“Lir-ilir..lir ilir tandure wis sumilir. Tak ijo royo-royo…”
Nyanyian itu terus dinyanyikan seorang anak kecil di atas pohon besar. Sementara tak jauh di bawah sana, ada beberapa anak sekolah yg sedang upacara bendera & menyanyikan lagu. Sayangnya bukan lagi kebangsaan sendiri, tetapi lagu dr pemerintah Hindia-Belanda. Anak kecil itu bernama Wage & sesaat setelah upacara selesai, ia dihajar bapaknya alasannya adalah dianggap ‘ndablek’ karena menyanyi lagu tempat di ketika yg tak tepat.
Wage tumbuh kembang. Ia ikut kakak perempuannya & suami kakaknya semenjak kedua orangtuanya mangkat. Lewat kakak iparnya yg bule, Wage belajar main biola. Karena berlatih dgn rajin, ia menjadi violinis handal. Ia diundang banyak sekali program termasuk acara oleh pemerintah kolonial Belanda. Hidupnya sejahtera, berlimpah rupiah.
Tiba suatu kala, timbul kesadaran diri dlm Wage (Rendra Bagus Pamungkas) lantaran disebabkan oleh suatu hal. Tentang dirinya & bangsanya, “Aku harus ikut berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini dgn lagu & biolaku. Untuk itu, gue pun harus terlibat pribadi dlm pergerakan kemerdekaan bangsa ini,” kata laki-laki kelahiran Somongari, Purworejo, 19 Maret 1903 itu.
Karena semangat perlawanan kepada penindasan penjajah kian membuncah, Wage memutuskan untuk meninggalkan Makassar & kembali ke Jawa. Juga meninggalkan segala kemewahan yg menjadi raihannya.
Ghirah itu mengantar Wage menceburkan diri dengan-cara eksklusif dlm pergerakan kemerdekaan di Jawa. Ia menggantungkan biolanya sejenak & memutuskan menjadi jurnalis yg menyuarakan penderitaan rakyat kecil & ikut dlm ruang-ruang rapat organisasi pemuda. Karena sebuah bisikan, ia mengambil kembali biola yg ‘digantung’. Dari situ, kisah anyar bermula.
(Bukan) Sebuah Biopik
Film garapan John De Rantau ini memang unik. Meski bukan film bergenre Islami tapi nuansa religinya lebih kental. Terlihat dr beberapa adegan seperti makna kedatangan kita mesti berfaedah buat sesama. Seperti tatkala ibunda Wage, Rukiyem, berpesan sebelum meninggal.
“Kita tak akan menjinjing apa-apa tatkala meninggal. Yang kita bawa cuma ‘ngamal’,” lirih ibunya selepas nembang.
Saat mau mengarang sebuah lagu untuk bangsa yg dicintai, Wage tilawah terlebih dahulu. Dan wangsit datang tatkala membaca Quran Surat Al-Fath ayat 1.
Keunikan kedua dr film garapan Opshid Media ini ialah kontemporer. Bukan dr habitnya, melainkan dr pesan yg disampaikan sarat dgn keadaan kekinian. Yakni gosip pribumi. Konflik antara Wage dgn Fritz (Teuku Rifnu Wikana). Di negeri Belanda, Fritz tak diakui, hingga kembali ke Indonesia, & di Hindia Belanda, inlander (bhs Belanda: pribumi) pun tak mendapatkannya. Sebab itulah, ‘londo ireng’ itu penuh dendam kesumat serta membenci Wage hingga ke sumsum tulang. Kebencian itu yg membuat Wage sempat ditolak ‘ngamen’ di tempat londo, terlihat dr papan pengumuman “Verboden voor honden en Inlander”. Dilarang masuk untuk pribumi.
“Bagiku kaulah manusia yg selemah-lemahnya, menghamba pada penguasa,” tegas Wage pada Fritz. Wage mengatakan gembira selaku pribumi. ia bukan pribumi yg wagu.
Film biopik—yang lebih senang disebut penggarapnya selaku drama noir — ini membuat penonton menemui banyak kejutan. Termasuk lirik-lirik lagu kebangsaan yg ternyata hilang (atau dihilangkan) selama ini. Jalan dongeng cukup rapi meski kadang agak ‘horor’ lantaran beberapa kali muncul sosok ibu.
Dari beberapa scene, ada beberapa yg janggal. Saat bekerja selaku wartawan, Wage menciptakan roman berjudul Perawan Desa yg selesai di tahun 1929. Dalam film, roman tersebut laris meski pada balasannya dibredel oleh penguasa. Akan tetapi, dlm sejarah yg beredar, justru sebaliknya. Roman itu sebelum sempat tersebar ke khalayak, disita oleh pemerintah Hindia Belanda. Wage cuma menyatakan jikalau beberapa buku sempat terkirim ke beberapa saudaranya di Surabaya, Bandung & Cimahi. Walau fakta ini masih belum mampu dibuktikan, salah satu sumber yg tertulis di buku biografi Supratman karangan Bambang Sularto menyatakan bila Supratman sempat menciptakan dua karya teks lainnya bertajuk Darah Muda & Kaum Fanatik.
Lepas dr itu semua, film yg sunyi ini memang sungguh anggun untuk ditonton bareng keluarga atau rekan. Ini pun terhindar dr stretotipe “Reza Rahadian lagi, Reza Rahadian lagi”. [Paramuda/Wargamasyarakat]