10 Contoh Puisi Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad & Contoh Puisinya – Goenawan Soesatyo Mohamad atau yg lebih dikenal sebagai Goenawan Mohamad atau biasa disingkat dgn inisial GM ini merupakan sastrawan Indonesia terkemuka yg lahir di Batang, 29 Juli 1941. GM pula merupakan salah seorang pendiri Majalah Tempo.

Goenawan Mohamad yakni seorang intelektual yg punya wawasan yg begitu luas, mulai dr pemain sepak bola, politik, ekonomi, seni & budaya, dunia perfilman, & musik. Pandangannya sangat liberal & terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad ialah aliran monodimensional.

Goenawan Mohamad pada masa mudanya lebih diketahui sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yg mengakibatkannya tidak boleh menulis di berbagai media umum. Ia menulis sejak berusia 17 tahun, & dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson.



Sejak di kelas 6 Sekolah Dasar, ia mengaku menyenangi program puisi siaran RRI. Kemudian kakaknya yg dokter, tatkala itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B Jassin.Goenawan Mohamad yg lazimnya dipanggil Goen, belajar psikologi di Universitas Indonesia, ilmu politik di Belgia, & menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat.Goenawan Mohamad menikah dgn Widarti Djajadisastra & mempunyai dua anak.

Silahkan baca 10 puisi dibawah ya bila Sobat ingin lebih banyak mengenali hasil karya kreatif Goenawan Mohamad.

Perjalanan Malam

Wer reitet so spat durch Nacht und Wind?

Er ist der Vater mit seinem Kind

– GOETHE

Mereka berkuda sepanjang malam,
sepanjang pantai terguyur garam.
Si bapak memeluk & si anak dingin,
menembus kelam & heboh angin.

Adakah sekejap anak tertidur,
atau takutkan ombak melimbur?
“Bapak, gue tahu langkah si hantu,
ia memburuku di ujung itu.”

Si bapak membisu meregang sanggurdi,
mencicipi sesuatu akan terjadi.
Kita teruskan saja sampai sampai,
hingga tak lagi terbujur pantai.”

“Tapi ‘ku tahu apa nasibku,
lepaskanlah gue dr pelukmu.”
“Tahanlah, buyung, & tinggallah diam,
mungkin ada cahaya karam.”

  Kumpulan Puisi Tentang Perpisahan Untuk Guru Dan Sekolah, Singkat Dan Menjamah Hati

Namun si hantu tak lama nunggu:
dilepaskannya cinta (bagai belenggu).
Si anak pun terbang ke suatu cuaca:
“Bapak, gue mungkin kangen di sana.”


1976



Asmaradana

Ia dengar kepak sayap kelelawar & guyur sisa
hujan dr daun,
lantaran angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
serta langkah
pedati tatkala langit bersih kembali menampakkan
bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tak ada
yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia
melihat peta,
nasib, perjalanan & suatu pertempuran yg tak
semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis.
Sebab bila esok
pagi pada rumput halaman ada tapak yg menjauh
ke utara,
ia tak akan mencatat yg sudah lewat & yang
akan tiba,
karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dlm angin, abai dlm waktu.
Lewat remang & kunang-kunang, kaulupakan
wajahku,
kulupakan wajahmu.

1971

Tentang Usinara

Usinara, yg menyerahkan jagat & darahnya untuk
menyelamatkan seekor punai yg terancam kematian,
tahu ilahi-yang kuasa tak pernah siap. Mereka kian bau tanah.
Langit menggantungkan dacin pada tiang lapuk Neraka
semenjak cinta dibunuh. Timbangan telat. Telah tujuh
zaman asap & api penyiksaan mengaburkan mata siapa
saja.

Dimanakah batas belas, Baginda? “Mungkin tak ada,”
jawab Usirna. Ia hanya menahan perih di rusuknya
di saat tujuh burung nasar sibuk di kamar itu, (tujuh,
bukan satu), merenggut dagingnya, selapis demi
selapis.

Sering gue bayangkan raja yg baik hati itu tergeletak
di lantai, memandang ke luar pintu, melihat debu sore
dan daun-daun yg secara perlahan-lahan berganti ungu. Ia ingin
punai itu segera lepas. “Ayo, melayang. Aku telah
menebus nyawamu,” ia ingin berkata. Tapi suaranya
tak terdengar.

Sementara itu, di sudut, si punai menangis: “Tak ada
dewa yg datang & mengganti adegan ini jadi
dongeng!” Usirna cuma menutup matanya. Ia tahu
kahyangan yaitu cerita yg belum jadi.

2012

Tentang Maut


Di ujung bait itu mulai terlihat sebuah titik
yang kemudian runtuh, 5 menit sehabis itu.
Di ujung ruang itu mulai tampak sederet jari
yang ingin memungutnya kembali.

  10 Contoh Puisi Sitor Situmorang

Tapi mungkin
itu tak akan pernah terjadi.

Ini jam yg amat biasa: Maut memarkir keretanya
di ujung gang & berlangsung tak menentu.

Langkahnya tak seperti yg kamu bayangkan: tak ada
gempa, tak ada hujan asam, tak ada parit
yang meluap.

Hanya suatu sajak, mirip kabel yg putus.

Atau hampir putus.

2012

Di Antara Kanal


Jarimu menandai sebuah percakapan
yang tak hendak kita rekam
di hitam sotong & gelas sauvignon blanc
yang mau ditinggalkan.

Di kiri kita susukan menyusup
dari laut. Di jalan para kelasi
malam seperti biru.
“Meskipun esok lazuardi,” katamu.

Aku dengar. Kita kenal
kebisingan di aspal ini.
Kita tahu banyak hal.
Kita tahu apa yg sebentar.

Seorang pernah menyampaikan
kita telah disandingkan
sejak penghuni pertama ghetto Yahudi
membangun kedai.

Tapi kau tahu gue akan melepasmu di sudut itu,
tiap malam selesai, & gue tahu kamu akan pergi.
“Kota ini,” katamu, “yaitu jam
yang digantikan matahari.”

2012

Tentang Chopin

Kembali ke nokturno, katamu. Aku harapkan Chopin.
Seperempat jam kemudian, tuts hitam pada piano itu
Menganga.
Malam telah melukai mereka.

Mungkin itu sebabnya kau selalu merasa bersalah,
seolah-olah murung yaitu belahan dr ketidaktahuan.
Atau kecengengan. Tapi setiap malam, ada jalan watu
dan lampu sebuah kota yg tak dikenang lagi, & kamu,
yang menjajal mengenangnya dr cinta yg pendek,
yang terburu, akan gagal. Di mana kota itu? Siapa yang
meletakkan tubuh itu di sisi tubuhmu?
Semua yg kembali
hanya menemuimu
pada mimpi yg tersisa
di ruas kamar

Coba dengar, katamu lagi,
apa yg datang dlm No. 2 ini?

Di piano itu seseorang menatap ke luar
dan menjajal menjawab:
Mungkin hujan. Hanya hujan.

Tapi tak ada hujan dlm C-Sharp Minor, katamu.

  Puisi Rakyat Singkat Dalam Menuntut Kemakmuran

2012

Aktor

– untuk Moh, Sunjaya

Aktor terakhir menutup pintu.
“Cesar, gue pulang.”
Dan ruang-rias kosong. Cermin jadi masbodoh
mirip wajah bau tanah yg ditinggalkan.

Siapapun pulang. Meski pada jas
dengan punggung yg berlobang
ia masih rasakan ujung pisau itu
menikam & akordeon bernyanyi

pada dikala kematian. Ia masih ingat
kalimat di adegan ke-4,
pastinya. Tapi tidak mau
mengulangnya.

“Teater,” sutradara selalu bergumam,
“hanya kehidupan dua malam.”
“Tapi tetap kehidupan,” ia ingin menjawab.
Ia senantiasa merasa mampu menjawab.

Ia menyukai suaranya sendiri
dan beberapa kata-kata.
Tapi pada tiap reruntukan panggung
ia lupa kata-kata.

Pada tiap reruntukan panggung
ia hanya ingin tiga detik – tiga detik yg percaya:
dalam lorong Kapai-Kapai, Abu tak berhenti
hanya karena cahaya tak ada lagi.

Ia tak menggemari melankoli.


2012

Rite of Spring

Tari itu melintas pada cermin:
penggalan terakhir Ritus Musim.
Gerak daun – paras putih –
tapak kaki yg melepas lantai

23 tahun kemudia di beling ia dapatkan
wajahnya. Sendiri. Terpisah dr ruang.
Lekang, seperti warna waktu
pada kertas koreografi.

Tapi ia masih ingin meliukkan tangannya.
“Aku tak mirip dahulu,” katanya,
“tapi di fragmen ini kamu memerlukan saya.
Aku – hantu salju.”

Suaranya pelan. Seperti decak tulang
sewaktu di ruang latihan itu
tak ada lagi adegan.
Hanya napas. Mungkin ia masih di situ.

2012

Yang Tak Menarik Dari Mati


Yang tak menawan dr mati
adalah kebisuan sungai
di saat aku
menemuinya.
Yang menghibur dr mati
ialah sejuk watu-watu,
patahan-patahan kayu
pada arus itu.

2012



Barangkali Telah Kuseka Namamu

Barangkali sudah kuseka namamu

dengan sol sepatu
Seperti dlm perang yg lalu
kauseka namaku

Barangkali kau sudah menyeka bukan namaku
Barangkali gue sudah menyeka bukan namamu
Barangkali kita malah tak pernah di sini
Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi
1973