Tapi, Sabtu itu (23/1) SDN-SMPN Satu Atap 2 Sekotong di Gili Gede, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat sudah sepi. Hari Sabtu siswa memang lebih permulaan dipulangkan. Selain itu, kalau lepas zuhur, jika hujan turun dibarengi angin yang berhembus dari timur, para guru di sekolah itu butuh nyali untuk menyeberangi lautan.
Sebagai citra, Lombok Post menumpang bahtera berkapasitas 15 orang, tapi hanya diisi 9 orang. Berulang kali penumpang menarik napas panjang, sesekali berteriak melihat ombak menggulung. Ombak di perairan itu sepertinya marah. Air membasahi busana penumpang. Air masuk dalam perahu. Maka, kepulangan lebih awal para guru di SDN-SMPN Satu Atap 2 Sekotong hari itu lumrah saja.
“Kalau angin timur (Angin yang berhembus dari timur, red) ombak memang besar,’’ kata Mashur, satu-satunya guru yang tinggal di Gili Gede. Dia memang putra orisinil pulau itu.
Dermaga biasa penyeberangan ke Gili Gede ada di Tembowong. Hanya perlu waktu 15 menit. Tapi sekolah di Gili Gede berada di bagian lain pulau itu. Kaprikornus perahu harus mengitari pulau itu apalagi dahulu. Dengan menaiki bahtera nelayan bermesin 25 PK, perlu waktu 30 menit sampai ke sekolah. Sekolah itu persis berada di depan pesisir pantai.
Mashur yakni satu di antara 12 guru honor di sekolah itu. Guru negeri cuma 4 orang. Itu termasuk kepala sekolah. Jumlah siswa untuk Sekolah Dasar 157 orang, sementara SMP 37 orang. Mashur mengajar di Sekolah Menengah Pertama.
Jumlah siswa Sekolah Menengah Pertama memang sedikit. Tapi, sekolah Sekolah Menengah Pertama berbeda dengan Sekolah Dasar. Sebanyak-banyak murid SD, mereka tetap enam kelas. Satu kelas diampu satu orang guru sebagai wali kelas. Sementara SMP, berapapun jumlah siswanya tetap memerlukan guru mata pelajaran. Dan inilah yang menjadi duduk perkara di Gili Gede. Tak semua mata pelajaran mempunyai guru.
Mashur yang jebolan sarjana pendidikan Pendidikan Kewarganegaraan mesti mengajar mata pelajaran yang lain. Dia juga mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Selesai mengajar IPA, yang jauh dari pendidikan formalnya, Mashur pindah ke kelas yang lain mengajar Pendidikan Agama Islam (PAI).
Hari lain, sebelum masuk kelas mengajar satu di antara tiga mata pelajaran itu, laki-laki kelahiran 1979 ini membimbing siswa untuk pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes). Pelajaran olahraga. Makara dalam seminggu tak ada waktu lowong Mashur. Dia mengajar penuh empat mata pelajaran.
Mashur sadar mengajar empat mata pelajaran tidak akan optimal. Apalagi dia lulusan Pendidikan Kewarganegaraan yang harus mengajar IPA. Bidang yang sungguh jauh. Tapi mau tidak inginMashur “terpaksa” mengajar pelajaran lain.
Dia tidak sendiri. Guru yang lain, yang juga berstatus honor, Nasri Rahman juga mengajar ganda. Selain mengajar Bahasa Inggris, guru kelahiran 1986 itu mengajar juga Teknologi Informatika dan Komputer (TIK).
Meminta guru SD mengajar ke SMP juga tidak memungkinkan. Para guru di Sekolah Dasar telah pas jumlahnya. Mereka juga tidak kalah padat mengajar di kelas. Tapi alasannya adalah ialah keadaan yang memaksa, Sahabudin Muzakkir, guru SD mengajar Matematika di Sekolah Menengah Pertama.
“Kalau tidak merangkap begitu kasihan siswa SMP. Mereka tidak dapat belajar,’’ kata Mashur.
Seluruh guru mata pelajaran di Sekolah Menengah Pertama berstatus honorer. Hanya kepala sekolah yang merangkap kepala Sekolah Dasar yang PNS. Dengan aktivitas mengorganisir dua sekolah, berat rasanya meminta kepala sekolah untuk mengajar sarat di Sekolah Menengah Pertama yang kelemahan guru. Mengangkat guru honor adalah opsi. Walaupun di belakangnya duduk kasus timbul.
Dengan siswa yang berjumlah 37 orang, dana dukungan operasional sekolah (BOS) yang diterima begitu kecil. Sementara meminta pinjaman wali murid mustahil dijalankan. Anak-anak itu mau bersekolah saja Mashur bersyukur.
Hampir semua siswa yaitu anak nelayan miskin. Membebani mereka dengan banyak sekali “pemberian” yang menjadi “tradisi” sekolah-sekolah di kota, bisa-bisa membuat mereka enggan bersekolah.
Dengan kondisi keuangan sekolah yang pas-pasan, dan aturan modern dana BOS maksimal 15 persen boleh dipakai untuk gaji, maka guru-guru honorer di SMP di Gili Gede harus rela digaji rendah. Dalam sebulan, Mashur, yang mengajar empat mata pelajaran digaji Rp 62 ribu per bulan. Uang itu diberikan tiap tri wulan.
“Kalau mengandalkan honor guru tidak mampu makan. Apa yang dapat dibeli Rp 62 ribu,’’ kata Mashur yang mempunyai dua orang anak itu.
Untuk mengakali kebutuhan rumah tangga, Mashur juga bekerja selaku staf desa. Dan semua guru honor di sekolah itu mempunyai pekerjaan lain. Yang sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai pekerjaan utama. Mengajar dengan gaji Rp 62 ribu per bulan dianggap mereka sebagai dedikasi. Mashur dan beberapa guru honorer lahir dan besar di Gili Gede.
Jika Mashur dan guru gaji yang lain berhenti mengajar sebab upah yang tidak manusiawi itu, mungkin saja sekolah itu (Sekolah Menengah Pertama) bubar. Para guru honorer dari luar berpikir berpuluh-puluh kali mengabdi di sekolah itu. Bukan sekadar honor yang jauh dibawah honor “tukang membuatkopi” di kantor-kantor pemerintah. Tapi risiko dihantam ombak, dan biaya perjalanan yang tidak cukup ditutupi dengan upah jadi honorer.
Pemerintah Lombok Barat tidak menawarkan perahu bagi guru yang mengajar di Gili Gede. Berbeda misalnya dengan perhatian pemerintah Lombok Timur yang menyediakan bahtera bagi guru mereka yang mengajar di Gili Beleq. Perahu itu dapat diibaratnya selaku “perahu dinas”.
Guru di Gili Gede menumpang di bahtera nelayan. Mereka sudah mempunyai langganan. Tidak gratis. Mereka juga sangat tergantung acara beroperasinya perahu nelayan itu. Tapi, kata Mashur, para guru di Gili Gede senantiasa tiba pagi.
“Ada guru di sini tinggal di Cakranegara Mataram. Ada juga tinggal di Gerung, tetapi senantiasa tiba pagi,’’ kata Mashur.
Menurut dia, pemerintah sebaiknya punya kebijakan khusus. Guru negeri di Gili Gede, diberikan sumbangan khusus. Guru gaji diberikan honor khusus. Sebab, mengajar di kawasan terpencil itu butuh pengorbanan lebih besar dibandingkan mengajar di sentra kota. Dulu, ada program guru terpencil. Tapi belakangan program itu dihapus.
“Saya berharap sekali para penentu kebijakan dapat berkunjung ke sekolah ini agar tahu bagaimana usaha para guru,’’ katanya.
Sumber https://wirahadie.com