1000 Lampion, 1000 Harapan Adalah Simbol Hari Raya Imlek Bukan Sekedar Tradisi : Haram Atas Muslim Turut Merayakannya
Oleh: Ahmad Muthahier (Ketua Sekolah Sastra Bulukumba)
“Siapa saja yg ibarat suatu kaum/ bangsa maka ia tergolong salah seorang dr mereka”. (HR. Abu Dawud, Ahmad, & Tirmidzi)
Jika kita mendalami agama Khonghucu, utamanya tentang hari-hari rayanya, akan terbukti bahwa pernyataan tersebut tak benar. Sebab bahu-membahu Imlek ialah penggalan integral dr pedoman agama Khonghucu, bukan semata-mata tradisi.
Dalam bukunya Mengenal Hari Raya Konfusiani (Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003) hal. vi-vii, Hendrik Agus Winarso menyebutkan bahwa masyarakat kurang mengetahui Hari Raya Konfusiani. Kata dia mencontohkan,”Misalnya Tahun Baru Imlek dianggap sebagai tradisi orang Tionghoa.” Dengan demikian, pandangan bahwa Imlek adalah sekedar tradisi, yg tak ada keterkaitannya dgn agama, berdasarkan penulis buku tersebut, adalah suatu kesalahpahaman (Ibid., hal. v).
Dalam buku yg diberi kata sambutan oleh Ketua MATAKIN tahun 2000 Hs. Tjhie Tjay Ing itu, pada hal. 58-62, Hendrik Agus Winarso sudah menunjukan dgn meyakinkan bahwa Imlek yakni pecahan fatwa Khonghucu. Hendrik Agus Winarso menerangkan, Tahun Baru Imlek atau disebut pula Sin Cia, merupakan saat-saat untuk memperbarui diri. Momentum ini, kata ia, diisyaratkan dlm salah satu kitab suci Khonghucu, yaitu Kitab Lee Ki, bagian Gwat Ling, yg berbunyi: “Hari permulaan tahun (Liep Chun) jadikanlah sebagai Hari Agung untuk bersembahyang besar ke hadirat Thian, karena Maha Besar Kebajikan Thian. Dilihat tiada nampak, didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yg tanpa Dia… (Tiong Yong XV : 1-5). (Lihat Hendrik Agus Winarso, Mengenal Hari Raya Konfusiani. [Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003], hal. 60-61).
Penulis buku tersebut kemudian menyimpulkan Imlek ialah potongan aliran Khonghucu. Beliau mengatakan: “Dengan demikian, menyambut Tahun Baru bagi umat Khonghucu Indonesia mengandung arti ketakwaan & keimanan.” (ibid.,hal. 61).
Maka tidaklah benar pendapat yg menyebutkan bahwa Imlek hanya sekedar tradisi orang Tionghoa, atau Imlek bukan peringatan agama. Yang benar, Imlek justru ialah belahan ajaran agama Khonghucu, bukan sekedar tradisi.
Lampion, simbol cita-cita & kebahagiaan
Keberadaan lampion tak dapat dipisahkan dr tradisi perayaan Imlek & Cap Go Meh. Lampion menjadi semacam atribut budaya yg menandai peralihan tahun dlm penanggalan Tionghoa. Imlek kurang terasa semarak tanpa kedatangan lampion yg menghiasi sudut-sudut jalan, kelenteng, & rumah-rumah warga peranakan Tionghoa.
Menurut sejarah, diperkirakan tradisi memasang lampion sudah ada di daratan Cina sejak era Dinasti Xi Han, sekitar era ke-3 masehi. Munculnya lampion nyaris berbarengan dgn dikenalnya tehnik pengerjaan kertas. Lampion pada masa-masa permulaan memang disangka telah menggunakan bahan kertas, selain pula kulit hewan & kain. Lampion mulai diidentikkan sebagai simbol perayaan Tahun Baru dlm penanggalan Tionghoa pada masa Dinasti Ming.
Pendar cahaya merah dr lampion memiliki makna filosofis tersendiri. Nyala merah lampion menjadi simbol pengharapan bahwa di tahun yg akan datang diwarnai dgn keberuntungan, rezeki, & kebahagiaan. Legenda klasik pula menggambarkan lampion sebagai pengusir kekuatan jahat angkara murka yg disimbolkan dgn raksasa berjulukan Nian. Memasang lampion di tiap rumah pula diandalkan menghindarkan penghuninya dr ancaman kejahatan.
Bentuk lampion yg konvensional yakni lingkaran dgn rangka bambu. Tetapi seiring pertumbuhan zaman, timbul pula bentuk lampion yg makin beraneka ragam. Salah satunya ialah lampion yg berangka logam & mampu difungsikan sebagai lampu meja, atau lampion yg berbentuk bunga teratai yg kuncup. Selain bentuk teratai tersebut, masih banyak kreasi baru dr lampion yg membuat perayaan Imlek menjadi kian semarak.
Pandangan Islam tentang lampion cita-cita
Harapan sangat erat ikatannya dgn kepercayaan. Berharap, dgn kata dasar harap & ditambah imbuhan ber- yg terbentuk menjadi suatu kata kerja. Yakni kita bekerja dgn nalar & hati kita untuk menggantungkan harapan yg kita miliki pada Sang Pencipta supaya apa yg kita harapkan mampu terwujud. Selain itu Ia menyakini bahwa ada Zat yg berkuasa atas apa yg kita harapkan yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha orang yg mempunyai impian, contohnya Iskhaq menginginkan lulus Ujian mengemudi, tetapi tak ada perjuangan dr seorang Iskhaq untuk belajar mengemudi, Bagaimana mungkin Iskhaq lulus dlm cobaan mengemudi.
Harapan merupakan kepingan dr fitrah manusia yg tak mungkin ditinggalkan oleh setiap insan. Orang yg tak mempunyai suatu keinginan pada hakekatnya ialah insan yg mati, mengenang harapan merupakan titik awal insan untuk senantiasa berkembang menuju kehidupan yg lebih baik.
Islam sendiri mengusulkan manusia untuk selalu berharap, namun dlm islam yg dimaksud berharap yaitu berharap pada kemurahan Allah SWT, mengingat Allah SWT ialah yang kuasa yg maha kuasa atas semuanya.
Allah SWT berfirman dlm Al Quran: “Dan hanya pada Tuhanmulah (Allah SWT) hendaknya ananda berharap”. (Qs Al Insyirah: 8)
Berdasarkan firman Allah SWT di atas, mampu kita tarik kesimpulan bahwa Islam menganjurkan manusia untuk senantiasa berharap pada Allah SWT. Allah menyuruh kita semoga hanya pada Allah saja hendaknya kita berharap. Oleh alasannya itu Imam Baihaqi menyebutkan dlm kitab dia “Syu’ab Al Iman” bahwa berharap pada Allah merupakan cabang akidah ke 12. Makara kalau kita tak berharap pada Allah atau sedikit harapan kita pada Allah memiliki arti tak sempurna imannya. Kalau kita tak berharap pada Allah berarti ada dua masalah:
Pertama, kita akan berdosa karena berharap pada Allah merupakan perintah Allah,seperti yg tertera pada firman Allah diatas: “dan hanya pada Tuhanmulah hendaknya ananda berharap. (QS Al Insyirah 8)”.
Kedua, kita akan terpentok dlm hidup, sering putus asa, dam kehilangan penyelesaian sebab tak ada yg dianggap mampu menyelesaikan kasus atau menunjukkan solusi.
Allah SWT kembali berfirman dlm Al Quran: Sesungguhnya orang-orang yg beriman, orang-orang yg berhijrah & berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, & Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 218).
Firman Allah diatas kembali memberitahukan pada kita bahwa islam merekomendasikan umat muslim untuk senantiasa berharap akan rahmat Allah.
Sumber: