuji kekasihku di mercu lagu
Aduh, kasihan hatiku sayang
alahai hatiku tiada bahagia
jari menari doa semata
tapi hatiku bercabang dua.
TERBUKA BUNGA
Terbuka bunga dlm hatiku !
kembang rindang disentuh bibir kesturimu.
Melayah-layah mengintip restu senyumanmu.
Dengan mengelopaknya bunga ini, layulah
bunga lampau, kekasihku.
Bunga sunting hatiku, dlm masa mengembara
menanda dikau
Kekasihku ! inikah bunga sejati yg tiadakan
layu ?
Kau masukkan gue ke dlm taman- dunia, kekasihku !
kaupimpin jariku, kautunjukkan bunga tertawa, kuntum tersenyum.
kau tundukkan huluku tegak, mencium wangi tersembunyi sepi.
Kau gemalaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah.
Tercengang gue takjob, melamun.
berbisik engkau:
“Taman swarga, taman swarga mutiara rupa”.
Engkaupun lenyap.
Termanggu gue gilakan rupa.
SEBAB DIKAU
Kasihkan hidup alasannya adalah dikau
segala kuntum mengoyak kepak
membunga cinta dlm hatiku
mewangi sari dlm jantungku
Hidup mirip mimpi
laku lakon di layar terkelar
aku pemimpi lagi penari
sedar siuman bertukar-tukar
Maka merupa di datar layar
wayang warna menayang rasa
kalbu rindu turut mengikut
dua sukma esa-mesra –
Aku boneka kau-sekalian boneka
penghibur dalang mengatur tembang
di layar kembang bertukar pandang
cuma selagu, sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
aku kamu-sekalian di kotak terletak
laku boneka kamu-sekalian boneka
penyenang dalang mengarak sajak.
menerus kurasa-rasakan
sampai sekarang tiada tercapai
keinginan sukma idaman tubuh
Pujiku dikau laguan kawi
tiba turun dr datukku
di hujung lidah kamu-sekalian letakkan
piatu teruna di tengah gembala
Sunyi sepi pitunang poyang
tidak merentak dendang dambaku
layang lagu tiada melangsing
haram gemercing genta rebana
Hatiku, hatiku
hatiku sayang tiada bahagia
hatiku kecil berduka raya
hilang ia yg dilihatnya.
TETEPI AKU
Tersapu sutera pigura
dengan nilam hitam kelam
berpadaman lentera alit
beratus ribu di atas langit
Seketika sekejap mata
segala ada menekan dada
nafas nipis berlindung guring
mati suara dunia cahaya
Gugur badanku lemah
mati api di dlm hati
terhenti dawai pesawat diriku
Tersungkum sujud mencium tanah
Cahaya suci riwarna pelangi
harum sekuntum bunga rahsia
menyinggung daku terhantar sunyi
seperti hauri dgn kapaknya
Rupanya ia mutiara jiwaku
yang kuselami di lautan rasa
Gewang canggainya menjamah rindu
tetapi gue tiada merasa…
PERMAINANMU
kau keraskan kalbunya
bagi kerikil membesi benar
muncul telangkaimu bertongkat urat
ditunjang pengacara petah fasih
Di hadapan lawanmu
tongkatnya melingkar merupa ular
tangannya putih , putih penyakit
kekayaanmu kasatmata terlihat terperinci
Kakasihmu ditindasnya terus
tangan namun bersembunyi
mengunci bagi pateri
kalbu ratu rat rapat
Kau pukul raja-ilahi
sembilan cambuk melecut dada
putera mula penganti diri
pergi kembali ke asal orisinil.
Bertanya gue kekasihku
permainan kamu-sekalian permainkan
kau tulis kau paparkan
kausampaikan dgn lisan
Bagaimana gue menimbang
kaulipu lipatkan
kau kelam kabutkan
kalbu ratu dlm genggammu
Kau hamparkan badan
di tubir bibir penaka cecunguk
jadi tanda di hari paras
Bagaimana gue menimbang
kekasihku astana sayang
ratu restu telaga sempana
kekasihku mengunci hati
bagi tali disimpul mati.
HANYA SATU
Timbul niat dlm kalbumu;
terban hujan, ungkai topan
terendam karam
runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
lari terbang jatuh duduk
air naik tetap terus
tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh/redam terbelam
dalam gagap/gempita guruh
kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik jung bertudung
kawasan berteduh nuh kekasihmu
bebas lepas lelang lapang
di tengah bingung, swara sentosa
*
Bersemayam sempana di jemala gembala
juriat jelita bapaku iberahim
keturunan intan dua cahaya
pancaran putera berlawanan bonda.
Kini kami berselisih pangkai
di antara dua, mana mutiara
jauhari jago gegabah menilai
lengah eksklusif melewat era
Aduh, kekasihku
padaku semua tiada berkhasiat
hanya satu kutunggu hasrat
merasa dikau dekat rapat
serupa musa di puncak tursina.
BARANGKALI
Engkau yg lena dlm hatiku
akasa swarga nipis-tipis
yang besar terangkum dunia
kecil terlindung alis
Kujunjung di atas hulu
kupuji di pucuk pengecap
kupangku di lengan lagu
kudaduhkan di selendang dendang
Bangkit gunung
buka mata mutiaramu
sentuh kecapi firdausi
dengan jarimu menirus halus
Biar siuman dewi-nyanyi
gambuh asmara lurus lampai
lemah ramping melidah api
halus harum mengasap keramat
Mari menari dara asmara
semoga terdengar swara swarna
barangkali mati di pantai hati
gelombang kenang membanting diri.
MABUK
Ditayangan ombak bujang bersela
dijunjung hulu rapuh semata
dikipasi angin bergurau senda
lupakan kelana akan dirinya…
Dimabukkan harum pecah terberai
diulikkan bujuk rangkai-rinangkai
datanglah semua mengungkai simpai
hatimu bujang sekali bisai.
Bulan mengintai di celah awan
bersemayam senyum sayu-sendu
teja undur perlahan-lahan
mukanya merah mengandung malu.
Rumput rendah rangkum-rinangkum
tibun embun turun ke rumpun
lembah-lembah menjunjung harum
mendatangkan kayal bujang mencium.
Melur sekaki dibuaikan sepoi
dalam cahaya rupa melambai
pelik bunga membawaku ragu
layu kupetik bunga gemalai.
Bunga setangkai gemelai permai
dalam tanganku jatuh terserah
kelopak kupandang sari kunilai
datanglah jemu mengatakan sudah…
Bulan berbuni di balik awan
taram-temaram cendera cahaya
teja lari ke dlm lautan
tinggallah gue tiada berpelita.
Susahnya duduk berjualan
tiada daerah mengadukan sedih
bondaku tuan senantiasa terpandang
hendak berjumpa apatah daya.
Terlihat-lihat bonda merenung
rasa-rasa Bonda mengeluh
mengenangkan nasib tiada beruntung
luka penceraian tiadakan sembuh.
Bondapun garing seorang diri
hati luka tiada berjampi
nangislah ibu mengenangkan kami
rasakan tiada berjumpa lagi.
Allah diseru memohonkan restu
moga kami janganlah piatu
aduh ibu, kemala hulu
bukankah langit tiada berpintu?
Sudahlah nasib tiada bertemu
sudahlah untung hendak piatu
bagaimana mengganti akad dulu
sudah diikat di rahim ibu.
SUNYI
Kuketuk pintu masaku muda
hendak masuk rasa kembali
taman terkunci dibelan pula
tinggallah gue sunyi sendiri.
Kudatangi gelanggang tempat menyebung
masa bujang daerah beria
kulihat siku singgung menyinggung
aku terdiri haram disapa…
Teruslah gue perlahan-lahan
sayu rayu hati melipur
nangislah gue tersedan-sedan
mendengarkan pujuk duka bercampur.
Kudengar bangsi memanggil-manggil
tersedu-sedu, dayu mendayu
tersalah gue diri terpencil
tubuh dilambung gelombang rindu.
Duduklah gue bertopang dagu
merenung kupu mengecup bunga
lenalah gue sementara waktu
dalam rangkum kenangan usang.
Rupanya teja serasa kulihat
suaramu dinda rasakan kudengar
dinda bersandar duduk bersikat
saya mengintip ombak berpendar.
Imbau gelombang menyembahkan lagu
terhadap bibirmu kesumba pati
fikiranku melayang ke padang rindu
meskipun dinda duduk di segi.