Linus Suryadi & Contoh Puisinya – Siapakah sastrawan Linus Suryadi? Linus Suryadi Agustinus yg lebih diketahui selaku Linus Suryadi AG atau Linus Suryadi AGN lahir di Trimulyo, Sleman, pada 3 Maret 1951 meninggal di Yogyakarta pada 30 Juli 1999 di usia 48 tahun.
Pada tahun 1970, setamat dr SMA 1 BOPKRI, beliau sempat mengenyam kuliah di ABA jurusan Bahasa & Sastra Inggris & IKIP Sanata Darma, namun pendidikan tersebut hanya sebentar & kemudian Linus Suryadi berguru sastra dengan-cara belajar sendiri. Kumpulan puisi dr Linus Suryadi diantaranya: Langit Kelabu (1980), Pengakuan Pariyem (1980), Perkutut Manggung (1986), Rumah Panggung (1988), Kembang Tunjung (1988), Lingga-Yoni (puisi berseting wayang & akhlak dlm Ramayana & Mahabrata), Yogya Kotaku (1997) & beberapa buku esai sastra serta berperan serta untuk menyunting Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern, sebanyak 4 jilid yg terbit tahun 1987.
Linus Suryadi dikategorikan masuk ke sastrawan kekinian alasannya Ia bisa menciptakan kuatrin yg pekat pada karya-karyanya. Di samping itu terdapat bagian budaya Jawa, bahasa yg prosais, tak dikenalnya kata atau perumpamaan tabu yg kadang-kadang muncul dlm karya sastranya. Ia juga merupakan salah satu sastrawan yang banyak memuat idiom Jawa dlm puisi-puisinya.
Linus Suryadi, tahun 1983. DOK/TEMPO/EH Kertanegara |
Berikut 10 teladan puisi Linus Suryadi yg bisa Sobat simak..
–untuk Oka Kusumayudha–
Ibarat piano, biola & drum
Disentuh oleh pemain alam
Itukan bunyi dlm hatimu ?
Mendadak mengakibatkan bayang
Instrumen melahirkan Ave Veoum
Membujuk-bujuk kemauanku
Menimbulkan ide gres
dalam gairah hidup kekal
kehangatan terus mengalir
mencairkan darah yg beku
Itukah nestapa yg lingsir ?
Terlepas dr belenggu
ELEGI
Pemuda itu memetik gitar
Dunia guramnya sendiri
Udara sekitar gemetar
menjalin ‘Dukamu Abadi’
Seorang gadis telah pergi
ketabrak bis di Purwosari
Seorang pergi, seorang pergi
Bertumpuk surat tak ada arti
Pemuda itu memetik gitar
Dunia guramnya sendiri
Ia berkisah, terang kudengar
hanya sunyi menabiknya kini
ALIBI
antara ayat-ayat suci
engkau pun mencari
halaman yg hilang
(anak kecil mengejar-ngejar layang-layang)
kapan cuaca tiba
meredakan gemuruh kedirian
(terompah cita-cita
di sisi kesepian)
ialah sesuatu
derasnya angin puting-beliung
deru rindu
dendam kekecewaan
KEMUDIAN SENYAP, KEMUDIAN GELAP
Kemudian senyap, kemudian gelap
engkau berlangsung demikian tegap
Jika hari, kamu-sekalian tahu, berayun
dalam lena kabut-kabut terbantun
Jatuh di tanah-tanah yg anggun
jatuh kita yg ragu-ragu: Kenapa di sini
Kenapa kau-sekalian & gue bersendiri
suara pun menebak: suaramukah ini?
1971
BARON
Engkau dengarkah di sini: dentum ombak & karang
deretan pantai selatan, tepi jurang-jurang dalam
Horison yg jauh , lengkung langit berawan
membias ke bahari, dalam, membiaskan permukaan
Engkau dengarkah di sini: dentum ombak & karang
menembus sungai perlahan, susut ELEGI
– pemuda
Pemuda itu memetik gitar
dunia guramnya sendiri
Udara sekitarnya gemetar
menjalin Dukamu Abadi*
Seorang gadis sudah pergi
dengan sakramen & hosti
Seorang gadis sudah pergi
menggoreskan luka kembali
Seorang gadis telah pergi
ketabrak bis di Purwosari
Seorang pergi, seorang pergi
bertumpuk surat tak ada arti
Pemuda itu memetik gitar
dunia guramnya sendiri
Ia berkisah, jelas kudengar
hanya sunyi menabiknya kini
1978
*Dukamu Abadi: kumpulan sajak Sapardi Djoko Damono
NOCTURNO
Malam beranjak
dilepas lagu
Tercium segrak
aroma rindu
Dentang-denting
dentang jantung
Arloji nyaring
di rumah suwung
Apa yg samar
di antara kita
Perihal jarak
tak tembus mata?
Tapi lirih
terdengar Talu
Suara kasih
yatim piatu
Bagaikan sekuntum
semok mawar
Mekar harum
tergolek di altar
1983
*Suwung: kosong
**Talu: Patalon: nama gending karawitan Jawa yg dimainkan sebelum pentas wayang purwa
MIMPI BISMA
“Tak bisakah cari laki-laki lain?” ujar Bisma
Ia pun balik bersandar ke pohon munggur
Angin silir mengipas batinnya yg papa
Resi Talkanda itu terlena. Ia pun tidur
Ada sasmita gaib dibisikkan oleh Narada
Ada tentara perempuan. Ia dandan senapati
Bisma kaget: betapa ia seperti Dewi Amba
Lenggang-lenggoknya tangkas & merak ati
“O, biang ceriwis. Kau datang nagih akad
Lepaskan panah itu. Tepat ke dada kiriku!”
Sambutnya, seolah tak sabar bersendiri
Alangkah setia bayang kasihnya menunggu
Bisma pun kaget. Ia terbangun dr mimpi
Dan mengucek matanya. Ia ngungun berdiri:
“Ditolak malah tapa. Uh, wanita. Rela mati
Yaya, kapan kusongsong panah Wara Srikandi?”
1983
*Merak ati: menawan hati
KANGAROO VALLEY
(1)
Padang rumput
penuh ilalang
Angin semiyut
kering kerontang
Pada keluasan
jagad beredar
Dalam sepuhan
matahari bersinar
Seperti kemarin
tahun kini
Hujan cuek
pun ingkar datang!
Di atas dahan
pohon Ekaliptis
Ada kekalutan
mengais-kais
Burung Kukabara
di ketinggian
Serak terbata-bata
menagih awan:
“Welcome, welcome
come, come, come, …”
(2)
Kita pandang
matahari bundar
Mirip tampah
tembaga terbakar
Hawa panas
gurun mati
Lintas lepas
bersuhu tinggi
Hutan pinus
berhektar-hektar
Gelisah aus
angin menggelepar
Kuda & sapi
haus & lapar
Mencari kali
hijau semak belukar
Di kota-kota
tepian benua
Orang pun kungkum
di pantainya
(3)
Angin gunung
terus turun
Bergelombang
di kawasan Farm
Rumputan ranggas
oleh trend
Nasib naas
bangsa Aborigin
400 Celsius
suhu tercapai
Hutan pinus
tinggal bangkai!
Ah, di mana
gema kharismamu
Sedang Victoria
usang nunggu
Di mana mantram
nenek moyangmu
Di New South Wales
di Kangaroo Valley
1983
ARJUNA DI PADANG KURUSETRA
Arjuna menyisih ke pinggir gelanggang
Ia galau menghadapi musuhnya seorang
Separohnya cemas & separohnya gemas:
“O, kenapa perempuan ikut terlibat perang?”
Ia bagus & cerdas. Ia pun berilmu berhias
Dan pandang matanya merampok akal Arjuna
“Kresna, setankah masuk ke dlm batinnya?”
Di kereta angkasa dewa-dewi menahan Sabda
Tapi para pendeta sibuk di sanggar pamujan
Asyik membakar dupa. Khusuk masyuk berdoa:
“Pandawa & Kurawa tak lelah, harus milih
O, kutuk siapa! Kenapa bukan cintakasih?”
“Murdaningsih,” kata Arjuna: “Yang mana:
Panah sakti Pasopati atau panah Asmara?”
Satunya racun kematian, satunya api hidup
Pada kita, keduanya pun saling berebut.
1983