حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ عَنْ بَدْرِ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ عَامِرٍ عَنْ رَجُلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ أَرْبَعُ فِتَنٍ فِي آخِرِهَا الْفَنَاءُ
Telah menceritakan kepada kami [Harun bin Abdullah] berkata, telah menceritakan terhadap kami [Abu Dawud Al Hafari] dari [Badr bin Utsman] dari [Amir] dari [seorang pria] dari [Abdullah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Pada umatku akan terjadi empat macam fitnah, dan yang terakhir adalah kebinasaan.” [HR. Abudaud No.3703].
Fitnah yaitu bentuk komunikasi kepada satu pihak atau lebih yang bermaksud untuk menawarkan stigma / ajaran negatif pada sesuatu insiden yang dijalankan oleh pihak lain, fitnah didasarkan pada fakta palsu yang dipengaruhi oleh sifat penghormatan, jelek sangka, obsesi, atau menjatuhkan dan / atau memaksimalkan nilai reputasi seseorang atau sesuatu pihak. Kata “fitnah” diserap dari bahasa Arab, dan pengertian aslinya adalah “cobaan” atau “ujian”.
Fitnah ialah Tuduhan (khabar, cerita dan lain-lain) yang diada-selenggarakan (dibentuk-buat) untuk memburukkan atau membencanakan seseorang.
Ada banyak media yang dipakai untuk menyebar Kabar palsu atau fitnah kepada sesuatu pihak. Fitnah mampu dilaksanakan lewat sistem suara atau berbisik antara seseorang atau seseorang lainnya. Menggunakan media komunikasi terbaru seperti memakai media massa baik lewat berita, koran, radio, televisi, internet dan lain-lain. Fitnah juga mampu dikembangkan antara satu pihak bertentangan dengan pihak lain dengan hanya prospektif sesuatu dengan upah terhadap pihak yang terlibat fitnah.
Fitnah antara individu
Menjatuhkan martabat individu, menyebabkan pertentangan, perampokan, pembunuhan antara individu yang satu dengan lainnya.
Fitnah antara keluarga
Menyebabkan keluarga sulit untuk saling mengerti satu sama lain, hubungan antara keluarga senantiasa dipengaruhi rasa tidak nyaman, dendam, tidak ramah, sering bertelagah, pergaduhan, kekasaran, pukul-menghantam, bercerai antara suami istri, kehilangan anak dan lain-lain.
Fitnah antara masyarakat
Masyarakat menjadi tidak mufakat, enggan melakukan pekerjaan sama dalam acara lingkungan, relawan, perselisihan antara komunitas, saling memburukkan antara berbagai pihak, pertumbuhan masyarakat menjadi turun, adanya kesenjangan sosial yang luas, pergaduhan, pencurian, perampokan, pembakaran daerah penduduk, lingkungan yang tidak tentram, porak peranda dan lain-lain.
Fitnah antara politik / negara
Suasana relasi antara partai politik tidak reda, sering terjadinya api kemarahan internasional, agama dan masyarakat. Jurang kemiskinan semakin menjadi-menjadi, isu tuduh-menuduh terus merajalela, media arus perdana sering berat sebelah, kesemrawutan, kebangkitan bunyi rakyat yang meminta keadilan secara jelas-terangan, pergaduhan antara pemerintah dan rakyat, ekonomi negara statis / hancur atau tak menentu dan tingkat inflasi meningkat, perang, kerusakan harta benda dan lain-lain.
Sebab dan balasan dari fitnah akan mengakibatkan korban yang sungguh dahsyat, bukan saja nama orang yang difitnah itu menerima malu, tetapi boleh mengakibatkan lenyapnya satu-satu bangsa, ataupun jatuhnya sesebuah negara, balasan korban fitnah.
Sejarah Islam sudah menjadi bukti yang konkret iaitu dimana tiga orang Khalifah Islam menjadi korban fitnah, seperti terbunuhnya Khalifah Umar ibnu Khattab R.A., terbunuhnya Khalifah Othman bin Affan R.A., terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib R.A., dan juga antara lainnya iaitu zuriat Nabi S.A.W. sendiri, yang dibunuh dengan kejamnya oleh insan-insan yang aneh akan kuasa.
Dalil Qur’an Dan Hadits menerangkan Tentang Fitnah
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (١٩٠) وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ (١٩١) فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٩٢) وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ (١٩٣)
190.Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, namun jangan melebihi batas. Sesungguhnya Allah tidak menggemari orang-orang yang melampaui batas.
191. Bunuhlah mereka di mana saja kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari kawasan mereka telah mengusir kau (Makkah). Dan fitnah itu lebih kejam ketimbang pembunuhan, dan janganlah kau memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di kawasan itu. Jika mereka memerangi kau, maka perangilah mereka. Demikianlah Balasan bagi orang-orang kafir.
192. Tetapi kalau mereka berhenti, maka sebetulnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
193. Dan perangilah mereka itu, sampai tidak ada fitnah lagi, dan ketaatan itu cuma semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kau), maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim.
Fitnah di ayat ini yakni kekafiran, kemusyrikan dan menghalangi insan dari jalan Allah. Termasuk juga mengusir kaum muslim dari kampung halamannya, merampas harta mereka dan menyakiti atau mengusik kebebasan mereka beragama. Fitnah tersebut lebih kejam ketimbang pertempuran yang terjadi di tanah haram. Maksud lebih kejam di sini yaitu lebih dahsyat mafsadat atau bahayanya.
Dari ayat di atas keluar ka’idah fiqh, “Yurtakabu akhafful mafsadatain lidaf’i a’laahaa” (dijalankan mafsadat yang ringan untuk menolak mafsadat lebih besar).
Sampai tidak ada lagi penindasan kepada kaum muslim dan tidak ada lagi kemusyrikan.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٢١٦) يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢١٧) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٢١٨
Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 216-218
216.Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu yakni sesuatu yang kau benci. Tetapi boleh Makara kamu tidak senang sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh Makara kau menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.
217.Mereka bertanya kepadamu wacana berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang pada bulan itu ialah dosa besar. Tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam dan menghalau penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam ketimbang pembunuhan. Mereka tidak berhenti memerangi kamu hingga kau murtad (keluar) dari agamamu (kepada kekafiran), jikalau mereka mampu. Barang siapa yang murtad di antara kau dari agamanya, lalu ia mati dalam kekafiran, maka mereka itu tidak berguna amalnya di dunia dan di alam baka, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka abadi di dalamnya.
218.Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang menghendaki rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Fitnah di sini memiliki arti penganiayaan dan segala perbuatan yang dimaksudkan untuk menindas Islam dan muslimin. Ada juga yang mengartikan fitnah di sini dengan syirk.
Supaya kita lebih mengetahui apa makna fitnah dalam 2 ayat di atas, alangkah lebih baiknya kita mengenali peristiwa atau keadaan apa yang menjadikan 2 ayat tersebut diturunkan atau dikenal juga dengan asbabun nuzul.
Asbabun nuzul surat al Baqarah ayat 190 yaitu:
Diriwayatkan oleh Al-Wahidi dari Al-Kalbi, dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa ayat ini turun berkenaan dengan “Perdamaian di Hudaibiah”, yaitu ketika Rasulullah Saw dicegat oleh kaum Quraisy untuk memasuki Baitullah. Adapun isi perdamaian tersebut antara lain agar kaum muslimin menunaikan umrahnya pada tahun berikutnya. Ketika Rasulullah Saw beserta sahabatnya mempersiapkan diri untuk melakukan umrah tersebut sesuai dengan perjanjian, para sahabat cemas kalau-bila orang Quraisy tidak menepati janjinya, bahkan memerangi dan menghalangi mereka masuk di Masjidilharam, padahal kaum Muslimin enggan berperang pada bulan haram. Turunnya “Waqatilu fi sabilillahil ladzina…” (Al-Baqarah ayat 190-193) membenarkan berperang untuk membalas serangan musuh.
Asbabun nuzul surat al Baqarah ayat 217 ialah:
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, At-Thabrani dalam kitab Al-Kabir, Al-Baihaki dalam sunannya yang bersunber dari Jundub bin Abdillah: Bahwa Rasulullah Saw mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Abdullah bin Jahsy. Mereka berpapasan dan bertempur dengan pasukan lawan yang dipimpin oleh Ibnul Hadlrami, dan terbunuhlah kepala pasukan lawan. Sebenarnya pada waktu itu tidak terang bagi pasukan Abdullah bin Jarsy, apakah tergolong bulan Rajab, Jumadil Awal, atau Jumadil Akhhir. Kaum Musyrikin menghembus-hembuskan isu bahwa Kaum Muslimin berperang pada bulan Haram. Maka Allah turunkan ayat tersebut (Al-Baqarah : 217).
Kaum Muslimin yang ada di Madinah berkata: “Perbuatan mereka berperang dengan pasukan Ibnul Hadlrami ini mungkin tidak berdosa, namun juga tidak akan menerima pahala”. Maka Allah menurunkan ayat selanjutnya (Al-Baqarah : 218).
Dua ayat di atas menerangkan perihal dua hal adalah kekerabatan antara fitnah dengan peperangan. Mengapa fitnah dapat berakhir dengan pertempuran atau kenapa fitnah dapat menjadi sebab peperangan. Pada ayat 190, konteksnya yaitu ibadah umroh yang diikuti dengan antisipasi perang oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Mereka melakukan antisipasi ibadah dan juga bersiap siaga jika pertempuran dimulai oleh kafir Quraisy. Kekhawatiran mereka untuk tidak melaksanakan perang di bulan haram padahal mampu jadi mereka yang diserang apalagi dahulu, dijawab oleh Allah SWT dengan ayat ini. Kekufuran dan kemusyrikan mereka serta tindakan mereka menghalang-halangi insan menuju al Haram, penganiayaan fisik dan merampas harta telah merupakan alasan yang lebih dari cukup untuk mengawali perang. Bahkan rangkaian ayat tersebut ditutup dengan ayat 193 yang berbunyi “Dan perangilah mereka itu, sampai tidak ada fitnah lagi, dan ketaatan itu cuma semata-mata untuk Allah”.
Sedangkan ayat 217 didahului dengan pernyataan “Diwajibkan atas kamu berperang”. Kata perang di ayat ini memakai kata “qatala” atau membunuh, bukan “jihad” yang arti asalnya adalah bersungguh-sungguh. Artinya ayat ini tidak bisa ditafsirkan lain kecuali berperang menumpahkan darah, bukan dengan bersungguh-sungguh memerangi hawa nafsu, tekun berguru, mencari nafkah atau hal lain yang bisa diartikan dengan rajin. Plesetan arti jihad ini secara tidak langsung disinggung oleh ayat ini. Bahwa akan ada sekelompok insan melaksanakan penafsiran abnormal terhadap jihad sudah diprediksi oleh Allah SWT, bahkan penyebabnya juga dibuka oleh al Quran, yakni “wa huwa kurhul lakum” (padahal berperang itu dibenci oleh kalian). Bedanya bila para teman tidak senang perang alasannya adalah berada di bulan haram yang secara adat dan agama memang dimuliakan, sedangkan di periode kini berperang dibenci alasannya penyakit wahn, yaitu cinta dunia dan takut mati. Pada asbabun nuzul dijelaskan bahwa Abdullah bin Jahsy memerangi manusia tetapi tidak mengetahui persis apakah ia berada di bulan haram atau tidak, alasannya adalah memang Abdullah bin Jahsy berangkat perang di tamat bulan Jumadal Akhir, mendekati bulan Rajab yang termasuk bulan haram yang empat. Dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa Abdullah bin Jahsy berperang ketika telah masuk bulan Rajab, hal ini lah yang kemudian diangkat oleh kaum musyrikin, bahwa kaum muslimin tidak menghormati bulan haram. Allah SWT kemudian menurunkan ayat ini untuk menerangkan bahwa fitnah yang dijalankan kaum musyrikin lebih besar (dosanya) daripada pertempuran yang dilaksanakan di bulan haram.
Dari dua ayat di atas jelaslah bahwa makna bergotong-royong dari “FITNAH” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perbuatan syirk (menyekutukan Allah dengan lainnya dalam ibadah dan meminta pertolongan) dan juga penganiayaan/penindasan kepada Islam dan kaum muslimin. Dua perbuatan itu, ialah syirik dan menganiaya mengandung dua kejelekan adalah faktor ubudiyah (peribadahan) dan faktor muamalat (sosial). Jika salah satunya saja dilakukan telah cukup menciptakan orang lain mencap orang tersebut jelek terlebih bila kedua hal ini menempel pada satu orang atau kelompok. Satu orang tiba ke dukun saja telah kita anggap “orang gak bener” walaupun mungkin beliau terkenal baik di lingkungannya. Ada juga orang yang biasa ke masjid tetapi tidak ramah dengan tetangga mampu dianggap “orang belagu” atau “aliran sesat”. Apalagi kalau hingga tekun ke dukun dan angkuh. Pasti telah gak ada benernya deh tuh orang. ke dukun tapi baik sama orang, penduduk masih bisa melihatnya sebagai “sisi baik orang jahat”. Demikian juga orang ke masjid namun nyakitin tetangga masih mampu dianggap selaku “orang baik yang tidak tepat”. Artinya penduduk masih mampu menghendaki satu saat orang ini akan menjadi orang baik beneran. Tapi bayangkan kalau masyarakat sudah tidak bisa lagi menyaksikan kebaikan apapun pada orang ini. Mati aja deh lu.. Mungkin hanya itu yang bisa dikatakan oleh masyarakat.
Hal lain yang mampu kita ambil pelajaran: kaum musyrikin yaitu manusia yang tidak takut dengan Allah SWT, alasannya adalah itu maka mereka lebih tidak takut lagi berbuat zhalim pada insan. Ketidaktakutan mereka pada Allah mampu disebabkan sebab kurangnya ilmu atau sombong kepada kebenaran sebagaimana yang dikerjakan iblis dan fir’aun. Syirik ialah pintu dari segala keburukan. Tidak heran kemudian Islam melaksanakan pemberantasan kesyirikan ini dengan segala cara, baik dengan pendekatan dakwah yang damai dan lemah lembut, tetapi pada satu segi tidak menafikan kekerasan yang mungkin terjadi yang dapat berujung pada peperangan.
Wanita Ujian Bagi Pria
Diantara fitnah hawa syahwat yang tidak jarang melemahkan keimanan seorang mukmin ialah fitnah wanita, sebagaimana disebutkan didalam firman Allah swt :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء
Artinya : “Dijadikan indah pada (persepsi) insan kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, Yaitu: perempuan-wanita.” (QS. Ali Imran : 14)
Artinya : “Sesungguhnya akal bulus kau (perempuan) adalah besar.” (QS. Yusuf : 28)
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid dari Rasulullah saw bersabda,”Tidaklah sebuah fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada (fitnah) para perempuan.” (Muttafaq Alaih)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,”Didalam hadits ini disebutkan bahwa fitnah para wanita lebih berat dari fitnah-fitnah selainnya. Hal itu ditunjukkan pula oleh firman Allah swt :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء
Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita.” (QS. Ali Imran : 14)
Disebutkan didalam ayat itu bahwa menyayangi perempuan ialah bagian dari kecintaan kepada syahwat, (ayat itu) diawali dengan para perempuan sebelum jenis-jenis yang yang lain sebagai petunjuk bahwa para perempuan adalah pokok dari fitnah itu semua. Sebagai bukti pula ialah kecintaan seorang lelaki kepada anak istrinya melampaui kecintaannya terhadap anak selain dari istrinya… (Fathul Bari juz XIV hal 337)
Imam Muslim meriwayatkan dari hadis Abu Sa’id Al-Khudri Ra
واتقوا النساء، فإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء.
“takutlah kalian terhadap (fitnah perempuan)sebab bahu-membahu awal fitnah yang menimpa Bani Israil yaitu di sebabkan perempuan”.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Al-Bazzar bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
إن المرأة عورة ، فإذا خرجت استشرفها الشيطان ، وأقرب ما تكون بروحة ربها وهي في قعر بيتها ”
“bahu-membahu perempuan itu adalah aurat, maka bila dia keluar pasti akan dihiasi oleh syaitan, dan sedekat-dekatnya seorang perempuan dengan Tuhannya yaitu tatkala dia di dalam rumahnya”.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallammenyerupakan godaan wanita itu sepertisetan, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah raadiyallaahu’anhu, bahwaRasulullah shallallahu ’alaihi wasallammelihat seorang perempuan. Kemudian dia mengunjungi Zainab istrinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliaushallallahu ’alaihi wasallam kemudian menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam rangka menyalurkan syahwatnya alasannya menyaksikan wanita itu). Setelah itu, dia keluar menuju para sahabat dan bersabda:
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya perempuan itu datang dalam bentuk setan dan berlalu dalam bentuk setan pula. Apabila salah seorang kalian menyaksikan seorang wanita (dan berdiri syahwatnya) maka hendaknya ia mengunjungi istrinya (menggaulinya), karena hal itu akan mengembalikan apa yang ada pada dirinya (meredakan syahwatnya).” (HR. Muslim).
Al-Imam An-Nawawi raahimahullaahberkata dalam Syarah Shahih Muslim (8/187): “Para ulama menyampaikan, makna hadits itu yakni bahwa tampilan wanita membangkitkan syahwat dan mengajak terhadap fitnah. Karena Allah Subhaanahu wa ta’aala telah mengakibatkan adanya kecenderungan atau kecintaan terhadap perempuan dalam hati para lelaki, merasa nikmat menyaksikan kecantikannya berikut segala sesuatu yang terkait dengannya. Sehingga seorang perempuan ada sisi keserupaan dengan setan dalam hal mengajak kepada kejelekan atau kemaksiatan melalui was-was serta ditampakkan bagus dan indahnya kemaksiatan itu kepadanya.
Dapat diambil pula faedah aturan dari hadits ini bahwa sepantasnya seorang wanita tidak keluar dari rumahnya, (berada) di antara lelaki, kecuali alasannya sebuah kebutuhan (darurat) yang mewajibkan ia keluar._ Allah berfirman : ..Dan hendaklah kalian menetap di rumah-rumah kalian.. (QS. Al- Ahzab: 32).
Berikut rekomendasi dari kekasih kita Rosulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami :
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلْعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berniat dan berbuat setuju kalian terhadap para wanita. Karena seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sebenarnya rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka kalau kau berupaya dengan keras meluruskannya, niscaya kau akanmematahkannya. Sedangkan bila kamu membiarkannya pasti akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kalian kepada para istri (dengan wasiat yang bagus).”(Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah).
Hadits Nabi Tentang Fitnah Di Akhir Zaman
كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني فقلت يا رسول الله إنا كنا في جاهلية وشر فجاءنا الله بهذا الخير فهل بعد هذا الخير شر قال نعم فقلت هل بعد ذلك الشر من خير قال نعم وفيه دخن قلت وما دخنه قال قوم يستنون بغير سنتي ويهدون بغير هديي تعرف منهم وتنكر فقلت هل بعد ذلك الخير من شر قال نعم دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها فقلت يا رسول الله صفهم لنا قال نعم قوم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا قلت يا رسول الله فما ترى إن أدركني ذلك قال تلزم جماعة المسلمين وإمامهم فقلت فإن لم تكن لهم جماعة ولا إمام قال فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض على أصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك
Orang-orang mengajukan pertanyaan terhadap Rasulullah saw perihal ‘kebaikan’ (Islam) sedang aku (Hudzaifah) mengajukan pertanyaan perihal ‘kejelekan’ karena saya cemas keburukan itu menimpa pada diriku. Aku bertanya (Hudzaifah) “wahai Rasulullah kita dahulu pernah hidup di zaman jahiliyah yang penuh keburukan, lalu Allah menggantikannya dengan kebaikan (Islam), apakah sesudah kebaikan (Islam) ini akan timbul suatu kejelekan kembali? Kemudian Rasulullah saw menjawab : ya, ada.
Kemudian aku (Hudzaifah) mengajukan pertanyaan: apakah sehabis keburukan yang terjadi itu akan muncul kembali kebaikan (Islam)? Beliau (Rasulullah saw) menjawab: ya, masih ada, tetapi kebaikan itu tidak murni, ada kekaburan (adonan) nya.
Kemudian aku (Hudzaifah) bertanya: apa kekaburannya wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: adalah golongan (kaum) yang mengaku muslim namun perbuatannya tidak murni berdasarkan sunnahku (ada adonan / kotoran-kotoran aqidah dan faham yang tidak berdasarkan sunnahku), dan mereka memberi isyarat tidak berdasarkan petunjukku. Sebagian tindakan mereka ada yang kamu anggap baik sebab (cocok dengan sunnahku) dan sebagiannya yang lain ada yang kau ingkari (alasannya adalah) tidak sesuai dengan sunnahku (Islam). Ajaran islam dibelok-belokkan berdasarkan kepentingan mereka (kelompok mereka) dan jangan sampai ada fikiran bahwa Islam agama yang memudar (melemah) maka pemikiran Islam dirubah-rubah oleh mereka, disesuaikan dengan pertumbuhan zaman (yang tambah rusak ini)
Kemudian saya (Hudzaifah) mengajukan pertanyaan: apakah setelah kebaikan (ialah Islam yang dibawa oleh kaum yang tidak murni Islamnya itu) muncul kejelekan lagi, wahai Rasulullah? Jawabannya ya, ada. Yaitu dai-dai yang bangkit di depan pintu-pintu neraka jahannam. Barang siapa yang melakukan dakwah dan ajakannya, maka mereka da’i-da’i tersebut melempar orang tadi ke dalam neraka jahannam, dai-dai itu mengaku selaku muslim tetapi jelas-terangan dakwahnya memusuhi Islam dan bertentangan dengan Islam.
Kemudian aku (Hudzaifah) bertanya: jelaskan kami (wahai Rasululllah) sifat / identitas da’i-dai itu? Rasulullah menjawab, mereka itulah orang yang kulitnya sama dengan kulit kitadan berbicara dengan bahasa kita.
Kemudian aku (Hudzaifah) bertanya: apa yang kau perintahkan terhadap kami jikalau kondisi seperti itu tiba pada kami? Jawab Rasulullah: kau harus (wajib) bergantung dengan kalangan orang-orang Islam dan pimpinan-pimpinannya. Kemudian Kemudian saya (Hudzaifah) mengajukan pertanyaan: jikalau sudah tidak ada kalangan orang-orang Islam dan pimpinan-pimpinannya, bagaimana wahai Rasulullah? Rasulullah saw menjawab : lewati semua golongan-kalangan yang non muslim (semuanya), berpegang teguhlah kepada Islam meskipun kamu sendirian. Begitu pentingnya pendirian ini hingga Rasulullah saw menggambarkannya (seperti kamu menggigit pangkal pohon sehingga kau mati sendirian dalam kondisi demikian)
Kondisi umat seperti yang digambarkan oleh hadits Rasulullah yang diriwayatkan shabat Hudzaifah Ibnu Yaman di atas kini menjadi realita. Dimana sekarang ini umat Islam diterpa oleh bermacam-macam cobaan yang mengakibatkan umatnya ini kembali terhadap akhlaq zaman jahiliyyah. Agama penduduk mereka diliputi berbagai keburukan, kejahatan, kemunafikan, kehancuran dan perselisihan.
Kualitas iman umat Islam saat ini tengah melorot jauh dibandingkan pendahulu-pendahulu mereka, bila kita cari sebabnyatidak lain alasannya cinta dunia dan benci mati, Rasulullah saw bersabda:
(يوشك ان تتداعى عليكم الامم كما تتداعى الاكلة على قصعتها، قيا أ من قلة نحن يومئذ, قال (صلى الله عليه وسلم): لا, بل انتم كثير، ولكنكم غثاء كغثاء السيل، ولينزعن الله المهابة من قلوب اعدائكم منكم، وليقذفن الله في قلوبكم الوهن، قالوا: وما الوهن يا رسول الله؟ قال (صلى الله عليه وسلم) : حب الدنيا وكراهية الموت)
Akan tiba suatu kurun di mana bangsa mengeroyok kalian mirip orang rakus merebutkan makanan di atas meja, ditanyakan (terhadap rasulullah saw) apakah alasannya adalah di ketika itu jumlah kita sedikit? Jawab rasulullah saw, tidak bahkan kamu saat itu dominan namun kamu mirip buih di atas permukaan air banjir, cuma mengikuti kemana air banjir mengalir (artinya kamu cuma ikut-ikutan usulan kebanyakan orang seakan-akan kau tidak punya pemikiran hidup) sangat Allah sudah mencabut rasa takut dari dada musuh-musuh kamu, dan mencampakkan di dalam hatimu ‘al-wahn’ ditanyakan (kepada Rasulullah) apakah al-wahn itu ya Rasulullah? Jawabnya: wahn ialah cinta dunia dan benci mati.
Penyakit-penyakit cinta dunia ini disebabkan merasuknya rasa cinta terhadap harta, tahta, wanita, di hati manusia. Manusia ingin kaya, pangkat tinggi, punya imbas ahli, terkenal dimana-mana. manakala impian ini dicapai tanpa mengikuti aturan Allah, maka inilah yang disebut materialistis.
يأتي على الناس زمان همتهم بطونهم وشرفهم متاعهم وقبلتهم نساؤهم ودينهم دراهمهم ودنانيرهم أولئك شر الخلق لا خلاق لهم عند الله
Akan tiba kepada insan di mana perhatianya yakni perutnya, pujian mereka yakni harta (benda) qiblatnya yakni perempuan, agama mereka ialah duit dirham dan dinar, mereka itulah makhluk paling jelek dan tidak menerima bab di sisi Allah.
Dalam keadaan di mana kaum muslimin mendiamkan semua kemungkaran ini berjalan di negeri nereka, maka penyakit cinta dunia merajalela. Banyak kaum muslimin yang terjerat menjadi kapitalis matrealistis, tidakkan mereka ingat firman Allah swt.
فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
Janganlah sekali-kali hidup dunia memperdayakan kau dan janganlah pula penipu / syaithan memperdayakan kau dalam menta’ati Allah SWT.
Begitu pula tidakkah mereka ingat peringatan Rasulullah saw
تعسى عبد الدينار تعسى عبد الدرهم تعسى عبد الخميصه تعسى عبدالخميصه ان اعطى رضى وان لم يعطى سخط
Celakalah hamba dinar dan hamba dirham, celakalah hamba busana jika diberi beliau senang kalau tidak diberi ia marah
Ungkapan hamba dinar dan dirham menunjukkan orang yang mengabdikan diri untuk mendapatkan laba materi dengan menyepelekan hukum Allah, hamba pakaian ialah mereka yang senantiasa mengikuti kemajuan mode terkini dan trendi, adalah mereka yang menghambur-hamburkan uang untuk menerima aneka macam jenis model busana terbaru.
Cara hidup seperti ini merupakan muslihat (yahudi) untuk menyesatkan umat manusia dari jalan Allah. cara hidup inilah cara hidup yang berdasarkan system kapitalis matrealitis yang menyebabkan harta dunia yakni tuhannya dan tujuan hidupnya, sedangkan cinta dunia yakni sumber fitnah dan bencana.
Oleh karena itu marilah kita dalam menghadapi zaman yang penuh fitnah dan zaman jahiliyyah terbaru yang sarat kerusakan dan yang dilanda dengan pertengkaran perpecahan ini, marilah kita mengikuti pesan dan perintah Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh sobat Hudzaifah Ibnul Yaman RA.
عليكم بالجماعة فإن يد الله على الجماعة ومن شذ شذ فى النار
Tetapi wajiblah kau tolong-menolong jama’ah alasannya kekuatan / dukungan Allah terletak pada jama’ah dan barang siapa menyendiri maka ia akan sendirian di neraka:
Bagitu pula Rasulullah SAW bersabda:
إن الله لن يجمع أمتى على ضلالة
Sesungguhnya Allah tidak menghimpun umatku (Islam) kepada suatu kesesatan.
Dan marilah kita tetap menjadi muslim yang teguh, memegang akidah dan prinsip/pendirian bagaikan kerikil karang tak goyah karena hembusan angin puting-beliung uang dan krisis. Tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
طوبى لمن هدي إلى الاسلام ولوكان عيشه كفافا وقنع به
Berbahagialah orang yang ditunjukkan terhadap Islam walaupun hidupnya pas-pasan dan dia terima apa yang menjadi qadha dan qadarnya.
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
Ya Tuhan kami, janganlah kamu jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah kau beri isyarat terhadap kami. Dan karuniakanlah rahmat dari segi engkau alasannya bahu-membahu engkaulah Maha Pemberi.
Hadits Lain Tentang Akhir Zaman
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَمَا تَرَكَ شَيْئًا يَكُونُ فِي مَقَامِهِ ذَلِكَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ إِلَّا حَدَّثَهُ حَفِظَهُ مَنْ حَفِظَهُ وَنَسِيَهُ مَنْ نَسِيَهُ قَدْ عَلِمَهُ أَصْحَابُهُ هَؤُلَاءِ وَإِنَّهُ لَيَكُونُ مِنْهُ الشَّيْءُ فَأَذْكُرُهُ كَمَا يَذْكُرُ الرَّجُلُ وَجْهَ الرَّجُلِ إِذَا غَابَ عَنْهُ ثُمَّ إِذَا رَآهُ عَرَفَهُ
[[[Telah menceritakan kepada kami [Utsman bin Abu Syaibah] berkata, sudah menceritakan terhadap kami [Jarir] dari [Al A’masy] dari [Abu Wail] dari [Hudzaifah] beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdiri di hadapan kami (khutbah), tidak ada sesuatu pun yang bakal terjadi hingga tiba hari akhir zaman kecuali dia jelaskan ketika itu (berdiri). Maka hafallah orang yang hafal dan lupalah orang yang lupa, dan para sahabatnya telah mengenali hal itu. Sungguh, aku mampu mengenang apa yang disampaikan ketika itu, sebagaimana seorang laki-laki yang mengingat wajah orang yang pergi kemudian berjumpa lagi.”]]] [HR. Abudaud No.3702].
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ عَنْ بَدْرِ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ عَامِرٍ عَنْ رَجُلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ أَرْبَعُ فِتَنٍ فِي آخِرِهَا الْفَنَاءُ
[[[Telah menceritakan terhadap kami [Harun bin Abdullah] berkata, sudah menceritakan terhadap kami [Abu Dawud Al Hafari] dari [Badr bin Utsman] dari [Amir] dari [seorang laki-laki] dari [Abdullah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia bersabda: “Pada umatku akan terjadi empat macam fitnah, dan yang terakhir yaitu kebinasaan.”]]] [HR. Abudaud No.3703].
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عُثْمَانَ بْنِ سَعِيدٍ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَالِمٍ حَدَّثَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عُتْبَةَ عَنْ عُمَيْرِ بْنِ هَانِئٍ الْعَنْسِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ كُنَّا قُعُودًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ فَذَكَرَ الْفِتَنَ فَأَكْثَرَ فِي ذِكْرِهَا حَتَّى ذَكَرَ فِتْنَةَ الْأَحْلَاسِ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا فِتْنَةُ الْأَحْلَاسِ قَالَ هِيَ هَرَبٌ وَحَرْبٌ ثُمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ دَخَنُهَا مِنْ تَحْتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي وَلَيْسَ مِنِّي وَإِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ ثُمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ عَلَى رَجُلٍ كَوَرِكٍ عَلَى ضِلَعٍ ثُمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْمَاءِ لَا تَدَعُ أَحَدًا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا لَطَمَتْهُ لَطْمَةً فَإِذَا قِيلَ انْقَضَتْ تَمَادَتْ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا حَتَّى يَصِيرَ النَّاسُ إِلَى فُسْطَاطَيْنِ فُسْطَاطِ إِيمَانٍ لَا نِفَاقَ فِيهِ وَفُسْطَاطِ نِفَاقٍ لَا إِيمَانَ فِيهِ فَإِذَا كَانَ ذَاكُمْ فَانْتَظِرُوا الدَّجَّالَ مِنْ يَوْمِهِ أَوْ مِنْ غَدِهِ
[[[Telah menceritakan terhadap kami [Yahya bin Utsman bin Sa’id Al Himshi] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Al Mughirah] berkata, telah menceritakan kepadaku [Abdullah bin Salim] berkata, telah menceritakan kepadaku [Al ‘Ala bin Utbah] dari [Umair bin Hani Al ‘Ansi] ia berkata; Aku mendengar [Abdullah bin Umar] berkata, “Saat kami duduk-duduk di segi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bercerita ihwal fitnah, panjang lebar ia bercerita seputar fitnah itu hingga dia menyebutkan ihwal fitnah Al Ahlas. Seorang laki-laki lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu fitnah Al Ahlas?” ia menjawab: “Adanya permusuhan dan pertempuran, kemudian fitnah kesenangan yang asapnya timbul dari bawah kedua kaki seorang pria mahir baitku. Ia mengaku berasal dari keturunanku, padahal bukan. Wali-waliku cuma orang-orang yang bertakwa. Kemudian orang-orang akan berdamai pada seorang laki-laki layaknya pangkal paha yang bertumpuk di tulang rusuk (akad yang semu). Kemudian akan timbul fitnah seorang yang buta (dengan kekuasaan), tidak seorang pun dari umat ini kecuali dia akan mendapat satu tamparan di mukanya (peristiwa kerusakan darinya). Ketika fitnah itu telah dianggap usai, namun fitnah tersebut justru berkesinambungan. Seorang pria yang paginya beriman menjadi kafir di waktu sore, sehingga insan akan menjadi dua kelompok; sekelompok orang yang beriman dan tidak ada kemunafikan dalam keimanannya, dan sekelompok orang yang penuh kemunafikan dan tidak ada keimanan padanya. Jika keadaan kalian telah begitu, maka tunggulah munculnya Dajjal pada hari itu atau keesokan harinya.”]]] [HR. Abudaud No.3704].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا ابْنُ فَرُّوخَ أَخْبَرَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَخْبَرَنِي ابْنٌ لِقَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ وَاللَّهِ مَا أَدْرِي أَنَسِيَ أَصْحَابِي أَمْ تَنَاسَوْا وَاللَّهِ مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَائِدِ فِتْنَةٍ إِلَى أَنْ تَنْقَضِيَ الدُّنْيَا يَبْلُغُ مَنْ مَعَهُ ثَلَاثَ مِائَةٍ فَصَاعِدًا إِلَّا قَدْ سَمَّاهُ لَنَا بِاسْمِهِ وَاسْمِ أَبِيهِ وَاسْمِ قَبِيلَتِهِ
[[[Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yahya bin Faris] berkata, telah menceritakan terhadap kami [Ibnu Abu Maryam] berkata, telah mengabarkan terhadap kami [Ibnu Farrukh] berkata, sudah mengabarkan kepadaku [Usamah bin Zaid] berkata, sudah mengabarkan kepadaku [Ibnu Qabishah bin Dzuaib] dari [Bapaknya] dia berkata; [Hudzaifah bin Yaman] berkata, “Demi Allah, saya tidak tahu apakah para sahabatku lupa atau akal-akalan lupa. Demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan penyeru fitnah hingga berakhirnya periode kehidupan dunia, yang jumlahlah lebih dari tiga ratus orang kecuali ia menyebutkan kepada kami akan namanya, nama bapak dan kabilahnya.”]]] [HR. Abudaud No.3705].
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ سُبَيْعِ بْنِ خَالِدٍ قَالَ أَتَيْتُ الْكُوفَةَ فِي زَمَنِ فُتِحَتْ تُسْتَرُ أَجْلُبُ مِنْهَا بِغَالًا فَدَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا صَدْعٌ مِنْ الرِّجَالِ وَإِذَا رَجُلٌ جَالِسٌ تَعْرِفُ إِذَا رَأَيْتَهُ أَنَّهُ مِنْ رِجَالِ أَهْلِ الْحِجَازِ قَالَ قُلْتُ مَنْ هَذَا فَتَجَهَّمَنِي الْقَوْمُ وَقَالُوا أَمَا تَعْرِفُ هَذَا هَذَا حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ فَأَحْدَقَهُ الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقَالَ إِنِّي أَرَى الَّذِي تُنْكِرُونَ إِنِّي قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ هَذَا الْخَيْرَ الَّذِي أَعْطَانَا اللَّهُ أَيَكُونُ بَعْدَهُ شَرٌّ كَمَا كَانَ قَبْلَهُ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَمَا الْعِصْمَةُ مِنْ ذَلِكَ قَالَ السَّيْفُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ مَاذَا يَكُونُ قَالَ إِنْ كَانَ لِلَّهِ خَلِيفَةٌ فِي الْأَرْضِ فَضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَأَطِعْهُ وَإِلَّا فَمُتْ وَأَنْتَ عَاضٌّ بِجِذْلِ شَجَرَةٍ قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا قَالَ ثُمَّ يَخْرُجُ الدَّجَّالُ مَعَهُ نَهْرٌ وَنَارٌ فَمَنْ وَقَعَ فِي نَارِهِ وَجَبَ أَجْرُهُ وَحُطَّ وِزْرُهُ وَمَنْ وَقَعَ فِي نَهْرِهِ وَجَبَ وِزْرُهُ وَحُطَّ أَجْرُهُ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا قَالَ ثُمَّ هِيَ قِيَامُ السَّاعَةِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ خَالِدٍ الْيَشْكُرِيِّ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ قُلْتُ بَعْدَ السَّيْفِ قَالَ بَقِيَّةٌ عَلَى أَقْذَاءٍ وَهُدْنَةٌ عَلَى دَخَنٍ ثُمَّ سَاقَ الْحَدِيثَ قَالَ وَكَانَ قَتَادَةُ يَضَعُهُ عَلَى الرِّدَّةِ الَّتِي فِي زَمَنِ أَبِي بَكْرٍ عَلَى أَقْذَاءٍ يَقُولُ قَذًى وَهُدْنَةٌ يَقُولُ صُلْحٌ عَلَى دَخَنٍ عَلَى ضَغَائِنَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ الْقَعْنَبِيُّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ الْمُغِيرَةِ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ اللَّيْثِيِّ قَالَ أَتَيْنَا الْيَشْكُرِيَّ فِي رَهْطٍ مِنْ بَنِي لَيْثٍ فَقَالَ مَنْ الْقَوْمُ قُلْنَا بَنُو لَيْثٍ أَتَيْنَاكَ نَسْأَلُكَ عَنْ حَدِيثِ حُذَيْفَةَ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ فِتْنَةٌ وَشَرٌّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَعْدَ هَذَا الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ يَا حُذَيْفَةُ تَعَلَّمْ كِتَابَ اللَّهِ وَاتَّبِعْ مَا فِيهِ ثَلَاثَ مِرَارٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَعْدَ هَذَا الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ هُدْنَةٌ عَلَى دَخَنٍ وَجَمَاعَةٌ عَلَى أَقْذَاءٍ فِيهَا أَوْ فِيهِمْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ الْهُدْنَةُ عَلَى الدَّخَنِ مَا هِيَ قَالَ لَا تَرْجِعُ قُلُوبُ أَقْوَامٍ عَلَى الَّذِي كَانَتْ عَلَيْهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَبَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ فِتْنَةٌ عَمْيَاءُ صَمَّاءُ عَلَيْهَا دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ النَّارِ فَإِنْ تَمُتْ يَا حُذَيْفَةُ وَأَنْتَ عَاضٌّ عَلَى جِذْلٍ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَتَّبِعَ أَحَدًا مِنْهُمْ حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا أَبُو التَّيَّاحِ عَنْ صَخْرِ بْنِ بَدْرِ الْعِجْلِيِّ عَنْ سُبَيْعِ بْنِ خَالِدٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَنْ حُذَيْفَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ يَوْمَئِذٍ خَلِيفَةً فَاهْرُبْ حَتَّى تَمُوتَ فَإِنْ تَمُتْ وَأَنْتَ عَاضٌّ وَقَالَ فِي آخِرِهِ قَالَ قُلْتُ فَمَا يَكُونُ بَعْدَ ذَلِكَ قَالَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا نَتَجَ فَرَسًا لَمْ تُنْتَجْ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
[[[Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, telah menceritakan terhadap kami [Abu Awanah] dari [Qatadah] dari [Nashr bin Ashim] dari [Subai’ bin Khalid] beliau berkata, “Aku pernah datang ke Kufah saat penaklukan kota Tustar tempat yang biasa aku membeli domba. Aku lantas masuk ke suatu masjid, orang-orang banyak berkumpul, dan ternyata di sana ada seorang lelaki -jikalau kamu menyaksikan, kamu akan tahu bahwa ia dari daerah Hijaz; Makkah dan Madinah-. Aku bertanya, “Siapakah lelaki ini?” orang-orang memandangiku dengan sorotan tajam, mereka berkata, “Engkau tidak tahu orang ini! ini ialah [Hudzaifah Ibnul Yaman], seorang sobat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Hudzaifah kemudian berkata, “Orang-orang banyak mengajukan pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kebaikan, sementara saya bertanya ia ihwal keburukan.” Orang-orang sepontan memperhatikan Hudzaifah dengan pandangan tajam, Hudzaifah melanjutkan, “Aku tahu apa yang kalian ingkari (cemaskan). Aku pernah bertanya terhadap Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah sehabis kebaikan yang Allah berikan terhadap kita ini, akan timbul keburukan setelahnya mirip era-era sebelumnya?” Beliau menjawab: “Benar.” Aku mengajukan pertanyaan lagi, “Bagaimana bisa selamat dari hal itu?” dia menjawab: “Dengan pedang.” Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, lantas apa yang bakal terjadi?” Beliau menjawab: “Jika Allah mempunyai Khalifah di muka bumi, kemudian ia memukul punggung dan mengambil hartamu, maka taatilah dia. Jika tidak begitu, maka matilah kamu dalam kondisi menggigit akar pohon (tidak taat dan pergi menyepi).” Aku bertanya lagi, “Lalu apa yang mau terjadi?” ia menjawab: “Akan timbul dajjal dengan menjinjing sungai dan api. Siapa yang jatuh ke dalam apinya, maka ia akan menerima pahala dan akan dihapus dosanya. Dan siapa yang jatuh ke dalam sungainya, maka ia akan mendapat dosa dan digugurkan pahalanya.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” beliau menjawab: “Kiamat akan tiba.” Telah menceritakan terhadap kami [Muhammad bin Yahya bin Faris] berkata, sudah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] dari [Ma’mar] dari [Qatadah] dari [Nashr bin Ashim] dari [Khalid bin Khalid Al Yasykuri] dengan hadits yang sama. Ia (Hudzaifah) berkata, “Setelah pedang apa lagi?” beliau menjawab: “Akan tersisa kotoran mata (kejelekan) dan kerisuhan yang berkedok kedamaian.” Lalu dia menyebutkan hadits selengkapnya.” Ia (perawai) berkata, “Qatadah menganalogikan ‘kotoran mata’ adalah insiden riddah (pemurtadan) yang ada di masa Abu Bakar. Dan ‘kerisuhan yang berkedok kedamaian’ yaitu upaya hening yang semu.” Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi] berkata, sudah menceritakan kepada kami [Sulaiman] -maksudnya Sulaiman bin Al Mughirah- dari [Humaid] dari [Nashr bin Ashim Al Laitsi] ia berkata, “Kami pernah mengunjungi [Al Yasykuri] dalam suatu rombongan bani Laits, ia mengajukan pertanyaan, “Siapakah orang-orang itu?” kami menjawab, “Mereka ialah orang-orang bani Laits. Kami mendatangimu untuk menanyakan seputar hadits Hudzaifah.. lalu ia menyebutkan hadits tersebut. Hudzaifah berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah sehabis kebaikan ini akan ada kejelekan?” dia menjawab: “Fitnah dan kejelekan.” Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apakah setelah keburukan ini akan timbul kebaikan?” dia menjawab: “Wahai Hudzaifah, pelajarilah Al-Qur’an dan ikuti apa yang ada di dalamnya.” Beliau ulangi kata-kata itu hingga tiga kali. Aku mengajukan pertanyaan lagi, “Wahai Rasulullah, apakah sesudah keburukan ini ada kebaikan?” dia menjawab: “Kericuhan berkedok kedamaian, dan kelompok yang diselimuti oleh kekufuran.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, maksud kerisuhan berkedok kedamaian itu apa?” ia menjawab: “Jika hati orang-orang tidak lagi sebagaimana fitrahnya.” Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apakah setelah kebaikan ini akan muncul keburukan?” ia menjawab: “Fitnahnya orang yang buta dan tuli (dari kebenaran), mereka mempunyai penyeru-penyeru yang berada di pintu neraka. Wahai Hudzaifah, kalau engkau mati dalam keadaan menggigit akar pohon (pergi menjauh), maka itu lebih baik dari pada kau mengikuti mereka.” Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, sudah menceritakan terhadap kami [Abdul Warits] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu At Tayyah] dari [Shakhr bin Badr Al ‘Ijli] dari [Subai’ bin Khalid] dengan hadits ini, dari [Hudzaifah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jika pada hari itu engkau tidak mendapatkan seorang khalifah (yang adil), maka menjauhlah sampai engkau mendapati ajal, meskipun engkau mati dalam keadaan menggigit akar pohon.” Dan pada penghujung hadits Hudzaifah berkata, “Aku mengajukan pertanyaan, “Apa yang mau terjadi sehabis itu?” beliau menjawab: “Andai abad itu ada seorang pria yang mengawinkan kuda, maka dia tidak akan menerima hasil sampai tiba akhir zaman.”]]] HR Abu Daud No. 3706
Berpandukan terhadap wahyu Ilahi, junjungan kita Nabi S.A.W., telah berjaya menyatukan seluruh Umat Islam dari aneka macam bangsa dan suku puak, berkat perpaduan ini Umat Islam sudah menjadi sebaik-baik umat disemua lapangan, dan menjadi teladan pola bagi seluruh umat manusia. Demikian pula para teman berpandukan al-Quran dan Sunnah Nabi S.A.W., mereka telah berjaya berbagi luas ajaran Islam keseluruh pelosok dunia.
Jika kita kembali kepada sejarah kebangkitan Islam dan Umatnya dibawah pimpinan Nabi S.A.W. dan para sahabat, dan mahu mendalami fatwa Islam yang bahu-membahu, maka tahulah kita bahwa Islam mengajak umat manusia kearah perpaduan, ini jelas dalam amal ibadah kita hanya menyembah Tuhan yang Maha Esa, yaitu Allah S.W.T.. Dalam ibadah menyembah Allah S.W.T. hanya memiliki arah yang satu adalah Ka’bah di Makkah. Kitab bimbingan yang serupa al-Quranul Karim dan Sunnah Nabi S.A.W.. Umat insan diingatkan bahwa mereka berasal dari ayah yang satu adalah Nabi Adam A.S., kita disuruh saling berkenalan satu dengan lainnya, dan kita dihentikan menghina akidah agama lain, dan banyak lagi petunuk Allah S.W.T. untuk menyatupadukan umat insan, khasnya umat Islam, supaya mereka hidup aman damai dan dalam suasana kasih sayang (hal ini sudah aku jelaskan dalam uraian berkenaan “Membina Kerukunan Ummat.”
Jika kita mahu menyelesaikan segala perbalahan yang muncul dengan berpandukan al-Alquran dan Sunnah Nabi S.A.W., InsyaAllah akan terciptakan kembali kedamaian dan keamanan dikalangan Umat manusia, khasnya umat Islam.
Jauhkanlah diri kita dari sifat suka memfitnah, mengumpat, mengadu domba, mengikutkan hawa nafsu jahat, berpuak-puak, dan aneka macam perangai yang tidak baik. Dekatkanlah diri kita terhadap Allah S.W.T. dengan melaksanakan segala perintah dan menjaukan diri kita dari segala apa yang dilarangNya.
Sebagai manusia lazimtelah pasti kita memiliki banyak kekurangan dan kesalahan, oleh itu lebih baik kita memperbaiki diri kita masing-masing, sambil mohon ampun atas segala kesalahan dan kelemahan kita. Belum lagi telat jika kita sudi melaksanakan perubahan khususnya pada diri kita masing-masing sambil memohon petujuk dan panduan dari Allah S.W.T. Tinggalkan sifat suka sungguh mencari-cari kesalahan orang lain dan melalaikan kesalahan sendiri, seperti kata peribahasa: “Semut diseberang lautan kelihatan, gajah dipelupuk mata, tak nampak.”
Tidak ada yang tepat di dunia yang fana ini, kita disuruh kepada yang baik dan menjauhkan diri dari yang mungkar. Ajaklah manusia kejalan Allah S.W.T. secara hikmah dan pengajaran yang bagus. Kalaupun nak bantah, bantahlah dengan cara yang lebih baik, hentikan segala fitnah memfitnah. Bekerjasama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan bareng , jauhkan diri dari amal perbuatan yang boleh menimbulkan haru biru, yang cuma menguntungkan orang lain dan akan merugikan diri sendiri, malah akan menjinjing akibat hingga ke anak cucu dimasa akan datang. “Menang sorak kampong tergadai.”
Sejarah telah mengajar kita akibat bersengketa sesama kita, orang lain akan menangguk diair keruh. Nabi S.A.W. telah berjaya menjinjing umat kearah persaudaraan dan perpaduan, sehingga umat Islam ketika itu menjadi umat yang terbilang. Jumlah umat Islam yang sedikit dapat mengalahkan musuh yang jauh lebih banyak, sehingga mereka menjadi sebaik-baik ummat. Kita yakin dan percaya, zaman kegemilangan umat Islam akan menjadi kenyataan kembali, asalkan kita sanggup kembali berpandukan al-Quran dan Sunnah Nabi S.A.W..
Buang yang keruh dan ambillah yang jernih, demi kebahagian dan keselamatan kita dan anak cucu kita dikemudian hari.
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq