close

5 Contoh Puisi Rivai Apin

Rivai Apin & Contoh Karya SastranyaRivai Apin lahir di kota Padang Panjang, Sumatra Barat, 30 Agustus 1927. Pernah menempuh pendidikan ilmu aturan di Jakarta selama beberapa tahun. Pernah menjadi redaktur Nusantara, Gema Nusantara, Zenith, Zaman Baru, & Siasat. Pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, DPRD DKI Jakarta, & Pimpinan Pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) tahun 1959-1965. 


Menjadi tapol di Pulau Buru selama 14 tahun & gres bebas selesai tahun 1979. Harry Aveling mengumpulkan sajak Rivai Apin yg tercecer & menerbitkannya dgn judul Dari Dua Dunia yg Belum Sudah (Malaysia, 1972). Pernah menciptakan skenario film berjudul Peristiwa di Gang B (1995) yg tak kunjung difilmkan sampai wafatnya pada 29 April 1995.



Karya Sastra Rivai Apin:

  • Gema Tanah Air (1948)
  • Tiga Menguak Takdir (1950)
  • Dari Dua Dunia yg Belum Sudah (1972)

Inilah sajak-sajak karya Rivai Apin yg merupakan salah tokoh yg hidup satu angkatan dgn Chairil Anwar. Dalam salah satu sajaknya, ia pun mempersembahkan pada Chairil Anwar, yg berjudul ‘Orang Penghabisan’.

Orang Penghabisan
Untuk Chairil Anwar

Aku mengalah dgn seluruh kekayaanku:
Kekinian & ke akanan. Pada kursi panjang
Di kamar terperinci samar pada senja
Dengan rokok berkepulan di tangan.


Hari-hari gue jadikan pura dr kelaluan
Dan sekali-kali aku akan tertawa & tersenyum sendirian.

Tiap hari-hari mati membenamkan aku
Ke dlm benda-benda yg berlapukan & berdebuan
Tapi, sehabis kuap yg penghabisan, gue taku
Kepala akan berteleng dan
ekspresi yg meliang dgn bibir yg berat bergantungan
Akan keluar penyesalan: Hari-hari gres hanya cemooh keterlaluan.



Peristiwa

Malam membenamkan gue ke gang-gang
Dan dr saya, ia tak akan dapat tantangan.
Aku tahu, kapal-kapal telah berangkat
Dan tidaklah akan kukejar ini kepergian.


Aku tadi pula di tangga & di telingaku membising:
Orang bersuit-suitan & menyoraki,
Tapi satu kilat memutuskan:
Aku kembali ke tengah mereka.

Benciku, yg melendir di ekspresi kuludahkan ke kapal yg tak kena
dan satu ombak kecil lezat saja menjinjing ludahku lari



Elegi

Apa yg bisa kami rasakan, namun tak usah kami ucapkan
Apa yg bisa kami fikirkan, namun tak usah kami katakan
Janganlah kamu bersedih – & mari kami teruskan
Kami bawa ini kebenaran ke bintangnya & ke buminya.


Kami pun tahu, alasannya adalah ada satu kata dr kamu yg kami simpan
Satu pandang dr tanah retak menggersang, kemudian sedu menyesak dada,
Ah, kenangan padamu kan terus memburu,
– menakutkan seperti bayang di pondok seloyongan jikalau,
                                                         jikalau pelita sudah dipasang.
Tapi sarat kasih mirip Bapak yg mengulurkan tangan
Dan kamu kembali, seperti di hari-hari dahulu
                                 Ketika kamu & ini bumi mendegupkan hidup.

Kami tak kan lupakan kau, tatkala mengejar-ngejar & tatkala lari
– karena apa yg kami buru & apa yg kami lari
untuk itu mau serahkan nyawamu
        Pun tahu, seperti kau pun tahu, bahwa tak ada
Dewa atau Tuhan lain yg berguna untuk dihidupi disamping itu

Berhembus pun topan di padang tandus ini
                                           Tapi tapak kami yg tertanam di padang gersang,
Di mana kau dlm terkubur
Melanjutkan nyala, & kami yg tegak berdiri di sini ialah api.
Kita tahankan hidup di ini malam, yg akan melahirkan siang.

Kita yakni bawah umur dr satu Bapak
Kita ialah bawah umur dr satu Ibu
Dan mati bagi kita hanyalah soal waktu
Tapi kita semua menjaga satu Tuhan.

Adik yg akan tiba, Kakak yg sudah pergi
Kita angkutlah ini tanah-tanah yg retak,
Ini tanah-tanah yg gersang.
Keberatan beban, kesakitan bahu memikul, & kepahitan hati
                                                           akan kekalahan
Akan menyaratkan cinta pada keyakinan
Yang kita peluk.

Siasat, 9 Januari 1949


Kebebasan

Di atas hancuran tembok yg kuruntuhkan
Berdiri gue atas kuda putihku, gaya & jaya
Di hadapanku menghampar padang & bukit
Dengan lengkungan langit yg membuatku lapar ruangan.
Lalu dadaku menawarkan ruang
Bagi jantung yg menghantam berdentangan
Memancarkan darah yg ia degap degupkan
Darah kudaku pun ikut menjalang & dia
berlonjak-lonjakan oleh kekesalan
Lalu kulepas & kami menderu pacu ke pantai-pantai.



Melalui Siang Menembus Malam

I
Sebelum gadis-gadis jadi akil balig cukup akal,
Sebelum daun-daun akan menghijau & bunga berwarna segar,
Di sempit pinggiran, di mana batas cuma mampu dinikmati
– & ia tak akan meleset, namun mesti jujur dlm akreditasi –
Air mata akan menakik pipi
pikiran akan aben hati,
mengakibatkan diri orang kering kurus setelah nyala.
Musim kemarau sudah bangkitkan
dan hembuskan & sebarkan
napas kering akhir hayat,
Kebenaran kegembiraan dlm ledakan pertama
Dari balik tembok-tembok sepanjang gang-gang
maut mengintai tak kunjung putus
Manusia hanyalah anak dr beberapa jam.
Anak Manusia yg sekarang ini hanyalah tahu cita-cita yg patah,
burung-burung yg kekurangan nyanyi.
Dan hatinya, di padang kering, watu rengkah-rengkah digersangi kesempatan
Kini ia telah pahit verbal
dadanya berayutan, berat menawan ke dlm kubur.


II
Kebenaran kegembiraan dlm ledakan pertama
Kebenaran yg diakui hati
Tapi dipatahkan fikiran, sebab
dia minta jaminan bagi kehidupan mirip manusia biasa.
Pahit pertama yg menyebar dlm mulut
dan menuba dada
Pengertian inilah:
dia sudah mengaburkan batas
insan biasa & insan hebat
Kedua-dua yaitu belum dewasa manusia
Yang ditentukan oleh berjam-jam
“pada pokok mula ialah tindakan”
Kebenaran yg diakui hati tetapi dipatahkan anggapan
insan luar biasa minta jaminan bagi kehidupan;
Bagi orang yg lari sebagai binatang buruan: insan biasa
Datang melecut pada luka-luka
beliau yg sudah lari ke dlm gua-gua terakhir
sebab ia tidak ingin jadi barang sewa.


III
Demi cinta & jujur
mari kita berterus terang
Ini hidup yg menghampar di hadapan kita
demikian indah, demikian menarik, & penuh goda
namun jalannya telah menuju ke cemas
dan setan-setan di pinggiran jalan
bersorak-sorak mengusulkan.
Arus yg sudah diikutkan
membuat lupa dan kemegahan
menerangkan ketakutan…
Adakah suatu kemegahan itu bumi
Adakah sebuah kemegahan itu dasar
Kemegahan yg sudah dihantui oleh panik & penyesalan,
tetapi tak hendak diakui?


IV
Carilah penghabisan mimpi
Carilah penghabisan nyanyi
Tapi bagaimana? Kedua-dua tak akan habis-habis
Kedua-dua akan putus-putus
Mereka kedua memang mampu,
memang bisa, tetapi bagaimana…


V
Di mana akhir tempat akan terdapat
final daerah, yg membuka kaki langit
Tidak cukup kesepian, tak cukup pembuangan
tidak cukup ketahanan & kekuatan menjejak dasar
Tidak di atas tanah bumi, tak di atas air laut
Dalam ketika-antara di dlm jarak bumi & laut
Dan hirup udara dr dua rupa.
Bumi yg punya rupa & nama
menguapkan awan sakal & …
Di perhentian lanjut
Menyadari tempat & saat
Kemenangan & kekalahan
Membuat pengakuan kemudian pulang ke garis jalan,
Tujuan yg dimulai bersumber hati


VI
Di kawasan tuju yg membuka kaki langit
di kawasan yg setiap waktu dimandi hujan,
Biar di waktu siang atau di waktu malam.
Cari waktu yg tepat
Cari tempat yg wajar, & ingat
Tidak ada waktu & tempat bagi ia yg dilahirkan cahaya
dan hilang ditertawakan cahaya.
Dia yg dilahirkan di tengah malam terbongkar
dengan hutan rimba yg satu waktu patah-patah
dan lain waktu jadi padang kering
Dia akan hidup menuju pantai & jadi penguasa
Karena ia yakin:
Inilah bumi, air, & udara
Di atas mana, di dlm mana, & di antara mana
Anak Manusia harus hidup.
Dia perhitungkan segala hidup
Dia buat perkiraan di tiap mati
Dia hanya menggenggam nilai
Laut kekalan yg tak kenal batas,
di atas mana kapal, hidup berlayar
Dia telah mandikan dirinya di dalam
biru, kejujuran laut dgn angin puting-beliung & beling
mata sumber segala yg hidup
kepundan yg memancarkan segala tenaga
Dan gadis dgn keindahan penuh sehabis angin puting-beliung,
Akan keluar dr bahari yg biru bening.

  Buatlah 2 Bait Puisi Tentang Ibu Bait 1, 4 Baris, Bait 2, 4 Baris