Waralaba (Franchise) Dalam Prespektif Syariah Islam

Konsep Bisnis Waralaba (franchise) dalam
Prespektif Syariah Islam
Nurcholis Majid Ahmad,Lc
            Pemula yang gres melangkah dalam dunia bisnis, lazimnya gundah pada usaha yang akan dia pilih, banyak pilihan; mulai dari bisnis masakan hingga property, semuanya menggiurkan, namun timbul keraguan untuk melangkah yang kesannya berujung dengan  mundur terencana dari berbisnis.
            Seorang usahawan muslim pastinya mengutamakan kehalalan dalam mengais rizki, alasannya adalah yakni beliau memandang materi dunia cuma sebagai sarana dalam pengbdian diri kepada Tuhan semata, ia bukanlah tujuan final dalam pencapaian misinya. Pada pembahasan ini penulis ingin mengangkat konsep waralaba apakah itu sesuai dengan syariat?

Definisi dan Karakteristik waralaba ( franchise)
            Dalam kamus bahasa Indonesia wa·ra·la·ba ialah  kerja sama dalam bidang usaha dengan bagi hasil sesuai akad[1].
            Dalam dunia bisnis ini maka ada dua pihak yang melakukan pekerjaan sama, mereka yakni
Pewaralaba (franchisor) :  Pemilik system waralaba atau yang memberi waralaba.
Terwaralaba (franchisee) : pihak yang mendapatkan hak waralaba
            Adapun pengertian waralaba ( franchise) yang ada didunia bisnis;
  1. Menurut International Franchise Association [2] ; waralaba  pada hakekatnya mempunyai tiga elemen, ialah :
a. Merek
Dalam setiap perjanjian franchise(waralaba), sang franchisor(pewaralaba) sebagaipemilik dari system franchise nya menawarkan lisensi kepada franchisee(terwaralaba) untuk mampu memakai merek jualan atau jasa, dan logo yang dimiliki oleh franchisor
b. Sistem Bisnis
Keberhasilan dari sebuah organisasi franchise tergantung dari penerapan system atau sistem bisnis yang sama antara franchisor dan franchisee. Sistem tersebut berupa pemikiran yang mencakup standarisasi produk, sistem untuk menyiapkan atau mengolah produk atau masakan, atau sistem jasa, standar rupa dari akomodasi bisnis, persyaratan periklanan, sistem pemesanan, system akuntansi, kontrol persediaan, kebijakan dagang, dan lain-lain.
c. Biaya
Dalam setiap format bisnis franchise, sang franchisor baik secara pribadi atau tidak langsung menarik pembayaran dari franchisee atas pengunaan merek dan atas partisipasi dalam sistem franchise yang dijalankan. Biaya berisikan ongkos permulaan, biaya royalti, ongkos jasa, ongkos lisensi dan/atau ongkos pemasaran bareng . Biaya lainnya juga dapa berupa biaya atas jasa yang diberikan kepada franchisee
  1. Menurut Amir Karamoy (2006)[3], franchise yaitu suatu pola kemitraan perjuangan antara perusahaan yang mempunyai merek dagang diketahui dan tata cara administrasi, keuangan dan penjualan yang sudah mantap, disebut franchisor, dengan perusahaan atau individu yang mempergunakan atau memakai merek dan tata cara milik franchisor, disebut franchisee. Franchisor wajib memberikan pemberian teknis, manajemen dan pemasaran terhadap franchisee dan selaku timbal baliknya, franchisee membayar sejumlah biaya kepada franchisor. Hubungan kemitraaan perjuangan antara kedua pihak dikukuhkan dalam sebuah kontraklisensi atau franchise.
  2. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No 12 Tahun 2006, “franchise (waralaba) ialah perikatan antara pemberi waralaba dengan akseptor waralaba dimana akseptor waralaba diberikan hak waralaba untuk melaksanakan perjuangan dengan mempergunakan dan/ atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau inovasi atau ciri khas perjuangan yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu imbalan menurut standar yang ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan sejumlah keharusan menawarkan pemberian konsutasi operasional yang berkesinambungan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba”[4].
           
            Dari tiga definisi diatas mampu disimpulkan bahwa intinya franchise (waralaba) ialah suatu pembelian merek dagang yang biasanya telah diketahui oleh penduduk luas..Franchisee yang telah membeli merek dan ijin usaha maka akan  melakukan bisnis yang serupa persis dengan bisnis yang telah dimiliki oleh franchisor untuk jangka waktu tertentu sesuai komitmen. Keuntungan bagi Franchisor yaitu percepatan dan ekspansi usaha, dengan modal relatif rendah; efisiensi dalam meraih sasaran pasar lewat promosi bareng ; terbentuknya kekuatan ekonomi dalam jaringan distribusi; mengambil alih kebutuhan personel franchisor dengan para operator milik Franchisee (slim organization), Sedangkan laba system franchise bagi franchisee ialah: learning curve yang singkat; keuntungan menggunakan jaringan nama usaha yang diketahui ; menerima sumbangan memulai perjuangan; mungkin berupa  jaminan supply dan pertolongan usaha yang lain; Selama rentang waktu tersebut, sehingga dengan demikian, franchisee mendapatkan penghematan waktu dan tenaga dalam melakukan riset pada bisnis yang mau digeluti, yang memungkinkan baginya untuk lebih cepat dalam mengerjakan usahanya tanpa perlu sukar payah membangun usaha dari nol.
            Franchisee(Terwaralaba) dalam Bisnis ini sifatnya independen terhadap franchisor, maksudnya adalah franchisee berhak atas keuntungan dari usaha yang  dijalankannya, dan bertanggung jawab atas beban-beban usaha waralabanya  sendiri ( misalnya honor pegawai dan ongkos operasional). Di luar itu, franchisee terikat  pada hukum dan perjanjian yang  telah disepakati bersama.
 Referensi Hukum
            Merupakan suatu rancangan kerjasama yang menguntungkan antara dua pihak dalam berbagi usaha masing masing, baik franchisor maupun franchisee, Hal ini sesuai dengan Firman Tuhan Taala dalam konsep Ta’awun dan syirkah
            Firman Tuhan SWT :” “Dan tolong-menolonglah kau dalam (menjalankan) kebajikan dan takwa, dan jangan bekerjsama dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kau terhadap Allah, bahwasanya Tuhan amat berat siksa-Nya”.[5]
            Dalam Surat Shaad Tuhan Taala berfirman :” Dan bahu-membahu pada umumnya dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan melaksanakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini”[6]
            Rasulullah juga membuktikan sisi faktual dari bersyarikat ini yakni dalam hadist Qudsi:
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menuturkan : Bersabda Rasulullah SAW: bahu-membahu Tuhan SWT berkata: ” Aku yaitu yang ketiga (penolong) dari dua orang yang bersyarikat, selama salah satunya  tidak menghianati kawannya, apabila dia  berhianat maka saya keluar dari persyerikatan dua orang itu”.[7]
Kemudian membantu sesama ialah hal yang terpuji, dengnnya akan tiba santunan Allah, menyerupai sabda Rasulullah SAW: yang diriwayatkan dari abi hurairoh : ” Tuhan senantiasa menolong hambanya selama hamba tersebut membantu saudaranya[8].
            Dalam Fiqh Islam ada dua hal yang menjadi evaluasi pada  konsep  Waralaba / Franchise adalah;
  1. Pembelian Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) berupa merek dagang, penemuan dan ciri khas produk atau menejemen perjuangan selaku hak paten yang dimiliki Franchisor, sedangkan HAKI ialah benda maknawi yang memiliki nilai jual. Ulama menjelaskan beberapa hal yang berkenaan perihal hak maknawi ini, menyerupai pada karya ilmiyah, inovasi hasil riset, dsb meupakan hal yang boleh dijual dengan catatan bahwa  franchisee yang telah menerima lisensi mesti mendapatkan pengarahan  standarisasi kualitas produk, supaya pelanggan tidak dirugikan alasannya yakni mutu produk yang berlainan[9].
  2. Konsep kerjasama pada Waralaba ada kaitannya dengan Syirkatu Uquud, yaitu koordinasi antara dua orang atau lebih dalam usaha untuk mendapatkan hasil yang mampu dinikmati bareng . Syirkatul uqud (kerjasama dalam janji perdagangan )memiliki lima jenis adalah[10]:
*        Satu : Terdiri dari Dua atau beberapa pihak yang  berserikat dalam modal dan tenaga. Ini disebut Syrikatul ‘Inan.
*        Dua : Berserikat dalam sebuah transaksi dimana salah satu pihak dengan harta/modal dan pihak lain dengan tenaga. Inilah yang disebut Mudharabah.
*        Tiga : Berserikat dalam sebuah transaksi dimana semua pihak tidak memilik modal tetapi mereka sanggup menyelenggarakan barang dengan modal dogma, kedudukan dan semisalnya, Ini disebut Syrikatul Wujuh.
*        Empat : bersyerikat dalam perjuangan dengan badan/tenaga mereka dalam suatu bisnis dan mereka mengembangkan dari keuntungan yang di mampu. Ini disebut Syrikatul  Abdan.
*        Lima : Syirkah yang tergabung dalamnya empat jenis syerikat di atas. Ini disebut Syrikatul Mufawadhah.
            Maka dalam konsep franchese memiliki salah satu rancangan dari syirkah, yang mana Franchisee mengeluarkan modal untuk operasional usahanya, sedangkan Franchisor memberikan Hak patennya berbentukhasil dari penelitian dan suplay barang atau produk yang yang diwaralabakan, maka keadaan ini mampu dikategorikan  syirkatul Inan[11], dikarenakan keduanya mengeluarkan modal dan tenaga, akan namun bila jenis waralaba cuma berupa bantuan merek jualan / lisensi, training Standar kualitas produk dan menejemen oprasional, adapun ongkosnya murni ditanggung Franchisee maka ini sanggup disebut Mudhorobah, alasannya yakni Franchisor akan mendapatkan royalty dari tenaganya atau biasa disebut  HAKI (Hak Kekayaan Intelektua).
Syarat syarat Waralaba yang dilegalkan Islam
            Dasar hukum muamalat yakni mubah (diperpolehkan) kecuali yang tidak boleh, maka setiap perdagangan yang tidak ada bagian riba, judi, ghoror (penipuan),atau  barang  yang haram, maka hukumnya mubah. Dalam bisnis waralaba (franchise) ada beberapa faktor yang perlu diulas semoga lebih jelas peletakan hukumnya sesuai qaidah syariat.
Pertama: Jenis produk atau jasa pada waralaba.harus halal, yaitu tidak mengandung hal hal yang diharamkan oleh syariah misalnya produk kuliner dari hasil olahan babi, darah, bangkai,, khomr, binatang bertaring, barang najis dan sebagainya, atau barang yang membahayakan untuk digunakan. Begitupula pada penyediaan layanan jasa haram, contohnya; panti pijat atau kolam renang yang bercampur padanya laki laki dan wanita,  penyewaan kawasan dan alat untuk maksiat, dsb. Karena ini semua bertentangan dengan firman Tuhan Taala:
            “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (menjalankan) kebajikan dan takwa, dan jangan sesungguhnya dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sebetulnya Tuhan amat berat siksa-Nya”.[12]
Kedua Waralaba ( franchise) yang hendak dibeli ini  merupkan bisnis yang sudah terbukti kesuksesannya, sehingga franchisee sehabis  membeli waralaba ini mampu  mengambil manfaat untuk bisnisnya, sebab sudah memiliki merek yang terkenal. Dengan demikian maka, duit yang dibayarkan terhadap franchisor ialah pembelian manfaat atau hak intelektual. Dikarenakan Islam  melarang memasarkan sesuatu yang tidak mempunyai manfaat atau majhulul hal (tidak jelas kondisinya)[13], oleh alhasil produk yang belum berhasil tentu tidak bermanfaat untuk calon  franchisee, sehingga ia tidak perlu memulai bisnisnya dari nol lagi. Ketika Fanchisor menjual waralaba pada produk yang belum berhasil ini maka sama halnya mengkonsumsi harta dengan cara yang bathil. Tuhan Swt melarang perbuatan ini dalam FirmanNya :
            ” Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil[14]
Ketiga :  Perjanjian kerjasama mesti  terang dan transparan semoga nantinya tidak terjadi pertikaian dikemudian hari, hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW :
            ” Kaum muslimin hendaknya menepati Syarat syarat (perjanjian) mereka “.[15]
dalam kesepakatan yang jelas, transparan, dan sarat keterbukaan akan menghilangkan unsur penipuan dan lari dari kewajiban masing masing, maka dari itu Rasulullah SAW melarang jual beli yang ada padanya ghoror, diriwayatkan oleh Abu Hurairoh RA.:
            ” Rasulullah SAW melarang perdagangan system Hashoot (sejenis lotre) dan juga melarang jual beli Ghoror (tidak terperinci/ada bagian penipuan)[16].
Keempat : Akad yang diraih  tidak boleh melanggar syariat dikarenakan semua kesepakatanyang berlawanan dengan Islam adalah bathil.
            Dari Aisyah RA berkata : bersabda Rasulullah SAW :” setiap syarat yang tidak ada dalam kitabullah adalah bathil meskipun seratus syarat “.[17]
Syarat tersebut berbentukkecurangan, atau mengandung perjudian atau bernuansa ribawi.
            Demikian ulasan sederhana ini biar bermanfaat untuk anda yang ingin berwaralaba. Wallahu A’lam Bis Shawaab.
Referensi:
  1. Al Qur’anul Karim
  2. Shohih Muslim Syarh Imam Nawawi,
  3. Sunan Abu Dawud
  4. Sunan At Tirmidzi
  5. Sunan Ibnu Majah
  6. Musnad Imam Ahmad
  7. Al Iqtishaad Al Islamy wal Qadhaaya Al Fiqh Al Muashiroh, Prof.DR. Ali Ahmad As Salusy
  8. Al Mulakhos Al fiqhy, Dr.Sholeh bin Fauzan Alu Fauzan, jilid 2
  9. Kamus Besar Bahasa Indonesia , Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, edisi ke III, Balai Pustaka Jakarta, tahun 2002
  10. www.franchise.org
  11. www.waralaba.com


[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia , edisi ke III, Balai Pustaka Jakarta, tahun 2002
[2] Dikutip dari www.franchise.org  
[3] Dikutip dari www.waralaba.com
[4] Ibid
[5] QS. Al Maidah : 2
[6] QS. Shaad : 24
[7] HR. Abu Dawud No.3383
[8] HR. Muslim No.6793
[9] lihat keputusan Majlis Majma’ Al Fiqh Al Islamy pada muktamar yang kelima dikuwait tahun.1409H/1988M dinukil dari kitab Al Iqtishaad Al Islamy wal Qadhaaya Al Fiqh Al Muashiroh, Prof.DR. Ali Ahmad As Salusy. Hlm.748-749
[10] Al Mulakhos Al fiqhy, Dr.Sholeh bin Fauzan Alu Fauzan, jilid 2, hlm124
[11]  lihat pemahaman Syirkatul Inan dlm kitab Al Mulakhos Al fiqhy jilid 2, hlm.126
[12] QS. Al Maidah : 2
[13]  lihat perkataan imam Nawawi dalam mengomentari Hadis perihal larangan Jualbeli ghoror, Syarah shahih Muslim, Imam Nawawi 10/156
[14]  QS. Al Baqarah: 188
[15]  HR. Abu Dawud, No.3120 At Tirmidzi, No. 1272
[16] HR. Muslim, No.1513 At Tirnidzi, No.1248
[17] HR. Ibnu Majah, No. 2512, Ahmad, No.24329 dan 24603


Sumber http://debu-riyadl.blogspot.com