Islamisasi Dan Silang Budaya di Nusantara – Sebelumnya admin sudah membagikan artuikel terkait mengenai Pedagang, Penguasa Dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha). Dan untuk lebih lengkapnya, langsung saja anda mendengarkanpenjelasan di bawah ini.
Islamisasi yaitu proses sejarah yg panjang yg bahkan hingga kini masih terus berlanjut Kalau para cakap sejarah mempersoalkan perihal asal seruan nasionalisme Indonesia, atau integrasi bangsa, mereka menyebutkan Islam selaku salah satu faktor utama maka hal itu dapat diartikan pada sifat Islam yg universal & pada jaringan kenangan kolektif yakni keterkaitan para ulama di Nusantara dlm banyak sekali corak jaringan sosial guru-murid, murid sesama murid; penulis-dan-pembaca, dan tak kurang pentingnya ulama-umara serta ulama dan umat.
Kedatangan Islam ke Nusantara mempunyai sejarah yg panjang. Satu di antaranya yakni perihal interaksi aliran Islam dgn penduduk di Nusantara yg kemudian memeluk Islam. Lewat jaringan jual beli, Islam dibawa masuk sampai ke lingkungan istana. Interaksi budaya Islam dgn budaya yg ada sebelumnya memunculkan sebuah jaringan keilmuan, akulturasi budaya & perkembangan kebudayaan Islam. Uraian berikut akan menjajal menjabarkan proses Islamisasi di Indonesia & mengurai simpul dr silang budaya yg sampai kini masih terus berlanjut.
Daftar Isi
A. Kedatangan Islam ke Nusantara
Mengamati Lingkungan
Peta jejak masuknya Islam ke Nusantara berdasarkan nomor urut |
Gambar di samping menampilkan jalur masuknya Islam ke Nusantara yg kemudian melahirkan suatu interaksi antara fatwa Islam dgn penduduk Nusantara. Wujud dr keberlangsungan interaksi yg hingga kini masih terlihat ialah banyaknya umat Muslim Indonesia yg menjalankan ibadah haji & umrah. Di samping itu tidak sedikit para ulama dr Timur Tengah yg berkunjung ke Indonesia dlm rangka berdakwah. Bagi umat Islam di Indonesia, banyak sekali bentuk interaksi tersebut akan kian memantapkan keimanan & ketakwaan terhadap pedoman agamanya. Kemudian yg menjadi pertanyaan yaitu kapan & dr mana kira-kira pertama kali Islam masuk ke Kepulauan Indonesia serta bagaimana prosesnya? Untuk menerima keterangan & materi diskusi ihwal proses masuknya Islam ke Indonesia, mari kita kaji uraian berikut.
Memahami Teks
Christiaan Snouck Hurgronje |
Terdapat banyak sekali usulan mengenai proses masuknya Islam ke Kepulauan Indonesia, khususnya perihal waktu & tempat asalnya. Pertama, sarjana-sarjana Barat—pada biasanya dr Negeri Belanda mengatakan bahwa Islam yg masuk ke Kepulauan Indonesia berasal dr Gujarat sekitar kurun ke-13 M atau periode ke-7 H. Pendapat ini mengasumsikan bahwa Gujarat terletak di India serpihan barat, berdekatan dgn Laut Arab. Letaknya sungguh strategis, berada di jalur jual beli antara timur & barat. Pedagang Arab yg bermahzab Syafi’i telah berdomisili di Gujarat & Malabar semenjak permulaan tahun Hijriyah (kurun ke-7 M). Orang yg membuatkan Islam ke Indonesia berdasarkan Pijnapel bukanlah dr orang Arab langsung, melainkan para pedagang Gujarat yang sudah memeluk Islam
& berdagang ke dunia Timur. Pendapat J. Pijnapel kemudian disokong oleh C. Snouck Hurgronye, & J.P. Moquetta (1912). Argumentasinya didasarkan pada kerikil nisan Sultan Malik Al-Saleh yg wafat pada 17 Dzulhijjah 831 H atau 1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, watu nisan di Pasai & makam Maulana Malik Ibrahim yg wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, mempunyai bentuk yg sama dgn kerikil nisan yg terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta kemudian berkesimpulan bahwa watu nisan tersebut diimpor dr Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yg sudah mencar ilmu kaligrafi khas Gujarat.
|
Kedua, Hoesein Djajadiningrat menyampaikan bahwa Islam yg masuk ke Indonesia berasal Persia (Iran kini). Pendapatnya didasarkan pada kesamaan budaya & tradisi yg meningkat antara penduduk Parsi & Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro selaku hari suci kaum Syiah atas ajal Husein bin Ali, mirip yg berkembang dlm tradisi tabot di Pariaman di Sumatra Barat & Bengkulu.
Batu Nisan Makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/1419 H) di Gresik, Jawa Timur |
Ketiga, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) memberikan bahwa Islam berasal dr tanah kelahirannya, yakni Arab atau Mesir. Proses ini berlangsung pada era- era pertama Hijriah atau masa ke-7 M. Senada dgn usulan Hamka, teori yg memberikan bahwa Islam berasal dr Mekkah dikemukakan Anthony H. Johns. Menurutnya, proses Islamisasi dijalankan oleh para musafir (kaum pengembara) yg tiba ke Kepulauan Indonesia. Kaum ini biasanya mengembara dr satu tempat ke tempat yang lain dgn motivasi cuma pengembangan agama Islam.
Semua teori di atas bukan mengada-ada, tetapi mungkin bisa saling melengkapi. Islamisasi di Kepulauan Indonesia merupakan hal yg kompleks & hingga kini prosesnya masih terus berjalan. Pasai & Malaka, yakni tempat di mana tongkat estafet Islamisasi dimulai. Pengaruh Pasai kemudian diwarisi Aceh Darussalam. Sedangkan Johor tak pernah bisa melupakan jasa dinasti Palembang yg pernah berjaya & mengislamkan Malaka. Demikian pula Sulu & Mangindanao akan selalu mengenang Johor selaku pengirim Islam ke daerahnya. Sementara itu Minangkabau akan senantiasa mengenang Malaka selaku pengirim Islam & tak pernah melewatkan Aceh selaku peletak dasar tradisi surau di Ulakan. Sebaliknya Pahang akan selalu mengenang pendatang dr Minangkabau yg sudah menjinjing Islam. Peranan para perantau & penyiar agama Islam dr Minangkabau pula senantiasa dikenang dlm tradisi Luwu & Gowa- Tallo.
Nah, marilah kita pelajari permulaan masuknya Islam di Nusantara. Pada pertengahan periode ke-15, ibu kota Campa, Wijaya jatuh ke tangan Vietnam yg datang dr utara. Dalam kenangan historis Jawa, Campa senantiasa diingat dlm kaitannya dgn Islamisasi. Dari sinilah Raden Rahmat anak seorang putri Campa dgn seorang Arab, tiba ke Majapahit untuk menemui bibinya yg sudah kawin dgn raja Majapahit. Ia kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel salah seorang wali tertua.
Sunan Giri yg biasa disebut selaku ‘paus’ dlm sumber Belanda bukan saja kuat di golongan para wali tetapi pula dikenang selaku penyebar agama Islam di Kepulauan Indonesia serpihan Timur. Raja Ternate Sultan Zainal Abidin pergi ke Giri (1495) untuk memperdalam pengetahuan agama. Tak lama sesudah kembali ke Ternate, Sultan Zainal Abidin mangkat, tetapi ia telah membuat Ternate selaku kekuatan Islam. Di potongan lain, Demak sudah berhasil mengislamkan Banjarmasin. Mata rantai proses Islamisasi di Kepulauan Indonesia masih terus berjalan. Jaringan kolektif keislaman di Kepulauan Indonesia inilah nantinya yg mempercepat proses terbentuknya nasionalisme Indonesia.
B. Islam & Jaringan Perdagangan Antarpulau
Mengamati Lingkungan
Kepulauan Indonesia memiliki maritim & daratan yg luas. Para nelayan pergi melaut & pulang dgn menjinjing hasil tangkapannya. Begitu pula di pelabuhan terlihat kemudian lalang kapal yg membongkar & mengangkutbarang. Sungguh fantastis hamparan laut yg sungguh luas ciptaan Tuhan. Coba ananda renungkan alam semesta, lautan & daratan semua diciptakan- Nya untuk kepentingan hidup kita. Marilah kita syukuri semua itu dgn menjaga lingkungan maritim & daratan sebaik-baiknya.
Kapal-kapal Cina yg sudah berlayar hingga ke Kepulauan Indonesia |
Sejak lama laut sudah berfungsi sebagai jalur pelayaran & perdagangan antar suku bangsa di Kepulauan Indonesia & bangsa-bangsa di dunia. Pelaut tradisional Indonesia sudah memiliki keahlian berlayar yg dipelajari dr nenek moyang dengan-cara turun-temurun. Bagi para pelaut, samudra bukan sekadar suatu bentangan air yg sangat luas. Setiap perubahan warna, pola gerak air, bentuk gelombang, jenis burung, & ikan yg mengitarinya mampu menolong pelaut dlm mengambil keputusan atau tindakan untuk menentukan arah perjalanan. Sejak dahulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin & isu terkini untuk menentukan perjalanan pelayaran & jual beli. Kapal pedagang yg berlayar ke selatan menggunakan isu terkini utara dlm Januari atau Februari & kembali lagi pulang kalau angin bertiup dr selatan dlm Juni, Juli, atau Agustus. Angin musim barat daya di Samudra Hindia yaitu antara April hingga Agustus, cara yg paling diandalkan untuk berlayar ke timur. Mereka mampu kembali pada ekspresi secara umum dikuasai yg sama setelah tinggal sebentar—tetapi pada umumnya tinggal untuk berdagang—untuk menghindari isu terkini perubahan yg rawan topan dlm Oktober & kembali dgn musim timur laut.
Bacaan berikut akan memaparkan wacana kegiatan jual beli antarpulau pada masa permulaan perkembangan Islam di Indonesia. Memahami kegiatan pelayaran & jual beli antarpulau yg menjinjing serta pesan-pesan agama ini mampu menjadi pelajaran & memperbesar rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Memahami Teks
Berdasarkan data arkeologis mirip prasasti-prasasti maupun data historis berupa informasi-info asing, kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah dimulai sejak era pertama Masehi. Jalur- jalur pelayaran & jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dgn negeri-negeri di Asia Tenggara, India, & Cina khususnya menurut gosip-gunjingan Cina sudah dikaji, antara lain oleh W. Wolters (1967). Demikian pula dr catatan-catatan sejarah Indonesia & Malaya yg dihimpun dr sumber-sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, sudah menampilkan adanya jaringan–jaringan jual beli antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dgn aneka macam negeri khususnya dgn Cina. Kontak dagang ini sudah berjalan semenjak kurun-masa pertama Masehi hingga dgn masa ke-16. Kemudian kapal-kapal jualan Arab pula sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan era ke-7. Dari literatur Arab banyak sumber info perihal perjalanan mereka ke Asia Tenggara. Adanya jalur pelayaran tersebut menyebabkan hadirnya jaringan jual beli & pertumbuhan serta perkembangan kota-kota sentra kesultanan dgn kota-kota bandarnya pada kala ke-13 hingga abad ke-18 misalnya, Samudra Pasai, Malaka, Banda Aceh, Jambi, Palembang, Siak Indrapura, Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, & kota-kota yang lain.
Laksamana Cheng Ho |
Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yg bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Samudra Pasai & Malaka yg meningkat & meningkat sejak kala ke-13 hingga kurun ke-15, sedangkan Ma Huan pula memberitakan adanya komunitas-komunitas Muslim di pesisir utara Jawa pecahan timur. Berita Tome Pires dlm Suma Oriental (1512-1515) menunjukkan gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan jual beli, baik regional maupun internasional. Ia menceritakan wacana lalu lintas & kedatangan para pedagang di Samudra Pasai yg berasal dr Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome Pires pula mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dr Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia,
Pedagang Arab dr Hadramaud |
Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Nasrani Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, & Maladiva.
Berdasarkan kedatangan sejumlah pedagang dr aneka macam negeri & bangsa di Samudra Pasai, Malaka, & bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome Pires, kita mampu mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran & jaringan jual beli antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yg bersifat regional maupun internasional.
Hubungan pelayaran & jual beli antara Nusantara dgn Arab meningkat menjadi kekerabatan pribadi & dlm intensitas tinggi. Dengan demikian kegiatan jual beli & pelayaran di Samudra Hindia kian ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat dgn makin majunya perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan ditetapkannya Baghdad menjadi pusat pemerintahan mengambil alih Damaskus (Syam), jadwal pelayaran & jual beli di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yg selama ini cuma berlayar hingga India, semenjak periode ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dlm rangka perjalanan ke Cina. Meskipun cuma transit, tetapi hubungan Arab dgn kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia terjalin dengan-cara langsung. Hubungan ini menjadi kian ramai manakala pedagang Arab tidak boleh masuk ke Cina & koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yg terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam melarikan diri dr Pelabuhan Kanton & meminta perlindungan Raja Kedah & Palembang.
Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, & usaha Portugis selanjutnya untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dgn melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda. Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yg baru, mirip Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar & lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak maritim. Perompakan bahari sering terjadi pada jalur-jalur jual beli yg ramai, tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat. Perompakan itu sesungguhnya merupakan bentuk antik kegiatan jualan . Kegiatan tersebut dijalankan karena merosotnya keadaan politik & mengusik kewenangan pemerintahan yg berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial. Akibat dr kegiatan bajak laut, rute pelayaran jual beli yg semula lewat Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir Sumatra & Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Pariaman, & Tiku.
Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terkonsentrasi pada perdagangan cengkih & pala. Dari Ternate & Tidore (Maluku) dibawa barang komoditi ke Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada kurun ke-16 telah menjalin relasi perdagangan dgn Patani, Johor, Banjar, Blambangan, & Maluku. Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yg menampung komoditi cengkih yg tiba dr Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditi pala berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut lazimnya didatangi oleh para pedagang Jawa, Cina, Arab, & Makassar. Kehadiran pedagang itu mensugesti corak kehidupan & budaya setempat, antara lain dijumpai bekas koloninya mirip Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) & Kota Mangkasare (Makassar).
Situasi Bandar Makassar |
Pada kurun ke-15, Sulawesi Selatan sudah didatangi pedagang Muslim dr Malaka, Jawa, & Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya, penduduk Muslim di Gowa utamanya Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) & putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) sudah menjalin hubungan dagang dgn Portugis. Bahkan Sultan Muhammad Said & Karaeng Pattingaloang turut memperlihatkan saham dlm perdagangan yg dilaksanakan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Nasrani. Kerjasama ini didorong oleh adanya usaha monopoli jual beli rempah-rempah yg dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku.
Hubungan Ternate, Hitu dgn Jawa sungguh erat sekali. Ini ditandai dgn adanya seorang raja yg dianggap betul-betul sudah memeluk Islam merupakan Zainal Abidin (1486-1500) yg pernah belajar di Madrasah Giri. Ia dijuluki selaku Raja Bulawa, artinya raja cengkih, lantaran menjinjing cengkih dr Maluku selaku persembahan. Cengkih, pala, & bunga pala (fuli) hanya terdapat di Kepulauan Indonesia potongan timur, sehingga banyak barang yg hingga ke Eropa mesti lewat jalur perdagangan yg panjang dr Maluku hingga ke Laut Tengah. Cengkih yg diperdagangkan yakni putik bunga tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yg dikeringkan. Satu pohon ini ada yg menciptakan cengkih hingga 34 kg. Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, & Motir di lepas pantai barat Halmahera & gres berhasil ditanam di pulau yg relatif besar, yaitu Bacan, Ambon & Seram.
Meningkatnya ekspor lada dlm kancah perdagangan internasional, menciptakan pedagang Nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pasaran Eropa yg meningkat dgn cepat. Selama periode (1500- 1530) banyak terjadi gangguan di maritim sehingga bandar-bandar Laut Tengah mesti mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon. Oleh karena itu dengan-cara berangsur jalur perdagangan yg ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, ditambah dgn adanya perang di laut Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) & pantai Laut Merah Arabia (1538) menyodorkan pertolongan yg besar bagi berkembangnya pelayaran Islam di Samudra Hindia.
Meskipun banyak kota bandar, tetapi yg berfungsi untuk melakukan ekspor & impor komoditi pada lazimnya yaitu kota-kota bandar besar yg beribu kota pemerintahan di pesisir, mirip Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara – Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudra Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang & Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dr masa ke-16 hingga ke-18. Meskipun kedudukannya selaku kerajaan pedalaman tetapi wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar pulau Jawa yg merupakan hasil ekspansi Sultan Agung. Kesultanan Mataram pula mempunyai kota-kota bandar, mirip Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, & Surabaya.
Dalam proses jual beli sudah terjalin hubungan antaretnis yg sangat erat. Berbagai etnis dr kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul & membentuk komunitas. Oleh karena itu, timbul nama-nama kampung berdasarkan asal wilayah. Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pekojan, & kampung- kampung yang lain yg berasal dr daerah-wilayah asal yg jauh dr kota-kota yg dikunjungi, mirip Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, & Kampung Bali.
Pada zaman pertumbuhan & perkembangan Islam, tata cara jual beli barang masih dilaksanakan dgn cara tukar barang. Sistem tukar barang dilaksanakan antara pedagang-pedagang dr wilayah pesisir dgn wilayah pedalaman, bahkan kadang-kadang langsung pada petani. Transaksi itu dijalankan di pasar, baik di kota maupun desa. Tradisi jual-beli dgn tata cara tukar barang hingga kini masih dikerjakan oleh beberapa penduduk sederhana yg berada jauh di daerah terpencil. Di beberapa kota pada masa pertumbuhan & perkembangan Islam sudah memakai mata duit selaku nilai tukar barang. Mata duit yg dipergunakan tak mengikat pada mata duit tertentu, kecuali ada ketentuan yg diatur pemerintah wilayah setempat.
Kemunduran perdagangan & kerajaan yg berada di wilayah tepi pantai disebabkan karena kemenangan militer & ekonomi Belanda, & hadirnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yg tak menaruh perhatian pada jual beli.
C. Islam Masuk Istana Raja
Keraton Yogyakarta |
Mengamati Lingkungan
Kamu tahu gambar di atas, bangunan apa & di mana? Itu yaitu salah satu pusat pemerintahan keraton yg bersifat Islam & masih berfungsi sampai sekarang, yakni Keraton Yogyakarta. Di Indonesia, keraton seperti ini pada perkembangannya memiliki peranan & posisi yg sungguh penting. Selain berfungsi selaku simbol perkembangan pemerintahan Islam, keraton pula menjadi lambang usaha kemerdekaan. Di sana para raja atau tokoh-tokohnya mengibarkan panji-panji perlawanan terhadap penjajahan. Islam yg masuk ke istana memang telah menyemai bibit-bibit kemerdekaan & persamaan.
Pada serpihan ini anda akan mempelajari dengan-cara garis besar permulaan pertumbuhan & perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Uraian ini khususnya dipusatkan pada beberapa sentra kekuasaan Islam yg berada di banyak sekali kawasan, mirip di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, & bahkan di Indonesia belahan timur, seperti Maluku & Papua. Sedangkan kerajaan-kerajaan yg tak diuraikan pada pembahasan kali ini, anda mampu mencari keterangan melalui banyak sekali buku yg ada.
Memahami Teks
1. Kerajaan Islam di Sumatra
Sejak permulaan kedatangan Islam, pulau Sumatra tergolong daerah pertama & terpenting dlm pengembangan agama Islam di Indonesia. Dikatakan demikian mengenang letak Sumatra yg strategis & berhadapan langsung dgn jalur perdangan dunia, yakni Selat Malaka. Berdasarkan catatan Tomé Pires dlm Suma Oriental (1512-1515) dikatakan bahwa di Sumatra, utamanya di sepanjang pesisir Selat Malaka & pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik yg besar maupun yg kecil. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Aceh, Biar & Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, & Barus. Menurut Tomé Pires, kerajaan-kerajaan tersebut ada yg sedang mengalami pertumbuhan, ada pula yg sedang mengalami perkembangan, & ada pula yg sedang mengalami keruntuhannya.
a. Samudra Pasai
Samudra Pasai diperkirakan berkembang meningkat antara tahun 1270 & 1275, atau pertengahan era ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dgn sultan pertamanya berjulukan Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu & Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudra berjulukan Marah Silu. Setelah menganut agama Islam kemudian berganti nama dgn Malik as-Shaleh.
Berikut ini merupakan urutan para raja-raja yg memerintah di Kesultanan Samudra Pasai:
- Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M);
- Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326);
- Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383);
- Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405);
- Sultanah Nahrisyah (1405-1412);
- Abu Zain Malik Zahir (1412);
- Mahmud Malik Zahir (1513-1524).
Nama sultan yg disebut terdapat dlm sumber Sejarah Melayu & Hikayat Raja-Raja Pasai. Nama-nama itu, kecuali nama Sultan Malikush Shaleh pula terdapat dlm mata uang emas yg disebut dgn dirham.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shaleh, Kerajaan Pasai mempunyai relasi dgn negara Cina. Seperti yg disebutkan dlm sumber sejarah Dinasti Yuan, pada 1282 duta Cina berjumpa dgn Menteri Kerajaan Sumutra di Quilan yg meminta semoga raja Sumatra mengantarkan dutanya ke Cina. Pada tahun itu pula disebutkan bahwa kerajaan Sumatra mengirimkan dutanya yg berjulukan Sulaiman & Syamsuddin.
Menurut Tome Pires, Kesultanan Samudera Pasai meraih puncaknya pada permulaan masa ke-16. Kesultanan itu mengalami kemajuan diberbagai bidang kehidupan mirip politik, ekonomi, pemerintahan, keagamaan, & utamanya ekonomi jual beli. Diceritakan pula bahwa Kesultanan Samudera Pasai selalu menyelenggarakan korelasi persahabatan dgn Malaka, bahkan kekerabatan persahabatan itu diperkuat dgn perkawinan. Para pedagang yg pernah mendatangi Pasai berasal dr banyak sekali negara mirip, Rumi, Turki, Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling, Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah, & Pegu. Sementara barang komoditas yg diperdagangkan ialah lada, sutera, & kapur barus. Di samping komoditas itu sebagai penghasil pendapatan Kesultanan Samudera Pasai, pula diperoleh usulan dr pajak yg dipungut dr pajak barang eksport & import. Dalam sumber-sumber sejarah pula dijelaskan, bahwa Kesultanan Samudera Pasai sudah menggunakan mata duit mirip duit kecil yg disebut dgn ceitis. Uang kecil itu ada yg terbuat dr emas & ada pula yg yang dibuat dr dramas.
Dalam bidang keagamaan Ibnu Batuta menerangkan bahwa Kesultanan Samudera Pasai pula dikunjungi oleh para ulama dr Persia, Suriah (Syria), & Isfahan. Dalam catatan Ibnu Batuta disebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai sangat taat terhadap agama Islam yg bermazhab Syafi’i. Sultan senantiasa dikelilingi oleh para luar biasa teologi Islam.
Kerajaan Samudera Pasai mempunyai peranan penting dlm penyebaran Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yg bercorak Islam karena amat erat relevansinya dgn Kerajaan Samudera Pasai. Hubungan tersebut semakin erat dgn diadakannya ijab kabul antara putra- putri sultan dr Pasai & Malaka sehingga pada permulaan abad- 15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah Kerajaan Islam Malaka, yg dimulai dgn pemerintahan Parameswara.
Dalam Hikayat Patani terdapat cerita wacana pengislaman Raja Patani yg bernama Paya Tu Nakpa dijalankan oleh seorang dr Pasai yg bernama Syaikh Sa’id, karena berhasil menyembuhkan Raja Patani. Setelah masuk Islam, raja berganti nama menjadi Sultan Isma’il Syah Zill Allah fi al-Alam & pula ketiga orang putra & putrinya yakni Sultan Mudaffar Syah, Siti Aisyah, & Sultan Mansyur. Pada masa pemerintahan Sultan Mudaffar Syah pula tiba lagi seorang ulama dr Pasai yg berjulukan Syaikh Safi’uddin yg atas perintah raja ia mendirikan masjid untuk orang- orang Muslim di Patani. Demikian pula jenis nisan kubur yg disebut Batu Aceh menjadi nisan kubur raja-raja di Patani, Malaka, & Malaysia. Pada biasanya nisan kubur tersebut berupa mirip nisan kubur Sultan Malik as-Shaleh & nisan-nisan kubur dr sebelum masa ke-17.
Nisan yg memuat penuh ayat 18 Surat Ali Imran |
Dilihat dr kesamaan jenis kerikil serta cara penulisan & huruf-huruf bahkan dgn cara pengisian ayat-ayat al-Qur’an & nuansa kesufiannya, terperinci Samudera Pasai mempunyai peranan penting dlm persebaran Islam di beberapa tempat di Asia Tenggara & demikian pula di bidang perekonomian & jual beli. Namun, semenjak Portugis menguasai Malaka pada 1511 & meluaskan kekuasaannya, maka Kerajaan Islam Samudera Pasai mulai dikuasai semenjak 1521. Kemudian Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah lebih berhasil menguasai Samudera Pasai. Kerajaan- kerajaan Islam yg terletak di pesisir seperti Aru, Pedir, & yang lain lambat laun berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Aceh Darussalam yg semenjak era ke-16 makin mengalami perkembangan politik, ekonomi-jual beli, kebudayaan & keagamaan.
b. Kesultanan Aceh Darussalam
Pada 1520 Aceh berhasil memasukkan Kerajaan Daya ke dlm kekuasaan Aceh Darussalam. Tahun 1524, Pedir & Samudera Pasai ditaklukkan. Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.
Pada 1529 Kesultanan Aceh menyelenggarakan antisipasi untuk menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi tak jadi karena Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 1530 & dimakamkan di Kandang XII, Banda Aceh. Di antara penggantinya yg terkenal yakni Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538-1571). Usaha-usahanya ialah meningkatkan kekuatan angkatan perang, jual beli, & menyelenggarakan kekerabatan internasional dgn kerajaan Islam di Timur Tengah, mirip Turki, Abessinia (Ethiopia), & Mesir. Pada 1563 ia mengantarkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta perlindungan dlm usaha melawan kekuasaan Portugis.
Dua tahun kemudian tiba sumbangan dr Turki berupa teknisi-teknisi, & dgn kekuatan tentaranya Sultan Alauddin Riayat Syah at-Qahhar menyerang & menaklukkan banyak kerajaan, mirip Batak, Aru, & Barus. Untuk menjaga keutuhan Kesultanan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar menempatkan suami kerabat perempuannya di Barus dgn gelar Sultan Barus, dua orang putra sultan diangkat menjadi Sultan Aru & Sultan Pariaman dgn gelar resminya Sultan Ghari & Sultan Mughal, & di kawasan- kawasan imbas Kesultanan Aceh ditempatkan wakil-wakil dr Aceh.
Makam Sultan Iskandar Muda (1607-1636) di Aceh |
Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mengundang perhatian para jago sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda sudah menundukkan wilayah-wilayah di sepanjang pesisir timur & barat. Demikian pula Johor di Semenanjung Malaya sudah diserang, & kemudian rnengakui kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Kedudukan Portugis di Malaka terus-menerus mengalami ancaman & serangan, walaupun keruntuhan Malaka selaku pusat perdagangan di Asia Tenggara gres terjadi sekitar tahun 1641 oleh VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda. Perluasan kekuasaan politik VOC hingga Belanda pada dekade era ke-20 tetap menjadi ancaman bagi Kesultanan Aceh.
Masjid Indrapuri di Aceh Besar |
c. Kerajaan-Kerajaan Islam di Riau
Kerajaan Islam yg ada di Riau & Kepulauan Riau menurut isu Tome Pires (1512-1515 ) antara lain Siak, Kampar, & Indragiri. Kerajaan Kampar, Indragiri, & Siak pada kala ke-13 & ke-14 dlm kekuasaan Kerajaan Melayu & Singasari-Majapahit, maka kerajaan-kerajaan tersebut berkembang menjadi kerajaan bercorak Islam semenjak kurun ke-15.
Pengaruh Islam yg hingga ke tempat-wilayah itu mungkin jawaban perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai & Malaka. Jika kita dasarkan informasi Tome Pires, maka ketiga Kerajaan Kampar, Indragiri & Siak senantiasa melakukan jual beli dgn Malaka bahkan memperlihatkan upeti pada Kerajaan Malaka. Ketiga kerajaan di pesisir Sumatra Timur ini dikuasai Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat 1477). Bahkan pada masa pemerintahan putranya, Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah (wafat 1488) banyak pulau di Selat Malaka (orang maritim) tergolong Lingga-Riau, masuk kekuasaan Kerajaan Malaka. Siak menghasilan padi, madu, lilin, rotan, bahan-materi apotek, & banyak emas. Kampar membuat barang barang jualan mirip emas, lilin, madu, biji-bijian, & kayu gaharu. Indragiri menghasilkan barang-barang perdagangan, mirip Kampar, tetapi emas dibeli dr pedalaman Minangkabau.
Masjid di Pulau Penyengat Riau |
Siak menjadi daerah kekuasaan Malaka semenjak penaklukan oleh Sultan Mansyûr Syah di mana ditempatkan raja-raja selaku wakil Kemaharajaan Melayu. Tatkala Sultan Mahmud Syah I berada di Bintan, Raja Abdullah yg bergelar Sultan Khoja Ahmad Syah diangkat di Siak. Pada 1596 yg menjadi Raja Siak ialah Raja Hasan putra Ali Jalla Abdul Jalil, sementara saudaranya yg berjulukan Raja Husain ditempatkan di Kelantan. Kemudian di Kampar ditempatkan Raja Muhammad. Sejak VOC Belanda menguasai Malaka pada 1641 hingga kala ke-18 simpel ketiga kerajaan, yakni Siak, Kampar, & Indragiri berada di bawah efek kekuasaan politik & ekonomi–jual beli VOC. Perjanjian pada 14 Januari 1676 berisi, bahwa hasil timah harus dijual cuma pada VOC.
Demikian pula dgn didapatkan tambang emas dr Petapahan, Kerajaan Siak, pula terikat oleh ikatan kontrakmonopoli jual beli sehingga Raja Kecil pada 1723 mendirikan kerajaan baru di Buantan dekat Sabak Auh di Sungai Jantan Siak yg kemudian disebut pula Kerajaan Siak. Raja Kecil kemudian selaku sultan menggunakan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1748), & selama pemerintahannya ia meluaskan wilayah kekuasaannya sambil melaksanakan perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan politik VOC, bahkan sering muncul armadanya di Selat Malaka. Pada 1750, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah memindahkan ibukota kerajaan dr Buantan ke Mempura yg terletak di tepi Sunai Memra Besar, Sungai Jantan diubah namanya menjadi Sungai Siak & kerajaannya disebut Kerajaan Siak Sri Indrapura. Karena VOC, yg kantor dagangnya ada di Pulau Guntung di verbal Sungai Siak, sering mengganggu lalu lintas kapal- kapal Kerajaan Siak Sri Indrapura, maka Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah dgn pasukannya pada 1760 menyerang benteng VOC.
Kerajaan Siak di bawah pemerintahan Sultan Sa’id Ali (1784-1811) banyak berjasa bagi rakyatnya. Ia sukses memakmurkan kerajaan & ia diketahui selaku seorang Sultan yg jujur. Daerah-wilayah yg pada masa Raja Kecil melepaskan diri dr Kerajaan Siak & berhasil ia kuasai kembali. Sultan Sa’id Ali memundurkan diri sebagai Sultan Siak pada 1811 & kemudian pemerintahannya diganti oleh putranya, Tengku Ibrahim. Di bawah pemerintahan Tengku Ibrahim inilah Kerajaan Siak mengalami kemunduran sehingga banyak orang yg pindah ke Bintan, Lingga Tambelan, Terenggano, & Pontianak. Ditambah lagi dgn adanya perjanjian dgn VOC pada 1822 di Bukit Batu yg isinya menekankan Kerajaan Siak tak boleh menyelenggarakan ikatan- ikatan atau perjanjian-kontrakdgn negara-negara lain kecuali dgn Belanda. Dengan demikian, Kerajaan Siak Sri Indrapura makin sempit geraknya & bertambah banyak dipengaruhi politik penjajahan Hindia-Belanda.
Sebagaimana sudah disebutkan bahwa Kerajaan Kampar semenjak kurun ke-15 berada di bawah Kerajaan Malaka. Pada masa pemerintahannya, Sultan Abdullah di Kampar tak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I di Bintan selaku pemegang kekuasaan Kemaharajaan Melayu. Akibatnya Sultan Mahmud Syah I mengirimkan pasukannya ke Kampar. Sultan Abdullah minta derma Portugis, & berhasil menjaga Kampar. Tatkala Sultan Abdullah dibawa ke Malaka oleh Portugis, maka Kampar ada di bawah pembesar- pembesar kerajaan, di antaranya Mangkubumi Tun Perkasa yg mengantarkan delegasi ke Kemaharajaan Melayu di bawah pimpinan Sultan Abdul Jalil Syah I yg memohon supaya di Kampar ditempatkan raja.
Hasil permohonan tersebut dikirimkan seorang pembesar dr Kemaharajaan Melayu merupakan Raja Abdurrahman bergelar Maharaja Dinda Idan berkedudukan di Pekantua. Hubungan antara Kerajaan Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lela Utama dgn Siak & Kuantan diikat dgn kekerabatan jual beli. Tetapi masa pemerintahan penggantinya Maharaja Dinda II memindahkan ibukota Kerajaan Kampar pada 1725 ke Pelalawan yg kemudian mengganti Kerajaan Kampar menjadi Kerajaan Pelalawan. Kemudian kerajaan tersebut tunduk pada Kerajaan Siak, & pada 4 Februari 1879 dgn terjadinya perjanjian pengakuannya Kampar berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Indragiri sebelum 1641 yg berada di bawah Kemaharajaan Malayu bekerjasama erat dgn Portugis, tetapi sesudah Malaka diduduki VOC, mulailah berhubungan dgn VOC yg mendirikan kantor dagangnya di Indragiri berdasarkan kesepakatan28 Oktober 1664.
Pada 1765, Sultan Hasan Shalahuddin Kramat Syah memindahkan ibukotanya ke Japura tetapi dipindahkan lagi pada 5 Januari 1815 ke Rengat oleh Sultan Ibrahim atau Raja Indragiri XVII. Sultan Ibrahim inilah yg berpartisipasi berperang dgn Raja Haji di Teluk Ketapang pada 1784. Demikianlah, kekuasaan politik kerajaan ini sama sekali hilang menurut Tractat van Vrede en Vriend-schap 27 September 1838, berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda, yg memiliki arti jalannya pemerintahan Kerajaan Indragiri ditentukan pemerintah Hindia Belanda.
d. Kerajaan Islam di Jambi
Berdasarkan temuan-temuan arkeologis kemungkinan kedatangan Islam di kawasan Jambi diperkirakan dimulai sejak kala ke-9 atau kurun ke-10 sampai kurun ke-13. Kemungkinan pada masa itu proses Islamisasi masih terbatas pada perorangan. Karena proses Islamisasi besar-besaran serempak dgn berkembang & berkembangnya Kerajaan Islam Jambi sekitar 1500 M di bawah pemerintahan Orang Kayo Hitam yg pula meluaskan “Bangsa XII” dr “Bangsa IX”, anak Datuk Paduka Berhala. Konon berdasarkan Undang-Undang Jambi, Datuk Paduka Berhala ialah orang dr Turki yg terdampar di Pulau Berhala yg kemudian dimengerti dgn sebutan Ahmad Salim. Ia menikah dgn Putri Salaro Pinang Masak yg sudah Muslim, turunan raja-raja Pagarruyung yg kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan Kerajaan Jambi yg terkenal. Karena itu kemungkinan besar penyebaran Islam sudah terjadi semenjak sekitar tahun 1460 atau pertengahan era ke-15.
Menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, dr akad nikah antara Datuk Paduka Berhala dgn Putri Pinang Masak, melahirkan pula tiga saudaranya Orang Kayo Hitam yakni Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran/Kedataran, & Orang Kayo Gemuk (seorang putri). Yang menjadi pengganti Datuk Paduka Berhala merupakan Orang Kayo Hitam yg beristri salah seorang putri dr kerabat ibunya merupakan Putri Panjang Rambut. Pengganti Orang Kayo Hiam merupakan Panembahan Ilang di Aer yg setelah wafat dimakamkan di Rantau Kapas sehingga terkenal pula dgn Panembahan Rantau Kapas. Masa pemerintahan Datuk Paduka Berhala beserta Putri Pinang Masak sekitar tahun 1460, Orang Kayo Pingai sekitar tahun 1480, Orang Kayo Pedataran sekitar tahun 1490. Sedangkan masa pemerintahan Orang Kayo Hitam sendiri sekitar tahun 1500, Panembahan Rantau Kapas sekitar antara tahun 1500 hingga 1540, Panembahan Rengas Pandak cucu Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1540 M, Panembahan Bawah Sawoh cicit Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1565. Setelah Panembahan Bawah Sawoh meninggal dunia, pemerintahan diganti kan oleh Panembahan Kota Baru sekitar tahun 1590, & kemudian diganti lagi oleh Pangeran Keda yg bergelar Sultan Abdul Kahar pada 1615. Sejak masa pemerintahan Kerajaan Islam Jambi di bawah Sultan Abdul Kahar itulah orang-orang VOC mulai tiba untuk menjalin hubungan jual beli. Mereka membeli hasil-hasil Kerajaan Jambi utamanya lada. Dengan izin Sultan Jambi pada 1616, Kompeni Belanda (VOC) mendirikan lojinya di Muara Kompeh. Tetapi beberapa tahun kemudian merupakan pada 1636 loji tersebut ditinggalkan lantaran rakyat Jambi tidak mau memasarkan hasil- hasil buminya pada VOC. Sejak itu hubungan Kerajaan Jambi dgn VOC makin renggang, ditambah pada 1642 Gubernur Jenderal VOC Antonio van Diemn menuduh Jambi bekerjasama dgn Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo (1665- 1690) terjadi pertempuran antara Kerajaan Jambi dgn Kerajaan Johor di mana Kerajaan Jambi mendapat sumbangan VOC & kesudahannya menang. Meskipun demikian, selaku upah pemberian itu VOC berturut-turut menyodorkan persetujuanpada 12 Juli 1681, 20 Agustus 1681, 11 Agustus 1683, & 20 Agustus 1683. Pada hakikatnya perjanjian-kesepakatantersebut menguatkan monopoli pembelian lada, & sebaliknya VOC memaksakan untuk penjualan kain & opium. Beberapa tahun kemudian terjadi penyerangan kantor dagang VOC oleh rakyat Jambi & kepala pedagang VOC, Sybrandt Swart terbunuh pada 1690 & Sultan Jambi dituduh terlibat. Oleh lantaran itu, Sultan Sri Ingalogo ditangkap & diasingkan mula-mula ke Batavia & karenanya ke Pulau Banda. Sultan penggantinya merupakan Pangeran Dipati Cakraningrat yg bergelar Sultan Kiai Gede. Dengan demikian, Sultan Ratu yg lebih berhak disingkirkan & ia dgn sejumlah pengikutnya pindah ke Muaratebo, menenteng keris pusaka Sigenjei, keris lambang bagi Raja-Raja Jambi yg mempunyai hak atas kerajaan. Sejak itulah terus-menerus terjadi pertentangan yg memuncak dgn pemberontakan & perlawanan Sultan Thâhâ Sayf al-Dîn yg dipusatkan utamanya di wilayah Batanghari Hulu. Di wilayah inilah pada pertempuran yg sengit, Sultan Thaha gugur pada 1 April 1904 & ia dimakamkan di Muaratebo.
e. Kerajaan Islam di Sumatra Selatan
Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar masa ke-14, mulailah proses Islamisasi sehingga pada tamat kurun ke-15 timbul komunitas Muslim di Palembang. Palembang pada simpulan masa ke-16 sudah merupakan wilayah kantong Islam terpenting atau bahkan sentra Islam di potongan selatan “Pulau Emas”. Bukan saja lantaran reputasinya sebagai pusat jual beli yg banyak dikunjungi pedagang Arab/Islam pada masa-kurun kejayaan Sriwijaya, tetapi pula dibantu oleh kebesaran Malaka yg tak pernah melepaskan keterlibatannya dgn Palembang selaku tanah asalnya. Palembang sekitar permulaan masa ke-16 sudah ada di bawah efek kekuasaan Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim mirip diberitakan Tome Pires (1512-1515) bahkan pada waktu itu penduduk Palembang berjumlah lebih kurang 10.000 orang. Tetapi banyak yg mati dlm serangan membantu Demak terhadap Portugis di Malaka. Mereka berdagang dgn Malaka & Pahang dgn jung-jung sebanyak 10 atau 12 setiap tahunnya. Komoditi yg diperdagangkan yakni beras & materi masakan, katun, rotan, lilin, madu, anggur, emas, besi, kapur barus, & lain-yang lain. Meskipun kedudukan Palembang sebagai pusat penguasa Muslim sudah ada sejak 1550, tetapi nama tokoh yg tercatat menjadi sultan pertama Kesultanan Palembang merupakan Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/ Kiai Mas Endi semenjak 1659 hingga 1706. Palembang berturut- turut diperintah oleh 11 sultan sejak 1706 & sultan yg terakhir, Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1825).
Kontak pertama Kesultanan Palembang dgn VOC terjadi pada 1610, tetapi karena VOC tak dipedulikan kepentingannya maka senantiasa terjadi kerenggangan. Pada 1658 wakil jualan VOC, Ockersz beserta pasukannya dibunuh & dua buah kapalnya yaitu Wachter & Jacatra dirampas. Akibatnya pada 4 November 1659 terjadi pertempuran antara Kesultanan Palembang dgn VOC di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang dibakar. Demikian pula Kuta & permukiman penduduk Cina, Portugis, Arab & bangsa- bangsa yang lain yg berada di seberang Kuta pula dibakar. Kota Palembang dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang & kemudian dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid Agung yg hingga kini masih mampu disaksikan walaupun sudah ada beberapa perubahan.
Mesjid Agung Palembang yg dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin |
Masjid agung mulai dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar agama Islam makin pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dr tokoh-tokoh, antara lain, Abdussamad al- Palimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, & yang lain. Mengenai ulama terkenal Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah dibicarakan Azyumardi Azra dlm Historiografi Islam Kontemporer dengan-cara lengkap perihal riwayatnya, anutan serta kitab-kitabnya & guru-guru sufi serta tarekatnya.
Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang semenjak pemerintahan Sultan Mahmud Badar II mendapat serangan dr pasukan Hindia Belanda pada Juli 1819 atau yg dimengerti selaku Perang Menteng (diambil dr kata Muntinghe). Serangan besar-besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C. Wolterboek yg terjadi pada Oktober 1819 pula dapat dipukul mundur oleh serdadu-tentara Kesultanan Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi melaksanakan penyerangan dgn banyak armada di bawah pimpinan panglima Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian dibuang ke Ternate.
Jenderal de Kock |
Kesultanan Palembang semenjak 7 Oktober 1823 dihapuskan & kekuasaan wilayah Palembang berada langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda dgn penempatan Residen Jon Cornelis Reijnst yg tak diterima. Sultan Ahmad Najaruddin Prabu Anom karena memberontak alhasil ditangkap kemudian diasingkan ke Banda, & seterusnya dipindahkan ke Menado.
f. Kerajaan Islam di Sumatra Barat
Islam di wilayah Lampung tak akan dibicarakan karena kawasan ini sudah semenjak permulaan masuk kekuasaan Kesultanan Banten, karena itu yg akan dibicarakan pada penggalan ini merupakan Kerajaan Islam di Sumatra Barat. Mengenai masuk & berkembangnya Islam di wilayah Sumatra Barat masih sukar dipastikan. Berdasarkan info Cina dr Dinasti T’ang yg menyebutkan sekitar periode ke-7 (674 M) ada kelompok orang- orang Arab (Ta’shih) & disebutkan oleh W.P. Goeneveldt, wilayah perkampungan mereka berada di pesisir barat Sumatra. Islam yg tiba & meningkat di Sumatra Barat diperkirakan pada simpulan masa ke-14 atau kurun 15, sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar Minangkabau. Bahwa Islam sudah masuk ke wilayah Minangkabau pada sekitar selesai masa ke-15 mungkin dapat dihubungkan dgn kisah yg terdapat dlm naskah antik dr Kerinci perihal Siak Lengih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yg mengenalkan Islam di daerah Kerinci, semasa dgn Putri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yg kesemuanya berada di kawasan Kerinci. Tome Pires (1512-1515) pula mencatat eksistensi tempat-tempat mirip Pariaman, Tiku, bahkan Barus. Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-barang jual beli, seperti emas, sutra, damar, lilin, madu kamper, kapur barus, & lainnya. Setiap tahun ketiga tempat tersebut pula didatangi dua atau tiga kapal dr Gujarat yg menjinjing barang dagangannya antara lain pakaian.
Melalui pelabuhan-pelabuhannya sejak periode ke-15 & ke-16 kekerabatan antara tempat Sumatra Barat dgn banyak sekali negeri terjalin dlm kekerabatan jual beli antara lain dgn Aceh. Pada masa Iskandar Muda, Pariaman merupakan salah satu wilayah yg berada di bawah efek Kerajaan Aceh & demikian pula sejak penggantinya. Pada kala ke-17 M, terdapat ulama terkenal di Sumatra Barat salah seorang murid Abdurrauf al-Sinkili yg terkenal berjulukan Syaikh Burhanuddin (1646-1692) di Ulakan. Ia mendirikan surau & tak diragukan lagi Ulakan merupakan pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Tarekat Syattariyah yg diajarkannya tersebar di tempat Minangkabau & anutan tasawufnya condong pada syariah & bisa dikatakan selaku pedoman neo-sufisme. Syaikh Burhanuddin dlm penduduk setempat dikenal selaku Tuanku Ulakan. Penyebaran Islam yg bersifat pembaruan & menjangkau lebih jauh lagi mencapai klimaksnya pada permulaan era ke-19.
Sejak awal kala ke-16 hingga permulaan kurun ke-19 di daerah Minangkabau senantiasa terdapat kedamaian, sama-dalam pepatah “Adat bersandi syara, syara bersandi adat”. Sejak permulaan era ke-19 timbul pembaruan Islam di wilayah Sumatra Barat yg menjinjing pengaruh Wahabiyah & kemudian memunculkan “Perang Padri “, perang antara golongan adat & golongan agama. Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yg berkedudukan di Pagarruyung. Raja tetap dihormati selaku lambang negara tetapi tak mempunyai kekuasaan, karena hakikatnya kekuasaan ada di tangan para panghulu yg tergabung dlm Dewan Penghulu atau Dewan Negari.
Dalam kehidupan sehari-hari penduduk Minangkabau lambat laun terjadi kebiasaan buruk mirip main judi, menyabung ayam, menghisap madat & minum-minuman keras. Para pembesarnya tak bisa menghalangi bahkan di antaranya turut serta. Terkait dgn hal itu, kaum ulamanya yg kelak dinamakan kaum “Padri” berhasrat menyelenggarakan perbaikan mengembalikan kehidupan masyarakat Minangkabau pada kemurnian Islam. Di antara kaum ulama itu Tuanku Kota Tua dr kampung Kota Tua di dataran Agam mengajarkan kemurnian Islam berdasarkan al-Qur’an & hadis. Sementara itu, pada 1803 tiga orang haji kembali dr Makkah yaitu Haji Miskin dr Pandai Sikat, Haji Sumanik dr Delapan Kota, & Haji Piabang dr Tanah Datar. Tatkala Haji Miskin melarang penyabungan ayam di kampungnya, maka kaum adat melawan sehingga Haji Miskin diburu-buru & tatkala hingga ke Kota Lawas ia mendapat proteksi dr Tuanku Mensiangan. Dari sini Haji Miskin lari ke Kamang & bertemu dgn Tuanku Nan Renceh yg alhasil lewat konferensi beberapa tokoh ulama khususnya di darah Luhak Agam dibentuklah kelompok yg disebut “Padri” yg tujuan utamanya ialah memperjuangkan tegaknya syara & membasmi kemaksiatan. Mereka itu terdiri dr Tuanku Nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aer, Tuamku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, & Tuanku Kubu Senang.
Kedelapan ulama Padri itu disebut Harimau Nan Salapan. Perjuangan kaum Padri itu makin kokoh, tetapi pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk keuntungan politik & ekonominya. Hal ini bikin kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yakni kaum Adat & kaum penjajah Belanda tergolong perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Pada permulaan era ke-19, Belanda dgn adanya celah kontradiksi antara kaum adat dgn kaum ulama dlm Perang Padri, memakai potensi demi keuntungan politik & ekonominya. Tahun 1830-1838, ditandai dgn perlawanan Padri yg meningkat & penyerbuan Belanda dengan-cara besar-besaran. Perlawanan Padri diakhiri dgn tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri utamanya Tuanku Imam Bonjol dlm pertempuran Benteng Bonjol, pada 25 Oktober 1837. Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda pada simpulan 1838 berhasil mengukuhkan kekuasaan politik & ekonominya di tempat Minangkabau atau di Sumatra Barat. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, & pada 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, serta pada 1841 dipindahkan ke Menado kemudian ia wafat di tempat itu pada 6 November 1864.
2. Kerajaan Islam di Jawa
Tahukah ananda kapan & bagaimana proses Islamisasi di tanah Jawa? Islam masuk ke Jawa lewat pesisir utara Pulau Jawa. Bukti sejarah ihwal permulaan mula kedatangan Islam di Jawa antara lain merupakan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yg wafat tahun 475 H atau 1082 M di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dr namanya, diperkirakan Fatimah merupakan keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia.
Di samping itu, di Gresik pula didapatkan makam Maulana Malik Ibrahim dr Kasyan (satu tempat di Persia) yg meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto pula didapatkan ratusan makam Islam antik. Makam tertua berangka tahun 1374. Diperkirakan makam-makam ini merupakan makam keluarga istana Majapahit. Berdasarkan keterangan ini, tentu ananda mampu mengambil kesimpulan bahwa Islam itu sudah lama masuk ke Pulau Jawa, jauh sebelum bangsa Barat menjejakkan kaki di pulau ini. Untuk lebih jelasnya marilah kita paparkan sekelumit kerajaan- kerajaan Islam di Pulau Jawa.
a. Kerajaan Demak
Para hebat memperkirakan Demak berdiri tahun 1500. Sementara Majapahit hancur beberapa waktu sebelumnya. Menurut sumber sejarah setempat di Jawa, keruntuhan Majapahit terjadi sekitar tahun 1478. Hal ini ditandai dgn candrasengkala, Sirna Hilang Kertaning Bhumi yang berartimemiliki angka tahun 1400 Saka. Raja pertama Kerajaan Demak yaitu Raden Fatah, yg bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah. Raden Fatah memerintah Demak dr tahun 1500-1518. Menurut dongeng rakyat Jawa Timur, Raden Fatah merupakan keturunan raja terakhir dr Kerajaan Majapahit, yakni Raja Brawijaya V. Di bawah pemerintahan Raden Fatah, Kerajaan Demak berkembang dgn pesat lantaran mempunyai wilayah pertanian yg luas selaku penghasil bahan masakan, terutama beras. Selain itu, Demak pula berkembang menjadi suatu kerajaan maritim karena letaknya di jalur jual beli antara Malaka & Maluku. Oleh karena itu Kerajaan Demak disebut pula selaku suatu kerajaan yg agraris-maritim. Barang dagangan yg diekspor Kerajaan Demak antara lain beras, lilin & madu. Barang-barang itu diekspor ke Malaka, Maluku & Samudra Pasai.
Peta efek kesultanan Demak meliputi Sumatra Selatan & Kalimantan |
Pada masa pemerintahan Raden Fatah, wilayah kekuasaan Kerajaan Demak cukup luas, mencakup Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi & beberapa wilayah di Kalimantan. Daerah-daerah pesisir di Jawa cuilan Tengah & Timur kemudian ikut mengakui kedaulatan Demak & mengibarkan panji-panjinya. Kemajuan yg dialami Demak ini dipengaruhi oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Karena Malaka sudah dikuasai oleh Portugis, maka para pedagang yg tak simpatik dgn kehadiran Portugis di Malaka beralih haluan menuju pelabuhan-pelabuhan Demak seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan & Gresik. Pelabuhan- pelabuhan tersebut kemudian berubah menjadi pelabuhan transit.
Selain tumbuh selaku pusat jual beli, Demak pula berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam. Para wali yg merupakan tokoh penting pada perkembangan Kerajaan Demak ini, mempergunakan posisinya untuk lebih berbagi Islam pada penduduk Jawa. Para wali pula berusaha membuatkan Islam di luar Pulau Jawa. Penyebaran agama Islam di Maluku dilaksanakan oleh Sunan Giri sedangkan di tempat Kalimantan Timur dijalankan oleh seorang penghulu dr Kerajaan Demak yg berjulukan Tunggang Parangan. Setelah Kerajaan Demak lemah maka timbul Kerajaan Pajang.
Masjid Agung Demak merupakan bekas peninggalan kerajaan Demak |
b. Kerajaan Mataram
Setelah Kerajaan Demak berakhir, berkembanglah Kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Di bawah kekuasaannya, Pajang berkembang baik. Bahkan berhasil mengalahkan Arya Penangsang yg berupaya merebut kekuasaannya. Tokoh yg membantunya mengalahkan Arya Penangsang di antaranya yakni Ki Ageng Pemanahan (Ki Gede Pemanahan). la diangkat selaku bupati (adipati) di Mataram. Kemudian putranya, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat anak oleh Sultan Hadiwijaya & dibesarkan di istana. Sutawijaya dipersaudarakan dgn putra mahkota, berjulukan Pangeran Benowo.
Pada tahun 1582, Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Penggantinya, Pangeran Benowo merupakan raja yg lemah. Sementara Sutawijaya yg mengambil alih Ki Gede Pemanahan justru kian menguatkan kekuasaannya sehingga karenanya Istana Pajang pun jatuh ke tangannya. Sutawijaya segera memindahkan pusaka Kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya selaku raja pertama dgn gelar: Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pusat kerajaan ada di Kota Gede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta sekarang. Panembahan Senapati digantikan oleh putranya yg berjulukan Mas Jolang (1601-1613). Mas Jolang kemudian digantikan oleh putranya berjulukan Mas Rangsang atau lebih diketahui dgn nama Sultan Agung (1613-1645). Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah Mataram menjangkau zaman keemasan.
Dalam bidang politik pemerintahan, Sultan Agung berhasil memperluas wilayah Mataram ke banyak sekali daerah yaitu, Surabaya (1615), Lasem, Pasuruhan (1617), & Tuban (1620). Di samping berusaha menguasai & mempersatukan banyak sekali daerah di Jawa, Sultan Agung pula ingin menghalau VOC dr Kepulauan Indonesia. Kemudian diadakan dua kali serangan tentara Mataram ke Batavia pada tahun 1628 & 1629.
Masjid Agung Surakarta |
Mataram menjelma kerajaan agraris. Dalam bidang pertanian, Mataram meningkatkan daerah-wilayah persawahan yg luas. Seperti yg dilaporkan oleh Dr. de Han, Jan Vos & Pieter Franssen bahwa Jawa belahan tengah merupakan daerah pertanian yg subur dgn hasil utamanya adalah beras. Pada masa ke-17, Jawa sungguh-sungguh menjadi lumbung padi. Hasil-hasil yg lain yaitu kayu, gula, kelapa, kapas, & hasil palawija.
Di Mataram diketahui beberapa kelompok dlm penduduk . Ada golongan raja & keturunannya, para darah biru dan rakyat sebagai kawula kerajaan. Kehidupan penduduk bersifat feodal lantaran raja merupakan pemilik tanah beserta seluruh isinya. Sultan dipahami selaku panatagama, yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, Sultan mempunyai kedudukan yg sangat tinggi. Rakyat sungguh hormat & patuh, serta hidup mengabdi pada sultan.
Tradisi Sekaten yg masih ada hingga saat ini |
Bidang kebudayaan pula maju pesat. Seni bangunan, ukir, lukis, & patung mengalami perkembangan. Kreasi- kreasi para seniman, misalnya terlihat pada pembuatan gapura-gapura, serta ukir-tabrakan di istana & tempat ibadah. Seni tari yg populer yakni Tari Bedoyo Ketawang. Dalam prakteknya, Sultan Agung memadukan unsur-unsur budaya Islam dgn budaya Hindu-Jawa. Sebagai pola, di Mataram diselenggarakan peringatan sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, dgn membunyikan gamelan Kyai Nagawilaga & Kyai Guntur Madu. Kemudian pula diadakan upacara grebeg. Grebeg diadakan tiga kali dlm satu tahun, yakni setiap tanggal 10 Dzulliijah (Idul Adha), 1 Syawal (Idul Fitri), & tanggal 12 Rabiulawal (Maulid Nabi). Bentuk & kegiatan upacara grebeg ialah mengarak gunungan dr keraton ke depan masjid agung. Gunungan biasanya dibuat dr aneka macam kuliner, kue, & hasil bumi yg dibuat menyerupai gunung. Upacara grebeg merupakan sedekah selaku rasa syukur dr raja pada Tuhan Yang Maha Esa & pula sebagai pembuktian kesetiaan para bupati & punggawa kerajaan pada rajanya.
Keraton Surakarta |
Sultan Agung wafat pada 1645. Ia dimakamkan di Bukit Imogiri. Ia digantikan oleh putranya yg bergelar Amangkurat I. Akan tetapi, pribadi raja ini sungguh berbeda dgn pribadi Sultan Agung. Amangkurat I yakni seorang raja yg lemah, berpandangan sempit, & sering bertindak kejam. Mataram mengalami kemunduran apalagi adanya dampak VOC yg semakin kokoh. Dalam perkembangannya Kerajaan Mataram hasilnya dibagi dua berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755). Sebelah barat menjadi Kesultanan Yogyakarta & sebelah timur menjadi Kasunanan Surakarta.
c. Kesultanan Banten
Kerajaan Banten berawal sekitar tahun 1526, tatkala Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke tempat pesisir barat Pulau Jawa, dgn menaklukan beberapa wilayah pelabuhan kemudian membuatnya selaku pangkalan militer serta daerah jual beli. Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dlm penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin atau lebih sohor dgn sebutan Fatahillah, mendirikan benteng pertahanan yg dinamakan Surosowan, yg kemudian hari menjadi pusat pemerintahan, yakni Kesultanan Banten.
Pada awalnya, daerah Banten dipahami dgn nama Banten Girang yg merupakan penggalan dr Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan kerajaan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke tempat tersebut selain untuk ekspansi wilayah pula sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugis dlm bidang ekonomi & politik, hal ini dianggap mampu membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugis dr Malaka tahun 1513. Atas perintah Sultan Trenggono, Fatahillah melakukan penyerangan & penaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527, yg waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dr Kerajaan Sunda.
Masjid Agung Banten |
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Fatahillah pula melanjutkan ekspansi kekuasaan ke wilayah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dlm penyebaran Islam di tempat tersebut, selain itu ia pula telah melakukan kontak dagang dgn raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Indrapura), Sultan Munawar Syah & dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dgn kemunduran Demak khususnya sesudah meninggalnya Sultan Trenggono, maka Banten melepaskan diri & menjadi kerajaan yg bisa berdiri diatas kaki sendiri. Pada 1570 Fatahillah wafat. Ia meninggalkan dua orang putra pria, yakni Pangeran Yusuf & Pangeran Arya (Pangeran Jepara). Dinamakan Pangeran Jepara, lantaran semenjak kecil ia sudah diikutkan pada bibinya (Ratu Kalinyamat) di Jepara. Ia kemudian berkuasa di Jepara mengambil alih Ratu Kalinyamat, sedangkan Pangeran Yusuf menggantikan Fatahillah di Banten.
Pangeran Yusuf melanjutkan usaha-usaha ekspansi wilayah yg sudah dilaksanakan ayahandanya. Tahun 1579, daerah-wilayah yg masih setia pada Pajajaran ditaklukkan. Untuk kepentingan ini Pangeran Yusuf memerintahkan membangun kubu-kubu pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf meninggal & digantikan oleh putranya, yg berjulukan Maulana Muhammad. Pada 1596, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Pada waktu itu Palembang diperintah oleh Ki Gede ing Suro (1572 – 1627). Ki Gede ing Suro merupakan seorang penyiar agama Islam dr Surabaya & perintis perkembangan pemerintahan kerajaan Islam di Palembang. Kala itu Kerajaan Palembang lebih setia pada Mataram & sekaligus merupakan saingan Kerajaan Banten. Itulah sebabnya, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Kerajaan Palembang dapat dikepung & nyaris saja bisa ditaklukkan. Akan tetapi, Sultan Maulana Muhammad tiba-tiba terkena tembakan musuh & meninggal. Oleh karena itu, ia diketahui dgn sebutan Prabu Seda ing Palembang. Serangan tentara Banten terpaksa dilarang, bahkan jadinya ditarik mundur kembali ke Banten.
Gugurnya Maulana Muhammad menjadikan banyak sekali perselisihan di istana. Putra Maulana Muhammad yg berjulukan Abumufakir Mahmud Abdul Kadir, masih kanak-kanak. Pemerintahan dipegang oleh sang Mangkubumi. Akan tetapi, Mangkubumi berhasil dihindari oleh Pangeran Manggala. Pangeran Manggala sukses mengontrol kekuasaan di Banten. Baru setelah Abumufakir sampaumur & Pangeran Manggala meninggal tahun 1624, maka Banten dengan-cara sarat diperintah oleh Sultan Abumufakir Mahmud Abdul Kadir.
Pada tahun 1596 orang-orang Belanda tiba di pelabuhan Banten untuk yg pertama kali. Terjadilah perkenalan & obrolan jualan yg pertama antara orang-orang Belanda dgn para pedagang Banten. Tetapi dlm perkembangannya, orang-orang Belanda bersikap angkuh & arogan, bahkan mulai menyebabkan kesemrawutan di Banten. Oleh karena itu, orang-orang Banten menolak & mengusir orang-orang Belanda. Akhirnya, orang-orang Belanda kembali ke negerinya. Dua tahun kemudian, orang- orang Belanda tiba lagi. Mereka menampilkan sikap yg baik, sehingga mampu berdagang di Banten & di Jayakarta.
Pelabuhan Banten pada kurun ke-16 M |
Menginjak kala ke-17 Banten mencapai zaman keemasan. Daerahnya cukup luas. Setelah Sultan Abumufakir meninggal, ia digantikan oleh putranya berjulukan Abumaali Achmad. Setelah Abumaali Achmad, tampillah sultan yg terkenal, yakni Sultan Abdulfattah atau yg lebih diketahui dgn nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah pada tahun 1651 – 1682.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten terus mengalami perkembangan. Letak Banten yg strategis mempercepat perkembangan & perkembangan ekonomi Banten. Kehidupan sosial budaya pula mengalami pertumbuhan. Masyarakat biasa hidup dgn rambu-rambu budaya Islam.
Secara politik pemerintahan Banten pula kian kuat. Perluasan wilayah kekuasaan terus dijalankan bahkan hingga ke daerah yg pernah dikuasai Kerajaan Pajajaran. Namun ada sebagian penduduk yg menyingkir di pedalaman Banten Selatan lantaran tak mau memeluk agama Islam. Mereka tetap menjaga agama & adat istiadat nenek moyang. Mereka diketahui dgn penduduk Badui. Mereka hidup mengisolir diri di tanah yg disebut tanah Kenekes. Mereka menyebut dirinya orang-orang Kejeroan.
Dalam bidang kebudayaan, seni bangunan mengalami perkembangan. Beberapa jenis bangunan yg masih tersisa, antara lain, Masjid Agung Banten, bangunan keraton & gapura-gapura.
Pada masa final pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik di dlm istana. Sultan Ageng Tirtayasa yg berusaha menentang VOC, kurang disetujui oleh Sultan Haji selaku raja muda. Keretakan di dlm istana ini dimanfaatkan VOC dgn politik devide et impera. VOC menolong Sultan Haji untuk mengakhiri kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa bikin makin kuatnya kekuasaan VOC di Banten. Raja-raja yg berkuasa selanjutnya, bukanlah raja-raja yg kuat. Hal ini menenteng kemunduran Kerajaan Banten.
d. Kesultanan Cirebon
Menurut info Tome Pires sekitar 1513 diberitakan Cirebon sudah tergolong ke kawasan Jawa di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Penguasa di Cirebon ialah Lebe Usa sebagai bawahan Pate Rodim. Cirebon khususnya mengekspor beras & banyak materi masakan yang lain. Kota ini berpenduduk sekitar 1.000 orang. Menurut Tome Pires Islam sudah hadir di kota Cirebon 40 tahun sebelum kedatangan Tome Pires sendiri. Perkiraankehadiran Islamdikota Cirebon menurut sumber lokal Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari karya Pangeran Arya Cerbon pada 1720 M, dikatakan bahwa Syarif Hidayatullah tiba ke Cirebon pada 1470 M, & mengajarkan Islam di Gunung Sembung, bareng -sama Haji Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabumi. Syarif Hidayatullah kawin dgn Pakungwati & pada 1479 ia mengambil alih mertuanya selaku Penguasa Cirebon, kemudian mendirikan keraton yg diberi nama Pakungwati di sebelah timur Keraton Sultan Kasepuhan kini. Syarif Hidayatullah populer pula dgn gelaran Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati, seorang dr walisongo & pula ia mendapat julukan Pandita-Ratu semenjak berfungsi selaku wali penyebar Islam di Tatar Sunda & selaku kepala pemerintahan. Sejak itu Cirebon menghentikan upeti ke pusat Kerajaan Sunda Pajajaran di Pakuan. Sebenarnya Islam sudah mulai disebarkan meski mungkin masih terbatas daerahnya. Pangeran Cakrabumi alias Haji Abdullah Iman & pula Syaikh Datuk Kahfi yg sudah mempelopori pendirian pesantren selaku tempat mengajar & penyebaran agama Islam untuk wilayah sekitarnya. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati Islam makin diintensifkan dgn pendirian Masjid Agung Cipta Rasa di sisi barat alun-alun Keraton Pakungwati. Islam diluaskan ke aneka macam wilayah, antara lain, ke Kuningan, Talaga, & Galuh sekitar 1528-1530, & ke Banten sekitar 1525-1526 bersama putranya Maulana Hasanuddin. Sekitar 1527 ia mendorong menantunya, panglima yg diantarkan Pangeran Trenggana dr Demak untuk menyerang Kalapa yg masih dikuasai Kerajaan Sunda. Tatkala itu Kerajaan Sunda sudah mengadakan kekerabatan dgn Portugis dr Malaka sejak 1522.
Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, ia dimakamkan di Bukit Sembung atau yg dikenal dgn makam Gunung Jati. Penggantinya di Cirebon ialah buyutnya yg kelak dimengerti selaku Panembahan Ratu putra Pangeran Suwarga yg sudah meninggal dunia pada 1565. Pada masa pemerintahannya kekerabatan dgn Mataram masih diteruskan lewat jalur kekeluargaan antara lain dgn pernikahan kakak perempuan Panembahan Ratu yakni Ratu Ayu Sakluh dgn Sultan Agung Mataram (1613-1645), yg melahirkan Amangkurat I (1614-1677).
Keberadaan Kesultanan Cirebon menjelang tamat kurun ke-17 diwarnai dgn perjanjian-kontrakVOC antara lain perjanjian pada tanggal 7 Januari 1681. Lewat kesepakatantersebut Kesultanan Cirebon mulai dicampuri politik kolonial VOC. Selain itu di bidang ekonomi-jual beli, VOC memperoleh hak monopoli mirip pakaian & opium. Demikian pula ekspor komoditi lada, beras, kayu, gula, & sebagainya berada di tangan VOC. Sejak 1697, kekuasaan Keraton Kasepuhan & Kanoman terbagi lagi atas Kacirebonan & Kaprabonan. Karena itu berdasarkan pertimbangan Sharon Sidiqque, Kesultanan Cirebon sejak 1681 sampai 1940 mengalami kemerosotan karena kolonialisme. Meskipun pertimbangan beberapa ahli agak berlainan tetapi bisa dibilang Kesultanan Cirebon merupakan pusat syiar keagamaan dgn penyebarannya berjalan sebelum 168I. Tasawuf & tarekat-tarekat keagamaan Islam mirip Kubrawiyah, Qadariyah, Syattariyah, & kemudian Tijaniyah meningkat di Cirebon. Cirebon selaku sentra keagamaan banyak menciptakan naskah-naskah kuno mirip Babad Cerbon, Tarita Puwaka Tjaruban Nagari, Pepakem Cerbon, & lainnya.
3. Kerajaan-Kerajaan Islam di Kalimantan
Di samping Sumatra & Jawa, ternyata di Kalimantan pula terdapat beberapa kerajaan-kerajaan yg bercorak Islam. Apakah ananda sudah mengetahui nama kerajaan-kerajaan Islam yg tumbuh di Kalimantan? Di antara kerajaan Islam itu yakni Kesultanan Pasir (1516), Kesultanan Banjar (1526-1905), Kesultanan Kotawaringin, Kerajaan Pagatan (1750), Kesultanan Sambas (1671), Kesultanan Kutai Kartanegara, Kesultanan Berau (1400), Kesultanan Sambaliung (1810), Kesultanan Gunung Tabur (1820), Kesultanan Pontianak (1771), Kesultanan Tidung, & Kesultanan Bulungan (1731).
a. Kerajaan Pontianak
Kerajaan-kerajaan yg terletak di kawasan Kalimantan Barat antara lain Tanjungpura & Lawe. Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura & Lawe berdasarkan isu musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dlm jual beli baik dgn Malaka & Jawa, bahkan kedua kawasan yg diperintah oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya tunduk pada kerajaan di Jawa yg diperintah Pati Unus. Tanjungpura & Lawe (wilayah Sukadana) membuat komoditi seperti emas, berlian, padi, & banyak materi makanan. Banyak barang barang jualan dr Malaka yg dimasukkan ke wilayah itu, demikian pula jenis busana dr Bengal & Keling yg berwarna merah & hitam dgn harga yg mahal & yg murah. Pada era ke-17, kedua kerajaan itu sudah berada di bawah efek kekuasaan Kerajaan Mataram khususnya dlm upaya ekspansi politik dlm menghadapi perluasan politik VOC.
Demikian pula Kotawaringin yg kini sudah tergolong wilayah Kalimantan Barat pada masa Kerajaan Banjar pula sudah masuk dlm efek Mataram, sedikitnya sejak periode ke-16. Meskipun kita tak mengetahui dgn pasti kedatangan Islam di Pontianak, konon ada pemberitaan bahwa sekitar era ke-18 atau 1720 ada rombongan pendakwah dr Tarim (Hadramaut) yg di antaranya datang ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca al- Qur’an, ilmu fikih, & ilmu hadis. Mereka di antaranya Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menelusuri sungai ke arah maritim memasuki Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yg menjadi cikal bakal kota Pontianak.
Masjid Agung Sambas |
Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pimpinan utama penduduk di tempat itu dgn gelar Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus yg kemudian memindahkan kota dgn pengolahan benteng atau kubu dr kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus diketahui selaku Raja Kubu. Daerah itu mengalami pertumbuhan di bidang jual beli & keagamaan, sehingga banyak para pedagang yg berdatangan dr banyak sekali negeri. Pemerintahan Syarif Idrus (lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Hassan ibn Alwi ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Husin ibn Abdullah al-Aydrus) memerintah pada 1199-1209 H atau 1779-1789 M.
Cerita yang lain memberikan bahwa pendakwah dr Tarim (Hadramaut) yg mengajarkan Islam & datang ke Kalimantan belahan barat utamanya ke Sukadana merupakan Habib Husin al-Gadri. Ia semula singgah di Aceh & kemudian ke Jawa hingga di Semarang. Di tempat itulah ia berjumpa dgn pedagang Arab berjulukan Syaikh, karena itulah maka Habib Husin al-Gadri berlayar ke Sukadana. Kesaktiannya menimbulkan ia mendapat banyak simpati dr raja, Sultan Matan & rakyat. Kemudian Habib Husin al-Gadri pindah dr Matan ke Mempawah untuk meneruskan syiar Islam. Setelah wafat ia diganti oleh salah seorang putranya yg berjulukan Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Ia pergi dgn sejumlah rakyatnya ke tempat yg kemudian dinamakan Pontianak & di tempat inilah ia mendirikan keraton & masjid agung. Pemerintahan Syarif Abdurrahman Nur Alam ibn Habib Husin al-Gadri pada 1773-1808, digantikan oleh Syarif Kasim ibn Abdurrahman al-Gadri pada 1808-1828 & selanjutnya Kesultanan Pontianak di bawah pemerintahan sultan-sultan keluarga Habib Husin al-Gadri.
b. Kerajaan Banjar (Banjarmasin)
Kerajaan Banjar (Banjarmasin) terdapat di kawasan Kalimantan Selatan yg muncul semenjak kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yakni Negara Dipa, Daha, & Kahuripan yg berpusat di wilayah hulu Sungai Nagara di Amuntai. Kerajaan Nagara Dipa masa pemerintahan Putri Jungjung Buih & patihnya Lembu Amangkurat, pernah menyelenggarakan kekerabatan dgn Kerajaan Majapahit. Mengingat imbas Majapahit sudah hingga di wilayah Sungai Nagara, Batang Tabalung, Barito, & sebagainya tercatat dlm kitab Nagarakertagama. Hubungan tersebut pula dibuktikan dlm dongeng Hikayat Banjar & Kronik Banjarmasin. Pada waktu menghadapi peperangan dgn Daha, Raden Samudera minta tunjangan Kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan. Sejak itulah Raden Samudera menjadi pemeluk agama Islam dgn gelar Sultan Suryanullah. Yang mengajarkan agama Islam pada Raden Samudera dgn patih-patih serta rakyatnya merupakan seorang penghulu Demak. Proses Islamisasi di wilayah itu, menurut A.A. Cense, terjadi sekitar 1550 M. Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah, Kerajaan Banjar atau Banjarmasin meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, & Sambangan. Sebagai tanda tempat takluk biasanya pada waktu-waktu tertentu mengirimkan upeti pada Sultan Suryanullah selaku penguasa Kerajaan Banjar. Setelah Sultan Suryanullah wafat, ia digantikan oleh putra tertuanya dgn gelar Sultan Rahmatullah. Tatkala menjabat sebagai raja, ia masih mengantarkan upeti ke Demak, yg pada waktu itu sudah menjadi Kerajaan Pajang. Setelah Sultan Rahmatullah, yg memerintah Kerajaan Banjarmasin merupakan seorang putranya yg bergelar Sultan Hidayatullah. Pengganti Sultan Hidayatullah merupakan Sultan Marhum Panambahan atau diketahui dgn gelar Sultan Mustain Billah yg pada masa pemerintahannya berupaya memindahkan ibu kota kerajaan ke Amuntai. Tatkala memerintah pada awal kurun ke-17 Sultan Mustain Billah ditakuti oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya & ia mampu menghimpun lebih kurang 50.000 serdadu. Demikian kuatnya Kerajaan Banjar sehingga bisa membendung imbas politik dr Tuban, Arosbaya, & Mataram, di samping menguasai tempat-kawasan kerajaan di Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah, & Barat.
Pada periode ke-17 di Kerajaan Banjar ada seorang ulama besar yg bernama Muhammad Arsyad ibn Abdullah al-Banjari (1710-1812) lahir di Martapura. Atas ongkos kesultanan masa Sultan Tahlil Allah (1700-1745) pergi berguru ke Haramayn selama beberapa tahun. Sekembalinya dr Haramayn ia mengajarkan fikih atau syariah, dgn kitabnya Sabîl al-Muhtadîn. Ia mahir di bidang tasawuf dgn karyanya Khaz al-Ma’rifah. Mengenai riwayat, anutan & guru-guru serta kitab-kitab hasil karyanya dengan-cara panjang lebar telah dibicarakan oleh Azyumardi Azara dlm Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Sejak wafatnya Sultan Adam, pada 1 November 1857, pergeseran sultan-sultan mulai dicampuri oleh kepentingan politik Belanda sehingga terjadi kontradiksi-pertentangan antara keluarga raja, apalagi setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda. Perlawanan-perlawanan terhadap Belanda itu terus-menerus dilakukan utamanya antara tahun 1859-1863, antara lain oleh Pangeran Antasari, Pangeran Demang Leman, Haji Nasrun & yang lain. Perlawanan terhadap penjajah Belanda itu bahu-membahu terus dilakukan hingga tahun-tahun selanjutnya.
Mesjid peninggalan Kesultanan Banjar, Kesultanan Islam di Kalimantan |
4. Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi
Di daerah Sulawesi juga berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dr jual beli yg berjalan tatkala itu. Berikut ini yakni beberapa kerajaan Islam di Sulawesi di antaranya Gowa-Tallo, Bone, Wajo dan Soppeng, & Kesultanan Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yg terkenal antara lain Kerajaan Gowa-Tallo
a. Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, mirip dgn Luwu, Bone, Soppeng, & Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo ditaklukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Kemudian Kerajaan Wajo menjadi daerah taklukan Gowa berdasarkan Hikayat Wajo. Dalam serangan terhadap Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Gowa meninggal dan seorang lagi terbunuh sekitar pada 1565. Ketiga Kerajaan Bone, Wajo, & Soppeng menyelenggarakan persatuan untuk menjaga kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellumpocco, sekitar 1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi selaku kerajaan bercorak Islam pada 1605, Gowa meluaskan dampak politiknya, supaya kerajaan-kerajaan lainnya pula memeluk Islam dan tunduk
Masjid Bau-Bau, Sulawesi Tenggara |
pada Kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan-kerajaan yg tunduk pada Kerajaan Gowa-Tallo antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, & Bone pada 23 Nopember 1611.
Makam Sultan Alauddin, Raja Gowa |
Di wilayah Sulawesi Selatan proses Islamisasi makin mantap dgn adanya para mubalig yg disebut Dato’ Tallu (Tiga Dato), yakni Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), & Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara & berasal dr Kolo Tengah, Minangkabau. Para mubalig itulah yg mengislamkan Raja Luwu yakni Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dgn gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605 M). Kemudian disusul oleh Raja Gowa & Tallo yakni Karaeng Matowaya dr Tallo yg berjulukan I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dgn gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M.
Perkembangan agama Islam di kawasan Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan pemikiran sufisme Khalwatiyah dr Syaikh Yusuf al-Makassari pula tersebar di Kerajaan Gowa & kerajaan yang lain pada pertengahan periode ke-17. Karena banyaknya tantangan dr kaum aristokrat Gowa maka ia meninggalkan Sulawesi Selatan & pergi ke Banten. Di Banten ia terima oleh Sultan Ageng Tirtayasa bahkan dijadikan menantu & diangkat selaku mufti di Kesultanan.
Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat ihwal sejarah usaha Sultan Hasanuddin dlm menjaga kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik & ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VOC tak menaruh perhatian terhadap Kerajaan Gowa-Tallo yg sudah mengalami pertumbuhan dlm bidang jual beli. Berita wacana pentingnya Kerajaan Gowa-Tallo didapat sesudah kapal Portugis dirampas oleh VOC pada masa Gubernur Jendral J. P. Coen di dekat perairan Malaka. Di dlm kapal
Makam Datuk Patimang, salah satu penyebar Islam di Sulawesi Selatan
tersebut terdapat orang Makassar. Dari orang Makassar itulah ia mendapat gosip tentang pentingnya Pelabuhan Somba Opu sebagai pelabuhan transit khususnya untuk mendatangkan rempah-rempah dr Maluku. Pada 1634 VOC memblokir Kerajaan Gowa tetapi tak berhasil. Peristiwa pertempuran dari waktu ke waktu terus berjalan dan gres berhenti antara 1637-1638. Sempat tercipta perjanjian damai tetapi tak kekal karena pada 1638 terjadi perampokan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu cendana, dan muatannya dijual kepada orang Portugis. Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti sesudah terjadi perjanjian Bongaya pada 1667 yang sungguh merugikan pihak Gowa-Tallo.
b. Kerajaan Wajo
Berita perihal berkembang & berkembangnya Kerajaan Wajo terdapat pada sumber hikayat setempat. Di hikayat setempat tersebut ada kisah yang menghubungkan perihal pendirian kampung Wajo yang didirikan oleh tiga orang anak raja dari kampung tetangga Cinnotta’bi yakni berasal dr keturunan ilahi yg mendirikan kampung & menjadi raja-raja dr ketiga penggalan (limpo) bangsa Wajo: Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo. Batara Wajo yang ketiga dipaksa turun tahta karena kelakuannya yg buruk & dibunuh oleh tiga orang Ranreng. Menarik perhatian kita bahwa semenjak itu raja-raja di Wajo tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dr seorang keluarga raja menjadi arung-matoa artinya raja yg pertama atau utama.
Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas dgn tiga pa’betelompo (penunjang panji), 30 arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah yg menentukan segala perkara. Kerajaan Wajo memperluas kawasan kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan Bugis yg besar. Wajo pernah bersekutu dgn Kerajaan Luwu dan bersatu dengan Kerajaan Bone dan Soppeng dalam perjanjian Tellum Pocco pada 1582. Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dlm upaya memperluas Islam & pernah tunduk pada 1610. Di samping itu diceritakan pula dlm hikayat tersebut bahwa bagaimana Dato’ ri Bandang & Dato’ Sulaeman menyodorkan pelajaran agama Islam terhadap raja- raja Wajo dan rakyatnya dalam perkara kalam dan fikih. Pada waktu itu di Kerajaan Wajo dilantik pejabat-pejabat agama atau syura & yg menjadi kadi pertama di Wajo merupakan konon seorang wali dengan mukjizatnya sewaktu berziarah ke Mekkah. Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama 1612 hingga 1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa. Persekutuan dgn Gowa pada suatu waktu diperkuat dgn memperlihatkan sumbangan dlm pertempuran tetapi berulangkali Gowa pula mencampuri urusan pemerintah Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula membantu Kerajaan Gowa pada pertempuran baru dengan Kerajaan Bone pada 1643, 1660, & 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi karena didesak maka Kerajaan Bone sendiri takluk pada Kerajaan Gowa-Tallo. Perang besar-besaran antara Kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan Hasanuddin melawan VOC pimpinan Speelman yang mendapat perlindungan dari Aru Palaka dari Bone berakhir dengan perjanjian Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan Kerajaan Gowa pada VOC dan disusul pada 1670 Kerajaan Wajo yang diserang tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota Kerajaan Wajo yakni Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur. Arung-matoa penggantinya terpaksa menandatangani perjanjian di Makassar wacana penyerahan Kerajaan Wajo terhadap VOC
4. Kerajaan-Kerajaan Islam di Maluku Utara
Kepulauan Maluku menduduki posisi penting dlm jual beli dunia di kawasan timur Nusantara. Mengingat keberadaan tempat Maluku ini maka tidak heran jikalau semenjak kala ke-15 hingga periode ke-19 kawasan ini menjadi wilayah perebutan antara bangsa Spanyol, Portugis & Belanda.
Sejak permulaan dimengerti bahwa di wilayah ini terdapat dua kerajaan besar bercorak Islam, yakni Ternate & Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat Pulau Halmahera, Maluku Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate & Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya mencakup sejumlah pulau di Kepulauan Maluku & Papua.
Masjid Sultan Ternate |
Tanda-tanda permulaan kehadiran Islam ke wilayah Maluku mampu dimengerti dari sumber-sumber berupa naskah-naskah kuno dalam bentuk hikayat mirip Hikayat Hitu, Hikayat Bacan,dan hikayat- hikayat setempat lainnya. Sudah tentu sumber info asing mirip Cina, Portugis, dan yang lain amat menunjang kisah sejarah daerah Maluku itu.
Kerajaan Ternate
Pada masa ke-14 dalam kitab Negarakartagama, karya Mpu Prapanca tahun 1365 M menyebut Maluku dibedakan dgn Ambon yakni Ternate. Hal itu pula mampu dihubungkan dgn Hikayat Ternate yg antara lain menyebutkan Moeloka (Maluku) artinya Ternate, Tidore, Jailolo, & Bacan. Pada kala ke-14, masa Kerajaan Majapahit korelasi pelayaran & jual beli antara pelabuhan-pelabuhan khususnya Tuban & Gresik dgn daerah Hitu, Ternate, Tidore bahkan Ambon sendiri sudah sering terjadi. Pada periode tersebut pelabuhan-pelabuhan yg masih di bawah Majapahit pula sudah didatangi para pedagang Muslim. Untuk memperoleh komoditi berupa rempah-rempah khususnya cengkeh & pala, para pedagang Muslim dr Arab & Timur Tengah yang lain itu pula sangat mungkin mendatangi wilayah Maluku. Hikayat Ternate menyebutkan bahwa turunan raja-raja Maluku: Ternate, Tidore, Jailolo, & Bacan, berasal dr Jafar Sadik dr Arab. Dalam tradisi setempat dikatakan bahwa Raja Ternate ke-12 bernama Molomatea (1350-1357) bersahabat dgn orang-orang Muslim Arab yg tiba ke Maluku memperlihatkan isyarat pembuatan kapal. Demikian pula diceritakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Marhum di Ternate, tiba seorang alim dr Jawa berjulukan Maulana Husein yg mengajarkan membaca al-Qur’an & menulis huruf Arab yg indah sehingga menawan raja & keluarganya serta masyarakatnya. Meskipun demikian, mungkin waktu itu agama Islam belum begitu meningkat . Perkembangannya gres pada masa Raja Cico atau putranya Gopi Baguna & dgn Zainul Abidin pergi ke Jawa berguru agama, iman Islam, & tauhid makrifat Islam. Zainul Abidin (1486-1500) yg mendapat anutan Islam dr Giri & mungkin dr Prabu Atmaka di Jawa diketahui selaku Raja Bulawa artinya Raja Cengkeh. Sekembalinya dr Jawa ia membawa mubalig yg berjulukan Tuhubahalul.
Hubungan jual beli antara Maluku dgn Jawa oleh Tome Pires (1512-1515) pula sudah diberitakan bahkan ia menunjukkan citra Ternate yg dihadiri kapal- kapal dr Gresik milik Pate Cusuf, & Raja Ternate yang sudah memeluk Islam merupakan Sultan Bem Acorala & cuma Raja Ternate yg memakai gelar Sultan, sedangkan yg yang lain masih menggunakan gelar raja-raja di Tidore, Kolano. Pada waktu itu diceritakan Sultan Ternate sedang berperang dgn mertuanya yg menjadi raja di Tidore namanya Raja Almansor. Ternate, Tidore, Bacan, Makyan, Hitu & Banda pada masa kedatangan Tome Pires sudah banyak yg beragama Islam. Bila Islam memasuki tempat Maluku, Tome Pires memberikan “50 tahun” kemudian yg berarti antara tahun 1460-1465. Tahun-tahun tersebut memperlihatkan persamaan dgn keterangan Antonio yg menyampaikan bahwa Islam di kawasan Maluku mulai 80 atau 90 tahun kemudian dr kehadirannya di daerah Maluku (1540-1545) yg lebih kurang terjadi pada 1460-1463. Kerajaan Ternate semenjak itu makin mengalami kemajuan baik di bidang ekonomi-jual beli maupun di bidang politik, lebih-lebih sehabis Sultan Khairun putra Sultan Zainal Abidin menaiki tahta sekitar 1535, Kerajaan Ternate berhasil mempersatukan wilayah-wilayah di Maluku Utara. Tetapi persatuan wilayah-wilayah dlm Kerajaan Ternate itu mulai pecah lantaran kedatangan orang-orang Portugis & pula orang-orang Spanyol ke Tidore dlm upaya monopoli jual beli terutama rempah-rempah. Di golongan kedua bangsa itu pula terjadi kompetisi monopoli perdagangan Portugis memusatkan perhatiannya pada Ternate, sedangkan pedagang Spanyol pada Tidore.
Pada 1565 Sultan Khairun dgn rakyatnya mengadakan penyerangan-penyerangan terhadap Portugis. Karena hampir terdesak, pihak Portugis melakukan penipuan dgn alasan untuk menyelenggarakan perundingan tetapi ternyata Sultan Khairun dibunuh pada 1570. Hal tersebut tentu menimbulkan makin marahnya rakyat Ternate. Perlawanan rakyat itu diteruskan di bawah pimpinan putranya, Sultan Baabullah yang pada 28 Desember 1577 berhasil mengusir orang-orang Portugis dr Ternate, menyingkir ke pulau dekat Tahula tidak jauh dr Tidore, tetapi tetap diganggu oleh orang-orang Ternate supaya menyingkir dr tempat itu. Sultan Baabullah menyatakan dirinya selaku penguasa seluruh Maluku bahkan mendapat legalisasi kekuasaannya hingga ke banyak sekali kawasan Mindanao, Menado, Sangihe, dan kawasan-wilayah Nusa Tenggara. Sultan Baabullah mendapat julukan selaku “Penguasa 72 Kepulauan” dan menilai selaku kerajaan seluruh wilayah dan sungguh berkuasa. Sultan Baabullah wafat pada 1583. Selain Kerajaan Ternate, kau mampu mencari sumber lain ihwal Kerajaan Tidore, Bacan, Jailolo & pula proses Islamisasi di Ambon.
6. Kerajaan-Kerajaan Islam di Papua
Sumber-sumber sejarah memperlihatkan bahwa penyebaran Islam di Papua sudah berjalan semenjak usang. Bahkan, menurut bukti sejarah terdapat sejumlah kerajaan-kerajaan Islam di Papua, yakni: (1) Kerajaan Waigeo (2) Kerajaan Misool (3) Kerajaan Salawati (4) Kerajaan Sailolof (5) Kerajaan Fatagar (6) Kerajaan Rumbati (terdiri dari Kerajaan Atiati, Sekar, Patipi, Arguni, dan Wertuar) (7) Kerajaan Kowiai (Namatota) (8). Kerajaan Aiduma (9) Kerajaan Kaimana.
Berdasarkan sumber tradisi lisan dr keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana & Teluk Bintuni-Manokwari, Islam sudah lebih permulaan tiba ke wilayah ini. Ada beberapa pertimbangan mengenai kedatangan Islam di Papua. Pertama, Islam tiba di Papua tahun 1360 yg disebarkan oleh mubaligh asal Aceh, Abdul Ghafar. Pendapat ini pula berasal dr sumber verbal yg disampaikan oleh putra bungsu Raja Rumbati ke-16 (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati ke-17 (H. Ismail Samali Bauw). Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374) di Rumbati & sekitarnya. Ia kemudian wafat dan dimakamkan di belakang masjid kampung Rumbati tahun 1374.
Kedua, usulan yg menjelaskan bahwa agama Islam pertama kali mulai diperkenalkan di tanah Papua, tepatnya di jazirah Onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi berjulukan Syarif Muaz al-Qathan dgn gelar Syekh Jubah Biru dr negeri Arab. Pengislaman ini diperkirakan terjadi pada periode pertengahan era ke-16, dgn bukti adanya Masjid Tunasgain yg berumur sekitar 400 tahun atau di berdiri sekitar tahun 1587.
Ketiga, pertimbangan yg menyampaikan bahwa Islamisasi di Papua, khususnya di Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang Bugis lewat Banda & Seram Timur oleh seorang pedagang dr Arab berjulukan Haweten Attamimi yg sudah lama menetap di Ambon. Proses pengislamannya dilakukan dgn cara khitanan. Di bawah ancaman penduduk setempat bila orang yg disunat mati, kedua mubaligh akan dibunuh, tetapi jadinya mereka berhasil dlm khitanan tersebut kemudian penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Keempat, usulan yg menyampaikan Islam di Papua berasal dr Bacan. Pada masa pemerintahan Sultan Mohammad al-Bakir, Kesultanan Bacan mencanangkan syiar Islam ke seluruh penjuru negeri, mirip Sulawesi, Fiilipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa & Papua. Menurut Thomas Arnold, Raja Bacan yg pertama kali masuk Islam merupakan Zainal Abidin yg memerintah tahun 1521. Pada masa ini Bacan sudah menguasai suku-suku di Papua serta pulau-pulau di sebelah barat lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama, & Salawati. Sultan Bacan kemudian meluaskan kekuasaannya hingga ke semenanjung Onin Fakfak, di barat laut Papua tahun 1606. Melalui pengaruhnya & para pedagang muslim, para pemuka masyarakat di pulau-pulau kecil itu kemudian memeluk agama Islam. Meskipun pesisir menganut agama Islam, sebagian besar penduduk asli di pedalaman masih tetap menganut animisme.
Kelima, pertimbangan yg menyampaikan bahwa Islam di Papua berasal dr Maluku Utara (Ternate-Tidore). Sumber sejarah Kesultanan Tidore menyebutkan bahwa pada tahun 1443 Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X atau Sultan Papua I) memimpin ekspedisi ke daratan tanah besar (Papua). Setelah tiba di wilayah Pulau Misool dan Raja Ampat, kemudian Sultan Ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patrawar putera Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi). Kapita Gurabesi kemudian dikawinkan dgn putri Sultan Ibnu Mansur berjulukan Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan di Kepulauan Raja Ampat tersebut, yakni Kerajaan Salawati, Kerajaan Misool atau Kerajaan Sailolof, Kerajaan Batanta, dan Kerajaan Waigeo.
Berdasarkan penjelasan di atas mampu disimpulkan bahwa proses Islamisasi tanah Papua, khususnya di wilayah pesisir barat pada pertengahan periode ke-15, dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan Islam di Maluku (Bacan, Ternate dan Tidore). Hal ini disokong karena aspek letaknya yang strategis, yang merupakan jalur jual beli rempah- rempah (silk road) di dunia.
Penelitian ihwal Islamisasi di Papua hingga di saat ini belum terlampau banyak, mungkin kau bisa melakukan observasi sendiri dgn membaca aneka macam bacaan yang ada di perpustakaan sekolah.
7. Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusa Tenggara
Kehadiran Islam ke daerah Nusa Tenggara antara lain ke Lombok diperkirakan terjadi semenjak periode ke-16 yg diperkenalkan Sunan Perapen, putra Sunan Giri. Islam masuk ke Sumbawa kemungkinan tiba lewat Sulawesi, lewat dakwah para mubalig dari Makassar antara 1540-1550. Kemudian berkembang pula kerajaan Islam salah satunya yaitu Kerajaan Selaparang di Lombok.
a. Kerajaan Lombok dan Sumbawa
Selaparang merupakan sentra kerajaan Islam di Lombok di bawah pemerintahan Prabu Rangkesari. Pada masa itulah Selaparang mengalami zaman keemasan dan memegang hegemoni di seluruh Lombok. Dari Lombok, Islam disebarkan ke Pejanggik, Parwa, Sokong, Bayan, dan tempat-tempat yang lain. Konon Sunan Perapen meneruskan dakwahnya dari Lombok menuju Sumbawa. Hubungan dengan beberapa negeri dikembangkan utamanya dengan Demak.
Kerajaan-kerajaan di Sumbawa Barat mampu dimasukkan terhadap kekuasaan Kerajaan Gowa pada 1618. Bima ditaklukkan pada 1633 dan kemudian Selaparang pada 1640. Pada periode ke- 17 seluruh Kerajaan Islam Lombok berada di bawah efek kekuasaan Kerajaan Gowa. Hubungan antara Kerajaan Gowa dan Lombok dipererat dengan cara perkawinan mirip Pemban Selaparang, Pemban Pejanggik, dan Pemban Parwa. Kerajaan- kerajaan di Nusa Tenggara mengalami tekanan dari VOC sesudah terjadinya kesepakatanBongaya pada 18 November 1667. Oleh karena itu pusat Kerajaan Lombok dipindahkan ke Sumbawa pada 1673 dengan tujuan untuk mampu menjaga kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam di pulau tersebut dgn dukungan efek kekuasaan Gowa. Sumbawa dipandang lebih strategis dibandingkan dengan pusat pemerintahan di Selaparang mengenang ancaman dan serangan dari VOC terus-menerus terjadi.
b. Kerajaan Bima
Bima merupakan pusat pemerintahan atau kerajaan Islam yg menonjol di Nusa Tenggara dengan nama rajanya yang pertama masuk Islam merupakan Ruma Ta Ma Bata Wada yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Sejak itu pula terjalin hubungan erat antara Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa, lebih-lebih semenjak usaha Sultan Hasanuddin kandas balasan kesepakatanBongaya. Setelah Kerajaan Bima terus- menerus melaksanakan perlawanan terhadap masuknya politik dan monopoli jual beli VOC kesannya pula tunduk di bawah kekuasaannya. Ketika VOC mau memperbaharui perjanjiannya dengan Bima pada 1668 ditolak oleh Raja Bima, Tureli Nggampo; tatkala Tambora merampas kapal VOC pada 1675 maka Raja Tambora, Kalongkong dan para pembesarnya diharuskan menyerahkan keris-keris pusakanya terhadap Holsteijn. Pada 1691, tatkala permaisuri Kerajaan Dompu terbunuh, Raja Kerajaan Bima ditangkap dan diasingkan ke Makassar hingga meninggal dunia di dlm penjara. Di antara kerajaan-kerajaan di Lombok, Sumbawa, Bima, & kerajaan-kerajaan yang lain sepanjang kala ke-18 masih menunjukkan pemberontakan & peperangan, karena pihak VOC senantiasa memaksakan kehendaknya & mencampuri pemerintahan kerajaan-kerajaan, bahkan menangkapi & mengasingkan raja-raja yg melawan.
Sebenarnya bila kita membicarakan sejarah Kerajaan Bima era ke-19 bisa diperkaya oleh citra rinci dlm Syair Kerajaan Bima yg menurut telaah filologi Cambert Loir diperkirakan sungguh mungkin syair tersebut dikarang sebelum 1833 M, sebelum Raja Bicara Abdul Nabi menaruh jabatannya & diganti oleh putranya. Pendek kata syair itu dikarang oleh Khatib Lukman barangkali pada 1830 M. Syair itu ditulis dlm huruf Jawi dgn bahasa Melayu. Dalam syair itu diceritakan empat peristiwa yg terjadi di Bima pada pertengahan masa ke-19, yakni, letusan Gunung Tambora, wafat & pemakaman Sultan Abdul Hamid pada Mei 1819, serangan bajak laut, penobatan Sultan Ismail pada 26 November 1819, Sultan Abdul Hamid & Wazir Abdul Nabi, pelayaran Sultan Abdul Hamid ke Makassar pada 1792, perjanjian Bima pada 26 Mei 1792, peresmian Raja Bicara Abdul Nabi, serta kedatangan Sultan Ismail, Reinwardt, & H. Zollinger yg mendatangi Sumbawa & menemui Sultan.
D. Jaringan Keilmuan di Nusantara
Memahami Teks
Pada penggalan ini anda akan mengetahui hubungan antara Istana selaku pusat kekuasaan & pendidikan. Perkembangan forum pendidikan & pengajaran di masjid-masjid kesultanan sungguh diputuskan oleh pemberian penguasa. Sultan bukan saja mendanai kegiatan-kegiatan masjid, tetapi pula menghadirkan para ulama, baik dr luar negeri, utamanya Timur Tengah, maupun dr golongan ulama pribumi sendiri. Para ulama yg kemudian pula difungsikan sebagai pejabat-pejabat negara, bukan saja menampilkan pengajaran agama Islam di masjid-masjid negara, tetapi pula di istana sultan. Para sultan & pejabat tinggi rupanya pula menimba ilmu dr para ulama. Seperti halnya yg terjadi di Kerajaan Islam Samudera Pasai & Kerajaan Malaka.
Tatkala Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran dlm bidang politik, tradisi keilmuannya tetap berlanjut. Samudera Pasai terus berfungsi selaku sentra studi Islam di Nusantara. Namun, tatkala Kerajaan Malaka telah masuk Islam, pusat studi keislaman tak lagi cuma dipegang oleh Samudera Pasai. Malaka kemudian pula meningkat selaku sentra studi Islam di Asia Tenggara, bahkan mungkin mampu dikatakan sukses menyainginya. Kemajuan ekonomi Kerajaan Malaka sudah memanggil banyak ulama dr mancanegara untuk ikut serta dgn lebih intensif dlm proses pendidikan & pembelajaran agama Islam.
Kerajaan Malaka dgn ulet melaksanakan pengajian & pendidikan Islam. Hal itu terbukti dgn berhasilnya kerajaan ini dlm waktu singkat melakukan perubahan sikap & konsepsi penduduk terhadap agama, kebudayaan & ilmu pengetahuan. Proses pendidikan & pengakaran itu sebagian berlangsung di kerajaan. Perpustakaan sudah tersedia di istana & difungsikan selaku sentra penyalinan kitab-kitab & penerjemahannya dr bahasa Arab ke bahasa Melayu. Karena perhatian kerajaan yg tinggi terhadap pendidikan Islam, banyak ulama dr mancanegara yg tiba ke Malaka, mirip dr Afghanistan, Malabar, Hindustan, & terutama dr Arab. Banyaknya para ulama besar dr banyak sekali negara yg mengajar di Malaka sudah menawan para penuntut ilmu dr banyak sekali kerajaan Islam di Asia Tenggara untuk datang. Dari Jawa contohnya, Sunan Bonang & Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka & setelah menuntaskan pendidikannya mereka kembali ke Jawa & mendirikan lembaga pendidikan Islam di tempat masing-masing.
Hubungan antar kerajaan Islam, misalnya Samudera Pasai, Malaka, & Aceh Darussalam, sungguh bermakna dlm bidang budaya & keagamaan. Ketiganya tersohor dgn sebutan Serambi Mekkah & menjadi sentra pendidikan & pengajaran agama Islam di Indonesia. Untuk mengintensifkan proses Islamisasi, para ulama telah mengarang, menyadur, & menerjemahkan karya-karya keilmuan Islam. Sultan Iskandar Muda yakni raja yg sungguh memperhatikan pengembangan pendidikan & pengajaran agama Islam. Ia mendirikan Masjid Raya Baiturrahman, & memanggil Hamzah al Fanzuri & Syamsuddin as Sumatrani selaku penasihat. Syekh Yusuf al Makassari ulama dr Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan pernah menuntut ilmu di Aceh Darussalam sebelum melanjutkan ke Mekkah. Melalui pengajaran Abdur Rauf as Singkili sudah timbul ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yg terkenal selaku pencetus pendidikan Islam di Minangkabau & Syekh Abdul Muhyi al Garuti yg berjasa mengembangkan pendidikan Islam di Jawa Barat. Karya-karya susastra & keagamaan dgn segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yg sama, yakni Islam. Hal itu menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yg makin erat.
Di Banten, fungsi istana selaku forum pendidikan pula sungguh menonjol . Bahkan pada masa ke-17, Banten sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam di pulau Jawa. Para ulama dr banyak sekali negara membuat Banten sebagai tempat untuk mencar ilmu. Martin van Bruinessen menyatakan, “Pendidikan agama cukup menonjol tatkala Belanda tiba untuk pertama kalinya pada 1596 & menyaksikan bahwa orang-orang Banten mempunyai guru-guru yg berasal dr Mekkah”.
Di Palembang, istana (keraton) pula difungsikan selaku pusat sastra & ilmu agama. Banyak Sultan Palembang yg mendorong perkembangan intelektual keagamaan, seperti Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) & Sultan Muhammad Baha’uddin (1774-1804). Pada masa pemerintahan mereka, sudah timbul banyak ilmuwan asal Palembang yg produktif melahirkan karyakarya ilmiah keagamaan: ilmu tauhid, ilmu kalam, tasawuf, tarekat, tarikh, & al- Qur’an. Perhatian sultan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam tercermin pada keberadaan perpustakaan keraton yg mempunyai koleksi yg cukup lengkap & rapi.
Berkembangnya pendidikan & pengajaran Islam, sudah sukses menyatukan wilayah Nusantara yg sungguh luas. Dua hal yg mempercepat proses itu yakni penggunaan huruf Arab & bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (lingua franca). Semua ilmu yg diberikan di lembaga pendidikan Islam di Nusantara ditulis dlm huruf Arab, baik dlm bahasa Arab maupun dlm bahasa Melayu atau Jawa. Aksara Arab itu disebut dgn banyak sebutan, mirip huruf Jawi (di Melayu) & huruf pegon (di Jawa). Luasnya penguasaan abjad Arab ke Nusantara sudah membuat para pengunjung asal Eropa ke Asia Tenggara terpukau oleh tingginya tingkat kemampuan baca tulis yg mereka jumpai.
Pada 1579, orang Spanyol merampas suatu kapal kecil dr Brunei. Orang Spanyol itu menguji apakah orang-orang Melayu yg menyatakan diri selaku budak-budak sultan itu mampu menulis. Dua dr tujuh orang itu mampu (menulis), & seluruhnya bisa membaca surat kabar berbahasa Melayu sendiri-sendiri.
Berkembangnya pendidikan Islam di istana-istana raja seolah menjadi pendorong munculnya pendidikan & pengajaran di penduduk . Setelah terbentuknya banyak sekali ulama hasil didikan dr istana-istana, makamurid-muridnyamelakukanpendidikanketingkatan yg lebih luas, dgn dilangsungkannya pendidikan di rumah- rumah ulama untuk penduduk biasa , khususnya selaku tempat pendidikan dasar, layaknya kuttâb di wilayah Arab. Sebagaimana kuttâb (lembaga pendidikan dasar di Arab semenjak masa Rasulullah) yg biasa mengambil tempat di rumah-rumah ulama, di Nusantara pendidikan dasar berjalan di rumah-rumah guru. Pelajaran yg diberikan terutama membaca al-Qur’an, menghafal ayat-ayat pendek, & berguru bacaan salat lima waktu. Dan ini diperkirakan sama tuanya dgn kehadiran Islam di wilayah ini.
Di Nusantara, masjid-masjid yg berada di pemukiman penduduk yg dikelola dengan-cara swadaya oleh penduduk menjalankan fungsi pendidikan & pengajaran untuk penduduk lazim. Di sinilah terjadi demokratisasi pendidikan dlm sejarah Islam. Demikianlah yg terjadi di wilayah-wilayah Islam di Nusantara, mirip Malaka & kemudian Johor, Aceh Darussalam, Minangkabau, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Pajang, Mataram, Gowa-Tallo, Bone, Ternate, Tidore, Banjar, Papua & lain sebagainya. Bahkan mungkin lantaran memiliki tingkat otonomi & keleluasaan tertentu, di masjid proses pendidikan & pengajaran mengalami perkembangan. Tidak jarang di antaranya meningkat menjadi suatu lembaga pendidikan yg cukup kompleks, seperti meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, langgar di Kalimantan & pesantren di Jawa.
E. Akulturasi & Perkembangan Budaya Islam
Mengamati Lingkungan
Menara Masjid Kudus |
Coba anda cari gambar menara Masjid Kudus. Bentuknya unik mirip candi langgam Jawa Timur. Di belahan atas ada beduk yg dibunyikan seiring datangnya waktu salat. Itulah bentuk konkret akulturasi dlm kebudayaan di Indonesia. Di Nusantara banyak terdapat bangunan yg akulturatif & budaya non fisik yg merupakan perpaduan antara budaya Islam dgn budaya lain. Untuk lebih menghayati perkembangan hasil budaya ini, ananda bisa mengkaji uraian berikut
Memahami Teks
Berkembangnya kebudayaan Islam di Kepulauan Indonesia sudah menambah khasanah budaya nasional Indonesia, serta ikut memberikan & menentukan corak kebudayaan bangsa Indonesia. Akan tetapi karena kebudayaan yg meningkat di Indonesia sudah begitu kuat di lingkungan penduduk maka berkembangnya kebudayaan Islam tak menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yg sudah ada. Dengan demikian terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dgn kebudayaan yg sudah ada.
Hasil proses akulturasi antara kebudayaan praIslam dgn tatkala Islam masuk tak cuma berupa fisik kebendaan mirip seni bangunan, seni ukir atau pahat, & karya sastra tetapi pula menyangkut gaya hidup & kebudayaan non fisik yang lain. Beberapa teladan bentuk akulturasi akan ditunjukkan pada paparan berikut.
1. Seni Bangunan
Seni & arsitektur bangunan Islam di Indonesia sangat unik, mempesona & akulturatif. Seni bangunan yg menonjol di zaman perkembangan Islam ini khususnya masjid, menara serta makam.
a. Masjid & Menara
Dalam seni bangunan di zaman perkembangan Islam, nampak ada perpaduan antara unsur Islam dgn kebudayaan praIslam yg sudah ada. Seni bangunan Islam yg menonjol yaitu masjid. Fungsi utama dr masjid, yaitu tempat beribadah bagi orang Islam. Masjid atau mesjid dlm bahasa Arab mungkin berasal dr bahasa Aramik atau bentuk bebas dr perkataan sajada yg artinya merebahkan diri untuk bersujud. Dalam bahasa Ethiopia terdapat perkataan mesgad yg bisa diartikan dgn kuil atau gereja. Di antara dua pengertian tersebut yg mungkin primer ialah tempat orang merebahkan diri untuk bersujud tatkala salat atau sembahyang.
Pengertian tersebut bisa dikaitkan dgn salah satu hadis sahih al-Bukhârî yg menyatakan bahwa “Bumi ini dijadikan bagiku untuk masjid (tempat salat) & alat pensucian (buat tayamum) & di tempat mana saja seseorang dr umatku mendapat waktu salat, maka salatlah di situ.” Jika pengertian tersebut dapat dibenarkan mampu pula diambil asumsi bahwa ternyata agama Islam sudah menyodorkan pengertian perkataan masjid atau mesjid itu bersifat universal.
Dengan sifat universal itu, maka orang-orang Muslim diberikan kelonggaran untuk melaksanakan ibadah salat di tempat manapun asalkan bersih. Karena itu tak mengherankan apabila ada orang Muslim yg melaksanakan salat di atas watu di suatu sungai, di atas batu di tengah sawah atau ladang, di tepi jalan, di lapangan rumput, di atas gubug penjaga sawah atau ranggon (Jawa, Sunda), di atas bangunan gedung & sebagainya. Meskipun pengertian hadist tersebut memberikan fleksibilitas bagi setiap Muslim untuk salat, tetapi dicicipi perlunya mendirikan bangunan khusus yg disebut masjid selaku tempat peribadatan umat Islam. Masjid bantu-membantu mempunyai fungsi yg luas yaitu selaku pusat untuk menyelenggarakan keagamaan Islam, pusat untuk mempraktikkan fatwa-pemikiran persamaan hak & persahabatan di golongan umat Islam. Demikian pula masjid mampu dianggap selaku pusat kebudayaan bagi orang-orang Muslim.
Di Indonesia sebutan masjid serta bangunan tempat peribadatan yang lain ada bermacam-macam sesuai & tergantung pada penduduk & bahasa setempat. Sebutan masjid, dlm bahasa Jawa lazim disebut mesjid, dlm bahasa Sunda disebut masigit, dlm bahasa Aceh disebut meuseugit, dlm bahasa Makassar & Bugis disebut masigi.
Bangunan masjid-masjid antik di Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Atapnya berupa atap tumpang, yakni atap yg bersusun, kian ke atas kian kecil & tingkat yg paling atas berbentuk limas. Jumlah tumpang biasanya senantiasa gasal/ ganjil, ada yg tiga, ada pula yg lima. Ada pula yg tumpangnya dua, tetapi yg ini dinamakan tumpang satu, jadi angka gasal juga. Atap yg demikian disebut meru. Atap masjid biasanya masih diberi lagi sebuah kemuncak/ puncak yg dinamakan mustaka.
- Tidak ada menara yg berfungsi selaku tempat mengumandangkan adzan. Berbeda dgn masjid-masjid di luar Indonesia yg biasanya terdapat menara. Pada masjid- masjid kuno di Indonesia untuk menandai hadirnya waktu salat dikerjakan dgn menghantam beduk atau kentongan. Yang istimewa dr Masjid Kudus & Masjid Banten yakni menaranya yg bentuknya begitu unik. Bentuk menara Masjid Kudus merupakan sebuah candi langgam Jawa Timur yg sudah diubah & disesuaikan penggunaannya dgn diberi atap tumpang. Pada Masjid Banten, menara tambahannya dibikin ibarat mercusuar.
- Masjid biasanya diresmikan di ibu kota atau dekat istana kerajaan. Ada pula masjid-masjid yg dipandang keramat yg dibangun di atas bukit atau dekat makam. Masjid-masjid di zaman Wali Sanga biasanya berdekatan dgn makam.
b. Makam
Kompleks makam raja-raja Kesultanan Palembang Kawah Tengkurep |
Makam-makam yg lokasinya di dataran dekat masjid agung, bekas kota pusat kesultanan antara lain makam sultan- sultan Demak di samping Masjid Agung Demak, makam raja- raja Mataram-Islam Kota Gede (D.I. Yogyakarta), makam sultan- sultan Palembang, makam sultan-sultan di tempat Nanggroe Aceh, yaitu kompleks makam di Samudera Pasai, makam sultan-sultan Aceh di Kandang XII, Gunongan & di tempat yang lain di Nanggroe Aceh, makam sultan-sultan Siak Indrapura (Riau), makam sultan-sultan Palembang, makam sultan-sultan Banjar di Kuin (Banjarmasin), makam sultan-sultan di Martapura (Kalimantan Selatan), makam sultan-sultan Kutai (Kalimantan Timur), makam Sultan Ternate di Ternate, makam sultan-sultan Goa di Tamalate, & kompleks makam raja-raja di Jeneponto & kompleks makam di Watan Lamuru (Sulawesi Selatan), makam-makam di banyak sekali wilayah yang lain di Sulawesi Selatan, serta kompleks makam Selaparang di Nusa Tenggara.
Di beberapa tempat terdapat makam-makam yg meski tokoh yg dikubur tergolong wali atau syaikh tetapi, penempatannya berada di tempat dataran tinggi. Makam tokoh tersebut antara lain, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan), makam Sunan Kalijaga di Kadilangu (Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana Malik Ibrahim & makam Leran di Gresik (Jawa Timur), makam Datuk Ri Bkalianng di Takalar (Sulawesi Selatan), makam Syaikh Burhanuddin (Pariaman), makam Syaikh Kuala atau Nuruddin ar- Raniri (Aceh) & masih banyak para dai yang lain di tanah air yg dimakamkan di dataran.
Makam-makam yg terletak di tempat-tempat tinggi atau di atas bukit-bukit sebagaimana sudah dikatakan di atas, masih menampilkan kesinambungan tradisi yg mengandung unsur kepercayaan pada ruh-ruh nenek moyang yg bekerjsama sudah dikenal dlm pengejawantahan pendirian punden-punden berundak Megalitik. Tradisi tersebut dilanjutkan pada masa kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha yg diwujudkan dlm bentuk bangunan-bangunan yg disebut candi. Antara lain Candi Dieng yg berketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, Candi Gedongsanga, Candi Borobudur. Percandian Prambanan, Candi Ceto & Candi Sukuh di wilayah Surakarta, Percandian Gunung Penanggungan & yang lain. Menarik perhatian kita bahwa makam Sultan Iskandar Tsani dimakamkan di Aceh dlm suatu bangunan berupa gunungan yg dikenal pula unsur meru.
Setelah kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha mengalami keruntuhan & tak lagi ada pendirian bangunan percandian, unsur seni bangunan keagamaan masih diteruskan pada masa tumbuh & berkembangnya Islam di Indonesia lewat proses akulturasi. Makam-makam yg lokasinya di atas bukit, makam yg paling atas merupakan yg dianggap paling dihormati misalnya Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah di Gunung Sembung, di cuilan teratas kompleks pemakaman Imogiri merupakan yg mengambil tempat datar contohnya di Kota Gede, orang yg paling dihormati ditempatkan di kepingan tengah. Makam walisongo & sultan-sultan pada biasanya ditempatkan dlm bangunan yg disebut cungkup yg masih bergaya kuno & pula dlm bangunan yg sudah diperbaharui. Cungkup- cungkup yg tergolong antik antara lain cungkup makam Sunan Giri, Sunan Derajat, & Sunan Gunung Jati. Demikian pula cungkup makam sultan-sultan yg bisa dikatakan masih memperlihatkan kekunoannya walaupun sudah mengalami perbaikan contohnya cungkup makam sultan-sultan Demak, Banten, & Ratu Kalinyamat (Jepara).
Di samping bangunan makam, terdapat tradisi pemakaman yg sebetulnya bukan berasal dr aliran Islam. Misalnya, mayat dimasukkan ke dlm peti. Pada zaman kuno ada peti kerikil, kubur batu & yang lain. Sering pula di atas kubur ditaruh kembang-kembang. Pada hari ke-3, ke-7, ke40, ke-100, satu tahun, dua tahun, & 1000 hari diadakan selamatan. Saji- hidangan & selamatan yakni unsur efek kebudayaan pra- Islam, tetapi doa-doanya dengan-cara Islam. Hal ini terang menunjukkan perpaduan. Sesudah upacara terakhir (seribu hari) selesai, barulah kuburan diabadikan, artinya diperkuat dgn bangunan & batu. Bangunan ini disebut jirat atau kijing.
Nisannya diganti dgn nisan kerikil. Di atas jirat sering diresmikan semacam rumah yg di atas disebut cungkup. Dalam kaitan dgn makam Islam ada pula istilah masjid makam. Apa yg dimaksud masjid makam itu?
2. Seni Ukir
Pada masa perkembangan Islam di zaman madya, berkembang aliran bahwa seni ukir, patung, & melukis makhluk hidup, terlebih manusia dengan-cara aktual, tak diperbolehkan. Di Indonesia pedoman tersebut ditaati. Hal ini menyebabkan seni patung di Indonesia pada zaman madya, kurang meningkat . Padahal pada masa sebelumnya seni patung sungguh meningkat , baik patung-patung bentuk insan maupun binatang. Akan tetapi, sehabis zaman madya, seni patung meningkat seperti yg bisa kita saksikan kini ini.
Ukiran di Mimbar Masjid Gelgel, Klungkung, Bali |
Walaupun seni patung untuk menggambarkan makhluk hidup dengan-cara konkret tak diperbolehkan. Akan tetapi, seni pahat atau seni ukir terus bertambah . Para seniman tak ragu-ragu mengembangkan seni hias & seni ukir dgn motif daun-daunan & bunga-bungaan mirip yg sudah dikembangkan sebelumnya. Kemudian pula ditambah seni hias dgn huruf Arab (kaligrafi). Bahkan timbul kreasi baru, yakni kalau terpaksa ingin melukiskan makluk hidup, akan disamar dengan aneka macam hiasan, sehingga tak lagi terang-terperinci berwujud binatang atau manusia.
Banyak sekali bangunan-bangunan Islam yg dihiasi dgn aneka macam motif ukir-ukiran. Misalnya, ukir-goresan pada pintu atau tiang pada bangunan keraton ataupun masjid, pada gapura atau pintu gerbang. Dikembangkan pula seni hias atau seni ukir dgn bentuk ukiran pena Arab yg diaduk dgn ragam hias yg lain. Bahkan ada seni kaligrafi yg membentuk orang, hewan, atau wayang.
3. Aksara & Seni Sastra
Tersebarnya Islam di Indonesia menjinjing efek dlm bidang abjad atau ukiran pena. Abjad atau huruf-huruf Arab sebagai abjad yg digunakan untuk menulis bahasa Arab mulai dipakai di Indonesia. Bahkan huruf Arab digunakan di bidang seni ukir. Berkaitan dgn itu meningkat seni kaligrafi
Di samping dampak sastra Islam & Persia, perkembangan sastra di zaman madya tak terlepas dr efek unsur sastra sebelumnya. Dengan demikian terjadilah akulturasi antara sastra Islam dgn sastra yg meningkat di zaman pra-Islam. Seni sastra di zaman Islam utamanya meningkat di Melayu & Jawa. Dilihat dr corak & isinya, ada beberapa jenis seni sastra mirip berikut.
-
Hikayat yakni karya sastra yg berisi dongeng sejarah ataupun dongeng. Dalam hikayat banyak ditulis aneka macam kejadian yg menarik, keajaiban, atau hal-hal yg tak masuk nalar. Hikayat ditulis dlm bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Hikayat-hikayat yg terkenal, contohnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat si Miskin, Hikayat 1001 Malam, Hikayat Bayan Budiman, dan Hikayat Amir Hamzah.
Naskah Hikayat Amir Hamzah - Babad mirip dgn hikayat. Penulisan babad mirip goresan pena sejarah, tetapi isinya tidak senantiasa menurut fakta. Makara, isinya adonan antara fakta sejarah, mitos, dan kepercayaan. Di tanah Melayu terkenal dgn sebutan tambo atau salasilah. Contoh babad ialah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram, dan Babad Surakarta.
- Syair berasal dari perkataan Arab untuk menamakan karya sastra berupa sajak-sajak yang terdiri atas empat baris setiap baitnya. Contoh syair sungguh renta yakni syair yang tertulis pada watu nisan makam putri Pasai di Minye Tujoh.
- Suluk merupakan karya sastra yang berupa kitab-kitab dan isinya menjelaskan soal-soal tasawufnya. Contoh suluk yakni Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, dan Suluk Malang Sumirang.
4. Kesenian
Di Indonesia, Islam menciptakan kesenian bernafas Islam yg bermaksud untuk menyebarkan pemikiran Islam. Kesenian tersebut, contohnya selaku berikut.
- Permainan debus, yakni tarian yg pada puncak acara para penari menghujamkan benda tajam ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka. Tarian ini diawali dgn pembacaan ayat- ayat dlm Al Quran & salawat nabi. Tarian ini terdapat di Banten & Minangkabau.
- Seudati, suatu bentuk tarian dr Aceh. Seudati berasal & kata syaidati yg artinya permainan orang-orang besar. Seudati sering disebut saman artinya delapan. Tarian ini aslinya dimainkan oleh delapan orang penari. Para pemain menyanyikan lagu yg isinya antara lain salawat nabi
- Wayang, tergolong wayang kulit. Pertunjukan wayang sudah berkembang semenjak zaman Hindu, akan tetapi, pada zaman Islam terus dikembangkan. Kemudian menurut dongeng Amir Hamzah dikembangkan pentaswayang golek.
5. Kalender
Menjelang tahun ketiga pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, ia berusaha membereskan kalender Islam. Perhitungan tahun yg digunakan atas dasar peredaran bulan (komariyah). Umar menetapkan tahun 1 H bertepatan dgn tanggal 14 September 622 M, sehingga kini kita mengenal tahun Hijriyah. Sistem kalender itu pula kuat di Nusantara. Bukti perkembangan tata cara penanggalan (kalender) yg paling positif yakni metode kalender yg diciptakan oleh Sultan Agung. Ia melaksanakan sedikit perubahan, mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka. Misalnya bulan Muharam diganti dgn Sura & bulan puasa diganti dgn Pasa. Kalender tersebut dimulai tanggal 1 Muharam tahun 1043 H. Kalender Sultan Agung dimulai tepat dgn tanggal 1 Sura tahun 1555 Jawa (8 Agustus 1633).
Masih terdapat beberapa bentuk lain & akulturasi antara kebudayaan pra-Islam dgn kebudayaan Islam. Misalnya upacara kelahiran perkawinan & maut. Masyarakat Jawa pula mengenal banyak sekali kegiatan selamatan dgn bentuk kenduri. Selamatan diadakan pada waktu tertentu. Misalnya, selamatan atau kenduri pada 10 Muharam untuk memperingati Hasan-Husen (putra Ali bin Abu Thalib), Maulid Nabi (untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad), Ruwahan (Nyadran) untuk menghormati para leluhur atau sanak keluarga yg sudah meninggal.
G. Proses Integrasi Nusantara
Mengamati Lingkungan
Integrasi suatu bangsa adalah hal yg sungguh penting dlm kehidupan berbangsa & bernegara. Dengan adanya integrasi akan melahirkan satu kekuatan bangsa yg ampuh & segala dilema yg timbul dapat dihadapi bareng -sama. Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni wujud aktual dr proses integrasi bangsa. Proses integrasi bangsa Indonesia ini ternyata sudah berjalan cukup usang bahkan sudah dimulai semenjak permulaan tarikh masehi. Pada masa ke-16 proses integrasi bangsa Indonesia mulai mengalami perkembangan pesat semenjak proses Islamisasi. Coba ananda perhatikan dr bacaan di atas hubungan antara ulama dr aneka macam daerah sudah mempercepat proses persatuan bangsa-bangsa di kepulauan Indonesia. Ulama- ulama dr Minangkabau contohnya sudah berhasil mengislamkan saudara-kerabat kita di Sulawesi, begitu pula ulama Sulawesi pula sudah berperan dlm mengislamkan kerabat-kerabat kita di Bima, Nusa Tenggara, Kepulauan Riau & sebagainya, begitu pula ulama dr Jawa Timur sudah mengislamkan Ternate & Tidore, tentu kalau diurai satu persatu maka kekerabatan antar ulama ini telah menyatukan seluruh wilayah Indonesia bahkan di sampai ke Malaka & Singapura.
Memahami Teks
1. Peranan Para Ulama dlm Proses Integrasi
Agama Islam yg masuk & meningkat di Nusantara mengajarkan kebersamaan & meningkatkan toleransi dlm kehidupan beragama. Islam mengajarkan persamaan & tak mengenal kasta-kasta dlm kehidupan masyarakat. Konsep fatwa Islam memunculkan sikap ke arah persatuan & persamaan derajat. Disisi lain, datangnya pedagang-pedagang Islam di Indonesia mendorong berkembangnya tempat-tempat perdagangan di tempat pantai. Tempat-tempat jual beli itu kemudian menjelma pelabuhan & kota-kota pantai. Bahkan kota-kota pantai yg merupakan bandar & pusat jual beli, berkembang menjadi kerajaan. Timbulnya kerajaan-kerajaan Islam merupakan awal terjadinya proses integrasi. Meskipun masing-masing kerajaan memiliki cara & aspek pendukung yg berlainan-beda dlm proses integrasinya.
2. Peran Perdagangan Antarpulau
Proses integrasi pula tampakmelalui kegiatan pelayaran & jual beli antarpulau. Sejak zaman kuno, kegiatan pelayaran & jual beli sudah berlangsung di Kepulauan Indonesia. Pelayaran & jual beli itu berjalan dr kawasan yg satu ke daerah yg lain, bahkan antara negara yg satu dgn negara yg lain. Kegiatan pelayaran & jual beli pada biasanya berjalan dlm waktu yg lama. Hal ini, membuat pergaulan & kekerabatan kebudayaan antara para pedagang dgn penduduk setempat. Kegiatan seperti ini mendorong terjadinya proses integrasi.
Pada awalnya penduduk di suatu pulau cukup memenuhi keperluan hidupnya dgn apa yg ada di pulau tersebut. Dalam perkembangannya, mereka ingin menerima barang-barang yg terdapat di pulau lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan jualan antar pulau. Angkutan yg termurah & gampang yakni transportasi maritim (kapal/perahu), maka berkembanglah pelayaran & perdagangan. Terjadinya pelayaran & jual beli antarpulau di kepulauan Indonesia yg dibarengi efek di bidang budaya turut berperan serta mempercepat perkembangan proses integrasi. Misalnya, para pedagang dr Jawa berjualan ke Palembang, atau para pedagang dr Sumatra berdagang ke Jepara. Hal ini mengakibatkan terjadinya proses integrasi antara Sumatra & Jawa. Para pedagang di Banjarmasin berdagang ke Makassar, atau sebaliknya. Hal ini memunculkan terjadi proses integrasi antara penduduk Banjarmasin (Kalimantan) dgn penduduk Makassar (Sulawesi). Para pedagang Makassar & Bugis mempunyai peranan penting dlm proses integrasi. Mereka berlayar hampir ke seluruh Kepulauan Indonesia bahkan jauh hingga ke luar Kepulauan Indonesia.
Pulau-pulau penting di Indonesia, pada biasanya mempunyai sentra- pusat jual beli. Sebagai acuan di Sumatra terdapat Aceh, Pasai, Barus, & Palembang. Jawa memiliki beberapa pusat jual beli contohnya Banten Sunda Kelapa, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya, & Blambangan. Kemudian di dekat Sumatra ada bandar Malaka. Malaka meningkat selaku bandar paling besar di Asia Tenggara. Tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis. Akibatnya jual beli Nusantara berpindah ke Aceh. Dalam waktu singkat Aceh meningkat sebagai bandar & menjadi suatu kerajaan yg besar. Para pedagang dr pulau-pulau lain di Indonesia pula tiba & berdagang di Aceh.
Sementara itu, sejak permulaan kala ke-16 di Jawa meningkat Kerajaan Demak & beberapa bandar selaku pusat jual beli. Di kepulauan Indonesia potongan tengah maupun timur pula meningkat kerajaan & sentra-sentra perdagangan. Dengan demikian, terjadi kekerabatan jualan antardaerah & antarpulau. Kegiatan jual beli antarpulau mendorong terjadinya proses integrasi yg terhubung melalui para pedagang. Proses integrasi itu pula diperkuat dgn berkembangnya hubungan kebudayaan. Bahkan pula ada yg disertai dgn perkawinan.
3. Peran Bahasa
Perlu pula ananda pahami bahwa bahasa pula mempunyai peran yg strategis dlm proses integrasi. Kamu tahu bahwa Kepulauan Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau yg dihuni oleh aneka ragam suku bangsa. Tiap-tiap suku bangsa mempunyai bahasa masing-masing. Untuk mempermudah komunikasi antarsuku bangsa, dibutuhkan satu bahasa yg menjadi bahasa mediator & dapat dimengerti oleh semua suku bangsa. Jika tak mempunyai kesamaan bahasa, persatuan tak akan terjadi lantaran di antara suku bangsa timbul kecurigaan & prasangka lain.
Bahasa merupakan fasilitas pergaulan. Bahasa Melayu digunakan nyaris di semua pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu sejak zaman antik sudah menjadi bahasa resmi negara Melayu (Jambi). Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu dijadikan bahasa resmi & bahasa ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dlm Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M, Prasasti Talang Tuo tahun 684 M, Prasasti Kota Kapur tahun 685 M, & Prasasti Karang Berahi tahun 686 M.
Para pedagang di kawasan-kawasan sebelah timur Nusantara, pula menggunakan bahasa Melayu selaku bahasa pengirim . Dengan demikian, berkembanglah bahasa Melayu ke seluruh Kepulauan Nusantara. Pada mulanya bahasa Melayu digunakan selaku bahasa jualan . Akan tetapi lambat laun bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa mediator & menjadi lingua franca di seluruh Kepulauan Nusantara. Di Semenanjung Malaka (Malaysia seberang), pantai timur Pulau Sumatra, pantai barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, & pantai-pantai Kalimantan, penduduk memakai bahasa Melayu selaku bahasa pergaulan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam, mendorong perkembangan bahasa Melayu. Buku-buku agama & tafsir al- Qur’an pula mempergunakan bahasa Melayu. Tatkala menguasai Malaka, Portugis mendirikan sekolah-sekolah dgn memakai bahasa Portugis, tetapi kurang berhasil. Pada tahun 1641 VOC merebut Malaka & kemudian mendirikan sekolah-sekolah dgn memakai bahasa Melayu. Makara, dengan-cara tak sengaja, kedatangan VOC dengan-cara tak langsung ikut memajukan bahasa Melayu.
H. Kesimpulan
- Perkembangan Islam di Nusantara tak pernah terlepas dr dinamika Islam di kawasan-daerah lain. Karena itu, yakni keliru persepsi yg menganggap seakan-akan Islam Nusantara meningkat dengan-cara tersendiri serta terisolasi dr perkembangan & dinamika Islam di tempat-tempat lain. Peradaban Islam Nusantara pula memperlihatkan ciri-ciri & karakter yg khas, relatif berbeda dgn peradaban Islam di wilayah-wilayah perabadan Muslim yang lain, contohnya Arab, Turki, Persia, Afrika Hitam, & Dunia Barat.
- Islam yg tiba pertama kali yakni Islam yg biasanya dibawa para guru pengembara Sufi, yg mengembara dr satu tempat ke tempat lain untuk menyebarkan Islam. Islam sufistik yg dibawa para guru pengembara ini terperinci memiliki kecenderungan kuat untuk lebih menerima terhadap tradisi & praktik keagamaan setempat. Bagi guru- guru Sufi pengembara ini, yg terpenting yakni pengucapan dua kalimah syahadat, sehabis itu barulah memperkenalkan ketentuan- ketentuan hukum Islam.
- Masyarakat Nusantara pada biasanya merupakan penduduk pesisir yg kehidupan mereka tergantung pada jual beli antarpulau & antarbenua. Sedangkan mereka yg berada di pedalaman yakni masyarakat agraris, yg kehidupan mereka tergantung pada pertanian.
- Dalam bidang kebudayaan, umat Islam mempunyai ciri yg khusus pula dr budaya material (material culture) dlm kehidupan sehari- hari, hingga pada budaya spiritual (spiritual culture). Bahkan hingga sekarang kita masih bisa menyaksikan aneka macam kesinambungan tertentu antara tradisi Islam dgn tradisi budaya spiritual praIslam yg sedikit banyak diwarnai tradisi Hindu, Buddha, & bahkan tradisi keagamaan spritual lokal
- Faktor pemersatu terpenting di antara aneka macam suku bangsa Nusantara merupakan Islam. Islam menangani perbedaan-perbedaan yg terdapat di antara banyak sekali suku bangsa dan menjadi identitas yang menanggulangi batas-batas geografis, sentimen etnis, identitas kesukuan, adat istiadat dan tradisi lokal lainnya. Tentu saja, sejauh menyangkut pengertian dan pengamalan Islam, terdapat pula perbedaan- perbedaan tertentu terhadap dogma dan aliran Islam sesuai rumusan para ulama, bukan dengan identitas suku bangsa
- Faktor pemersatu kedua, yakni bahasa Melayu. Bahasa ini sebelum kedatangan Islam dipakai cuma di lingkungan etnis terbatas, yakni suku bangsa Melayu di Palembang, Riau, Deli (Sumatra Timur), dan Semenanjung Malaya. Terdapat bahasa-bahasa lain yang dipakai lebih banyak orang suku bangsa lain di Nusantara, mirip bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Melayu yang lebih egaliter dibanding bahasa Jawa, diadopsi sebagai lingua franca oleh para penyiar Islam, ulama, dan pedagang. Kedudukan bahasa Melayu sebagai lingua franca Islam di Nusantara bertambah kuat sewaktu bahasa Melayu ditulis dengan huruf Arab. Bersamaan dgn adopsi huruf-huruf Arab, maka dilakukan pula pengenalan dan adaptasi pada karakter Arab tertentu untuk kepentingan bahasa-bahasa setempat di Nusantara. Kedudukan bahasa Melayu itu menjadi kian lebih kuat lagi sewaktu para ulama menulis banyak karya mereka dengan bahasa Melayu berhuruf Jawi tersebut, sehingga pada gilirannya, goresan pena Jawi menjadi alat komunikasi & dakwah tertulis bagi penduduk Melayu-Nusantara mengambil alih beberapa bentuk tulisan yang meningkat sebelumnya.
- Warisan terbaik dari sejarah zaman Islam lainnya merupakan adanya pengintegrasian Nusantara lewat nasionalisme keagamaan & jaringan jual beli antarpulau.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1996. Islam & Pluralisme di Asia Tenggara.
Jakarta: LIPI.
———. 2012. Indonesia dlm Arus Sejarah. Jilid II. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve melaksanakan pekerjaan sama dgn Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI.
———. 2012. Indonesia dlm Arus Sejarah. Jilid III. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve bekerja sama dgn Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI.
Anonim. 1988. Seri Penerbitan Sejarah Peradaban Manusia Zaman Mataram Kuno. Jakarta: Gita Karya.
Anonim. 1990. Seri Penerbitan Sejarah Peradaban Manusia zaman Mataram Islam. Jakarta: Multiguna.
Azra, Azyumardi. 2002. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas & Aktor Sejarah. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah untuk Sekolah Menengan Atas Kelas X. Jakarta: Erlangga.
C. G. G. J. Van Steenis, 2006. Flora Pegunungan Jawa. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Daldjoeni, N.1992. Geografi kesejarahan II Indonesia. Bandung: Alumni.
Direktorat Permuseuman. 1997. Untaian Manik-Manik Nusantara.
Jakarta: Departemen Pendidikan & Kebudayaan.
Graaf, H.J. de & T.H. Pigeud. 1986. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik kala XV dan XVI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti & KITLV.
Hall, D. G . E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Sutabaya: PT Usaha Nasional.
Hasymy, A. 1989. Sejarah Masuk & Berkembangnya Islam di Indonesia. Medan: Penerbit Alma’arif.
Kartodirdjo, Sartono.1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500- 1900 dr Emporium hingga Empirium. Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat. 1997. Manusia & Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Djambatan
Kristinah, Endang & Aris Soviyani. 2007. Mutiara-Mutiara Majapahit. Jakarta: Departemen Kebudayaan & Pariwisata.
Lombard, Denis. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian III: Wawasan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: PT. Gramedia.
Munandar, Agus Aris (ed). 2007. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Religi & Falsafah, Direktorat Geografi Sejarah. Jakarta: Departemen Budaya dan Pariwisata.
Mustopo, M. Habib, dkk. 2010. Sejarah 1, Jakarta: Yudhistira.
Notosusanto, Nugroho dkk. 1985. Sejarah Nasional Indonesia 1 untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Jakarta: Depdikbud.
——–. 1985. Sejarah Nasional Indonesia 2 untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Jakarta: Depdikbud.
Pane, Sanusi. 1965. Sejarah Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Poesponegoro, Marwati Djoened (dkk). 1993. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid I, Jakarta: Balai Pustaka.
———. 1994. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
———. 1994. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
Proyek Penelitian dan Pencacatan Kebudayaan. 1978. Sejarah Daerah Bali, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rangkuti, Nurhadi. 2006.”Trowulan, Situs-Kota Majapahit” dalam
Majapahit. Jakarta: Indonesian Heritage Society.
Reid, Anthony (ed.). 2002. Indonesia Heritage (Jilid III): Sejarah Modern Awal, Jakarta: Grolier Internasional.
Ricklef, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Santos, Arysio. 2010. Atlantis The Lost Continent Finally Found
(Terj). Jakarta: Ufuk Press.
Sardiman AM & Kusriyantinah. 1995. Sejarah Nasional & Sejarah Umum (sesuai dengan Kurikulum 1994), Surabaya: Kendangsari.
———–. 1995. Sejarah Nasional & Sejarah Umum 1b (sesuai dengan Kurikulum 1994). Surabaya: Kendang Sari.
————. 1995. Sejarah Nasional & Sejarah Umum 1c (sesuai dengan Kurikulum 1994). Surabaya: Kendang Sari.
Setiadi, Idham Bachtiar (ed). 2011. 100 Tahun Pemugaran Candi Borobudur. Jakarta: Direktorat Tinggalan Purbakala, Direktorat Jenderal Sejarah & Purbalaka, Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III, Yogyakarta: Kanisius.
———–. 2011. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1.
Yogyakarta: Kanisius.
———–. 2011. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2.
Yogyakarta: Kanisius.
Suwarno, P.J. 1994. Hamengku Buwono IX & Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta: PT Kanisius.
Tjahjono, Gunawan (dkk). 2007. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur. Jakarta: Direktorat Geografi Sejarah, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Utomo, Bambang Budi. 2010. Atlas Sejarah Indonesia Masa Klasik (Hindu-Buddha), Jakarta: Kementerian Kebudayaan & Pariwisata.
——–. 2011. Atlas Prasejarah Indonesia Masa Islam. Jakarta: Kementerian Kebudayaan & Pariwisata.
Vlekke, Bernard H.M. 2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Wallace, Alfred Russel. 2009. Kepulauan Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu.
Wanggai, Toni Victor M. 2009. Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tanah Papua. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
Wilson, J. Tuzo. 1994. “Lempeng Tektonik” dalam Tony S. Rahmadie (terj). Ilmu Pengetahuan Populer. Jilid 2. Grolier International
Yayasan Untuk Indonesia. 2005. Ensiklopedi Jakarta. Jakarta: Dinas Kebudayaan & Permuseuman DKI Jakarta.
Sumber Internet:
Florentina Lenny Kristiani dalam http://klubnova.tabloidnova.com/ KlubNova/Artikel/Aneka-Tips/Tips-Rumah/Cara-pilih-cobek- kerikil diunduh tanggal 19 Mei 2013, pukul 10:09
Demikianlah apa yg admin pada kali ini, tentang Islamisasi Dan Silang Budaya di Nusantara. Semoga berfaedah & anda pun sudah mengenali banyak sekali macam Sejarah yg ada Indonesia.