close

10 Contoh Puisi Beni Setia

Contoh Karya Sastawan Beni Setia – Sosok sastrawan yg akan Sobat baca & pelajari makna yg terkandung didalamnya dibawahi ini bernama Beni Setia. Ia ialah sastrawan yg lahir di Bandung, 1954. Menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertanian Atas, Soreang, Bandung pada 1974. 


Ia merupakan sastrawan yg aktif menulis cerpen, puisi, serta esai sosial-budaya baik dlm bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda. Bukunya yg sudah terbit, Legiun Asing: Tiga Kumpulan Sajak (1987), Dinamika Gerak (1990), & Harendong (1996). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Caruban, Madiun, Jawa Timur. Beni menentukan menulis sebagai profesi tunggalnya.


Pendidikan terakhirnya SPMA, lulus tahun 1974. Puisi-puisinya banyak di muat dlm publikasi nasional seperti, Berita Buana, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Mangle, & Puisi Indonesia 83 (Buku II); pula diangkut dlm Antologi Yang Muda (1978), Senandung Bandung (1981), & Festival Desember (1981), dan Linus Suryadi AG (ed.), serta Tonggak 4 (br, 1987). 



Berikut 10 puisi Beni Setia yg bisa Sobat simak.

MENGAPA HANYA MALAIKAT

satu dua antara belantara (rambut
putih kehilangan hitam), satu dua
kelokan lengang menjelang malam. di ujung
menunggu pedang dgn rajam + rajam

“bila lisan banyak mengunyah, jikalau lambung
banyak memamah, kalau darah cuma berlemak:
apa tak terbaca plakat orang-orang lapar
pada setiap kerut lipat kulit perut?”

megap-megap bagai ikan, merayap bagai ketam
: tangan si miskin terkunyah larut di darah
o, kenapa cuma malaikat yg tahu, senyum
melihat jantung diremas-gemas dendam si lapar

jalan lengang, jalan panjang, jalan sangsi
bulan ramadhan; kenapa cuma malaikat yang
tahu? mengapa
mengapa hanya malaikat

1979/1983/1987

SOREANG, SILSILAH

kenapa pohon-pohon membentuk canopy daun,
tudung bagi batang tegak & hunjaman akar?

  Puisi: Luapan Emosi Hati Untuk Seseorang

melengkung bagai tenda cafe halaman dengan
hidangan es krim & steak sapi, dgn lelampu
temaran & sepasang mata yg bersipergok
–dan jari-jari berjalin bagai anyaman tas rotan

mirip payung ibu tatkala pulang dr pasar,
seperti parasut pasukan komando yg mau
menyusup ke sarang teroris, seperti selendang
di antara sejoli sehati diijabnikahkan penghulu

namun kenapa pohon-pohon itu merontokkan daun
sebelum batang kerontang & akar mengering?

RENOKENONGO, MEMO

jika surat itu tak sampai–tak terbaca
alasannya tersangkut di meja birokrasi

: duka akan berteriak–sampai urat leher
putus. & jika masih tak pula hingga

: duka menjadi angin–setiap dikala
mengusap kening. mengingatkan
akan rumah yg lenyap ditelan lumpur

setiap dikala akan mengetuk jendela mimpi
melulurkan efek bencana pada kantuk

CARUBAN, BANJIR

dari bahu & punggung: hujan tumpah
gemuruh–meluncur bersama bibir jurang

membendung. mencegat tumpahan semalam
di hulu, & membuat arus itu menggelegak
: ”kenapa kamu hambat perjalanan bergegas ini?”

wilis yg termangu itu, wilis yg menjulang
di selatan ingin bercerita wacana pohon-pohon
ditebang–dengan melumpurkan hamparan tanah

”tak ada yg tersisa” katanya–menyimpan bah
di balik pelangi, menahan arus kemudian melontarkan
semuanya dlm hitungan detik. gemuruh menghilir

CATATAN LIBURAN

kabut tipis membatasi matahari
pagi. ”ini ketika yg tepat untuk
tidur melungker,” kata kucing di
keset beranda–dari jauh tercium
wangi kopi & sisa ruap keringat petani

: pasangan kasmaran akan selalu malas
menyibak selimut. namun lelaki rembang usia
itu memakai sepatu & mulai menyusuri
setapak. mau menghabiskan masbodoh pagi dengan
langkah cepat & debur jantung pekerja pabrik

setelah riol dia memilih belok ke kiri–ke
arah setapak berbatas sawah & ladang,
lantas pohon beringin di ladang bambu,
turunan & deru arus sungai selepas hujan
semalam. desah tidak berguna menjangkau bibir tebing

  Kumpulan Puisi Hari Kebangkitan Nasional Karya Taufik Ismail

”dikala yg sempurna untuk kembali,”
kata benalu. bungalow di tebing,
pemandangan kota di utara & angin
sia-sia mengajak ke selatan. kini masbodoh pagi
mengabarkan usia lewat tunas tunggul randu


10/12.2008

PENGENALAN DIRI

kita dijaga oleh syaraf. tulang-tulang
dikemas kulit yg berlapis daging
tempat ribuan urat mengalirkan darah
–jantung mengisap serta mengempa
seirama dgn paru-paru menapis udara

kita dililit syahwat. dibina instink akar kiara
tumbuh dgn tekad menjulang mengaling
semak-semak & rumput dr berkah surya
jadi yg selalu menyala di tengah semesta
di antara planet & astroid–reruntuk keberadaan
sesal gerabah pecah dgn jejak embus nafas-Nya

DONGENG SEBELUM SARAPAN

sebuah pagi gue semakin mengetahui: kenapa
lelaki bau tanah itu sekuat tenaga memampatkan
udara ke dlm selongsong ban becak tuanya

di acuh taacuh pagi tatkala hujan tak mau nereda
dan langit cerah, ketika surya gelagapan menandai
hijau daun & orang-orang beku disaput lapar

itu mirip satu momen–nun dahulu kala:
di saat yg satu meniupkan nafas tulus
dan keleluasaan pada rongga dada ciptaan-Nya

RINDU TAK TERKUBURKAN

gelisah menyasar lambung, bagai
sedang menghaluskan permukaan
rindu, dgn amplas nomor 12—
miang baja mengkilaskan suasana hati

saya tak lagi jenak mengenangkanmu
—siksa berulang, ramadan memanjang
tanpa ada idul fitri & takbiran; sedang
mercon bersidentam menyerukan kangen

mirip perempuan hamil, dgn si
janin mati sebelum melahirkan: aku
menanggung cinta selamanya—melebihi
penguburan bawah kanopi bambu rimbun

nun. tetapi gue kembali setia menjemput
kembali ke pintu halaman—meski kaki
tidak jejak mirip selama itu. mengambang

2015

KABAR DARI YANG PULANG


udara busuk mercon. pekak sisa ledakan
ditandai cuilan kertas alit di halaman

  10 Puisi Pilihan Taufik Ismail

di situ mungkin ada secuil bahak, pada
lembap gelendong pecah di daun delima

sekaligus gaung tangis, tersiborehkan di
rumput—percik ranting ditabrak kalong

lantas lengang. setapak dilebati jejalan
rumput liar & sisa embun. bersulang

: adakah yg mati akan pulang terhadap
kekasih yg menanti 70 tahun ini?

mungkin harus menyusulmu—yang mati
tidak pernah balik mengabarkan ananda

2015

OUT OF GEOLOGY
–nirwan dewanto

di kaibab trail, di antara coconino plateau di titik
7260 kaki permukaan maritim & suspensión bridge
di 2420 kaki, di atas rentangan lesu colorado river
: merenungi lapisan tanda perjalanan waktu di bumi

leluhur hualapai, leluhur havasupai, bahkan hopi
serta navayo–mungkin leluhurku juga–: bagai
rajawali melayang diusung udara panas, membubung
hingga bayangannya melintas pada dinding jurang,
mengeja-ngeja di lapisan tanah. bergegas di antara
tatapan & kilat kamera turis berbaju katun,
yang abai pada membuktikan: sesudah 2 periode siapa yang
tetap tangguhpada permukaan bumi ciptaan manitou?

bumi yg carut-marut di antara rocky mountain
dan sierra nevada itu berjulukan colorado plateau:
bagai si kakek menidurkan grand canyon dengan
sponge, karang, kerang & kapur. mungkin juga
mantra kebangkitan bagi dengki yg ditidurkan,
jadi granit bungkam yg lena di kedalaman dan
dihimpit pasir, jemu digencet dlm menanti datang
aba-aba jari waktu. bisakah ia tetap sabar & tawakal?

di hadapan jam atomik yg abai akan fosil: manusia
hanya abstraksi. keberadaan hanyalah desir pasir-pasir
painted desert dihela angin & hingga di reservation
–kemashuran itu hanya sisa debu di sela kuku jari kaki

1988/2008