Manusia purba tidak mengenal goresan pena dalam kebudayaannya. Periode kehidupan ini dipahami dgn zaman pra-abjad. Masa pra- karakter berlangsung sungguh lama jauh melebihi periode kehidupan insan yg sudah mengenal goresan pena. Oleh lantaran itu, untuk mampu mengetahui pertumbuhan kehidupan insan pada zaman pra-karakter kita perlu mengetahui tahapan-tahapannya.
2. Memahami Teks
Sebelum mengenali tahapan-tahapan atau pembabakan perkembangan kehidupan & kebudayaan zaman pra-huruf, perlu anda ketahui lebih dlm apa yg dimaksud zaman pra- karakter. Pra-karakter yakni ungkapan baru untuk menggantikan ungkapan prasejarah. Penggunaan ungkapan prasejarah untuk menggambarkan perkembangan kehidupan & budaya insan di saat belum mengenal goresan pena yaitu kurang tepat. Pra bermakna sebelum dan sejarah merupakan sejarah sehingga prasejarah memiliki arti sebelum ada sejarah. Sebelum ada sejarah memiliki arti sebelum ada acara kehidupan insan. Dalam kenyataannya sekalipun belum mengenal tabrakan pena, makhluk yang dinamakan manusia sudah mempunyai sejarah dan sudah menghasilkan kebudayaan. Oleh karena itu, para hebat mempopulerkan ungkapan pra- abjad untuk mengambil alih ungkapan prasejarah.
Pra-abjad berasal dr dua kata, yakni pra yang bermakna sebelum dan abjad yang memiliki arti gesekan pena. Dengan demikian zaman pra-abjad ialah masa kehidupan insan sebelum mengenal ukiran pena. Ada ungkapan yang mirip dengan perumpamaan pra-abjad, yakni perumpamaan nirleka. Nir bermakna tanpa dan leka bermakna tabrakan pena. Karena belum ada gesekan pena maka untuk mengetahui sejarah & hasil-hasil kebudayaan insan merupakan dgn menyaksikan beberapa sisa peninggalan yang bisa kita peroleh. Kapan waktu dimulainya zaman pra-huruf? Kapan zaman pra-abjad itu rampung? Zaman pra-karakter dimulai sudah tentu semenjak manusia ada, itulah titik dimulainya masa pra- abjad. Zaman pra-abjad berakhir sehabis manusianya mulai mengenal tabrakan pena. Pertanyaan yg sukar untuk dijawab ialah kapan tepatnya insan itu mulai ada di bumi ini sebagai membuktikan dimulainya zaman pra-huruf?. Sampai sekarang para andal belum bisa dengan-cara pasti menunjuk waktu kapan mulai ada insan di paras bumi ini. Tetapi yg terang untuk menjawab pertanyaan itu ananda perlu mengetahui kronologi perjalanan kehidupan di permukaan bumi yg rentang waktunya sungguh panjang. Bumi yg kita huni kini diperkirakan mulai terjadi sekitar 2.500 juta tahun yg lalu.
Bagaimana kalau kita ingin melaksanakan kajian ihwal kehidupan zaman pra-karakter? Untuk mengusut zaman pra- aksara, para sejarawan mesti menggunakan metode penelitian ilmu arkeologi & pula ilmu alam mirip geologi dan biologi. Ilmu arkeologi yakni bidang ilmu yang mengkaji bukti-bukti atau jejak tinggalan fisik, mirip lempeng artefak, monumen, candi & sebagainya. Berikutnya memakai ilmu geologi & percabangannya, terutama yg berkenaan dgn pengkajian usia lapisan bumi, & biologi berkenaan dgn kajian wacana ragam hayati (biodiversitas) makhluk hidup.
Mengingat jauhnya jarak waktu masa pra-huruf dgn kita kini, maka tak jarang orang mempersoalkan apa perlunya kita berguru perihal zaman pra-abjad yg telah lama ditinggalkan oleh manusia terbaru. Tetapi persepsi seperti ini sungguh menyesatkan, alasannya yaitu tentu ada keterkaitannya dgn kekinian kita. Beberapa di antaranya akan dikemukakan berikut ini.
Data etnografi yg menggambarkan kehidupan penduduk pra-abjad ternyata masih berlangsung hingga sekarang. Entah itu pola hunian, pola pertanian subsistensi, teknologi tradisional & konsepsi kepercayaan wacana hubungan harmoni antara manusia & alam, bahkan kebiasaan memiara binatang mirip anjing dan kucing di lingkungan manusia modern perkotaan. Demikian pula kebiasaan bertani merambah hutan dgn motode ‘tebang lalu bakar’ (slash and burn) untuk menyanggupi keperluan secukupnya masih ada hingga kini. Namun, kebiasaan merambah hutan & hidup berpindah-pindah pada masa kemudian tak memunculkan malapetaka asap yg mengusik penerbangan domestik. Selain itu, pula mengganggu bandara negara tetangga Singapura & Malaysia mirip yg sering terjadi tamat-selesai ini. Teknologi insan modernlah yg bisa melaksanakan perambahan hutan dengan-cara besar-besaran, entah itu untuk perkebunan atau pertambangan, & permukiman real estate sehingga menimbulkan malapetaka kabut asap & kerusakan lingkungan.
Arti penting dr pembelajaran ihwal sejarah kehidupan zaman pra-karakter pertama-tama yaitu kesadaran akan asal seruan manusia. Tumbuhan mempunyai akar. Semakin tinggi tumbuhan itu, kian dlm pula akarnya menghunjam ke bumi hingga tak simpel tumbang dr terpaan angin angin ribut atau petaka yang lain. Demikian pula halnya dgn insan. Semakin berbudaya seseorangataukelompok masyarakat, semakindalam pula kesadaran kolektifnya wacana asal usul & penghargaan terhadap tradisi. Jika tak demikian, insan yg melalaikan budaya bangsanya akan praktis terombang-ambing oleh terpaan budaya asing yg lebih kuat, sehingga dgn sendirinya kehilangan identitas diri. Makara bangsa yg gampang meninggalkan tradisi nenek moyangnya akan simpel didikte oleh budaya lebih banyak didominasi dr luar yg bukan miliknya.
Kita bisa belajar banyak dr keberhasilan & capaian prestasi terbaik dr pendahulu kita. Sebaliknya kita pula mencar ilmu dr kegagalan mereka yg sudah menimbulkan malapetaka bagi dirinya atau bagi banyak orang. Untuk memetik pelajaran dr uraian ini, mampu kita katakan bahwa nilai terpenting dlm pembelajaran sejarah perihal zaman pra-karakter, & sesudahnya ada dua yakni selaku ilham untuk pengembangan logika kehidupan & selaku perayaan. Selebihnya kecerdasan & pikiran-pikiran kritislah yg akan menerangi kehidupan masa kini & masa depan.
Sekarang timbul pertanyaan, semenjak kapan zaman pra-karakter berakhir? Sudah barang tentu zaman pra-karakter itu rampung sehabis kehidupan insan mulai mengenal gesekan pena. Terkait dgn masa berakhirnya zaman pra-aksara masing-masing tempat akan berlainan. Penduduk di Kepulauan Indonesia gres memasuki masa abjad sekitar periode ke-5 M. Hal ini jauh lebih telat bila dibandingkan di tempat lain contohnya Mesir & Mesopotamia yg sudah mengenal goresan pena semenjak sekitar tahun 3000 SM. Fakta-fakta masa huruf di Kepulauan Indonesia dihubungkan dgn temuan prasasti peninggalan kerajaan bau tanah seperti Kerajaan Kutai di Muara Kaman, Kalimantan Timur.
B. Terbentuknya Kepulauan Indonesia
1. Mengamati Lingkungan
Bumi kita yg terbentang luas ini diciptakan Tuhan Yang Maha Pencipta untuk kehidupan & kepentingan hidup manusia. Di bumi ini hidup banyak sekali tumbuhan & fauna serta tempat bersemainya insan dgn keturunannya. Di bumi ini kita bisa melihat keindahan alam, kita bisa beraktivitas & berikhtiar memenuhi kebutuhan hidup kita. Namun mesti dipahami bahwa bumi kita pula sering memunculkan insiden. Sebagai teladan hadirnya aktivitas lempeng bumi yg kemudian melahirkan gempa bumi baik tektonis maupun vulkanis, bahkan hingga memunculkan tsunami. Sebagai teladan tentu ananda masih ingat bagaimana gempa & tsunami yg terjadi di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, di Papua & beberapa di daerah lain, tergolong beberapa gunung berapi meletus. Bencana tersebut sudah mengakibatkan ribuan nyawa hilang & harta benda terbang.
Fenomena alam yg terjadi itu merupakan penggalan tak terpisahkan dr acara panjang bumi kita semenjak proses terjadinya alam semesta ratusan bahkan ribuan juta tahun yg lalu. Proses tersebut dengan-cara geologis mengalami beberapa tahapan atau pembabakan waktu. Berikut ini kita mencoba menelaah ihwal pembabakan waktu alam dengan-cara geologis & bagaimana Kepulauan Indonesia terbentuk.
2. Memahami Teks
Merujuk pada tarikh bumi di atas, sejarah di Kepulauan Indonesia terbentuk lewat proses yg panjang & rumit. Sebelum bumi didiami insan, kepulauan ini hanya diisi tumbuhan flora & fauna yg masih sangat kecil dan sederhana. Alam juga harus menjalani evolusi terus-menerus untuk menemukan keseimbangan semoga mampu menyesuaikan diri dgn perubahan kondisi alam & iklim, sehingga makhluk hidup bisa bertahan dan meningkat biak mengikuti seleksi alam.
Gugusan kepulauan ataupun wilayah maritim mirip yang kita dapatkan kini ini terletak di antara dua benua dan dua samudra, antara Benua Asia di utara dan Australia di selatan, antara Samudra Hindia di barat & Samudra Pasifik di belahan timur. Faktor letak ini memainkan peran strategis sejak zaman kuno hingga kini. Namun sebelum itu marilah kita sebentar berkenalan dgn kondisi alamnya, terutama unsur-unsur geologi atau unsur- unsur geodinamika yg sungguh berperan dlm pembentukan Kepulauan Indonesia.
Menurut para andal bumi, posisi pulau-pulau di Kepulauan Indonesia terletak di atas tungku api yg bersumber dr magma dalam perut bumi. Inti perut bumi tersebut berupa lava cair bersuhu sungguh tinggi. Makin ke dalam tekanan dan suhunya makin tinggi. Pada suhu yg tinggi itu material-material akan meleleh sehingga material di pecahan dlm bumi senantiasa berbentuk cairan panas. Suhu tinggi ini terus-menerus bergejolak menjaga cairan semenjak jutaan tahun kemudian. Tatkala ada celah lubang keluar, cairan tersebut keluar berupa lava cair. Tatkala lava meraih permukaan bumi, suhu menjadi lebih hambar dr ribuan derajat menjadi cuma bersuhu normal sekitar 30 derajat. Pada suhu ini cairan lava akan membeku membentuk batuan beku atau kerak. Keberadaan kerak benua (daratan) & kerak samudra senantiasa bergerak dengan-cara dinamis selesai tekanan magma dr perut bumi. Pergerakan unsur-unsur geodinamika ini dipahami selaku kegiatan tektonis.
|
Lapisan bumi, mulai dr potongan inti dlm hingga kepingan kerak bumi |
Sebagian wilayah Kepulauan Indonesia merupakan titik temu di antara tiga lempeng, yakni Lempeng Indo-Australia di selatan, Lempeng Eurasia di utara & Lempeng Pasifik di timur. Pergerakan lempeng- lempeng tersebut mampu berupa subduksi (pergerakan lempeng ke atas), obduksi (pergerakan lempeng ke bawah) & kolisi (tumbukan lempeng). Pergerakan lain bisa berupa pemisahan atau divergensi (tabrakan) lempeng-lempeng. Pergerakan mendatar berupa pergantian lempeng-lempeng tersebut masih terus berjalan hingga kini. Perbenturan lempeng-lempeng tersebut menimbulkan imbas yg berbeda-beda. Namun seluruhnya sudah menyebabkan wilayah Kepulauan Indonesia dengan-cara tektonis merupakan wilayah yg sungguh aktif & labil hingga riskan gempa sepanjang waktu.
Pada masa Paleozoikum (masa kehidupan tertua) kondisi geografis Kepulauan Indonesia belum terbentuk seperti kini ini. Di kala itu wilayah ini masih merupakan cuilan dr samudra yg sungguh luas, meliputi nyaris seluruh bumi. Pada fase selanjutnya, yakni pada selesai masa Mesozoikum, sekitar 65 juta tahun kemudian, kegiatan tektonis itu menjadi sungguh aktif menggerakkan lempeng- lempeng Indo-Australia, Eurasia & Pasifik. Kegiatan ini dimengerti selaku fase tektonis (orogenesa larami), sehingga menimbulkan daratan terpecah-pecah. Benua Eurasia menjadi pulau-pulau yg terpisah satu dgn lainnya. Sebagian di antaranya bergerak ke selatan membentuk pulau-pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi serta pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat & Kepulauan Banda. Hal yg sama pula terjadi pada Benua Australia. Sebagian pecahannya bergerak ke utara membentuk pulau-pulau Timor, Kepulauan Nusa Tenggara Timur & sebagian Maluku Tenggara. Pergerakan pulau-pulau hasil pemisahan dr kedua benua tersebut sudah menyebabkan wilayah konferensi keduanya sungguh labil. Kegiatan tektonis yg sungguh aktif & berpengaruh sudah membentuk rangkaian Kepulauan Indonesia pada masa Tersier sekitar 65 juta tahun kemudian.
|
Pada Kala Eosen (sekitar 55 juta tahun yg lalu) sebagian Kepulauan Indonesia (Sumatra, Jawa, & Kalimantan) masih berada & menyatu dgn Benua Eurasia di utara, sedangkan sebagian kepulauan lainnya (Papua) masih menyatu dgn Benua Australia di Selatan.
Sebagian besar daratan Sumatra, Kalimantan & Jawa sudah karam menjadi maritim dangkal selaku akhir terjadinya proses kenaikan permukaan maritim atau transgresi. Sulawesi pada masa itu sudah mulai terbentuk, sementara Papua sudah mulai bergeser ke utara, meski masih didominasi oleh cekungan sedimentasi laut dangkal berupa paparan dgn terbentuknya endapan kerikil gamping. Pada kala Pliosen sekitar lima juta tahun kemudian, terjadi pergerakan tektonis yg sungguh berpengaruh, yg mengakibatkan terjadinya proses pengangkatan permukaan bumi & kegiatan vulkanis. Ini pada gilirannya memunculkan tumbuhnya (atau mungkin lebih tepat terbentuk) rangkaian perbukitan struktural mirip perbukitan besar (gunung), & perbukitan lipatan serta rangkaian gunung api aktif sepanjang formasi perbukitan itu. Kegiatan tektonis & vulkanis terus aktif hingga awal masa Pleistosen, yg dikenal selaku kegiatan tektonis Plio-Pleistosen. Kegiatan tektonis ini berjalan di seluruh Kepulauan Indonesia.
Gunung api aktif & rangkaian perbukitan struktural tersebar di sepanjang belahan barat Pulau Sumatra, berlanjut ke sepanjang Pulau Jawa ke arah timur hingga Kepulauan Nusa Tenggara serta Kepulauan Banda. Kemudian terus membentang sepanjang Sulawesi Selatan & Sulawesi Utara. Pembentukan daratan yg kian luas itu sudah membentuk Kepulauan Indonesia pada kedudukan pulau-pulau mirip sekarang ini. Hal itu sudah berjalan semenjak kala Pliosen hingga permulaan Pleistosen (1,8 juta tahun kemudian). Makara pulau-pulau di tempat Kepulauan Indonesia ini masih terus bergerak dengan-cara dinamis, sehingga tidak abnormal kalau masih sering terjadi gempa, baik vulkanis maupun tektonis.
Letak Kepulauan Indonesia yang berada pada deretan gunung api membuatnya menjadi wilayah dgn tingkat keanekaragaman tanaman & fauna yg sungguh tinggi. Kekayaan alam & kondisi geografis ini sudah mendorong lahirnya penelitian dari bangsa- bangsa lain. Dari sekian banyak pengamatan terhadap flora & fauna tersebut yg paling terkenal di antaranya merupakan pengamatan Alfred Russel Wallace yg membagi Indonesia dlm dua wilayah yang berlawanan menurut ciri khusus baik fauna maupun floranya. Pembagian itu yaitu Paparan Sahul di sebelah timur, Paparan Sunda di sebelah barat. Zona di antara paparan tersebut kemudian diketahui selaku wilayah Wallacea yg merupakan pembatas fauna yang membentang dr Selat Lombok hingga Selat Makassar ke arah utara. Fauna-fauna yang berada di sebelah barat garis pembatas itu disebut dengan Indo-Malayan region. Di sebelah timur disebut dengan Australia Malayan region. Garis itulah yg kemudian kita kenal dgn Garis Wallacea.
Merujuk pada tarikh bumi di atas, eksistensi insan di wajah bumi dimulai pada zaman Quater sekitar 600.000 tahun kemudian atau disebut juga zaman es. Dinamakan zaman es karena selama itu es dr kutub berkali-kali meluas hingga menutupi sebagian besar permukaan bumi dr Eropa Utara, Asia Utara & Amerika Utara Peristiwa itu terjadi karena panas bumi tidak tetap, adakalanya naik & adakalanya turun. Jika ukuran panas bumi turun dratis maka es akan menjangkau luas yg sebesar-besarnya & air maritim akan turun atau disebut zaman Glacial. Sebaliknya kalau ukuran panas naik, maka es akan mencair, dan permukaan air maritim akan naik yg disebut zaman Interglacial. Zaman Glacial dan zaman Interglacial ini berjalan silih berubah selama zaman Diluvium (Pleistosen). Hal ini memunculkan banyak sekali perubahan iklim di seluruh dunia, yang kemudian mensugesti kondisi bumi serta kehidupan yang ada diatasnya tergolong manusia, sedangkan zaman Alluvium (Holosen) berjalan kira-kira 20.000 tahun yang lalu hingga kini ini.
Sejak zaman ini mulai terlihat dengan-cara nyata adanya pertumbuhan kehidupan manusia, walaupun dlm taraf yg sangat sederhana baik fisik maupun kemampuan berpikirnya. Namun demikian dlm rangka untuk mempertahankan diri & keberlangsungan kehidupannya, dengan-cara lambat laun insan mulai menyebarkan kebudayaan. Beruntung kita bangsa Indonesia mempunyai temuan bermacam-macam jenis insan purba beserta hasil-hasil kebudayaannya, sehingga semenjak simpulan kurun ke-19 para ilmuwan tertarik untuk melaksanakan kajian di negeri kita.
|
Peta Zoogeografi Kepulauan Indonesia |
C. Mengenal Manusia Purba
1. Mengamati Lingkungan
Pernahkah ananda mendengar ihwal Situs Manusia Purba Sangiran? Kini Situs Manusia Purba Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO selaku warisan budaya dunia, tentu ini sangat membanggakan bangsa Indonesia. Pengakuan tersebut tentu didasari banyak sekali pertimbangan yg kompleks. Satu di antaranya karena di wilayah tersebut tersimpan ribuan peninggalan manusia purba yg menunjukkan proses kehidupan manusia dr masa kemudian. Sangiran telah menjadi sentral bagi kehidupan insan purba. Berbagai pengamatan dr para andal pula dijalankan di sekeliling Sangiran. Beberapa temuan fosil di Sangiran sudah mendorong para andal untuk terus melaksanakan pengamatan tergolong di luar Sangiran.
|
Litologi, Stratigrafi & Lingkungan Purba Sangiran |
Dari Sangiran kita mengenal beberapa macam insan purba di Indonesia. Setelah ditetapkan selaku warisan dunia, Situs Manusia Purba Sangiran dikembangkan selaku pusat pengamatan dlm negeri & mancanegara, serta selaku tempat rekreasi. Selain itu Sangiran pula memberi manfaat pada penduduk di sekitarnya, lantaran pariwisata di daerah tersebut.
Untuk mengetahui jenis dan ciri-ciri insan purba di Indonesia mari kita telaah bacaan berikut ini.
Memahami Teks
Peninggalan insan purba untuk sementara ini yg paling banyak ditemukan berada di Pulau Jawa. Meskipun di daerah lain tentu pula ada, namun para peneliti belum berhasil mendapatkan tinggalan tersebut atau masih sedikit yg berhasil didapatkan, misalnya di Flores. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa penemuan penting fosil insan di beberapa tempat.
1. Sangiran
Perjalanan kisah pertumbuhan insan di dunia tidak mampu kita lepaskan dr eksistensi bentangan luas perbukitan tandus yg berada di perbatasan Kabupaten Sragen & Kabupaten Karanganyar. Lahan itu diketahui dgn nama Situs Sangiran. Di dalam buku Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia diterangkan bahwa Sangiran merupakan suatu kompleks situs insan purba dr Kala Pleistosen yang paling lengkap & paling penting di Indonesia, & bahkan di Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat pertumbuhan insan dunia, yg memperlihatkan isyarat wacana eksistensi insan semenjak 150.000 tahun yg kemudian. Situs Sangiran itu mempunyai luas delapan kilometer pada arah utara-selatan & tujuh kilometer arah timur-barat. Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yg berupa cekungan besar di pusat kubah balasan adanya erosi di potongan puncaknya. Kubah raksasa itu diwarnai dgn perbukitan yg bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya aneka macam lapisan batuan yg mengandung fosil-fosil insan purba dan binatang, tergolong artefak. Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam & pasir fluvio-vulkanik, tanahnya tak subur & terkesan gersang pada ekspresi mayoritas kemarau.
Sangiran pertama kali didapatkan oleh P.E.C. Schemulling tahun 1864, dgn laporan penemuan fosilvertebratadari Kalioso, bagiandariwilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seperti terlewatkan dlm waktu yg lama. Eugene Dubois pula pernah datang ke Sangiran, akan tetapi ia kurang terpesona dgn temuan-temuan di wilayah Sangiran. Pada 1934, Gustav Heindrich Ralph von Koeningswald mendapatkan artefak litik di wilayah Ngebung yg terletak sekitar dua km di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yg kemudian menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran. Semenjak penemuan von Koeningswald, Situs Sangiran menjadi sangat terkenal bekerjasama dgn penemuan-penemuan fosil Homo erectus dengan-cara sporadis & berkelanjutan. Homo erectus yakni takson paling penting dlm sejarah insan, sebelum masuk pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia terbaru.
|
Von Koeningswald |
Situs Sangiran tak cuma memperlihatkan citra ihwal evolusi fisik manusia saja, akan tetapi pula memberikan gambaran konkret ihwal evolusi budaya, binatang, & pula lingkungan. Beberapa fosil yg didapatkan dlm seri geologis-stratigrafis yg diendapkan tanpa terputus selama lebih dr dua juta tahun, memperlihatkan perihal hal itu. Situs Sangiran sudah diakui selaku salah satu pusat evolusi insan di dunia. Situs itu ditetapkan dengan-cara resmi sebagai Warisan Dunia pada 1996, yg tercantum dlm nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.
|
Sertifikat the Sangiran early man |
Perhatikan baik-baik gambar fosilmanusia purba di samping, fosil itu pula disebut selaku Sangiran 17 sesuai dgn nomor seri penemuannya. Fosil itu merupakan fosil Homo erectus yang terbaik di Sangiran. Ia didapatkan di endapan pasir fluvio-volkanik di Pucang, potongan wilayah Sangiran. Fosil itu merupakan dua di antara Homo erectus di dunia yg masih lengkap dgn mukanya. Satu ditemukan di Sangiran dan satu lagi di Afrika.
|
Fosil Manusia Purba yg ditemukan di Sangiran |
2. Trinil, Ngawi, Jawa Timur
Sebelum penemuannya di Trinil, Eugene Dubois mengawali temuan Pithecantropus erectus di Desa Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di wilayah Pilangkenceng, Madiun, Jawa Timur. Desa itu berada tepat di tengah hutan jati di lereng selatan Pegunungan Kendeng. Pada di saat Dubois meneliti dua horizon/lapisan berfosil di Kedungbrubus didapatkan suatu fragmen rahang yang pendek dan sungguh kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa. Prageraham itu memperlihatkan ciri gigi insan bukan gigi monyet, sehingga diyakini bahwa fragmen rahang bawah tersebut milik rahang hominid. Pithecantropus itu kemudian dipahami dgn Pithecantropus A.
|
Fosil-fosil temuan di Kedungbrubus |
Trinil yakni suatu desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah manajemen Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah lama ditemukan di wilayah ini jauh sebelum von Koeningswald memperoleh Sangiran pada 1934. Ekskavasi yg dijalankan oleh Eugene Dubois di Trinil telah menjinjing penemuan sisa-sisa insan purba yang sungguh berkhasiat bagi dunia pengetahuan. Penggalian Dubois dijalankan pada endapan alluvial Bengawan Solo. Dari lapisan ini didapatkan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan beberapa buah tulang paha (utuh & fragmen) yang memperlihatkan pemiliknya telah berjalan tegak.
Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sungguh pendek namun memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak monyet (600 cc) & otak manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol & di cuilan belakang mata, terdapat penyempitan yang sangat terperinci, menandakan otak yg belum meningkat . Pada potongan belakang kepala terlihat bentuk yg meruncing yg diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang kepala, ditafsirkan inividu ini telah mencapai usia dewasa.
|
Eugene Dubois banyak mengabadikan hidupnya untuk menggali fosil insan purba |
Selain tempat-tempat di atas, peninggalan insan purba tipe ini pula didapatkan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah; & Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah. Temuan berupa tengkorak anak-anak berusia sekitar 5 tahun oleh penduduk yg sedang menolong penelitian Koeningswald & Duyfjes perlu untuk diperhitungkan. Temuan itu menjadi materi diskusi yg mempesona bagi para ilmuwan. Metode pengujian penanggalan potasium-argon yg digunakan oleh Tengku Jakob & Curtis terhadap watu apung yg terdapat disekitar fosil tengkorak itu menunjukkan angka 1,9 atau kurang lebih 0,4 juta tahun. Pengujian pula dilaksanakan dgn mengambil sampel endapan watu apung dr dlm tengkorak & memperlihatkan angka 1,81 juta tahun. Hasil uji penanggalan-penanggalan tersebut menjadi perdebatan para andal & perlu untuk dikaji lebih lanjut.
Bila penanggalan itu benar, maka tengkorak anak Homo erectus dr Perning, Mojokerto ini merupakan individu Homo erectus tertua di Indonesia. Adakah diantara ananda yg kesengsem untuk melaksanakan pengujian ini?
Temuan Homo erectus pula didapatkan di Ngandong, yaitu suatu desa di tepian Bengawan Solo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Tengkorak Homo erectus Ngandong berskala besar dgn volume otak rata-rata 1.100 cc. Ciri-ciri ini menunjukkan Homo erectus ini lebih maju bila dibandingkan dgn Homo erectus yg ada di Sangiran. Manusia Ngandong diperkirakan berumur antara 300.000-100.000 tahun.
Berdasarkan beberapa observasi yg dilakukan oleh para luar biasa, dapatlah direkonstruksi berbagai macam insan purba yg pernah hidup di zaman pra-abjad.
1. Jenis Meganthropus
Jenis insan purba ini khususnya berdasarkan observasi von Koeningswald di Sangiran tahun 1936 & 1941 yang memperoleh fosil rahang manusia yg berukuran besar. Dari hasil rekonstruksi ini kemudian para ahli menamakan jenis insan ini dgn sebutan Meganthropus paleojavanicus, artinya insan raksasa dari Jawa. Jenis insan purba ini mempunyai ciri rahang yg kuat & badannya tegap. Diperkirakan masakan jenis insan ini ialah berkembang- tumbuhan. Masa hidupnya diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.
2. Jenis Pithecanthropus
|
Tengkorak Pithecanthropus erectus yg ditemukan di Trinil |
Jenis manusia ini didasarkan pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di erat Trinil, suatu desa di pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, namun masih terlihat gejala kera. Oleh karena itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya manusia simpanse yg berjalan tegak. Jenis ini pula ditemukan di Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus mojokertensis. Jenis insan purba yg pula terkenal selaku rumpun Homo erectus ini paling banyak didapatkan di Indonesia. Diperkirakan jenis insan purba ini hidup & berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.
3. Jenis Homo
Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene Dubois bareng kawan-mitra & menyimpulkan selaku jenis Homo. Ciri-ciri jenis manusia Homo ini paras lebar, hidung dan mulutnya menonjol. Dahi pula masih menonjol, sekalipun tak semenonjol jenis Pithecanthropus. Bentuk fisiknya tak jauh berlainan dengan insan sekarang. Hidup & pertumbuhan jenis manusia ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang kemudian. Tempat-tempat penyebarannya tidak hanya di Kepulauan Indonesia tetapi juga di Filipina dan
Cina Selatan.
|
Evolusi insan |
Homo sapiens artinya ‘insan tepat’ baik dr sisi fisik, volume otak maupun postur badannya yg dengan-cara lazim tidak jauh berlainan dgn insan terbaru. Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dgn ‘insan bijak’ dikarenakan telah lebih maju dalam berpikir dan menyiasati tantangan alam. Bagaimanakah mereka timbul ke bumi pertama kali & kemudian menyebar dgn cepat ke banyak sekali penjuru dunia hingga dikala ini? Para andal paleoanthropologi mampu melukiskan perbedaan morfologis antara Homo sapiens dengan pendahulunya, Homo erectus. Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya dibandingkan Homo erectus. Salah satu alasannya karena tulang belulangnya tak setebal dan sekompak Homo erectus.
Hal ini mengindikasikan bahwa secara fisik Homo sapiens jauh lebih lemah dibanding sang pendahulu tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri morfologis maupun biometriks Homo sapiens memperlihatkan karakter yg lebih berevolusi dan lebih modern dibandingkan dengan Homo erectus. Sebagai misal, karakter evolutif yang paling signifikan ialah bertambahnya kapasitas otak. Homo sapiens mempunyai kapasitas otak yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak yg jauh lebih lingkaran dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus yang mempunyai tengkorak panjang & rendah, dgn kapasitas otak 1.000 cc.
Segi-segi morfologis dan tingkatan kepurbaannya memperlihatkan ada perbedaan yang sungguh konkret antara kedua spesies dlm genus Homo tersebut. Homo sapiens jadinya tampil sebagai spesies yang sungguh handal dlm beradaptasi dgn lingkungannya, dan dengan cepat menghuni banyak sekali permukaan dunia ini.
Berdasarkan bukti-bukti penemuan, sejauh ini insan terbaru permulaan di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara paling tidak sudah hadir semenjak 45.000 tahun yg kemudian. Dalam perkembangannya, kehidupan insan terbaru ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu (i) kehidupan insan terbaru awal yang kehadirannya hingga akhir zaman es (sekitar 12.000 tahun lalu), kemudian dilanjutkan oleh (ii) kehidupan insan modern yang lebih belakangan, & berdasarkan karakter fisiknya dikenal selaku ras Austromelanesoid. (iii) mulai di sekeliling 4000 tahun kemudian timbul penghuni gres di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa Austronesia. Berdasarkan karakter fisiknya, makhluk insan ini tergolong dlm ras Mongolid. Ras inilah yang kemudian meningkat hingga menjadi bangsa Indonesia kini.
Beberapa spesimen (penggolongan) insan Homo sapiens bisa dikelompokkan selaku berikut :
a. Manusia Wajak
|
Fosil insan wajak |
Manusia Wajak (Homo wajakensis) merupakan satu-satunya temuan di Indonesia yg untuk sementara mampu disejajarkan perkembangannya dgn insan terbaru permulaan dr final Kala Pleistosen. Pada tahun 1889, insan Wajak didapatkan oleh B.D. van Rietschoten di suatu ceruk di lereng pegunungan karst di barat maritim Campurdarat, bersahabat Tulungagung, Jawa Timur. Sartono Kartodirjo (dkk) menguraikan wacana temuan itu, berupa tengkorak, tergolong fragmen rahang bawah, & beberapa buah ruas leher. Temuan Wajak itu ialah Homo sapiens. Mukanya datar & lebar, akar hidungnya lebar & belahan mulutnya mencoloksedikit. Dahinya agak miring & di atas matanya ada busur kening konkret. Tengkorak ini diperkirakan milik seorang wanita berumur 30 tahun & mempunyai volume otak 1.630 cc. Wajak kedua didapatkan oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat yg sama. Temuan berupa fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas & rahang bawah, serta tulang paha & tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat pula busur kening yg positif. Pada tengkorak pria perlekatan otot sungguh konkret. Langit-langit pula dalam. Rahang bawah besar dgn gigi-gigi yg besar pula. Kalau menutup gigi wajah atas mengenai gigi paras bawah. Dari tulang pahanya mampu dikenali bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm.
Dengan demikian mampu dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dgn isi tengkorak yg besar. Wajak sudah tergolong Homo sapiens, jadi sangat berlawanan ciri-cirinya dgn Pithecanthropus. Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid. Diperkirakan dr insan Wajak inilah sub-ras Melayu Indonesia & turut pula berevolusi menjadi ras Austromelanesoid kini. Hal itu bisa dilihat dr ciri tengkoraknya yg sedang atau agak lonjong itu berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dr paras ke belakang. Muka condong lebih Mongoloid, oleh karena sangat datar & pipinya sungguh menonjol ke samping. Beberapa ciri lain pula menampilkan ciri-ciri ke dua ras di atas.
Temuan Wajak memperlihatkan pada kita bahwa sekitar 40.000 tahun yg kemudian Indonesia sudah didiami oleh Homo sapiens yg rasnya sukar dicocokkan dgn ras-ras pokok yg terdapat kini, sehingga insan Wajak dapat dianggap selaku suatu ras tersendiri. Manusia Wajak tak langsung berevolusi dr Pithecanthropus, namun mungkin tahapan Homo neanderthalensis yang belum ditemukan di Indonesia ataupun dr Homo neanderthalensis di tempat Pithecanthropus erectus ataupun satu ras yg mungkin berevolusi ke arah Homo yg didapatkan di Indonesia.
Manusia Wajak itu tak cuma mendiami Kepulauan Indonesia kepingan Barat saja, akan tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia serpihan Timur. Ras Wajak ini merupakan penduduk Homo sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras yg kemudian kita kenal sekarang. Melihat ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih bersahabat dgn sub-ras Melayu-Indonesia. Hubungannya dgn ras Australoid & Melanesoid kini lebih jauh, oleh lantaran kedua sub-ras ini gres meraih bentuknya yg sekarang di tempatnya yg gres. tetapi memang mungkin pula bahwa ras Austromelanesoid yg dahulu berasal dr ras Wajak.
b. Manusia Liang Bua
Pengumuman wacana penemuan insan Homo floresiensis tahun 2004 menghebohkan dunia ilmu wawasan. Sisa-sisa insan didapatkan di suatu gua Liang Bua oleh tim peneliti gabungan Indonesia & Australia. Sebuah gua permukiman prasejarah di Flores. Liang Bua bila diartikan dengan-cara harfiah merupakan suatu gua yg cuek. Sebuah gua yg sungguh lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang datar, merupakan tempat bermukim yang tenteram bagi insan pada masa pra-abjad. Hal itu bisa dilihat dr kondisi lingkungan sekitar gua yg sangat indah, yang berada di sekeliling bukit dgn kondisi tanah yg datar di depannya. Liang Bua merupakan sebuah temuan insan terbaru permulaan dr final masa Pleistosen di Indonesia yg menakjubkan yg dikehendaki dapat menyibak asal undangan manusia di Kepulauan Indonesia.
Manusia Liang Bua didapatkan oleh Peter Brown & Mike J. Morwood pada bulan September 2003 kemudian. Temuan itu dianggap selaku penemuan spesies gres yg kemudian diberi nama Homo floresiensis, sesuai dgn tempat ditemukannya fosil Manusia Liang Bua.
Pada tahun 1950-an, bahwasanya Manusia Liang Bua sudah memperlihatkan data-data perihal adanya kehidupan pra-huruf. Saat Th. Verhoeven lebih dahulu mendapatkan beberapa fragmen tulang insan di Liang Bua, ia mendapatkan tulang iga yg berasosiasi dgn banyak sekali alat serpih & gerabah. Tahun 1965, didapatkan tujuh buah rangka insan beserta beberapa bekal kubur yg antara lain berupa beliung & barang-barang gerabah.Diperkirakan Liang Bua merupakan suatu situs neolitik & paleometalik. Manusia Liang Bua mempunyai ciri tengkorak yg panjang dan rendah, berskala kecil, dgn volume otak 380 cc. Kapasitas kranial tersebut berada jauh di bawah Homo erectus (1.000 cc), manusia terbaru Homo sapiens (1.400 cc), & bahkan berada di bawah volume otak simpanse (450 cc).
Pada tahun 1970, R.P Soejono dr Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melanjutkan pengamatan beberapa kerangka manusia yg didapatkan di lapisan atas, temuan itu sepadan dgn temuan- temuan rangka insan sebelumnya. Hasil temuan itu memperlihatkan bahwa Manusia Liang Bua dengan-cara kronologis memperlihatkan hunian dr fase zaman Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, & Paleolitik.
Menurut Teuku Jacob, Manusia Liang Bua dengan-cara kultural berada dlm konteks zaman Mesolitik, dgn ciri Australomelanesid, yaitu bentuk tengkorak yg memanjang. Tahun 2003 diadakan penggalian oleh R.P. Soejono & Mike J. Morwood, bekerjasama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dgn University of New England, Australia. Penggalian itu menghasilkan temuan berupa sisa insan tak kurang dr enam individu yg memperlihatkan aspek morfologis & postur yg sejenis dgn Liang Bua 1, yg mempunyai kesamaan dgn alat-alat kerikil & sisa-sisa binatang komodo & spesies kerdil gajah purba jenis stegodon. Temuan itu sempat menjadi materi perdebatan mengenai status taksonominua, benarkah Manusia Liang Bua itu termasuk dlm spesies gres, yakni Homo florensiensis, atau selaku satu jenis spesies yg sudah ada di kelompok genus Homo?
Dalam pengamatan yg lebih mendalam terhadap insan Flores itu, ternyata ada percampuran antara karakter kranial yg cukup menonjol antara karakter Homo erectus & Homo sapiens. Seluruh karakter kranio-fasial dr Manusia Liang Bua 1 (LB1) & Liang Bua 6 (LB6) memperlihatkan dominasi karakter arkaik yg sering didapatkan pada Homo erectus, walaupun beberapa faktor modern Homo sapiens pula sungguh terlihat terperinci. Namun demikian, karakter Homo sapiens hendaknya dilihat selaku atribut tingkatan evolusi dlm spesies ini. Bila dikaitkan dgn masa hidup Manusia Liang Bua sekitar 18.000 tahun yg kemudian, maka LB 1 & LB 6 sebaiknya dipandang selaku satu dr variasi Homo sapiens.
3. Perdebatan Antara Pithecantropus ke Homo Erectus
Penemuan fosil-fosil Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan dgn teori evolusi insan yg dituliskan oleh Charles Darwin. Harry Widiyanto menuliskan perdebatan itu mirip berikut.
|
Charles Darwin |
Pemenuan fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang dipublikasikan pada tahun 1894 dlm aneka macam majalah ilmiah melahirkan perdebatan. Dalam publikasinya itu Dubois menyatakan bahwa, menurut teori evolusi Darwin, Pithecanthropus erectus yaitu peralihan simpanse ke insan. Kera merupakan moyang insan. Pernyatakan Dubois itu kemudian menjadi perdebatan, apakah benar atap tengkorak dgn volume kecil, gigi-gigi berukuran besar, & tulang paha yg berciri terbaru itu berasal dr satu individu? Sementara orang mengira bahwa tengkorak tersebut merupakan tengkorak seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik Pongo sp., & tulang pahanya milik insan modern? Lima puluh tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi tersebut memang berasal dr gigi Pongo Sp., berdasarkan ciri-cirinya yg berukuran besar, akar gigi yg kuat & terbuka, dentikulasi yg tak perorangan, & permukaan occulsal yg sungguh berkerut-kerut.
Perdebatan itu kemudian berlanjut hingga ke Eropa, tatkala Dubois mempresentasikan penemuan tersebut dlm training internasional zoologi pada tahun 1895 di Leiden, Belanda, & dlm pameran publik British Zoology Society di London. Setelah pembinaan & pekan raya itu banyak andal yg tak ingin menyaksikan temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan semua hasil temuannya itu, hingga pada tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh Franz Weidenreich. Temuan-temuan Dubois itu menandai munculnya suatu kajian ilmu paleoantropologi telah lahir di Indonesia.
Tahun 1920-an merupakan periode yg hebat bagi teori evolusi insan. Teori itu terus menjadi perdebatan, para jago paleontologi mengatakan wacana ontogenesa & heterokronis. Seorang sobat Dubois, Bolk melaksanakan formulasi teori foetalisasi yg sungguh terkenal. Dubois sudah melakukan penemuan fosil missing-link. Sementara Bolk memperoleh modalitas evolusi dgn menafsirkan bahwa peralihan dr monyet ke insan terjadi lewat perpanjangan pertumbuhan fetus. Dubois & Bolk kemudian berjumpa dlm jalur evolutif dr Heackle yg sangat terkenal, bahwa filogenesa & ontogenesa sama sekali tak mampu dipisahkan. Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar semenjak tahun 1927. Penemuan situs Zhoukoudian di dekat Beijing, membuat sejumlah besar fosil-fosil manusia, yang diberi nama Sinanthropus pekinensis. Tengkorak-tengkorak fosil beserta tulang paha tersebut memperlihatkan ciri-ciri yg sama dgn Pithecanthropus erectus.
Seorang luar biasa biologi menyatakan bahwa tolok ukur zoologis tak dimungkinkan memisahkan Pithecantropus erectus & Sinanthropus pekinensis dgn genus yg berlawanan dgn insan terbaru. Pithecanthropus yaitu satu tahapan dlm proses evolusi ke arah Homo sapiens dgn kapasitas tengkorak yg kecil. Karena itulah perbedaan itu cuma perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam persepsi ini maka Pithecanthrotus erectus mesti diletakan dlm genus Homo, & untuk menjaga species aslinya, dinamakan Homo erectus. Maka berakhirlah debat pandang mengenai Pithecanthropus dr Dubois dlm sejarah pertumbuhan manusia yg berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima selaku hominid dr Jawa, serpihan dr Homo erectus.
D. Asal Usul & Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Mengamati Lingkungan
Beberapa suku bangsa mirip Kubu, Lubu, Talang Mamak yg tinggal di Sumatra & Toala di Sulawesi merupakan penduduk tertua di Kepulauan Indonesia. Mereka mempunyai kekerabatan erat dgn nenek moyang Melanesia masa sekarang & orang Vedda yg dikala ini masih terdapat di Afrika, Asia Selatan, & Oceania. Vedda itulah manusia pertama yg datang ke pulau-pulau yg sudah berpenghuni. Mereka menenteng budaya perkakas kerikil. Kedua ras Melanesia & Vedda hidup dlm budaya mesolitik.
Pendatang selanjutnya menjinjing budaya gres yaitu budaya neolitik. Para pendatang baru itu jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan penduduk orisinil. Mereka tiba dlm dua tahap. Mereka itu oleh Sarasin disebut selaku Proto Melayu & Deutro Melayu. Kedatangan mereka terpisah diperkirakan lebih dr 2.000 tahun yg kemudian.
1. Proto Melayu
Proto Melayu diyakini selaku nenek moyang orang Melayu Polinesia yg tersebar dr Madagaskar hingga pulau-pulau paling timur di Pasifik. Mereka diperkirakan tiba dr Cina pecahan selatan. Ras Melayu ini mempunyai ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecoklatan-coklatan, & bermata sipit. Dari Cina belahan selatan (Yunan) mereka bermigrasi ke Indocina dan Siam, kemudian ke Kepulauan Indonesia. Mereka itu mula-mula menempati pantai- pantai Sumatera Utara, Kalimantan Barat, & Sulawesi Barat. Ras Proto Melayu menjinjing peradaban watu di Kepulauan Indonesia. Ketika datang para imigran gres, yakni Deutero Melayu (Ras Melayu Muda). Mereka berpindah masuk ke pedalaman dan mencari tempat gres ke hutan-hutan selaku tempat huniannya. Ras Proto Melayu itu pun kemudian mendesak eksistensi penduduk otentik. Kehidupan di dlm hutan-hutan bikin mereka terisolasi dr dunia luar, sehingga memudarkan peradaban mereka. Penduduk orisinil dan ras proto melayu itu pun kemudian melebur. Mereka itu kemudian menjadi suku bangsa Batak, Dayak, Toraja, Alas, dan Gayo.
Kehidupan mereka yg terisolasi itu memunculkan ras Proto Melayu sedikit mendapat pengaruh dr kebudayaan Hindu maupun Islam dikemudian hari. Para ras Proto Melayu itu kelak mendapat efek Kristen semenjak mereka mengenal para penginjil yg masuk ke wilayah mereka untuk memperkenalkan agama Nasrani & peradaban baru dlm kehidupan mereka. Persebaran suku bangsa Dayak hingga ke Filipina Selatan, Serawak, dan Malaka memperlihatkan rute perpindahan mereka dr Kepulauan Indonesia. Sementara suku bangsa Batak yg mengambil rute ke barat menyusuri pantai-pantai Burma & Malaka Barat. Beberapa kesamaan bahasa yang digunakan oleh suku bangsa Karen di Burma banyak mengandung kemiripan dgn bahasa Batak.
2. Deutero Melayu
Deutero Melayu merupakan ras yg tiba dr Indocina belahan utara. Mereka menenteng budaya gres berupa perkakas dan senjata besi di Kepulauan Indonesia, atau Kebudayaan Dongson. Mereka seringkali disebut pula dgn orang-orang Dongson. Peradaban mereka lebih tinggi ketimbang rasa Proto Melayu. Mereka mampu bikin perkakas dr perunggu. Peradaban mereka ditandai dgn keahlian menjalankan logam dgn tepat. Perpindahan mereka ke Kepulauan Indonesia mampu dilihat dari rute persebaran alat-alat yang mereka lewati di beberapa kepulauan di Indonesia, yakni berupa kapak persegi panjang. Peradaban ini bisa dijumpai di Malaka, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Jawa, & Nusa Tenggara Timur.
Dalam bidang pengolahan tanah mereka mempunyai kesanggupan untuk membuat irigasi pada tanah-tanah pertanian yg sukses mereka ciptakan, dgn membabat hutan terlebih dahulu. Ras Deutero Melayu pula mempunyai peradaban pelayaran lebih maju dr pendahulunya karena petualangan mereka selaku pelaut dibantu dgn penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan. Perpindahan ras Deutero Melayu pula memakai jalur pelayaran laut. Sebagian dari ras Deutero Melayu ada yang meraih Kepulauan Jepang, bahkan kelak ada yg hingga hingga Madagaskar.
Kedatangan ras Deutero Melayu di Kepulauan Indonesia makin usang kian banyak. Mereka pun kemudian berpindah mencari tempat gres ke hutan-hutan sebagai tempat hunian baru. Pada jadinya Proto dan Deutero Melayu membaur dan selanjutnya menjadi penduduk di Kepulauan Indonesia. Pada masa selanjutnya mereka susah untuk dibedakan. Proto Melayu meliputi penduduk di Gayo & Alas di Sumatra pecahan utara, serta Toraja di Sulawesi. Sementara itu, semua penduduk di Kepulauan Indonesia, kecuali penduduk Papua & yg tinggal di sekitar pulau-pulau Papua, ialah ras Deutero Melayu.
3. Melanesoid
Ras lain yang juga terdapat di Kepulauan Indonesia yakni ras Melanesoid. Mereka tersebar di lautan Pasifik di pulau-pulau yang letaknya sebelah Timur Irian & benua Australia. Di Kepulauan Indonesia mereka tinggal di Papua. Bersama dengan Papua-Nugini dan Bismarck, Solomon, New Caledonia & Fiji, mereka tergolong rumpun Melanesoid. Menurut Daldjoeni suku bangsa Melanesoid sekitar 70% menetap di Papua, sedangkan 30% lagi tinggal di beberapa kepulauan di sekeliling Papua dan Papua-Nugini.
Pada mulanya kedatangan Bangsa Melanesoid di Papua berawal dikala zaman es terakhir, yakni tahun 70.000 SM. Pada ketika itu Kepulauan Indonesia belum berpenghuni. Tatkala suhu turun hingga meraih kedinginan maksimal, air maritim menjadi beku. Permukaan maritim menjadi lebih rendah 100 m dibandingkan permukaan dikala ini. Pada di saat itulah timbul pulau-pulau gres. Adanya pulau-pulau itu memudahkan mahkluk hidup berpindah dr Asia menuju tempat Oseania.
Bangsa Melanesoid melakukan perpindahan ke timur hingga ke Papua, selanjutnya ke Benua Australia, yg sebelumnya merupakan satu kepulauan yg terhubungan dgn Papua. Bangsa Melanesoid dikala itu hingga meraih 100 ribu jiwa meliputi wilayah Papua & Australia. Peradaban bangsa Melanesoid dikenal dgn paleotikum.
Pada dikala masa es rampung & air maritim mulai naik lagi pada tahun 5000 S.M, kepulauan Papua & Benua Australia terpisah seperti yang mampu kita lihat dikala ini. Pada dikala itu jumlah penduduk meraih 0,25 juta dan pada tahun 500 S.M. mencapai 0,5 jiwa.
Asal mula bangsa Melanesia, yakni Proto Melanesia merupakan penduduk pribumi di Jawa. Mereka ialah insan Wajak yang tersebar ke timur & menduduki Papua, sebelum zaman es rampung & sebelum kenaikan permukaan bahari yg terjadi pada ketika itu. Di Papua manusia Wajak hidup berkelompok-kelompok kecil di sepanjang muara-muara sungai. Mereka hidup dengan menangkap ikan di sungai & meramu meningkat -tumbuhan serta akar-akaran, serta berburu di hutan belukar. Tempat tinggal mereka berupa perkampungan-perkampungan yg terbuat dari materi- materi yg ringan. Rumah-rumah itu bahu-membahu cuma berupa kemah atau tadah angin, yg sering diresmikan melekat pada dinding gua yang besar. Kemah-kemah & tadah angin itu cuma dipakai selaku tempat untuk tidur & berlindung, sedangkan aktifitas lainnya dijalankan di luar rumah.
Bangsa Proto Melanesoid terus terdesak oleh bangsa Melayu. Mereka yang belum sempat meraih kepulauan Papua melakukan percampuran dgn ras baru itu. Percampuran bangsa Melayu dgn Melanesoid membuat keturunan Melanesoid-Melayu, ketika ini mereka merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
4. Negrito dan Weddid
Sebelum kedatangan kelompok-kelompok Melayu tua dan muda, negeri kita sudah terlebih dulu kemasukkan orang-orang Negrito & Weddid. Sebutan Negrito diberikan oleh orang-orang Spanyol karena yang mereka jumpai itu berkulit hitam mirip dengan jenis-jenis Negro. Sejauh mana kelompok Negrito itu bertalian darah dengan jenis-jenis Negro yang terdapat di Afrika serta kepulauan Melanesia (Pasifik), demikian pula bagaimana sejarah perpindahan mereka, belum banyak dimengerti dgn niscaya.
Kelompok Weddid terdiri atas orang-orang dgn kepala mesocephal & letak mata yg dlm sehingga nampak mirip berang; kulit mereka coklat renta & tinggi rata-rata lelakinya 155 cm. Weddid artinya jenis Wedda yaitu bangsa yg terdapat di pulau Ceylon (Srilanka). Persebaran orang-orang Weddid di Nusantara cukup luas, contohnya di Palembang & Jambi (Kubu), di Siak (Sakai) & di Sulawesi pojok tenggara (Toala, Tokea & Tomuna)
Untuk lebih jelasnya ananda dapat membaca buku Daldjoeni yg berjudul Geografi Kesejarahan II di Indonesia
Periode migrasi itu berjalan berabad-masa, kemungkinan mereka berasal dlm satu kelompok ras yg sama & dgn budaya yg sama pula. Mereka itulah nenek moyang orang Indonesia dikala ini.
Sekitar 170 bahasa yg dipakai di Kepulauan Indonesia ialah bahasa Austronesia (Melayu-Polinesia). Bahasa itu kemudian dikelompokkan menjadi dua oleh Sarasin, yaitu Bahasa Aceh & bahasa-bahasa di pedalaman Sumatra, Kalimantan, & Sulawesi. Kelompok kedua yakni bahasa Batak, Melayu standar, Jawa, & Bali. Kelompok bahasa kedua itu mempunyai hubungan dgn bahasa Malagi di Madagaskar & Tagalog di Luzon. Persebaran geografis kedua bahasa itu memperlihatkan bahwa penggunanya yaitu pelaut-pelaut pada masa dahulu yg sudah mempunyai peradaban lebih maju. Di samping bahasa-bahasa itu, pula terdapat bahasa Halmahera Utara & Papua yg dipakai di pedalaman Papua & pecahan utara Pulau Halmahera
Untuk lebih jelasnya ananda mampu membaca buku Bernard H.M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia
E. Corak kehidupan Masyarakat Masa Pra-abjad
1. Pola Hunian
|
Song Keplek situs hunian pada masa selesai Pleistosen-Holosen |
Mengamati Lingkungan
Coba anda amati baik-baik gambar di atas. Gambar itu memperlihatkan salah satu pola hunian penduduk pra-huruf. Mengapa memilih tinggal di gua? Untuk mengetahui pola residensial insan purba ananda mampu mengkaji uraian berikut.
Memahami Teks
Dalam buku Indonesia Dalam Arus Sejarah, Jilid I diterangkan wacana pola hunian insan purba yg menampilkan dua karakter khas hunian purba yakni, (1) kedekatan dgn sumber air & (2) kehidupan di alam terbuka. Pola hunian itu mampu dilihat dr letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yg memperlihatkan pola hunian mirip itu yakni situs-situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, & Ngandong) merupakan teladan- teladan dr adanya kecenderungan insan purba menghuni lingkungan di pinggir sungai. Kondisi itu dapat dipahami mengenang keberadaan air menunjukkan bermacam-macam faedah. Air merupakan keperluan pokok bagi insan. Air pula diperlukan oleh tumbuhan maupun binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan memanggil hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dgn berkembang-tumbuhan, air memperlihatkan kesuburan bagi tanaman. Keberadaan air pula dimanfaatkan manusia sebagai fasilitas penghubung dlm memenuhi keperluan hidupnya. Melalui sungai, insan mampu melaksanakan mobilitas dr satu tempat ke tempat yg yang lain.
|
Situs gua bekas tempat tingga |
2. Dari Berburu-Meramu hingga Bercocok Tanam
Mengamati Lingkungan
Sering kali kita mendengar kegiatan pembukaan lahan di beberapa kawasan di Indonesia. Hal ini berencana untuk membuka lahan gres untuk pertanian, perumahan atau untuk kegiatan industri dlm rangka meningkatkan kesejahteraan hidup. Sebenarnya nenek moyang kita pula sudah melaksanakan hal serupa. Pola hidup berpindah-pindah & melakukan acara bercocok tanam demi kelancaran hidup mereka. Bagaimana ajuan ananda mengenai kesamaan aktivitas dr dua kehidupan insan yg terpisah jarak jutaan tahun tersebut? Untuk menerima pengertian ihwal program bercocok tanam insan purba di Kepulauan Indonesia silahkan telaah bacaan berikut.
Memahami Teks
Mencermati hasil penelitian baik yang berwujud fosil maupun artefak yang lain, diperkirakan insan zaman pra-huruf mula-mula hidup dgn cara berburu & meramu. Hidup mereka lazimnya masih tergantung pada alam. Untuk menjaga hidupnya mereka menerapkan gaya hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dr materi kuliner yg tersedia. Alat-alat yang digunakan yang dibuat dari kerikil yang masih sederhana. Hal ini khususnya meningkat pada manusia Meganthropus & Pithecanthropus. Tempat-tempat yang dituju oleh komunitas itu lazimnya lingkungan dekat sungai, danau, atau sumber air yang lain tergolong di daerah pantai. Mereka beristirahat contohnya di bawah pohon besar. Mereka juga bikin atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daunan.
Masa manusia purba berburu dan meramu itu sering disebut dgn masa food gathering. Mereka hanya menghimpun dan menyeleksi makanan lantaran belum dapat mengusahakan jenis tumbuhan untuk dijadikan bahan masakan. Dalam perkembangannya mulai ada sekelompok insan purba yg bertempat tinggal sementara, misalnya di gua-gua, atau di tepi pantai.
Peralihan Zaman Mesolitikum ke Neolitikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengan Homo sapien selaku pendukungnya. Mereka tidak cuma mengumpulkan makanan tetapi mencoba memproduksi masakan dgn menanam. Kegiatan bercocok tanam dikerjakan tatkala mereka sudah mulai berdomisili, walaupun masih bersifat sementara. Mereka melihat biji-bijian sisa kuliner yang meningkat di tanah sesudah tersiram air hujan. Pelajaran inilah yang kemudian mendorong insan purba untuk melaksanakan cocok tanam. Apa yg mereka kerjakan di sekitar tempat tinggalnya, lama kelamaan tanah di sekelilingnya habis, & mewajibkan pindah. mencari tempat yg mampu ditanami. Ada yg membuka hutan dgn menebang pohon-pohon untuk membuka lahan bercocok tanam. Waktu itu pula sudah ada pembukaan lahan dgn cara mengkremasi hutan. Bagaimana anjuran ananda perihal hal ini & kira-kira apa bedanya dgn pembakaran hutan yg dilaksanakan oleh manusia terbaru sekarang ini?
Kegiatan insan bercocok tanam terus mengalami perkembangan. Peralatan pokoknya yaitu jenis kapak persegi & kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat lain yg lebih baik. Dengan dibukanya lahan & tersedianya air yg cukup maka terjadilah persawahan untuk bertani. Hal ini meningkat lantaran dikala itu, yakni sekitar tahun 2000 – 1500 S.M tatkala mulai terjadi perpindahan orang-orang dr rumpun bangsa Austronesia dr Yunnan ke Kepulauan Indonesia. Begitu juga kegiatan beternak pula mengalami kemajuan. Seiring kedatangan orang-orang dr Yunnan yg kemudian diketahui selaku nenek moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran & jual beli mulai dipahami . Dalam waktu singkat kegiatan jual beli dgn metode barter mulai meningkat . Kegiatan bertani pula kian meningkat karena mereka sudah mulai berdomisili menetap.
1. Sistem Kepercayaan
Sebagai insan yg beragama tentu ananda sering mendengarkan ceramah dr guru maupun tokoh agama. Dalam ceramah-ceramah tersebut sering dikatakan bahwa hidup cuma sebentar sehingga tak boleh berbuat menentang fatwa agama, contohnya tidak boleh menyakiti orang lain, tidak boleh rakus, bahkan melaksanakan tindak korupsi yg merugikan negara & orang lain. Karena itu dalam hidup ini insan harus bekerja keras dan berbuat sebaik mungkin, saling tolong menolong. Kita semua mestinya takut terhadap Tuhan Yang Maha Esa bila berbuat dosa lantaran melanggar perintah agama, atau menyakiti orang lain.
|
Menhir yg ada di Limapuluh Koto |
Nenek moyang kita mengenal kepercayaan kehidupan sesudah mati. Mereka percaya pada kekuatan lain yang maha besar lengan berkuasa di luar dirinya. Mereka selalu menjaga diri semoga setelah mati tetap dihormati. Berikut ini kita akan menelaah bagaimana metode kepercayaan manusia zaman pra-huruf, yg menjadi nenek moyang kita. Perwujudan kepercayaannya dituangkan dalam banyak sekali bentuk diantaranya karya seni. Satu di antaranya berfungsi sebagai bekal untuk orang yg meninggal. Tentu kau masih ingat ihwal pelengkap yg digunakan selaku bekal kubur. Seiring dgn bekal kubur ini, maka pada zaman purba manusia mengenal penguburan jenazah. Pada ketika inilah insan mengenal tata cara kepercayaan. Sebelum meninggal manusia mempersiapkan dirinya dgn bikin berbagai bekal kubur, & pula tempat penguburan yg membuat karya seni cukup elok
pada masa kini. Untuk itulah kita mengenal dolmen, sarkofagus, menhir & lain sebagainya.
Memahami Teks
Masyarakat zaman pra-karakter utamanya periode zaman Neolitikum sudah mengenal sistem kepercayaan. Mereka sudah mengetahui adanya kehidupan setelah mati. Mereka meyakini bahwa roh seseorang yg sudah meninggal akan ada kehidupan di alam lain. Oleh lantaran itu, roh orang yg sudah meninggal akan senantiasa dihormati oleh sanak kerabatnya. Terkait dgn itu maka kegiatan ritual yg paling menonjol yakni upacara penguburan orang meninggal. Dalam tradisi penguburan ini, mayit orang yg sudah meninggal dibekali berbagai benda & perlengkapan keperluan sehari-hari, contohnya barang-barang extra , periuk & lain-lain yg dikubur bareng mayatnya. Hal ini dimaksudkan supaya perjalanan arwah orang yg meninggal selamat & terjamin dgn baik. Dalam upacara penguburan ini semakin kaya orang yg meninggal maka upacaranya pula kian mewah. Barang-barang berharga yg ikut dikubur pula bertambah banyak.
Selain upacara-upacara penguburan, pula ada upacara- upacara pesta untuk mendirikan bangunan suci. Mereka percaya manusia yg meninggal akan mendapatkan kebahagiaan kalau mayatnya ditempatkan pada susunan watu-batu besar, contohnya pada peti kerikil atau sarkofagus.
|
Sarkofagus atau kubur watu |
Batu-kerikil besar ini menjadi lambang pertolongan bagi insan yg berbudi luhur pula memberi peringatan bahwa kebaikan kehidupan di alam baka cuma akan bisa dicapai sesuai dgn perbuatan baik selama hidup di dunia. Hal ini sungguh tergantung pada kegiatan upacara kematian yg pernah dijalankan untuk menghormati leluhurnya. Oleh karena itu, upacara kematian merupakan manifestasi dr rasa bakti & hormat seseorang terhadap leluhurnya yg sudah meninggal. Sistem keyakinan penduduk pra-karakter yg demikian itu telah melahirkan tradisi megalitik (zaman megalitikum = zaman batu besar). Mereka mendirikan bangunan watu-kerikil besar mirip menhir, dolmen, punden berundak, & sarkofagus. Pada zaman pra- abjad, seorang mampu dilihat kedudukan sosialnya dr cara penguburannya. Bentuk & materi wadah kubur mampu dipakai selaku isyarat status sosial seseorang. Penguburan dgn sarkofagus misalnya, memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dgn penguburan tanpa wadah. Dengan kata lain, pengelolaan tenaga kerja pula sering digunakan selaku indikator stratifikasi sosial seseorang dlm masyarakat.
Sistem keyakinan & tradisi watu besar mirip diterangkan di atas, telah mendorong berkembangnya keyakinan animisme. Kepercayaan animisme merupakan suatu metode kepercayaan yg memuja roh nenek moyang. Di samping animisme, timbul pula kepercayaan dinamisme. Menurut kepercayaan dinamisme ada benda-benda tertentu yg diyakini mempunyai kekuatan gaib, sehingga benda itu sungguh dihormati & dikeramatkan.
Seiring dgn pertumbuhan pelayaran, penduduk zaman pra-abjad tamat pula mulai mengenal sedekah maritim. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan di golongan para nelayan. Bentuknya mungkin semacam syukuran apabila ingin berlayar jauh, atau mungkin saat memulai pengolahan perahu. Sistem keyakinan nenek moyang kita ini hingga kini masih dapat kita jumpai dibeberapa kawasan.
F. Perkembangan Teknologi
|
Cobek, perlengkapan dr watu yg masih dipakai hingga kini |
Coba amati gambar di atas. Gambar apa & untuk apa kira-kira? Gambar itu merupakan gambar peralatan rumah tangga yg sudah sangat lama diketahui di lingkungan ibu rumah tangga di Indonesia, apalagi di Jawa. Yang terang peralatan itu yang dibuat dr kerikil yg merupakan warisan nenek moyang. Peralatan dr kerikil ini hingga kini masih digunakan oleh masyarakat kita.
Berikut ini kita akan membicarakan ihwal teknologi bebatuan yg sudah dikembangkan semenjak kehidupan manusia purba.
Memahami Teks
Perlu anda ketahui bahwa sekalipun belum mengenal gesekan pena insan purba sudah berbagi kebudayaan & teknologi. Teknologi waktu itu bermula dr teknologi bebatuan yg digunakan sebagai alat untuk menyanggupi keperluan. Dalam praktiknya peralatan atau teknologi bebatuan tersebut dapat berfungsi multi guna. Pada tahap paling permulaan alat yg digunakan masih bersifat kebetulan & seadanya serta bersifat trial and eror. Mula-mula mereka cuma memakai benda-benda dr alam khususnya kerikil. Teknologi bebatuan pada zaman ini meningkat dlm kurun waktu yg begitu panjang. Oleh lantaran itu, para mahir kemudian membagi kebudayaan zaman watu di era pra-abjad ini menjadi beberapa zaman atau tahap pertumbuhan. Dalam buku R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, dijelaskan bahwa kebudayaan zaman watu ini dibagi menjadi tiga yakni, Paleolitikum, Mesolitikum dan Neolitikum.
1. Antara Batu dan Tulang
Peralatan pertama yang dipakai oleh insan purba ialah alat-alat dr kerikil yg seadanya & pula dr tulang. Peralatan ini meningkat pada zaman Paleolitikum atau zaman watu basi tanah. Zaman watu renta ini bertepatan dgn zaman Neozoikum utamanya pada final zaman Tersier dan permulaan zaman Quartair. Zaman ini berjalan sekitar 600.000 tahun yg lalu. Zaman ini merupakan zaman yang sangat penting karena terkait dgn hadirnya kehidupan baru, yakni munculnya jenis insan purba. Zaman ini dikatakan zaman batu renta lantaran hasil kebudayaan yang dibuat dr watu yang relatif masih sederhana dan bernafsu. Kebudayaan zaman Paleolitikum ini dengan-cara lazim ini terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan ini meningkat di daerah Pacitan, Jawa Timur. Beberapa alat dr watu didapatkan di wilayah ini. Seorang andal, von Koeningwald dlm penelitiannya pada tahun 1935 telah mendapatkan beberapa hasil teknologi bebatuan atau alat-alat dari kerikil di Sungai Baksoka dekat Punung. Alat watu itu masih kasar, dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung keuntungannya. Alat watu ini sering disebut dgn kapak genggam atau kapak perimbas. Kapak ini digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah dikala mencari umbi-umbian. Di samping kapak perimbas, di Pacitan pula ditemukan alat watu yg disebut dengan chopper selaku alat penetak. Di Pacitan pula ditemukan alat-alat serpih.
Alat-alat itu oleh Koeningswald digolongkan selaku alat- alat “paleolitik”, yg bercorak “Chellean”, yakni suatu tradisi yang meningkat pada tingkat awal paleolitik di Eropa. Pendapat Koeningswald ini kemudian dianggap kurang tepat setelah Movius berhasil menyatakan temuan di Punung itu selaku salah satu corak kemajuan kapak perimbas di Asia Timur. Tradisi kapak perimbas yg ditemukan di Punung itu kemudian dipahami dgn nama “Budaya Pacitan”. Budaya itu diketahui sebagai tingkat kemajuan budaya batu awal di Indonesia.
Kapak perimbas itu tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, & Timor. Daerah Punung merupakan wilayah yg terkaya akan kapak perimbas dan hingga dikala ini merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia. Pendapat para andal condong pada jenis insan Pithecanthropus atau keturunan-keturunannya selaku pencipta budaya Pacitan. Pendapat ini sesuai dgn pertimbangan ihwal umur budaya Pacitan yg disangka dr tingkat selesai Plestosin Tengah atau permulaan permulaan Plestosin Akhir.
b. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan Ngandong berkembang di kawasan Ngandong & pula Sidorejo, dekat Ngawi. Di kawasan ini banyak didapatkan alat-alat dr batu & pula alat-alat dr tulang. Alat-alat dr tulang ini berasal dr tulang binatang & tanduk rusa yg diperkirakan dipakai sebagai penusuk atau belati. Selain itu, didapatkan pula alat-alat seperti tombak yg bergerigi. Di Sangiran pula ditemukan alat-alat dr watu, bentuknya indah mirip kalsedon. Alat- alat ini sering disebut dengan flake.
Sebaran artefak & peralatan paleolitik cukup luas sejak dr kawasan-wilayah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), & Halmahera.
|
Artefak yg ditemukan di situs Ngebung |
2. Antara Pantai dan Gua
Zaman watu terus bertambah memasuki zaman watu madya atau batu tengah yg diketahui zaman Mesolitikum. Hasil kebudayaan kerikil madya ini sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman Paleolitikum (watu busuk tanah). Sekalipun demikian, bentuk & hasil-hasil kebudayaan zaman Paleolitikum tidak serta merta punah tetapi mengalami penyempurnaan. Bentuk flake dan alat-alat dr tulang terus mengalami kemajuan. Secara garis besar kebudayaan Mesolitikum ini terbagi menjadi dua kelompok besar yg ditandai lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai & di gua.
a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger ungkapan dari bahasa Denmark, kjokken bermakna dapur dan modding mampu diartikan sampah (kjokkenmoddinger = sampah dapur). Dalam kaitannya dgn budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput & kerang yg menggunung di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh hingga Medan. Dengan kjokkenmoddinger ini mampu memberi berita bahwa manusia purba zaman Mesolitikum lazimnya berdomisili di tepi pantai. Pada tahun 1925 Von Stein Callenfals melaksanakan pengamatan di bukit kerang itu & mendapatkan jenis kapak genggam (chopper) yang berlainan dari chopper yang ada di zaman Paleolitikum. Kapak genggam yg didapatkan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dgn Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini yang dibentuk dr watu kali yg pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi potongan dalam dilaksanakan sesuai dengan keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga didapatkan jenis kapak pendek & jenis kerikil pipisan (kerikil-kerikil alat penggiling). Di Jawa watu pipisan ini lazimnya untuk menumbuk dan menghaluskan jamu.
|
Kjokkenmoddinger yg terdapat di Pulau Bintan, Kep. Riau |
b. Kebudayaan Abris Sous Roche
Kebudayaan abris sous roche merupakan hasil kebudayaan yang didapatkan di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa insan purba pendukung kebudayaan ini tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali dikerjakan pengamatan oleh Von Stein Callenfels di Gua Lawa erat Sampung, Ponorogo. Penelitian dikerjakan tahun 1928 sampai 1931. Beberapa hasil teknologi bebatuan yg didapatkan contohnya ujung panah, flakke, watu penggilingan. Juga didapatkan alat-alat dr tulang & tanduk rusa. Kebudayaan abris sous roche ini banyak didapatkan misalnya di Besuki, Bojonegoro, pula di tempat Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
3. Mengenang Api
Mengamati Lingkungan
Bagi insan, api merupakan faktor penting dlm kehidupan. Sebelum didapatkan teknologi listrik, acara insan sehari-hari nyaris mampu diputuskan tak dapat terlepas dr api untuk mengolah makanan. Pelajaran & pengetahuan apa yg ananda peroleh lewat uraian tersebut.
Memahami Teks
|
Sisa-sisa pembakaran |
Bagi insan purba, proses penemuan api merupakan bentuk penemuan yg sangat penting. Berdasarkan data arkeologi, penemuan api kira-kira terjadi pada 400.000 tahun yg lalu. Penemuan pada periode insan Homo erectus. Api dipakai untuk menghangatkan diri dr cuaca hambar. Dengan api kehidupan menjadi lebih bervariasi & banyak sekali pertumbuhan akan diraih. Teknologi api mampu dimanfaatkan manusia untuk banyak sekali hal. Di samping itu penemuan api pula memperkenalkan manusia pada teknologi memasak masakan, yakni mengolah kuliner dgn cara aben & memakai bumbu dgn ramuan tertentu. Manusia pula menggunakan api selaku senjata. Api pada di saat itu digunakan insan untuk mengusir binatang buas yg menyerangnya. Api dapat pula dijadikan sumber penerangan. Melalui pembakaran pula manusia bisa menaklukkan alam, mirip membuka lahan untuk garapan dgn cara mengkremasi hutan. Kebiasaan bertani dgn menebang kemudian bakar (slash and burn) yaitu kebiasaan kuno yg tetap berkembang hingga sekarang.
|
Gambaran hunian insan purba |
Pada awalnya pengolahan api dijalankan dgn cara membenturkan & menggosokkan benda halus yg simpel terbakar dgn benda padat lain. Sebuah watu yg keras, misalnya batu api, kalau dibenturkan ke batuan keras yang lain akan menghasilkan percikan api. Percikan tersebut kemudian ditangkap dgn dedaunan kering, lumut atau material lain yg kering hingga memunculkan api. Pembuatan api pula bisa dijalankan dgn menggosok suatu benda terhadap benda yang lain, baik dengan-cara berputar, berulang, atau bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya, kalau digosokkan pada kayu yang lain akan membuat panas karena gesekan itu kemudian menimbulkan api.
Penelitian-pengamatan arkeologi di Indonesia sejauh ini belum memperoleh sisa pembakaran dr periode ini. Namun bukan bermakna manusia purba di kala itu belum mengenal api. Sisa api yg tertua didapatkan di Chesowanja, Tanzania, dr sekitar 1,4 juta tahun kemudian, yakni berupa tanah liat kemerahan bareng dgn sisa tulang binatang. Akan tetapi belum bisa dipastikan apakah insan purba membuat api atau mengambilnya dr sumber api alam (kilat, kegiatan vulkanik, dll). Hal yg sama pula ditemukan di China (Yuanmao, Xihoudu, Lantian), di mana sisa api berusia sekitar 1 juta tahun kemudian. Namun belum mampu dipastikan apakah itu api alam atau buatan insan. Teka-teki ini masih belum dapat terpecahkan, sehingga belum ditentukan apakah bekas tungku api di Tanzania & Cina itu merupakan hasil buatan insan atau pengambilan dr sumber api alam.
4. Sebuah Revolusi
Perkembangan zaman kerikil yg mampu dikatakan paling penting dlm kehidupan insan yaitu zaman kerikil gres atau neolitikum. Pada zaman neolitikum yang pula mampu dikatakan sebagai zaman watu muda. Pada zaman ini sudah terjadi “revolusi kebudayaan”, yaitu terjadinya perubahan gaya hidup insan. Pola hidup food gathering digantikan dgn pola food producing. Hal ini seiring dgn terjadinya perubahan jenis penunjang kebudayannya. Pada zaman ini telah hidup jenis Homo sapiens selaku penunjang kebudayaan zaman kerikil baru. Mereka mulai mengenal bercocok tanam & beternak selaku proses untuk menghasilkan atau memproduksi materi kuliner. Hidup bermasyarakat dgn bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yg terkenal di zaman neolitikum ini dengan-cara garis besar dibagi menjadi dua tahap perkembangan.
a. Kebudayaan Kapak Persegi
Nama kapak persegi berasal dr penyebutan oleh von Heine Geldern. Penamaan ini dikaitkan dgn bentuk alat tersebut. Kapak persegi ini berupa persegi panjang & ada pula yg berupa trapesium. Ukuran alat ini pula bermacam-macam. Kapak persegi yg besar sering disebut dgn beliung atau pacul (cangkul), bahkan sudah ada yg diberi tangkai sehingga persis mirip cangkul zaman sekarang. Sementara yg berukuran mini dinamakan tarah atau tatah. Penyebaran alat-alat ini utamanya di Kepulauan Indonesia cuilan barat, mirip Sumatra, Jawa & Bali. Diperkirakan pusat- pusat teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, & di Lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Yang mempesona, di Desa Pasirkuda bersahabat Bogor pula didapatkan batu asahan. Kapak persegi ini cocok sebagai alat pertanian.
b. Kebudayaan Kapak
Lonjong Nama kapak lonjong ini diadaptasi dgn bentuk penampang alat ini yg berupa lonjong. Bentuk keseluruhan alat ini lonjong seperti bulat telur. Pada ujung yg lancip diposisikan tangkai & pada kepingan ujung yg lain diasah sehingga tajam. Kapak yg ukuran besar sering disebut walzenbeil & yg kecil dinamakan kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong ini khususnya di Kepulauan Indonesia potongan timur, contohnya di daerah Papua, Seram, & Minahasa.
Pada zaman Neolitikum, di samping berkembangnya jenis kapak watu pula ditemukan barang-barang pelengkap, mirip gelang dr watu, pula alat-alat gerabah atau tembikar.
Perlu anda ketahui bahwa manusia purba waktu itu sudah mempunyai wawasan perihal mutu bebatuan untuk perlengkapan. Penemuan dr banyak sekali situs menunjukkan materi yg paling kerap dipergunakan yaitu jenis batuan kersikan (silicified stones), mirip gamping kersikan, tufa kersikan, kalsedon, & jasper. Jenis- jenis batuan ini di samping keras, sifatnya yg retas dgn pecahan yang cenderung tajam & tipis, sehingga mempermudah pengerjaan. Di beberapa situs yg mengandung fosil-fosil kayu, mirip di Kali Baksoka (Jawa Timur) & Kali Ogan (Sumatra Selatan) terlihat ada upaya pemanfaatan fosil untuk materi peralatan. Pada dikala lingkungan tak menyediakan materi yg baik, ada kecenderungan untuk mempergunakan batuan yg tersedia di sekeliling hunian, walaupun kualitasnya kurang baik. Contoh mirip ini mampu diperhatikan pada situs Kedunggamping di sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di Cilacap, & Kali Kering di Sumba yg pada umumnya menggunakan materi andesit untuk peralatan. menggunakan materi andesit untuk peralatan.
c. Perkembangan Zaman Logam
Mengakhiri zaman watu masa Neolitikum maka dimulailah zaman logam. Sebagai bentuk masa perundagian. Zaman logam di Kepulauan Indonesia ini agak berlawanan bila dibandingkan dgn yg ada di Eropa. Di Eropa zaman logam ini mengalami tiga fase, zaman tembaga, perunggu & besi. Di Kepulauan Indonesia cuma mengalami zaman perunggu & besi. Zaman perunggumerupakan fase yg sangat penting dlm sejarah. Beberapa teladan benda- benda kebudayaan perunggu itu antara lain: kapak corong, nekara, moko, aneka macam barang tambahan. Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini pula terkait dgn praktik keagamaan misalnya nekara.
5. Konsep Ruang pada Hunian (Arsitektur)
Menurut Kostof, arsitektur sudah mulai ada pada dikala insan bisa mengolah lingkungan hidupnya. Pembuatan tanda-tanda di alam yg membentang tak terhingga itu untuk membedakan dgn wilayah yang lain. Tindakan untuk bikin tanda pada suatu tempat itu mampu dikatakan selaku bentuk awal dr arsitektur. Pada dikala itu insan sudah mulai mendesain sebuat tempat.
|
Lukisan tangan di dlm dinding goa |
Bentuk arsitektur pada masa pra-abjad dapat dilihat dr tempat residensial insan pada saat itu. Mungkin kita sukar membayangkan atau menyimpulkan bentuk rumah & bangunan yg meningkat pada masa pra-huruf dikala itu. Dari pola mata pencaharian insan yg sudah mengenal berburu & melakukan pertanian sederhana dgn ladang berpindah memungkinkan adanya pola pemukiman yg sudah menetap. Gambar-gambar dinding goa tak hanya merefleksikan kehidupan sehari-hari, namun pula kehidupan spiritual. Cap-cap tangan & lukisan di goa yg banyak didapatkan di Papua, Maluku, & Sulawesi Selatan dikaitkan dgn ritual penghormatan atau pemujaan nenek moyang, kesuburan, & inisiasi. Gambar dinding yg tertera pada goa-goa mengambarkan pada jenis binatang yg dikejar atau binatang yg digunakan untuk menolong dlm perburuan. Anjing yakni binatang yg dipakai oleh insan pra-abjad untuk berburu binatang.
|
Pola Lukisan tangan yg ditemukan di Indonesia |
Bentuk pola hunian dgn menggunakan penadah angin, menghasilkan pola menetap pada insan masa itu. Pola residensial itu sampai dikala ini masih digunakan oleh Suku Bangsa Punan yg tersebar di Kalimantan. Bentuk hunian itu merupakan cuilan bentuk permulaan arsitektur di luar tempat hunian di goa. Secara sederhana penadah angin merupakan suatu konsep tata ruangan yg memperlihatkan dengan-cara implisit memperlihatkan batas ruang. Pada kehidupan dgn penduduk berburu yg masih sungguh tergantung pada alam, mereka lebih mengikut ritme & bentuk geografis alam. Dengan demikian desain ruang mereka masih kurang bersifat geometris terorganisir. Pola garis lengkung tak teratur mirip aliran sungai, & pola spiral mirip route yg ditempuh mungkin yakni citra pola ruang utama mereka. Ruang demikian belum mengutamakan arah utama. Secara sederhana dapatlah kita lihat bahwa, pada masa pra- karakter konsep tata ruang, atau yg dikala ini kita kenal dgn arsitektur itu sudah mereka kenal.
Baca juga Pedagang, Penguasa Dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha)
Alhamdulillah, risikonya artikel yg admin bagikan ihwal Menelusuri Peradaban Awal di Kepulauan Indonesia, selesai pada waktu yg telah diputuskan walaupun sebetulnya menggunakan waktu yg begitu lama untuk menuntaskan & membagikan artikel di atas. Semoga berfaedah.