MAKASSAR. Jika pernah mendatangi acara akhlak atau perkawinan kerabat yang bersuku Bugis-Makassar, pasti kita akan menyaksikan suatu baruga (gerbang) yang diketahui dengan nama Wala Suji di depan pintu rumah mempelai atau yang mempunyai hajatan.
Wala Suji bentuknya mirip gapura tetapi ibarat bab depan rumah panggung suku Bugis-Makassar. Atapnya berupa segitiga dan disangga rangkaian anyaman bambu. Sebagai penghias, tak lupa diberi janur kuning.
Bentuk Wala Suji ini nyaris tidak berlawanan bagi Suku Bugis-Makassar. Wala Suji atau baruga bermotif sisi empat belah ketupat ini sudah tidak asing lagi dalam khasanah peradaban penduduk Bugis-Makassar. Hal ini tampakpada setiap pembuatan baruga, serta pallawa atau pagar pada program perkawinan atau pesta akhlak.
Sebenarnya konsep sisi empat pada Wala Suji ini, berpangkal pada kebudayaan orang Bugis-Makassar yang memandang alam raya selaku sulapa’ eppaki wala suji (sisi empat belah ketupat). Menurut almarhum Prof. DR. Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas Hasanuddin, Makassar, rancangan tersebut ditempatkan secara horizontal dengan dunia tengah. Dengan persepsi ini, penduduk Bugis-Makassar menatap dunia sebagai suatu kesempurnaan.
Kesempurnaan yang dimaksud mencakup empat persegi penjuru mata angin, adalah timur, barat, utara, dan selatan. Secara makro, alam semesta ialah satu kesatuan yang tertuang dalam suatu simbol karakter Bugis-Makassar, yaitu ‘sa’ yang bermakna seua, artinya tunggal atau esa.
Begitu pula secara mikro, manusia ialah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam sulapa’ eppaki. Berawal dari lisan insan segala sesuatu dinyatakan, suara ke kata, kata ke perbuatan, dan tindakan mewujudkan jati diri insan.
Dengan demikian, Wala Suji dalam dunia ini, dipakai sebagai teladan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu ialah kabara-niang (keberanian), akkarungeng (kebangsawanan), asugireng (kekayaan), dan akkessi-ngeng (ketampanan/keayuan).
Pergeseran fungsi Wala Suji yang terbuat dari anyaman bambu, dewasa ini terutama di Sulawesi Selatan, bukan sebuah hal yang langka lagi. Ini karena Wala Suji bisa dilihat meski tidak ada program pengantinan atau pesta etika.
Fungsi dan kegunaan Wala Suji ini, awalnya sebagai pallawa atau pagar dan baruga atau pintu gerbang. Namun karena adanya faktor modernisasi yang menyebabkan pergolakan pada nilai kebudayaan tempat, alhasil Wala Suji yang diketahui selama ini telah mengalami penyimpangan fungsi.
Hal itu tampakpada penempatan hasil karya ini tidak cocok fungsi dan manfaatnya lagi. Idealnya, Wala Suji hanya digunakan pada program pernikahan atau pesta adat bagi warga Sulawesi Selatan yang masih memegang teguh etika lokal.
Namun sekarang, Wala Suji sudah menjadi gerbang permanen bagi rumah-rumah keturunan darah biru setempat. Bahkan pada beberapa keluarga yang pernah melakukan pesta perkawinan, membiarkan Wala Suji itu tetap bangun kokoh dalam waktu usang. Padahal sebaiknya, optimal digunakan sampai 40 hari pasca-perkawinan atau pesta budpekerti. Keengganan merobohkan Wala Suji pasca-upacara perkawinan itu, selain merasa sayang merusak bangunan mini itu karena harganya mampu mencapai Rp 500.000.
Selain itu, Wala Suji dapat difungsikan sebagai tempat bernaung dari panasnya matahari atau derasnya hujan pada musim penghujan. Sebagian orang yang memiliki Wala Suji ini, justru membuat bangku panjang dari bambu atau kayu di segi kiri dan kanan bagian bawah Wala Suji, sebagai tempat berpangku tangan.
Bahkan sejumlah restoran atau hotel-hotel berbintang di Makassar, juga memasang Wala Suji di lokasi prasmanan atau kawasan menu menu dengan alasan menyertakan estetika dekorasi ruangan, sekaligus memperkenalkan salah satu karya seni budaya penduduk Sulawesi Selatan.