√ Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa Orde Baru

Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa Orde Baru – Usaha melaksanakan Pancasila & Undang-Undang Dasar 1945 dengan-cara murni & konsekuen menjadi tujuan utama pembentukan pemerintahan Orde Baru. Namun, kehati-hatian pemerintah Orde Baru terhadap ancaman komunis menjadikan peran negara sangat besar & mendominasi kehidupan penduduk .

A.  Pemerintahan Orde Baru

1. Pengertian Orde Baru

Orde Baru yakni suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa & negara yg diletakkan kembali pada pelaksanaan Pancasila & UUD 1945 dengan-cara murni & konsekuen. Dengan kata lain, Orde Baru yakni suatu orde yg mempunyai perilaku & tekad untuk mengabdi pada kepentingan rakyat & nasional dgn dilandasi oleh semangat & jiwa Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Lahirnya Orde Baru diawali dgn dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Dengan demikian Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) selaku tonggak lahirnya Orde Baru.

Pidato Presiden Soekarno

(“JASMERAH”)

Pada perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1966, presiden mengucapkan pidato di depan rakyat dr halaman Istana Merdeka yg diketahui dgn nama “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, disingkat “Jasmerah”.
Pidato yg kemudian menjadi pidato 17 Agustus Presiden Soekarno yg terakhir tersebut mendapat reaksi dr banyak sekali kelompok & menjadi materi pertentangan politik, yg di beberapa tempat menyebabkan timbulnya bentrokan-bentrokan fisik.

2. Lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966

Pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Negara diadakan Sidang Kabinet Dwikora yg telah disempurnakan yg dipimpin pribadi oleh Presiden Soekarno dgn tujuan untuk mencari jalan keluar terbaik biar mampu menuntaskan krisis yg memuncak dengan-cara bijak. Tatkala sidang tengah berlangsung, asisten presiden melaporkan bahwa di sekeliling istana terdapat pasukan yg tak diketahui . Untuk menyingkir dari segala sesuatu yg tak dikehendaki, maka Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang terhadap Waperdam II (Wakil Perdana Menteri II) Dr J. Laimena. Dengan helikopter, Presiden Soekarno didampingi Waperdam I, Dr Subandrio, & Waperdam II Chaerul Saleh menuju Istana Bogor. Seusai sidang kabinet, Dr J. Laimena pun menyusul ke Bogor.

Tiga Perwira Tinggi Perumusan Supersemar

Tiga orang perwira tinggi yakni Mayor Jenderal Basuki Rakhmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, & Brigadir Jenderal Amir Machmud menghadap Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat & Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan & Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk minta izin akan menghadap presiden. Pada hari itu juga, tiga orang perwira tinggi sepakat untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor dgn tujuan untuk meyakinkan pada Presiden Soekarno bahwa ABRI khususnya AD tetap siap siaga mengatasi kondisi. Di Istana Bogor Presiden Soekarno didampingi Dr Subandrio, Dr J. Laimena, & Chaerul Saleh serta ketiga perwira tinggi tersebut melaporkan situasi di ibukota Jakarta. Mereka pula memohon biar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk menanggulangi kondisi. Kemudian presiden mengeluarkan surat perintah yg ditujukan pada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan menjamin keamanan, ketenangan, & kestabilan jalannya pemerintahan demi keutuhan bangsa & negara Republik Indonesia. Adapun yg merumuskan surat perintah tersebut yaitu ketiga perwira tinggi, yakni Mayor Jenderal Basuki Rakhmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, & Brigadir Jenderal Amir Machmud bareng Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa. Surat itulah yg kemudian diketahui selaku Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.

3. Tindak Lanjut Supersemar

Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban Supersemar secepatnya mengambil perbuatan untuk menata kembali kehidupan bermasyarakat, berbangsa, & bernegara sesuai dgn Pancasila & Undang-Undang Dasar 1945, yakni sebagai berikut.
  • Tanggal 12 Maret 1966, dikeluarkanlah surat keputusan yg berisi pembubaran & larangan PKI beserta ormas-ormasnya yg bernaung & berlindung atau senada dengannya, beraktivitas & hidup di seluruh wilayah
  • Indonesia. Keputusan tersebut diperkuat dgn Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tangal 12 Maret 1966. Keputusan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan & pemberian dr seluruh rakyat karena merupakan salah satu realisasi dr Tritura.
  • Tanggal 18 Maret 1966 pengemban Supersemar mengamankan 15 orang menteri yg dinilai tersangkut dlm G 30 S/PKI & diragukan adab baiknya yg dituangkan dlm Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.
  • Tanggal 27 Maret pengemban Supersemar membentuk Kabinet Dwikora yg disempurnakan untuk menjalankan pemerintahan. Tokoh-tokoh yg duduk di dlm kabinet ini yakni mereka yg terperinci tak terlibat dlm G 30 S/PKI.
  • Membersihkan lembaga legislatif dimulai dr tokoh-tokoh pimpinan MPRS & DPRGR yg disangka terlibat G 30 S/PKI. Sebagai tindak lanjut kemudian dibentuk pimpinan DPRGR & MPRS yg baru. Pimpinan DPRGR gres memberhentikan 62 orang anggota DPRGR yg mewakili PKI & ormas-ormasnya.
  • Memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dgn jabatan direktur sehingga pimpinan DPRGR tak lagi diberi kedudukan selaku menteri. MPRS dibersihkan dr unsur-unsur G 30 S/PKI. Seperti halnya dgn DPRGR, keanggotaan PKI dlm MPRS dinyatakan gugur. Sesuai dgn Undang-Undang Dasar 1945, MPRS mempunyai kedudukan yg lebih tinggi daripada lembaga kepresidenan.

Pengamanan Menteri-Menteri Kabinet Dwikora Mayjen. Soeharto selaku pengemban Supersemar mengambil perbuatan dgn “pengamanan” terhadap sejumlah Menteri Kabinet Dwikora yg disempurnakan & tokoh-tokoh yg terlibat dlm G 30 S/PKI, yakni selaku berikut:

  1. Dr. Subandrio : Wakil PM I, Menteri Departemen Luar Negeri, Menteri Luar Negeri/Hubungan Ekonomi Luar Negeri.
  2. Dr. Chaerul Saleh : Wakil PM III, Ketua MPRS.
  3. Ir. Setiadi Reksoprodjo : Menteri Urusan Listrik & Ketenagaan.
  4. Sumardjan : Menteri Pendidikan Dasar & Kebudayaan.
  5. Oei Tju Tat, S.H. : Menteri Negara diperbantukan pada presidium kabinet.
  6. Ir. Surachman : Menteri Pengairan & Pembangunan Desa. 
  7. Jusuf Muda Dalam : Menteri Urusan Bank Sentral, Gubernur Bank Negara Indonesia. 
  8. Armunanto : Menteri Pertambangan. 
  9. Sutomo Martopradoto : Menteri Perburuhan. 
  10. A. Astrawinata, S.H : Menteri Kehakiman. 
  11. Mayjen. Achmadi : Menteri Penerangan di bawah presidium kabinet. 
  12. Drs. Moh. Achadi : Menteri Transmigrasi & Koperasi. 
  13. Letkol. Imam Sjafei : Menteri Khusus Urusan Pengamanan. 
  14. J.K Tumakaka : Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional. 
  15. Mayjen. Dr. Soemarno : Menteri/Gubernur Jakarta Raya.

Tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1966 diadakan Sidang Umum IV MPRS dgn hasil sebagai berikut.
  1. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 ihwal Pengesahan & Pengukuhan Supersemar.
  2. Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat & Daerah.
  3. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 wacana Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.
  4. Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 ihwal Pembentukan Kabinet Ampera.
  5. Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 perihal Peninjauan Kembali Tap. MPRS yg Bertentangan dgn UUD 1945.
  6. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ihwal Sumber Tertib Hukum RI & Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.
  7. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 ihwal Pembubaran PKI & Pernyataan PKI & Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.
Dengan berakhirnya Sidang Umum IV MPRS, mempunyai arti landasan permulaan Orde Baru berhasil ditegakkan. Demikian pula dua dr tiga tuntutan rakyat (Tritura) sudah dipenuhi, yakni pembubaran PKI & pembersihan kabinet dr unsur-unsur PKI. Sementara itu, tuntutan ketiga, yakni penurunan harga yg memiliki arti perbaikan bidang ekonomi belum diwujudkan. Hal itu terjadi karena syarat mewujudkannya perlu dilakukan dgn pembangunan dengan-cara terus-menerus & membutuhkan waktu yg cukup lama. Pelaksanaan pembangunan biar tanpa kendala & meraih hasil optimal memerlukan stabilitas nasional.

Pelurusan lembaga legislatif & eksekutif pasca-Supersemar

Pelurusan lembaga legislatif & direktur oleh pengemban Supersemar meliputi hal-hal berikut ini.
  1. Pimpinan DPRGR tak diberi kedudukan sebagai menteri, alasannya DPRGR adalah lembaga legislatif, sedangkan menteri yakni jabatan dlm lembaga eksekutif.
  2. Kedudukan presiden dikembalikan sesuai dgn UUD 1945 yakni di bawah MPRS bukan sebaliknya.
Pembubaran PKI serta pernyataan PKI & ormas-ormasnya sebagai organisasi terlarang di Indonesia ditetapkan oleh MPRS dgn Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966.

B. Ciri-Ciri Pokok Kebijakan Pemerintahan Orde Baru

Sebagai langkah awal untuk bikin stabilitas nasional, Sidang Umum IV MPRS sudah menetapkan untuk menugaskan Letjen. Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar yg sudah ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS No. IX/ MPRS untuk membentuk kabinet gres.

Presiden Soekarno & anggota Kabinet Ampera
Dibentuk Kabinet Ampera yg bertugas:

  1. membuat stabilitas politik,
  2. membuat stabilitas ekonomi.
Tugas pokok itulah yg disebut Dwidarma Kabinet Ampera. Program yg dicanangkan Kabinet Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yakni:
  1. memperbaiki perikehidupan rakyat utamanya di bidang sandang & pangan;
  2. melaksanakan penyeleksian lazim dlm deadline seperti tercantum dlm Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
  3. melaksanakan politik luar negeri yg bebas & aktif untuk kepentingan nasional sesuai dgn Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
  4. melanjutkan usaha antiimperialisme & antikolonialisme dlm segala bentuk & manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, tetapi pelaksanaannya dijalankan oleh Presidium Kabinet. Presidium Kabinet dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Kaprikornus, di sini terdapat dualisme kepemimpinan dlm Kabinet Ampera. Akibatnya, perjalanan peran kabinet kurang lancar yg berarti pula kurang menguntungkan bagi stabilitas politik.
Pada tanggal 22 Februari 1967 dgn sarat kebijaksanaan, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pada Jenderal Soeharto selaku pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Penyerahan kekuasaan tersebut merupakan insiden sungguh penting dlm usaha menanggulangi suasana konflik yg sedang memuncak pada dikala itu. Penyerahan itu tertuang dlm Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari 1967. Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yg menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi selaku pemegang jabatan presiden.
Jenderal Soeharto selaku pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/ 1966 pada tanggal 4 Maret 1967 menunjukkan informasi pemerintah di hadapan sidang DPRGR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan. Pemerintah tetap berpendirian bahwa solusi konstitusional perihal penyerahan kekuasaan tetap perlu dilaksanakan lewat sidang MPRS. Oleh lantaran itu, untuk menghindari pertentangan politik yg berlarut-larut, diadakan Sidang Istimewa MPRS dr tanggal 7 hingga dgn 12 Maret 1967 di Jakarta yg berhasil mengakhiri konflik politik. Berdasarkan Tap MPR XXXIII Secara lazim, kebijakan pemerintah Orde Baru terdiri atas kebijakan dlm negeri & kebijakan mancanegara.

1. Kebijakan Dalam Negeri

Struktur perekonomian Indonesia pada tahun 1950–1965 dlm kondisi kritis. Pemerintah Orde Baru menaruh landasan yg kuat dlm pelaksanaan pembangunan lewat tahapan Repelita, keadaan kritis ditandai oleh hal-hal selaku berikut.
  • Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian sehingga struktur perekonomian Indonesia lebih condong pada sektor pertanian.
  • Komoditas ekspor Indonesia dr materi mentah (hasil pertanian) menghadapi kompetisi di pasaran internasional, misalnya karet alam dr Malaysia, gula tebu dr Meksiko, kopi dr Brasil, & rempah-rempah dr Zanzibar (Afrika), sehingga devisa negara sangat minim & tak bisa mengimpor materi keperluan pokok masyarakat yg saat itu belum mampu dibuat di dlm negeri.
  • Tingkat investasi rendah & kurangnya tenaga jago di bidang industri, sehingga industri dlm negeri kurang meningkat .
  • Tingkat pemasukan rata-rata penduduk Indonesia sungguh minim. Tahun 1960-an cuma mencapai 70 dolar Amerika per tahun, lebih rendah dr pemasukan rata-rata penduduk India, Bangladesh, & Nigeria dikala itu.
  • Produksi Nasional Bruto (PDB) per tahun sangat minim. Di sisi lain pertumbuhan penduduk sungguh tinggi (rata-rata 2,5% per tahun dlm tahun 1950-an).
  • Indonesia selaku pengimpor beras terbesar di dunia.
  • Struktur perekonomian pada selesai tahun 1965, berada dlm kondisi yg sangat merosot. Tingkat inflasi sudah meraih angka 65% & sarana ekonomi di daerah-daerah berada dlm kondisi rusak berat karena ulah kaum PKI/BTI yg ketika itu berkuasa & dgn sengaja ingin mengacaukan situasi ekonomi rakyat yg menentangnya.
Tugas pemerintah Orde Baru yaitu menghentikan proses kemerosotan ekonomi & membina landasan yg kuat bagi pertumbuhan ekonomi ke arah yg masuk akal. Dalam mengemban peran utama tersebut, banyak sekali kebijaksanaan sudah diambil sebagaimana tertuang dlm acara jangka pendek menurut Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yg diarahkan pada pengendalian inflasi & usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, & pencukupan keperluan sandang. Program jangka pendek ini diambil dgn pertimbangan apabila laju inflasi telah bisa terkendalikan & suatu tingkat stabilitas tercapai, barulah dapat diinginkan pulihnya kegiatan ekonomi yg masuk akal serta terbukanya potensi bagi peningkatan bikinan. Dengan usaha keras tercapai tingkat perekonomian yg stabil dlm waktu relatif singkat. Sejak 1 April 1969 pemerintah sudah menaruh landasan dimungkinkannya gerak tolak pembangunan dgn ditetapkannya Repelita I. Dengan makin pulihnya suasana ekonomi, pada tahun 1969 bangsa Indonesia mulai melaksanakan pembangunan lima tahun yg pertama. Berbagai prasarana penting direhabilitasi serta iklim usaha & investasi dikembangkan. Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas yg sungguh tinggi karena menjadi kunci bagi pemenuhan keperluan pangan rakyat & sumber kehidupan sebagian besar masyarakat. Repelita I mampu dilaksanakan & selesai dgn baik, bahkan aneka macam kegiatan pembangunan dipercepat sehingga mampu dibarengi oleh Repelita selanjutnya. Perhatian khusus pada sektor paling besar yg berfaedah menghidupi rakyat, yakni sektor pertanian. Sektor pertanian harus dibangun lebih dahulu, sektor ini mesti ditingkatkan produktivitasnya. Bertumpu pada sektor pertanian yg makin tangguh itu kemudian barulah dibangun sektor-sektor lain. Demikianlah pada tahap-tahap permulaan pembangunan, dengan-cara sadar bangsa Indonesia memperlihatkan prioritas yg sangat tinggi pada bidang pertanian. Pembangunan yg dilaksanakan, yakni membangun banyak sekali prasarana pertanian, mirip irigasi & perhubungan, cara-cara bertani, & teknologi pertanian yg diajarkan & disebarluaskan pada para petani lewat kegiatan penyuluhan. Penyediaan fasilitas penunjang utama, mirip pupuk, diamankan dgn membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhan pembiayaan para petani ditawarkan lewat kredit perbankan. Pemasaran hasil bikinan mereka, kita berikan kepastian melalui kebijakan harga dasar & kebijakan stok beras.
Strategi yg mengutamakan pembangunan di bidang pertanian & berkat keteguhan serta kerja keras bangsa Indonesia, khususnya para petani, buatan pangan mampu terus ditingkatkan. Akhirnya, pada tahun 1984 bangsa Indonesia berhasil meraih swasembada beras. Hal ini merupakan titik balik yg sangat penting alasannya dlm tahun 1970-an, Indonesia merupakan negara pengimpor beras paling besar di dunia. Bersamaan dgn itu tercipta pula lapangan kerja & sumber mata pencaharian bagi para petani. Swasembada beras itu sekaligus memperkuat ketahanan nasional di bidang ekonomi, khususnya pangan.
Dengan ditetapkannya Repe-lita I untuk periode 1969/1970– 1973/1974, merupakan awal pembangunan periode 25 tahun pertama (PJP I tahun 1969/ 1970–1993/1994). Pembangu-nan dlm periode PJP I dimulai dgn pelaksanaan Repelita I dgn seni manajemen dasar diarahkan pada pencapaian stabilisasi nasional (ekonomi & politik), pertumbuhan ekonomi, serta menitikberatkan pada sektor pertanian & industri yg menunjang sektor pertanian.

  Sejarah Dibentuknya Permainan Bola Basket
Presiden Soeharto pada kunjungan kerja

Ditempatkannya stabilitas & pertumbuhan ekonomi sebagai taktik dasar dlm Repelita I tersebut dgn pertimbangan untuk melaksanakan Repelita sesuai dgn tahapan-tahapan yg sudah ditentukan (diprioritaskan). Demikian pula pertimbangan untuk menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian & industri yg menunjang sektor pertanian, didasarkan pertimbangan bahwa Indonesia merupakan negara bercorak agraris yg sebagian besar penduduknya (65%–75%) bermata pencaharian di bidang pertanian (termasuk kehutanan, perkebunan, perikanan, & peternakan). Ini berarti sektor pertanian memberi sumbangan terbesar pada penerimaan devisa & lapangan kerja. Mengingat pula bahwa sektor ini masih mempunyai kapasitas lebih yg belum dimanfaatkan. Oleh karena itu, salah satu indikasi yg disimpulkan dlm Repelita I ini yakni perlunya pengarahan sumber-sumber (resources) ke sektor pertanian. Secara lebih khusus, hal ini berarti meningkatkan bikinan pangan & ekspor. Adanya korelasi antarberbagai kegiatan ekonomi (inter-sectoral ) maka pertanian sebagai sektor pemimpin, dibutuhkan bisa mempesona & mendorong sektor-sektor lainnya, antara lain sektor industri yg menunjang sektor pertanian, mirip pabrik pupuk, insektisida serta prasarana ekonomi yang lain, misalnya sarana angkutan & jalan. Kegiatan pembangunan selama Pelita I sudah memperlihatkan hasil-hasil yg cukup menyenangkan, antara lain buatan beras sudah meningkat dr 11,32 juta ton menjadi 14 juta ton; pertumbuhan ekonomi dr rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun; pemasukan rata-rata penduduk (pendapatan per kapita) dr 80 dolar Amerika bisa ditingkatkan menjadi 170 dolar Amerika. Tingkat inflasi mampu ditekan menjadi 47,8% pada selesai Repelita I (1973/1974).

Repelita II untuk periode 1974/1975–1978/1979 dgn seni administrasi dasar diarahkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yg cukup tinggi, stabilitas nasional, & pemerataan pembangunan dgn penitikberatan pada sektor pertanian & peningkatan industri yg mengolah bahan mentah menjadi materi baku. Setelah Repelita II dilanjutkan dgn Repelita III untuk periode 1979/ 1980–1983/1984, yakni dgn titik berat pembangunan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan & meningkatkan industri mengolah materi baku menjadi materi jadi. Repelita III dilanjutkan dgn Repelita IV (1984/1985–1988/1989) dgn titik berat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan & meningkatkan buatan hasil pertanian lainnya. Pembangunan sektor industri meliputi industri yg menciptakan barang ekspor, industri yg banyak menyerap tenaga kerja, industri pengerjaan hasil pertanian, & industri yg dapat menciptakan mesin-mesin industri. PJP I sudah diakhiri dgn Repelita V (1989/1990–1993/1994). Tahun 1973, Majelis Permusyawaratan Rakyat merumuskan & memutuskan GBHN pertama merupakan taktik pembangunan nasional.
Tujuan setiap pelita selaku berikut.
  1. Meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, & kesejahteran rakyat.
  2. Meletakkan landasan yg kuat untuk tahap pembangunan selanjutnya.

Perkembangan industri pertanian & nonpertanian telah membawa hasil yg cukup menggembirakan. Hasil-hasilnya sudah dapat dirasakan & dinikmati dikala itu oleh penduduk Indonesia, antara lain selaku berikut.

a. Swasembada Beras

Sektor pertanian mesti dibangun lebih dulu, sektor ini mesti ditingkatkan produktivitasnya. Bertumpu pada sektor pertanian yg makin tangguh itulah, kemudian dibangun sektor-sektor yang lain. Pemerintah membangun aneka macam prasarana pertanian, ibarat irigasi & perhubungan, cara-cara bertani & teknologi pertanian yg gres diajarkan & disebarluaskan pada para petani lewat kegiatan-kegiatan penyuluhan, penyediaan pupuk dgn membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan lewat kredit perbankan. Pemasaran hasil-hasil bikinan mereka diberikan kepastian lewat kebijakan harga dasar & kebijakan stok beras oleh pemerintah (Badan Urusan Logistik atau Bulog). Strategi yg mendahulukan pembangunan pertanian tadi sudah berhasil mengirimkan bangsa Indonesia berswasembada beras, menyebarkan pembangunan dengan-cara luas pada rakyat, & meminimalisir kemiskinan di Indonesia.
Sejak tahun 1968 sampai dgn tahun 1992, buatan padi sungguh meningkat. Dalam tahun 1968 produksi padi meraih 17.156 ribu ton & pada tahun 1992 naik menjadi 47.293 ribu ton yg memiliki arti meningkat nyaris tiga kalinya. Perkembangan ini memiliki arti bahwa dlm periode yg sama, buatan beras per jiwa meningkat dr 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa. Prestasi yg besar, khususnya di sektor pertanian, sudah mengganti posisi Indonesia dr negara pengimpor beras paling besar di dunia dlm tahun 1970-an menjadi negara yg meraih swasembada pangan sejak tahun 1984. Kenyataan bahwa swasembada pangan yg tercapai pada tahun itu, pula selama lima tahun terakhir. 

b. Kesejahteraan Penduduk

Strategi mendahulukan pembangunan bidang pertanian disertai dgn pemerataan pemenuhan keperluan dasar rakyat yg meliputi penyediaan keperluan pangan, peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berniat, pendidikan dasar, air bersih, & perumahan sederhana. Strategi ini dilaksanakan dengan-cara konsekuen dlm setiap Repelita. Dengan taktik ini pemerintah sudah berhasil menghemat kemiskinan di tanah air. Hasilnya ialah jumlah penduduk miskin di Indonesia semakin menyusut. Pada tahun 1970-an ada 60 orang di antaranya yg hidup miskin dr setiap 100 orang penduduk. Jumlah penduduk miskin ini sungguh besar, yakni sekitar 55 juta orang. Penduduk Indonesia yg miskin ini terus menyusut jumlahnya dr tahun ke tahun. Pada tahun 1990 tinggal 15 orang yg masih hidup miskin dr setiap 100 orang. Hanya sedikit negara yg berhasil menurunkan jumlah kemiskinan penduduknya secepat pemerintah Indonesia. Prestasi ini membuat rasa percaya diri bangsa Indonesia bertambah tebal. Pada waktu Indonesia mulai membangun tahun 1969, penghasilan rata-rata per jiwa rakyat Indonesia hanya sekitar 70 dolar Amerika per tahun. Tahun 1993, penghasilannya sudah di atas 600 dolar Amerika. Selain menurunnya jumlah penduduk miskin & meningkatnya penghasilan rata-rata penduduk sebagaimana tersebut di atas, pula impian hidup penduduk sudah meningkat.
Jika pada permulaan tahun 1970-an penduduk Indonesia mempunyai harapan hidup rata-rata 50 tahun, maka dlm tahun 1990-an keinginan hidup itu telah meningkat menjadi lebih dr 61 tahun. Dalam kurun waktu yg sama, angka kematian bayi menurun dr 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup. Sementara itu, pertumbuhan penduduk pula mampu dikendalikan lewat program Keluarga Berencana (KB). Selama dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan penduduk meraih sekitar 2,3% per tahun. Pada permulaan tahun 1990-an, angka tadi sudah bisa diturunkan menjadi sekitar 2,0% per tahun.

c. Perubahan Struktur Ekonomi

Berdasarkan amanat GBHN 1983 dgn kebijakan pemerintah dlm pembangunan sudah terjadi perubahan struktur ekonomi. Dari titik berat pada sektor pertanian menjadi lebih berimbang dgn sektor di luar pertanian. Pada ketika Indonesia mulai membangun (tahun 1969), peranan sektor pertanian dlm Produk Domestik Bruto (PDB) dengan-cara persentase yakni 49,3%. Sektor-sektor di luar sektor pertanian, seperti sektor industri pengolahan 4,7%, bangunan 2,8%, perdagangan & jasa-jasa 30,7%. Melalui Repelita tampakbahwa tahun demi tahun peranan sektor pertanian sudah menurun. Sebaliknya, peranan sektor-sektor di luar sektor pertanian (nonpertanian, seperti industri pengolahan, bangunan, perdagangan, & jasa-jasa lainnya) memperlihatkan peningkatan peranan terhadap PDB.
Pada tahun 1990, sektor industri pengolahan meningkat mencapai 19,3%. Perdagangan, hotel, & kedai makanan meraih 16,1%, sedangkan jasa-jasa meraih 3,4%. Apabila dijumlahkan sektor-sektor di luar sektor pertanian tersebut, peranannya terhadap PDB tahun 1990 meraih 38,8%, bermakna jauh lebih tinggi dr peranan sektor pertanian yg cuma 19,6%.

d. Perubahan Struktur Lapangan Kerja

Lebih banyak tenaga kerja yg beralih dr lapangan usaha sektor pertanian ke sektor usaha yang lain karena bertambahnya lapangan kerja baru yg diciptakan. Selama periode tahun 1971 hingga dgn 1988 pertumbuhan tenaga kerja di luar sektor pertanian lebih cepat dibandingkan dgn pertumbuhan di sektor pertanian. Perubahan struktur tenaga kerja tersebut sudah pula menenteng efek terhadap cara hidup & keperluan hidup keluarga. Hal ini dgn sendirinya akan kuat terhadap teladan konsumsinya (adanya permohonan penduduk yg meningkat).

e. Perkembangan Investasi

Kebijakan deregulasi & debirokratisasi yg senantiasa dijalankan pemerintah di banyak sekali sektor ekonomi serta ditunjang adanya kemudahan infrastruktur yg makin bertambah baik di daerah-daerah, akan menjinjing iklim segar bagi investor baik dr dlm maupun luar negeri. Para investor ini akan menanamkan modalnya di daerah dgn banyak sekali produk baik dlm rangka penanaman modal dlm negeri (PMDN) maupun penanaman modal aneh (PMA).

Peristiwa Lima Belas Januari (Malari)

Sebagai kelanjutan agresi-aksi mahasiswa yg telah berjalan beberapa waktu, pada tanggal 15 & 16 Januari 1974, bertepatan dgn kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, di Jakarta terjadi demonstrasi-demonstrasi & kerusuhan-kerusuhan massal.
Kerusuhan-kerusuhan memuncak dgn perusakan-perusakan & pembakaran-pembakaran barang-barang buatan Jepang, khususnya kendaraan bermotor.
Tokoh-tokoh yg mesti bertanggung jawab terhadap kerusuhan tersebut ditahan & diajukan ke paras pengadilan, antara lain Hariman Siregar, Sjahrir dr Jakarta, & Muhammad Aini Chalid dr Yogyakarta.
Dari hasil investigasi di tampang pengadilan sudah terbukti bahwa rangkaian kejadian yg berpuncak pada kerusuhan tersebut, yg dimengerti selaku Peristiwa Malari merupakan tindakan pidana subversi.

f. Perkembangan Ekspor

Perkembangan investasi (PMDN & PMA) menenteng efek terhadap produk yg dihasilkan. Produk yg dihasilkan tersebut tak hanya ditujukan untuk pasaran dlm negeri, tetapi lebih banyak ditujukan untuk ekspor (pasaran mancanegara). Jenis barang yg dihasilkan industri dlm negeri setiap tahun memperlihatkan peningkatan baik jenis maupun nilai ekspor sebagaimana bisa dilihat perkembangannya.
Sejak Repelita I, penerimaan dlm negeri yg bersumber dr penerimaan nonmigas jauh lebih tinggi dr penerimaan migas. Namun, sesudah penanam modal ajaib menanamkan modal di sektor perminyakan sekitar tahun 1969/1970 (Repelita II) mulai tampakhasil ekspor migas sudah meningkat lebih tinggi ketimbang penerimaan ekspor nonmigas (perpajakan & bukan pajak). Hingga tahun 1985/1986 (tahun kedua Repelita IV), penerimaan dlm negeri sungguh bertumpu pada hasil ekspor migas. Namun, sewaktu terjadi krisis ekonomi yg melanda dunia di tahun 1980-an, maka hal tersebut sudah mempunyai efek negatif terhadap tingkat harga minyak bumi di pasaran dunia. Pasaran harga minyak bumi semenjak terjadinya krisis ekonomi dunia tak lagi mampu dikehendaki. Sejak itu harga minyak bumi telah anjlok dr 25,13 dolar Amerika per barel dlm bulan Januari 1986 turun menjadi 9,83 dolar Amerika per barel dlm bulan Agustus 1986. Anjloknya harga minyak bumi di pasaran dunia sudah memengaruhi penerimaan dlm negeri.
Dalam upaya memperbaiki kondisi ekonomi & keuangan negara, menteri keuangan RI pada tanggal 12 September 1986, sudah mengambil tindakan devaluasi rupiah terhadap nilai mata uang aneh & segera mengubah struktur penerimaan dlm negeri dr ketergantungan pada penerimaan migas beralih pada penerimaan nonmigas. Dengan devaluasi ini dibutuhkan komoditas nonmigas Indonesia akan meningkat lantaran dgn asumsi sederhana, devaluasi sebesar 45% barang (komoditas) Indonesia akan lebih ekonomis biaya 45% bila dibeli dgn dolar Amerika Serikat. Dengan demikian, barang-barang ekspor nonmigas Indonesia akan mempunyai daya saing lebih kuat di pasaran internasional. Untuk meningkatkan penerimaan dlm negeri dr sektor nonmigas, pemerintah sudah mengambil tindakan khusus untuk memaksimalkan penerimaan dr ekspor nonmigas, ibarat kebijaksanaan deregulasi & debirokratisasi.
Sebaliknya, dgn devaluasi 45% ini memiliki arti barang-barang impor akan meningkat harganya 45% jikalau dibeli dgn rupiah. Berdasarkan gambaran perkiraan sederhana ini, maka efek devaluasi yg bisa dikehendaki yakni di satu pihak ekspor nonmigas akan meningkat, di lain pihak impor akan berkurang. Dengan demikian, neraca pembayaran Indonesia akan mampu dipertahankan pada tingkat yg sehat.

g. Laju Pertumbuhan Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sudah mendorong laju pertumbuhan ekonomi dengan-cara nasional yg diukur dgn Produksi Domestik Bruto (PDB). Tingkat pertumbuhan PDB selama periode 1969–1989 yg diukur atas dasar harga yg berlaku maupun menurut harga konstan menunjukkan adanya peningkatan. Sejak tahun 1969 hingga dgn tahun 1983 yg merupakan tahun terakhir Pelita III, tingkat rata-rata pertum-buhannya sebesar 7,2% per tahun. Selanjutnya, tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi selama Pelita IV yg diukur dgn PDB tahun 1983 sebesar 5,2% per tahun. Berarti lebih tinggi ketimbang rata-rata laju pertumbuhan ekonomi per tahun yg direncanakan dlm Repelita IV sebesar 5,0%. Sementara itu, tingkat pertumbuhan PDB tahun 1989 yg merupakan tahun pertama pelaksanaan Pelita V (1989/1990–1993/1994) ialah 7,4%, & tahun 1990 sebesar 7,4% (tahun kedua). Dalam tahun-tahun berikutnya menampilkan laju pertumbuhannya yaitu tahun 1991 sebesar 6,8%, tahun 1992 sebesar 6,3%, & tahun 1993 yg merupakan tahun terakhir pelaksanaan Pelita V sebesar 6,0%. Makara, pertumbuhan ekonomi Pelita V rata-rata ialah 6,9% per tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun yg direncanakan dlm Repelita V sebesar 5,0%.
Repelita VI (1994/1995–1998/1999) yg merupakan tahapan pem-bangunan lima tahun pertama dlm periode 25 tahun kedua Pembangunan Jangka Panjang (PJP II), pertumbuhan ekonomi yg dijadwalkan dlm Repelita VI adalah rata-rata 6,2% per tahun.

Trilogi Pembangunan Nasional

Dalam pelaksanaan pembangunan nasional setiap tahap pelita mesti bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yakni selaku berikut.
  1. Pemerataan pembangunan & hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
  2. Pertumbuhan ekonomi yg cukup tinggi.
  3. Stabilitas nasional yg sehat & dinamis.
  Lagu Flamboyan Oleh Trio Bimbo

2. Kebijakan Luar Negeri

Langkah-langkah yg diambil oleh Kabinet Ampera dlm menata kembali politik luar negeri, antara lain selaku berikut.

a. Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB

Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 & tercatat sebagai anggota ke-60. Sebagai anggota PBB, Indonesia sudah banyak memperoleh faedah & pinjaman dr organisasi internasional tersebut. Manfaat & pinjaman PBB, antara lain selaku berikut.
  1. PBB turut berperan dlm mempercepat proses pengesahan de facto ataupun de jure kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional.
  2. PBB turut berperan dlm proses kembalinya Irian Barat ke wilayah RI.
  3. PBB banyak menunjukkan sumbangan pada bangsa Indonesia dlm bidang ekonomi, sosial, & kebudayaan.
Hubungan yg serasi antara Indonesia & PBB menjadi terganggu sejak Indonesia menyatakan diri keluar dr keanggotaan PBB pada tanggal 7 Januari 1965. Keluarnya Indonesia dr keanggotaan PBB tersebut selaku protes atas diterimanya Federasi Malaysia selaku anggota tak tetap Dewan Keamanan PBB, sedangkan Indonesia sendiri pada sewaktu itu sedang berkonfrontasi dgn Malaysia. Akibat keluar dr keanggotaan PBB, Indonesia simpel terkucil dr pergaulan dunia. Hal itu terperinci sangat merugikan pihak Indonesia.

b. Penghentian Konfrontasi dgn Malaysia

Indonesia melaksanakan konfrontasi dgn Malaysia setelah diumumkan Dwikora oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1964. Tindakan pemerintah Orde Lama ini terperinci menyimpang dr pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif.
Pada masa Orde Baru, politik mancanegara Indonesia dikembalikan lagi pada politik bebas aktif sesuai dgn Pancasila & Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini merupakan pelaksanaan dr Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966. Indonesia segera memulihkan hubungan dgn Malaysia yg sejak 1964 terputus. Normalisasi hubungan Indonesia–Malaysia tersebut berhasil dicapai dgn ditandatangani Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus 1966. Persetujuan normalisasi korelasi Indonesia–Malaysia merupakan hasil negosiasi di Bangkok (29 Mei–1 Juni 1966). Perundingan dilaksanakan Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Malaysia, Tun Abdul Razak & Menteri Utama/Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik. Perundingan sudah membuat persetujuan yg diketahui selaku Persetujuan Bangkok. Adapun persetujuan Bangkok mengandung tiga hal pokok, yakni selaku berikut.
  1. Rakyat Sabah & Serawak akan diberi potensi menegaskan lagi keputusan yg sudah diambil mengenai kedudukan mereka dlm Federasi Malaysia.
  2. Kedua pemerintah menyepakati memulihkan hubungan diplomatik.
  3. Kedua pemerintah menghentikan segala bentuk permusuhan. 

c. Pembentukan Organisasi ASEAN

Association of Southeast Asian Nations atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau diketahui dgn nama ASEAN. ASEAN merupakan organisasi regional yg dibuat atas prakarsa lima menteri mancanegara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Kelima menteri mancanegara tersebut yaitu Narsisco Ramos dr Filipina, Adam Malik dr Indonesia, Thanat Khoman dr Thailand, Tun Abdul Razak dr Malaysia, & S. Rajarat-nam dr Singapura.

Penandatanganan Deklarasi Bangkok

Penandatanga-nan naskah pembentukan ASEAN dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok sehingga naskah pembentukan ASEAN itu disebut Deklarasi Bangkok. Syarat menjadi anggota ialah dapat menyepakati dasar & tujuan pembentukan ASEAN seperti yg tercantum dlm Deklarasi ASEAN. Keanggotaan ASEAN bertambah seiring dgn banyaknya negara yg merdeka. Brunei Darussalam dengan-cara resmi diterima menjadi anggota ASEAN yg keenam pada tanggal 7 Januari 1984. Vietnam diterima menjadi anggota ASEAN ketujuh pada tanggal 28 Juli 1995. Sementara itu, Laos & Myanmar bergabung dgn ASEAN pada tanggal 23 Juli 1997 & menjadi anggota kedelapan & kesembilan. Kampuchea menjadi anggota ASEAN yg kesepuluh pada tanggal 30 April 1999.

ASEAN mempunyai tujuan utama, antara lain:
  1. menaruh dasar yg kukuh bagi usaha bersama dengan-cara regional dlm mempercepat pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan sosial, & perkembangan kebudayaan;
  2. menaruh landasan bagi terwujudnya suatu penduduk yg sejahtera & tenang di daerah Asia Tenggara;
  3. memberi sumbangan ke arah pertumbuhan & kemakmuran dunia;
  4. mengembangkan perdamaian & stabilitas regional dgn menghormati keadilan, aturan, serta prinsip-prinsip Piagam PBB;
  5. mengembangkan kerja sama aktif & tukar-menukar sumbangan untuk kepentingan bareng dlm bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, teknik, ilmu pengetahuan, & manajemen;
  6. meningkatkan pelajaran-pelajaran (studies) tentang Asia Tenggara;
  7. meningkatkan kerja sama yg erat & bermanfaat, di tengah-tengah organisasi-organisasi regional & internasional yang lain dgn maksud & tujuan yg sama & menjajaki semua bidang untuk kolaborasi yg lebih erat di antara anggota.
Dasar kerja sama ASEAN ialah:
  1. saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, integritas teritorial, & identitas semua bangsa;
  2. mengakui hak setiap bangsa untuk penghidupan nasional yg bebas dr ikut campur tangan, subversi, & konversi dr luar;
  3. tidak saling mencampuri urusan dlm negeri masing-masing;
  4. menyelesaikan perkelahian & persengketaan dengan-cara damai;
  5. tidak menggunakan bahaya & penggunaan kekuatan;
  6. menjalankan kolaborasi dengan-cara efektif.

d. Keikutsertaan Indonesia dlm Berbagai Organisasi Internasional

Pemerintahan Indonesia masa Orde Baru pula aktif dlm beberapa lembaga internasional, mirip berikut ini.

1) Consultative Group on Indonesia (CGI)

Sebelum pemerintah Indonesia mendapat proteksi dana pembangunan dr Consultative Group on Indonesia (CGI) apalagi dahulu mendapat pertolongan dana pembangunan dr Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI).
Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) diresmikan pada tahun 1967. Tujuannya, memberi pertolongan kredit jangka panjang dgn bunga ringan pada Indonesia untuk ongkos pembangunan. Anggota IGGI terdiri atas dua kelompok.
  • Negara-negara kreditor, mirip Inggris, Prancis, Belgia, Italia, Swiss, Jepang, Belanda, Jerman Barat, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, & Kanada.
  • Badan keuangan dunia baik internasional maupun regional, mirip Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund), & Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
IGGI berpusat di Den Haag (Belanda). Ketua IGGI dijabat oleh Menteri Kerja Sama Pembangunan Kerajaan Belanda. Bantuan IGGI pada Indonesia, antara lain berupa :
  • pinjaman proyek,
  • sumbangan acara,
  • sumbangan pangan,
  • derma teknik,
  • devisa kredit (devisa yg diperoleh dr pinjaman), dan
  • grant (sumbangan atau hadiah).
Bantuan IGGI pada Indonesia ini diberikan setiap tahun. Setiap tahun diselenggarakan sidang IGGI untuk membahas & mengecek pelaksanaan pembangunan Indonesia selaku dasar pemberian santunan tahun berikutnya.
  • Bantuan yg berupa pinjaman (devisa kredit) bersyarat lunak dgn bunga berkisar 0–3% setahun dgn jangka waktu angsuran berkisar 7–10 tahun.
  • Bantuan dr IGGI yg digunakan untuk pembangunan proyek-proyek produktif & kesejahteraan sosial itu, antara lain selaku berikut.
  • Bantuan teknik, biasanya tak diterima dlm bentuk uang, namun dlm bentuk pertolongan tenaga hebat, peralatan laboratorium, & pengamatan.
  • Grant dipakai untuk ongkos banyak sekali macam keperluan pembangunan, misalnya untuk berbelanja kapal transportasi maritim.
  • Devisa kredit & pemberian pangan dipakai untuk ongkos impor barang modal, materi baku, & materi kuliner.
  • Bantuan proyek digunakan untuk ongkos pembangunan proyek listrik, pembangunan telekomunikasi, pengairan, pendidikan, kesehatan (program KB), & prasarana yang lain.
  • Bantuan jadwal dipakai untuk ongkos penyusunan acara pembangunan.

Pada tanggal 25 Maret 1992, IGGI bubar sebab Indonesia menolak tunjangan Belanda yg dianggap terlalu banyak mengaitkan pinjaman luar negerinya dgn dilema politik di Indonesia. Sebagai penggantinya, pemerintah Indonesia meminta pada Bank Dunia membentuk Consultative Group on Indonesia (CGI).
CGI mengadakan sidang pertama kali di Paris, Prancis tanggal 16 Juli 1992. Sidang dihadiri oleh 18 negara & 10 lembaga internasional yg dipimpin oleh Bank Dunia. Anggota CGI terdiri atas negara-negara bekas anggota IGGI (kecuali Belanda) & lembaga-lembaga internasional.

Negara anggota CGI itu, antara lain:

a)
Jepang,
j)
Austria,
b)
Korea Selatan,
k)
Kanada,
c)
Amerika Serikat,
l)
Italia,
d)
Prancis,
m)
Spanyol,
e)
Jerman,
n)
Finlandia,
f)
Inggris,
o)
Swedia,
g)
Swiss,
p)
Norwegia, dan
h)
Belgia,
q)
Selandia Baru.
i)
Denmark,
Lembaga internasional yg ikut dlm CGI, antara lain:

a)
World Bank,
j)
UNESCO,
b)
ADB,
k)
UNHCR,
c)
UNDP,
l)
IAEA,
d)
WFP,
m)
Mordic Invesment Bank,
e)
UNFPA,
n)
IFAD,
f)
WHO,
o)
IDB,
g)
FAO,
p)
UNICEF,
h)
UNIDO,
q)
Kuwait Fund, dan
i)
ILO,
r)
Saudi Fund.

2) Asia Pasific Economic Cooperation (APEC)

APEC merupakan forum kerja sama ekonomi negara-negara di daerah Asia & Pasifik. APEC terbentuk pada bulan Desember 1989 di Canberra, Australia. Gagasan APEC timbul dr Robert Hawke, Perdana Menteri Australia dikala itu.
Latar belakang terbentuknya APEC yakni perkembangan suasana politik & ekonomi dunia pada waktu itu yg berganti dgn cepat. Hal ini disertai dgn kekha-watiran gagalnya negosiasi Putaran Uruguay (kasus perdaga-ngan bebas). Apabila jual beli bebas gagal disepakati, disangka akan mengakibatkan perilaku proteksi dr negara-negara maju.
Wakil dr beberapa negara dlm KTT APEC di Bogor
Indonesia, selaku anggota APEC, mempunyai peranan yg cukup penting. Dalam konferensi di Seattle, Amerika Serikat (1993), Indonesia ditunjuk selaku Ketua APEC untuk periode 1994–1995. Sebagai Ketua APEC, Indonesia berhasil menyelenggarakan konferensi APEC di Bogor pada tanggal 14–15 November 1994 yg didatangi oleh 18 kepala negara & kepala pemerintahan negara anggota.
Sidang APEC di Tokyo tahun 1995, memutuskan bahwa periode jual beli bebas akan mulai diberlakukan tahun 2003 bagi negara maju & 2010 bagi negara berkembang.

C. Meningkatnya Peran Negara & Dampaknya bagi Masyarakat

Melalui Pemilu, rakyat mampu memakai hak politiknya untuk menentukan kandidat-kandidat wakilnya yg akan duduk dlm lembaga perwakilan rakyat. Pemilihan lazim mempunyai fungsi & tujuan yg amat penting dlm rangka menegakkan demokrasi di suatu negara. Fungsi penyeleksian biasa yg pokok yakni selaku berikut.
  1. Pemilihan biasa ialah fasilitas untuk menyalurkan hak politik warga negara sesuai dgn opsi supaya aspirasinya mampu tersalur lewat wakilnya yg terpilih.
  2. Pemilihan biasa yakni fasilitas pelaksanaan asas kedaulatan rakyat dlm suatu negara.
  3. Pemilihan lazim berfungsi se-bagai akomodasi untuk menegakkan pemerintahan yg demokratis
  4. karena lewat Pemilu rakyat mampu menentukan para wakilnya dengan-cara langsung, biasa , bebas, & membisu-membisu.
Selain fungsi di atas, penyeleksian lazim pula mempunyai tujuan, antara lain:
  1. menentukan anggota-anggota badan legislatif, DPRD I, & DPRD II;
  2. menyalurkan aspirasi rakyat melalui wakilnya dengan-cara konstitusional;
  3. membentuk susunan keanggotaan MPR.
Dalam upaya memurnikan demokrasi Pancasila, semenjak Pemilu tahun 1971 dasar yg dipakai ialah Pancasila & Undang-Undang Dasar 1945. Di dlm tata cara demokrasi Pancasila Pemilu berasas pribadi, lazim, bebas, & rahasia. Tujuannya pun sesuai dgn Undang-Undang Dasar 1945, yaitu memilih anggota-anggota dewan perwakilan rakyat, DPRD I, DPRD II, & mengisi keanggotaan MPR. Begitu pula waktu penyelenggaraan Pemilu sudah memenuhi aturan Undang-Undang Dasar 1945, yakni setiap lima tahun sekali. Hal yg demikian itu belum bisa dilaksanakan pada masa Orde Lama.
Dalam rangka membersihkan aparatur negara & tata kehidupan bernegara dr unsur-unsur PKI & segala ormasnya, pemerintah tak memberi hak pilih pada bekas anggota PKI & segala ormasnya yg terlibat G 30 S/PKI. Ketegasan sikap ini sangat penting dlm rangka tetap mewaspadai ancaman laten PKI & penyusupan ideologinya.
Namun, sikap berhati-hati & kehati-hatian pemerintahan Orde Baru itu sangat kebablasan yg menimbulkan kiprah negara makin membelenggu banyak sekali faktor kehidupan penduduk . Istilah pembangunan, atas nama rakyat, stabilitas, & pertumbuhan menjadi jargon yg dilontarkan pemerintahan Orde Baru. Untuk mencapai tujuan semua itu, negara mengambil kiprah besar yg sungguh menentukan dgn menempatkan pada tangan presiden. Sebetulnya, dengan-cara semu pemerintahan Orde Baru mirip pada masa Indonesia melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Hanya pejabat presidennya saja yg ganti, sistemnya tetap sama.
Orde Baru dgn motor penggerak Golongan Karya (Golkar) & ABRI berupaya mengambil peranan yg lebih besar pada faktor kehidupan bermasyarakat, berbangsa, & bernegara dgn mengatasnamakan negara.

Golkar yg dibina oleh Presiden Soeharto terus berusaha mengamankan posisi pemerintahan semenjak Pemilu 1971. Golkar menjadi partai pemenang Pemilu 1971 & berupaya untuk mempertahankannya. Tap. MPRS No. XLII/MPRS/ 1968 perihal pergeseran Tap. MPRS No. XI/MPRS/1966 wacana Pemilihan Umum masih disertai banyak partai. Ada sepuluh partai peserta penyeleksian biasa 1971. Akibat penyederhanaan peserta Pemilu oleh negara pada Pemilu 1977 sampai simpulan masa pemerintahan Orde Baru cuma disertai tiga kontestan. Partai peserta Pemilu itu terdiri atas Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, & Partai Persatuan Pembangunan. Dua partai kecil, yakni Partai Demokrasi Indonesia & Partai Persatuan Pembangunan hanyalah partai penggembira & partai perhiasan dr tata cara demokrasi model Indonesia, yakni Demokrasi Pancasila.
Stabilitas menjadi unsur penting dlm melaksanakan pembangunan. Untuk itu, pemerintah Orde Baru berupaya bikin stabilitas dgn berusaha menertibkan lawan-musuh politiknya. Aparatur negara mesti betul-betul setia & patuh pada pemerintahan yg berkuasa yg dikamuflasekan selaku penjelmaan & atas nama rakyat. Untuk itu, lahir organisasi Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) untuk wadah para pegawai pemerintah. Pemerintah pula membentuk aneka macam organisasi untuk banyak sekali profesi, kalangan masyarakat, & mahasiswa. Muncul organisasi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) untuk buruh, PGRI (Persatuan Guru Indonesia) untuk guru, KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) untuk para pemuda, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) untuk para wartawan & masih banyak lagi. Semua organisasi sosial kemasyarakatan itu, sayangnya arah pembentukannya cuma ditujukan untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah. Caranya pada setiap pelaksanaan Pemilu mereka diarahkan & diwajibkan untuk menentukan Golkar bukan diberi fleksibilitas untuk menentukan.
Pemilihan Orde Baru pula seakan-akan cemas dgn ideologi komunis. Pancasila dijadikan alat negara yg ampuh untuk menghantam ideologi komunis. Untuk lebih memasyarakatkan Pancasila & dgn argumentasi menghalangi berkembangnya komunis di tengah penduduk , mulai tahun 1978 dgn ketetapan MPR dikeluarkan penjabaran Pancasila yg dikenal sebagai Eka Prasetya Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan & Pengamalan Pancasila (P-4). Semua faktor kehidupan bermasyarakat harus bersendikan Pancasila & P-
Setiap pelajar, mahasiswa, penduduk , & pegawai pemerintah wajib mengikuti penataran P-4 supaya wawasan & cara berpikir mereka seragam untuk mendukung pemerintah Orde Baru. Sertifikat kelulusan hasil penataran P-4 menjadi dokumen penting. Pada pemerintahan Orde Baru, ABRI pula menempati posisi penting dlm kehidupan bernegara. ABRI memang memegang kendali semenjak penumpasan G 30 S/PKI & yaitu kebetulan sekali kalau kepala pemerintahan Indonesia yaitu mantan militer. Melalui konsep dwifungsi, ABRI merupakan kekuatan signifikan dlm percaturan politik Indonesia. Mereka banyak yg ditunjuk menjadi anggota MPR. Dengan mempergunakan dwifungsi ABRI ini, Orde Baru telah berhasil melegitimasi kekuasaan.

Melalui pemikiran Prof. Dr. Wijoyo Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardana, Prof. Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Drs. Radius Prawiro, Prof. Dr. Ir. Moh. Sadli, Prof. Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, & Prof. Dr. Subroto hasil pendidikan dr Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat berhasil menata kembali struktur ekonomi Indonesia yg morat-marit. Karena orientasi pemikiran ekonomi Indonesia yg senantiasa bertumpu pada para alumnus Berkeley tersebut menimbulkan mereka dijuluki Mafia Berkeley. Berdasarkan hasil pemikiran para ekonom lulusan Berkeley tersebut, Indonesia pada permulaan pemerintahan Orde Baru berhasil menangani krisis ekonomi yg diderita. Banyak modal absurd tiba, industri meningkat pesat, & muncul potensi kerja. Indonesia pula menjalin kerja sama dgn lembaga keuangan dunia, menyerupai Dana Moneter Internasional (IMF) & Bank Dunia (World Bank).

D. Dampak Revolusi Hijau & Industrialisasi terhadap Perubahan Sosial Ekonomi di Pedesaan & Perkotaan pada Masa Orde Baru

Perkembangan ilmu pengetahuan & teknologi dlm sektor pertanian di Indonesia tak lepas dr perkembangan sektor industri pertanian itu sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan & teknologi pertanian di dunia ditandai dgn hadirnya Revolusi Hijau.

1. Revolusi Hijau

Munculnya beberapa teknik pertanian pada kala ke-17 & kala ke-18 dapat dilacak dr jenis flora baru & beberapa perubahan ekonomi. Pada masa sekarang ini di negara yg maju & sedang meningkat terjadi perbedaan makin besar dlm taraf hidup masyarakatnya. Hal ini disebabkan perbedaan antara efisiensi teknologi pertanian & peningkatan jumlah penduduk.

Perubahan-pergantian di bidang pertanian bahu-membahu sudah berkali-kali terjadi dlm sejarah kehidupan insan yg biasa diketahui dgn istilah revolusi. Perubahan dlm bidang pertanian itu dapat berupa perlengkapan pertanian, pergantian rotasi tumbuhan, & perubahan tata cara pengairan. Usaha ini ada yg cepat & lambat. Usaha yg cepat inilah disebut revolusi, yakni peru-materi dengan-cara cepat menyangkut problem pembaruan teknologi pertanian & peningkatan produksi pertanian, baik dengan-cara kuantitatif maupun kualitatif. Revolusi Hijau merupakan kepingan dr pergantian-perubahan yg terjadi dlm sistem pertanian pada masa sekarang ini.
Revolusi Hijau intinya merupakan suatu pergantian cara bercocok tanam dr cara tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau ditandai dgn makin berkurangnya ketergantungan petani pada cuaca & alam, digantikan dgn kiprah ilmu pengetahuan & teknologi dlm upaya meningkatkan bikinan pangan. Revolusi Hijau sering disebut pula Revolusi Agraria. Pengertian agraria meliputi bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, & kehutanan.
Lahirnya Revolusi Hijau lewat proses panjang & hasilnya meluas ke wilayah Asia & Afrika. Revolusi Hijau mulai mendapat perhatian sehabis Thomas Robert Malthus (1766–1834) mulai melaksanakan penelitian & me-maparkan hasilnya. Malthus menyatakan bahwa kemiskinan yakni dilema yg tak bisa disingkirkan oleh insan. Kemiskinan terjadi karena pertumbuhan penduduk & peningkatan bikinan pangan yg tak sepadan. Pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan dgn peningkatan hasil pertanian (pangan). Malthus berpendapat bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, 31, 64, & seterusnya), sedangkan hasil pertanian mengikuti deret hitung (1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, & seterusnya).
Hasil observasi Malthus itu menjadikan kegemparan di Eropa & Amerika. Akibatnya, muncul aneka macam gerakan pengendalian pertumbuhan penduduk & usaha observasi penelusuran hibrida dlm bidang pertanian. Revolusi Hijau menjadi proyek observasi untuk meningkatkan bikinan pangan di banyak sekali negara di dunia. Sejumlah varietas padi-padian baru yg unggul, khususnya gandum, padi, & jagung dikembangkan dlm upaya melipat-gandakan hasil pertanian. Pelaksanaan pengamatan pertanian disponsori oleh lembaga Ford and Rockefeller Foundation. Penelitian itu dilaksanakan di negara Meksiko, Filipina, India, & Pakistan.
Di Meksiko pada tahun 1944 diresmikan suatu sentra observasi benih jagung & gandum. Pusat observasi ini mendapat bimbingan eksklusif dr Rockefeller Foundation. Hanya dlm bertahun-tahun, para peneliti di lembaga tersebut berhasil mendapatkan beberapa varietas gres yg hasilnya jauh di atas rata-rata hasil varietas lokal Meksiko.
Diilhami oleh keberhasilan hasil penelitian di Meksiko, pada tahun 1962 Rockefeller Foundation bekerja sama dgn Ford Foundation mendirikan sebuah tubuh pengamatan untuk tanaman padi di Filipina. Badan observasi ini dinamakan International Rice Research Institute (IRRI) yg bertempat di Los Banos, Filipina. Pusat pengamatan ini ternyata pula menciptakan suatu varietas padi baru yg hasilnya jauh melampaui rata-rata hasil varietas lokal di Asia. Varietas gres tersebut merupakan hasil persilangan genetik antara varietas padi kerdil dr Taiwan yg berjulukan Dee-Geowoogen & varietas padi jangkung dr Indonesia yg berjulukan Peta. Hasil dr persilangan tersebut diberi nama IR 8-288-3 atau biasa diketahui dgn IR-8 & di Indonesia dimengerti dgn sebutan padi PB-8. Setelah inovasi padi PB -8 disusul oleh penemuan varietas-varietas gres yg lain. Jenis-jenis bibit dr IRRI ini di Indonesia disebut padi unggul gres (PUB). Pada tahun 1966, IR-8 mulai disebarkan ke Asia diikuti oleh penyebaran IR-5 pada tahun 1967. Pada tahun 1968 di India, Pakistan, Sri Lanka, Filipina, Malaysia, Taiwan, Vietnam, & Indonesia sudah dilaksanakan penanaman padi jenis IR atau PUB dengan-cara luas di penduduk . Pada tahun 1976 areal sawah di Asia yg ditanami PUB sudah meraih 24 juta hektar.
Revolusi Hijau yakni proses keberhasilan para teknologi pertanian dlm melaksanakan persilangan (breeding) antarjenis tanaman tertentu sehingga membuat jenis flora unggul untuk meningkatkan buatan materi pangan. Jenis tumbuhan unggul itu mempunyai ciri berumur pendek, menunjukkan hasil bikinan berlipat ganda (dibandingkan dgn jenis tradisional) & gampang menyesuaikan diri dlm lingkungan apapun, asal menyanggupi syarat, antara lain:

  • tersedia cukup air;
  • pemupukan teratur;
  • tersedia materi kimia pemberantas hama & penyakit;
  • tersedia materi kimia pemberantas rerumputan pengganggu.
  Pelajaran Sejarah, Tema, Ucapan Untuk Perayaan Hari Lingkungan Hidup
Revolusi Hijau mampu menunjukkan keuntungan bagi kehidupan umat manusia, tetapi pula menyampaikan imbas negatif bagi kehidupan umat insan.
Keuntungan Revolusi Hijau bagi umat manusia, antara lain sebagai berikut.
  • Revolusi Hijau memunculkan datangnya tanaman jenis unggul berumur pendek sehingga intensitas penanaman per tahun menjadi bertambah (dari satu kali menjadi dua kali atau tiga kali per dua tahun). Akibatnya, tenaga kerja yg dibutuhkan lebih banyak. Demikian pula kewajiban pemupukan, pemberantasan hama & penyakit akan memperbesar keperluan tenaga kerja.
  • Revolusi Hijau mampu meningkatkan pendapatan petani. Dengan paket teknologi, ongkos buatan memang bertambah. Namun, tingkat bikinan yg dihasilkannya akan menyampaikan sisa laba jauh lebih besar daripada usaha pertanian tradisional.

Revolusi Hijau mampu merangsang kesadaran petani & penduduk kebanyakan akan pentingnya teknologi. Dalam hal ini, terkandung persepsi atau harapan bahwa dgn masuknya petani ke dlm arus utama kehidupan ekonomi, petani, & masyarakat pada umumnya akan menjadi sejahtera.
Revolusi Hijau merangsang dinamika ekonomi masyarakat karena dgn hasil melimpah akan melahirkan pertumbuhan ekonomi yg meningkat pula di masyarakat. Hal ini sudah terjadi di beberapa negara, contohnya di Indonesia.
Revolusi Hijau di Indonesia diformulasikan dlm desain ‘Pancausaha Tani’ yaitu:
  • pemilihan & penggunaan bibit unggul atau varitas unggul;
  • pemupukan yg teratur;
  • pengairan yg cukup;
  • pemberantasan hama dengan-cara intensif;
  • teknik penanaman yg lebih teratur.
Untuk meningkatkan buatan pangan & bikinan pertanian biasanya dilakukan dgn empat usaha pokok, yakni selaku berikut.
  • Intensifikasi pertanian : usaha meningkatkan bikinan pertanian dgn menerapkan pancausaha tani.
  • Ekstensifikasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dgn membuka lahan gres tergolong usaha penang-kapan ikan & penanaman rumput untuk ma-kanan ternak.
  • Diversifikasi pertanian : usaha meningkatkan bikinan pertanian dgn keragaman usaha tani.
  • Rehabilitasi pertanian : usaha meningkatkan bikinan pertanian dgn pemulihan kemampuan daya produkstivitas sumber daya pertanian yg sudah kritis.
Dampak negatif hadirnya Revolusi Hijau bagi para petani Indonesia, antara lain selaku berikut.
  • Sistem bagi hasil mengalami perubahan. Sistem panen dengan-cara bersama-sama pada masa sebelumnya mulai digeser oleh tata cara upah. Pembeli memborong seluruh hasil & biasanya memakai sedikit tenaga kerja. Akibatnya, peluang kerja di pedesaan menjadi menyusut.
  • Pengaruh ekonomi duit di dlm banyak sekali hubungan sosial di tempat pedesaan makin kuat.
  • Ketergantungan pada pupuk kimia & zat kimia pembasmi hama juga besar lengan berkuasa pada tingginya biaya buatan yg mesti ditanggung petani.
  • Peningkatan buatan pangan tak diikuti oleh pendapatan petani dengan-cara keseluruhan lantaran penggunaan teknologi terbaru cuma dicicipi oleh petani kaya.

2. Pengaruh Revolusi Hijau terhadap Perubahan Sosial Ekonomi di Pedesaan & Perkotaan pada Masa Orde Baru

Sebelum Revolusi Hijau, produksi padi yg merupakan materi pangan utama di Indonesia masih bergantung pada cara pertanian dgn mengandalkan luas lahan & teknologi yg sederhana. Pada periode kemudian, intensifikasi pertanian menjadi tumpuan bagi peningkatan produksi pangan nasional. Usaha peningkatan bikinan pangan di Indonesia sudah dijalankan sejak tahun 1950-an. Pada waktu itu, pemerintah menerapkan kebijakan Rencana Kemakmuran Kasimo. Program itu dijalankan pada kurun waktu tahun 1952–1956. Keinginan meraih buatan pangan yg tinggi kemudian dilanjutkan. Beberapa acara gres dilaksanakan, ibarat acara padi sentra pada tahun 1959– 1962 & program panduan masyarakat (bimas) pada tahun 1963–1965. Program-program tersebut telah merintis penerapan prinsip-prinsip Revolusi Hijau di Indonesia lewat pelaksanaan kegiatan Pancausaha Tani yg meliputi intensifikasi & mekanisasi pertanian. Berbagai usaha sudah dilaksanakan oleh pemerintah (departemen pertanian), menyerupai “Bimas (Bimbingan Massal), Intensifikasi Masal (Inmas), Insus (Intensifikasi Khusus), Opsus (Operasi Khusus). Insus & Opsus lebih menekankan pada peningkatan partisipasi petani dengan-cara golongan & pegawanegeri pembina dlm meningkatkan bikinan. Insus merupakan upaya intensifikasi kelompok guna meningkatkan potensi lahan, sedangkan opsus merupakan upaya meraih lahan yg belum diintensifikasi & mencoba memberi rangsangan dlm peningkatan buatan.
Berbagai usaha yg sudah dilakukan belum berhasil menutupi keperluan pangan yg besar. Produksi beras per tahun memperlihatkan peningkatan dr 5,79 juta ton pada tahun 1950 menjadi 8,84 juta ton pada tahun 1965. Namun, jumlah beras yg tersedia per jiwa masih tetap rendah sehingga impor beras masih tetap tinggi. Tatkala ekonomi nasional memburuk pada permulaan tahun 1960-an, persediaan beras nasional pula menurun. Akibatnya, harga beras meningkat & masyarakat sukar menerima beras di pasar. Tatkala Pelita I dimulai pada tahun 1969, suatu planning peningkatan hasil tanaman pangan khususnya beras dijalankan lewat jadwal intensifikasi penduduk (inmas). Program inmas tersebut untuk melanjutkan agenda bimbingan penduduk (bimas).
Pusat-sentra observasi itu tak hanya bergantung pada pembudidayaan jenis padi yg sudah dikembangkan oleh IRRI. Para peneliti Indonesia pula melakukan penyilangan terhadap jenis padi setempat. Mereka berhasil menemukan jenis padi gres yg lebih bermutu, baik dlm penanaman, tingkat produksi, maupun rasa dgn mempergunakan teknologi gres yg ada. Hasilnya, berbagai macam benih unggul yg dikenal selaku padi IR, PB, VUTW, C4, atau Pelita ditanam dengan-cara luas oleh para petani Indonesia semenjak tahun 1970-an.
Perkembangan Revolusi Hijau di Indonesia mengalami pasang surut karena faktor alam ataupun kerusakan ekologi. Hal ini tentu saja memengaruhi persediaan beras nasional. Pada tahun 1972, produksi beras Indonesia terancam oleh mulut secara umum dikuasai kering yg panjang. Usaha peningkatan bikinan beras nasional sekali lagi terganggu karena serangan hama dgn mencakup wilayah yg sungguh luas pada tahun 1977. Produksi pangan mengalami kenaikan tatkala agenda intensifikasi khusus (insus) dilaksanakan pada tahun 1980. Hasilnya, Indonesia bisa meraih tingkat swasembada beras & berhenti meng-impor beras pada tahun 1984. Padahal, pada tahun 1977 & 1979 Indonesia merupakan pengimpor beras paling besar di dunia. Selain mempergunakan jenis padi gres yg unggul, peningkatan bikinan beras di Indonesia didukung oleh penggunaan pupuk kimia, mekanisasi pengolahan tanah, acuan tanam, pengem-bangan teknologi pascapanen, penggunaan bahan kimia untuk membasmi hama pengganggu, pencetakan sawah gres, & perbaikan serta pembangunan sarana & prasarana irigasi. Selain kebijakan intensifikasi, Indonesia pula melaksanakan pencetakan sawah gres. Sampai tahun 1985, sudah terdapat 4,23 juta hektar sawah beririgasi khususnya di Jawa, Bali, & Nusa Tenggara Barat dibandingkan sekitar 1,8 juta hektar pada tahun 1964. Selama empat pelita, sudah dibangun & diperbaiki sekitar 8,3 juta hektar sawah beririgasi.
Dengan demikian Revolusi Hijau menyampaikan efek yg positif dlm pengadaan pangan. Sejak tahun 1950 Indonesia masuk menjadi anggota FAO (Food and Agricultur Organization). FAO sudah banyak memberi santunan untuk pengembangan pertanian. Keberhasilan Indonesia dlm swasembada pangan dibuktikan dgn adanya penghargan dr FAO pada tahun 1988. Hal ini bermakna Indonesia sudah mampu menanggulangi duduk perkara pangan.

3. Pengembangan Sektor Industri & Dampaknya

Presiden Soeharto pada panen raya

Sesuai tahapan yg ada dlm pelita, sektor industri pula mengalami penargetan & pencapaian sasaran, seperti berikut ini.

  • Pelita I (1 April 1969–31 Maret 1974) sektor pertanian & industri dititikberatkan pada industri yg mendukung sektor pertanian.
  • Pelita II (1 April 1974–31 Maret 1979) sektor pertanian & industri dititikberatkan pada industri yg mengolah bahan mentah menjadi materi baku.
  • Pelita III (1 April 1979–31 Maret 1984) sektor pertanian & industri dititikberatkan pada pembuatan materi baku menjadi barang jadi.
  • Pelita IV (1 April 1984–31 Maret 1989) sektor pertanian & industri dititikberatkan pada industri yg membuat mesin-mesin industri baik untuk industri berat maupun ringan.
  • Pelita V (1 April 1989–31 Maret 1994) sektor pertanian & industri diprogramkan untuk dapat menghasilkan barang ekspor industri yg menyerap banyak tenaga kerja, industri yg bisa mengolah hasil pertanian & swasembada pangan & industri yg mampu membuat barang-barang industri.
  • Pelita VI (1 April 1994–31 Maret 1998) sektor pertanian & industri dititikberatkan pada pembangunan industri nasional yg mengarah pada penguatan & pendalaman struktur industri didukung kemampuan teknologi yg makin meningkat.
Dengan penargetan & pencapaian hasil teknologi yg dimaksudkan, Indonesia berkembang menjadi tempat industri di aneka macam tempat. Lahan-lahan pertanian banyak berkembang menjadi daerah industri, baik oleh pemodal gila (PMA) maupun pemodal dlm negeri (PMDN). Mental pejabat Orde Baru yg korup memperbesar parah dampak industrialisasi di Indonesia. Banyak industri yg tak mempunyai atau tak lolos dlm penyampaian analisis dampak lingkungan (AMDAL), tetapi lantaran bisa menyuap pejabat berwenang yg mengeluarkan izin pendirian wilayah industri, alhasil bisa membangun industri tersebut. Jika semua unsur pendirian industri yg mengarah pada ramah lingkungan itu tercukupi, tentu dampak negatifnya mampu ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian, kelestarian lingkungan hidup akan bisa senantiasa dijaga.

Demikianlah postingan yg admin bagikan mengenai Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa Orde Baru. Semoga berfaedah & jangan lupa ya, baca pula artikel sebelumnya ihwal Revolusi Menegakkan Panji-Panji NKRI.