Di tikungan terakhir menuju kampungku. “Lebih yummy jalan kaki, “jawabku terengah-engah. Aku merasa menang.
Aneh dia seperti tak hendak menghentikan becaknya. Mungkin ia sedang menguji mentalku, atau malah menyesali perbuatannya? Peduli amat, apakah beliau terus membuntuti aku atau tidak, sejauh ia masih mengayuh becak di jalan yang layak dilewatinya.
Begitu memasuki gapura kampung, tangan kiriku kutarik dari saku celana. Dua keping logam ratusan rupiah terloncat dan menggelinding masuk selokan. Ah, biarin.
Aku menoleh ke tukang becak yang terhenti tepat di depan gapura kampung. Ia turun dan bangkit di sana sambil tetap memegangi kemudi becak. Sambil berlangsung aku menoleh kembali, beliau tetap membisu bagaikan sebuah monumen. Sesampai di rumah aku ceritakan pengalamanku pada ibu. Lama ibuku bengong dan menatapku dan baru kemudian berkata, “Rasanya kamu perlu menjajal jadi tukang becak.
Amanat yang tersirat dalam potongan cerpen di atas yakni . . .
Kita harus memahami kondisi tukang becak.
Amanat yakni pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui tulisannya.