close

1889 – 20An Mata Pencaharian Masing – Masing Kampung Melayu Di Pontianak

Pada masa 21 tepatnya di kampung Melayu, di tempatkan dengan banyak sekali kawasan yang ada di Kota Pontianak, di kampung seberang sungai menurut penempatan status sosial, ekonomi dan etniks. pada tahun itu juga pada perkampungan Tambelan, dan Serasan serta Banjar dan Kapur menempatkan posisi arah pedesaan sungan Ambawang, daerah dikala ini kampung Tionghoa dan Dayak disitu tinggal.

Pada suatu perkotaan, akan lekat dengan matapencahrian dan status sosial, pekerjaanya ialah petani, buruh, karyawan, pedagang, dan pendidik menempatkan posisi yang ada di perkampungan tersebut dengan adanya metode ekonomi sosial yang ada di masyarakat menurut perkotaan dari dari Tahun 1887 – 1920an.

Ketika itu tentunya masih hutan rimbun, dan kehidupan sosial masyarakat kota Pontianak, menempatkan aneka macam kanal kehidupan sosial, lewat sungai yang memanjang dan menepi pada sungai di Sintan, tempat perkampungan Tionghoa dan gertak yang tumbuh berdasarkan kemajuaan ekonomi perkotaan yang dikala ini berkembang.

Begitu juga dengan arahg pabrik terletak pada perkampungan Tionghoa dan Pribumi, melalui buruh pabrik mirip karet, kopra, dan minyak, yang berada pada posisi penempatan buruh dan kelas pekerja. Hal ini menjelaskan bagaimana kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik pada abad pemerintahan Sultan, dan  Gubernur Oevang Oeray, tentunya mereka memimpin dengan berpura – pura baik.

Hasil dari sampah pendidikan, dan kesehatan di pulau Jawa sebelumnya bangun sempurna dengan adanya status sosial, dan kelas sosial yang berasal dari budaya makan orang pada kala kolonial Belanda ketika itu.  Sampah itu hidup selaku pendidikan tenaga kesehatan hasil dari otak orang kampung, dan ekonomi secara kolektif yang menempatkan kekejaman ekonomi politik Tionghoa – Dayak di Kalimantan Barat, lewat Rumah Ibadah.

Hasil dari kolektifitas itu, timbul adanya pemerasan ekonomi, ketika relasi seksualitas terjadi, tidak memiliki moralitas dan budbahasa di Pontianak, itu yakni hasil pembangunan manusia di Pontianak yang begitu jelek dan brutal pada masyarakat Batak – Jawa.

Kemajuaan Binatang kearah Manusia memang berada pada dilema manusianya yang akan dikata, ingin menghancurkan mental dan kesehatan lewat pendapatan kuliner pad atahun 1999, dan berlanjut pada masa Revolusi Industri dan Mental 2011 – 2019, dari hasil dari seorang Buruh Kapal, yang bukan siapa – siapa di Pontianak.

Kebusukan orang Tionghoa – Dayak – Melayu – Batak  Pontianak menjelaskan hal tersebut, menerangkan eksistensi mereka di Pontianak, dan pedesaan Mempawah, Kapuas Hulu, dan Jakarta guna mengakses ekonomi urbanisasi Jakarta dikala ini.

Suatu gambaran lazim, pergantian sosial pada kelas sosial yang terletak pada kebiadaban wawasan yang mensesatkan, dan berbanding jauh pada pulau Jawa dikala itu, begitu juga dengan sistem ekonomi politik (Tionghoa) di bentuk berdasarkan hasil kelas sosial kebawah dan perjuangan kelas sosial dan pengetahuan dan prestasi yang bobrok dan menjadi tontonan di penduduk , Batak (Sihombing) – Dayak – Jawa khususnya tenaga medis rendahan, dan rencana kejahatan seksualitas ingin dipraktekkan 2011 – 2017.