close

Urgensi Pendidikan Abjad (2)

Urgensi Pendidikan Karakter

Pemasalahan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembang­kan kemampuan dan membentuk abjad serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bermaksud untuk berkembangnya potensi penerima asuh semoga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdik, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, terperinci bahwa pendidikan di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan huruf peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, adab dan berinteraksi dengan penduduk . 
Pendidikan abjad merupakan perpaduan yang seimbang  diantara empat hal yaitu, olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Olah hati berarti berkata, bersikap, dan bertingkah jujur. Olah pikir, pandai yang selalu merasa memerlukan wawasan. Olah rasa artinya memiliki keinginan luhur, dan olah raga maknanya mempertahankan kesehatan seraya  menggapai impian tersebut. Dengan memadukan secara sepadan keempat anasir kepribadian itu, akseptor didik akan mampu menghayati dan membatinkan nilai-nilai luhur pendidikan karakter.
Banyak yang beranggapan kesuksesan seseorang banyak ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja. Sesungguhnya tidaklah benar kalau diputuskan oleh wawasan dan kesanggupan teknis semata, tetapi lebih dominan ditentukan oleh kemampuan mengurus diri dan orang lain (soft skill). Kesuksesan hanya diputuskan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa sukses dikarenakan lebih banyak disokong kesanggupan soft skill ketimbang hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa pendidikan abjad sangat penting untuk dikembangkan.
Berbicara persoalan pendidikan huruf, tentu tidak terlepas dari pemahaman karakter itu sendiri. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Sang Penciptaa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam fikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan menurut norma-norma agama, aturan, tata krama, budaya, dan akhlak istiadat. Dengan demikian, pendidikan aksara mampu pula dimaknai sebagai sebuah sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi unsur wawasan, kesadaran dan langkah-langkah untuk melakukan nilai-nilai tersebut, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia manusia kamil.
Dalam konteks keindonesiaan, penerapan pendidikan abjad  merupakan kebuyang kuasa yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Para putra putri bangsa sudah banyak pemborong medali dalam setiap kompetisi olimpiade sains internasional. Mereka mereka membutuhkan penghargaan sebagai bab implementasi pendidikan huruf. Namun di segi lain, perkara siswa-siswi cacat adab mirip siswi married by accident, aksi pornografi, masalah narkoba, plagiatisme dalam ujian, dan sejenisnya, senantiasa  marak menghiasi sejumlah media. Bukan cuma terbatas pada penerima latih, forum-forum pendidikan maupun instansi pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang penyandang gelar akademis, pun tak luput terjangkiti virus dekadensi tabiat.
Realitas mencengangkan tersebut dapat dianalogikan selaku sebuah tamparan keras bagi bangsa. Para stakeholders dan pendidik yang tadinya diperlukan menjadi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani, malah lebih menyuburkan slogan sarkastik: guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
“Ketidaksehatan” lingkungan pendidikan inilah yang karenanya mendorong munculnya tren homeschooling dan pendidikan virtual. Model pendidikan baru ini kian menciptakan tata cara pendidikan formal tersisih. Tak sedikit keluarga akseptor ajar yang lantas mengalihkan anaknya untuk mengikuti acara homeschooling sebab cemas akan dampak lingkungan sekolah yang tak lagi ‘steril’. Penyebab lain, tak jarang peserta latih mengalami tekanan psikologis di sekolah non-virtual disebabkan interaksi dengan guru yang terlalu kaku dan otoriter, plus tekanan pergaulan antarsiswa. Naasnya, pendidikan virtual bukannya menawarkan solusi, malah membuat penerima ajar makin tercabut dari persinggungan realitas sosialnya.
Berbagai fenomena di atas menuntut semoga sistem pendidikan dikaji ulang. Dalam hal ini, kurikulum sebagai tolok ukur aliran pembelajaran belum sepenuhnya mengejawantahkan tujuan utama pendidikan itu sendiri, ialah membentuk generasi pintar komprehensif. Oleh alasannya adalah itu, diperlukan reformasi pendidikan, demi memulihkan kesenjangan antara kualitas intelektual dengan nilai-nilai moral adab, budaya dan abjad.
Proses pendidikan di samping selaku transfer wawasansebaiknya menjadi alat transformasi nilai-nilai budpekerti dan character building.. Semakin terdidik seseorang, secara logis, seharusnya semakin tahu mana jalan yang benar dan mana jalan yang menyimpang, sehingga ilmu dan mutu akademis yang ditemukan tidak disalahgunakan.
Pendidikan huruf berupaya menjawab aneka macam problema pendidikan dewasa ini. Pendidikan  tersebut adalah sebuah rancangan pendidikan integratif yang tidak cuma bertumpu pada pengembangan persaingan kognitif peserta bimbing semata, namun juga pada penanaman nilai etika, akhlak, dan spritual.

Untuk merealisasikan pendidikan karakter, tidaklah perlu dibuat mata pelajaran gres, namun  cukup diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Salah satu cara yang efektif dengan mengubah atau menyusun silabus dan RPP dengan menyelipkan norma atau nilai-nilai dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai abjad tidak cuma pada tataran kognitif, tetapi menjamah pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan penerima asuh sehari-hari di masyarakat. Salah satunya dengan mengambangkan pembelajaran kontekstual.