close

Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Di Indonesia

Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 – Ketenagakerjaan di Indonesia menjadi berita penting yang ada di Indonesia. Pemerintah tentu menargetkan agar angka pengangguran di Indonesia menjadi turun. Hal-hal terkait ketenagakerjaan di Indonesia dijelaskan dalam UU No 13 Tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan.

Secara umum, undang-undang tenaga kerja yang paling utama ada pada UU No. 13 Tahun 2003. Undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 membahas hal-hal terkait masalah tenaga kerja di Indonesia, yang dijabarkan pada beberapa bagian dan pasal-pasal.

Beberapa hal yang dijelaskan dalam undang-undang ketenagakerjaan terbaru tersebut contohnya ialah pemahaman tenaga kerja, peluang dan potensi kerja yang ada, training kerja, penempatan tenaga kerja, penggunaan tenaga kerja aneh (TKA), korelasi kerja serta pemutusan hubunan kerja (PHK).

Nah untuk itu di bawah ini akan diterangkan mengenai undang-undang ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 secara lengkap dan detail seperti dikutip dari situs Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin RI).

(baca juga UU No. 12 Tahun 2011)

undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003

Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang undang ini yang dimaksud dengan :

  1. Ketenagakerjaan yaitu segala hal yang bekerjasama dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan setelah periode kerja.
  2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang bisa melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk menyanggupi kebutuhan sendiri maupun untuk penduduk .
  3. Pekerja/buruh ialah setiap orang yang melakukan pekerjaan dengan mendapatkan upah atau imbalan dalam bentuk lain.
  4. Pemberi kerja yakni orang perseorangan, usahawan, badan aturan, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
  5. Pengusaha yakni :
  6. orang perseorangan, persekutuan, atau tubuh aturan yang mengerjakan suatu perusahaan milik sendiri;
  7. orang perseorangan, komplotan, atau tubuh aturan yang secara berdiri sendiri mengerjakan perusahaan bukan miliknya;
  8. orang perseorangan, komplotan, atau badan aturan yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam aksara a dan b yang berkedudukan di luar kawasan Indonesia.
  9. Perusahaan ialah :
  10. setiap bentuk perjuangan yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik tubuh hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memberdayakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
  11. usaha-perjuangan sosial dan usaha-perjuangan lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
  12. Perencanaan tenaga kerja yakni proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan pola dalam penyusunan kebijakan, taktik, dan pelaksanaan acara pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
  13. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang sudah diolah, naskah dan dokumen yang memiliki arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
  14. Pelatihan kerja yaitu keseluruhan acara untuk memberi, menemukan, memajukan, serta menyebarkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keterampilan tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
  15. Kompetensi kerja yakni kesanggupan kerja setiap individu yang mencakup aspek wawasan, keahlian, dan sikap kerja yang sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan.
  16. Pemagangan yaitu bab dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara training di lembaga pelatihan dengan melakukan pekerjaan secara pribadi di bawah tutorial dan pengawasan pelatih atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses buatan barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keterampilan tertentu.
  17. Pelayanan penempatan tenaga kerja yaitu kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang cocok dengan talenta, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat mendapatkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
  18. Tenaga kerja abnormal adalah warga negara gila pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
  19. Perjanjian kerja yaitu perjanjian antara pekerja/buruh dengan pebisnis atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
  20. Hubungan kerja yakni korelasi antara pebisnis dengan pekerja/buruh berdasarkan kesepakatankerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
  21. Hubungan industrial ialah suatu metode relasi yang terbentuk antara para pelaku dalam proses bikinan barang dan/atau jasa yang berisikan komponen pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  22. Serikat pekerja/serikat buruh yaitu organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, berdikari, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
  23. Lembaga kerja sama bipartit ialah lembaga komunikasi dan konsultasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau bagian pekerja/buruh.
  24. Lembaga kolaborasi tripartit ialah lembaga komunikasi, konsultasi dan musyawarah ihwal masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari bagian organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
  25. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibentuk secara tertulis oleh usahawan yang memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
  26. Perjanjian kerja bareng yakni kontrakyang ialah hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pebisnis, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang menampung syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
  27. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan usulan yang menyebabkan kontradiksi antara usahawan atau gabungan usahawan dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh alasannya adalah adanya pertengkaran perihal hak, perselisihan kepentingan, dan pertengkaran pemutusan relasi kerja serta pertikaian antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
  28. Mogok kerja yaitu langkah-langkah pekerja/buruh yang dijadwalkan dan dijalankan secara tolong-menolong dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
  29. Penutupan perusahaan (lock out) yaitu tindakan pebisnis untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
  30. Pemutusan kekerabatan kerja ialah pengakhiran hubungan kerja sebab sebuah hal tertentu yang menyebabkan berakhirnya hak dan keharusan antara pekerja/buruh dan usahawan.
  31. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
  32. Siang hari yaitu waktu antara pukul 06.00 hingga dengan pukul 18.00.
  33. 1 (satu) hari yaitu waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
  34. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
  35. Upah ialah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja terhadap pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, akad, atau peraturan perundang permintaan, termasuk perlindungan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang sudah atau akan dilaksanakan.
  36. Kesejahteraan pekerja/buruh yakni suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar korelasi kerja, yang secara langsung atau tidak eksklusif dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
  37. Pengawasan ketenagakerjaan yaitu aktivitas memantau dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang permintaan di bidang ketenagakerjaan.
  38. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

BAB II

LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2

Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3

Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui kerjasama fungsional lintas sektoral pusat dan tempat.

Pasal 4

Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :

  1. mempekerjakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara maksimal dan manusiawi;
  2. merealisasikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang tepat dengan keperluan pembangunan nasional dan daerah;
  3. memperlihatkan pinjaman kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kemakmuran; dan
  4. mengembangkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

BAB III

KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA

Pasal 5

Setiap tenaga kerja memiliki potensi yang sama tanpa diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan.

Pasal 6

Setiap pekerja/buruh berhak mendapatkan perlakuan yang serupa tanpa diskriminasi dari pebisnis.

BAB IV

PERENCANAAN TENAGA KERJA

DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN

Pasal 7

(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun penyusunan rencana tenaga kerja.

(2) Perencanaan tenaga kerja mencakup :

  1. penyusunan rencana tenaga kerja makro; dan
  2. penyusunan rencana tenaga kerja mikro.

(3) Dalam penyusunan kebijakan, taktik, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah mesti berpedoman pada penyusunan rencana tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 8

(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi :

  1. penduduk dan tenaga kerja;
  2. potensi kerja;
  3. training kerja termasuk kompetensi kerja;
  4. produktivitas tenaga kerja;
  5. kekerabatan industrial;
  6. keadaan lingkungan kerja;
  7. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
  8. jaminan sosial tenaga kerja.

(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.

(3) Ketentuan tentang tata cara mendapatkan isu ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

PELATIHAN KERJA

Pasal 9

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan membuatkan kompetensi kerja guna memajukan kemampuan, produktivitas, dan kemakmuran.

Pasal 10

(1) Pelatihan kerja dikerjakan dengan mengamati kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar kekerabatan kerja.

(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pembinaan yang mengacu pada persyaratan kompetensi kerja.

(3) Pelatihan kerja dapat dikerjakan secara berjenjang.

(4) Ketentuan mengenai metode penetapan persyaratan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikontrol dengan Keputusan Menteri.

Pasal 11

Setiap tenaga kerja berhak untuk menemukan dan/atau meningkatkan dan/atau berbagi kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya lewat pembinaan kerja.

Pasal 12

(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui training kerja.

(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi usahawan yang menyanggupi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri.

(3) Setiap pekerja/buruh mempunyai potensi yang serupa untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.

Pasal 13

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau forum pembinaan kerja swasta.

(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di kawasan pelatihan atau tempat kerja.

(3) Lembaga pembinaan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan training kerja dapat bekerja sama dengan swasta.

Pasal 14

(1) Lembaga pembinaan kerja swasta mampu berupa tubuh hukum Indonesia atau individual.

(2) Lembaga training kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mendapatkan izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

(3) Lembaga training kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

(4) Ketentuan perihal metode perizinan dan registrasi lembaga pembinaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 15

Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :

  1. tersedianya tenaga kepelatihan;
  2. adanya kurikulum yang tepat dengan tingkat pembinaan;
  3. tersedianya sarana dan prasarana training kerja; dan
  4. tersedianya dana bagi kelancaran kegiatan penyelenggaraan training kerja.

Pasal 16

(1) Lembaga pembinaan kerja swasta yang sudah memperoleh izin dan lembaga pembinaan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat mendapatkan akreditasi dari forum pengesahan.

(2) Lembaga legalisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri atas komponen masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

(3) Organisasi dan tata kerja forum pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 17

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, jika dalam pelaksanaannya ternyata :

  1. tidak cocok dengan arah training kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau
  2. tidak menyanggupi tolok ukur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan training kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai argumentasi dan anjuran perbaikan dan berlaku paling usang 6 (enam) bulan.

(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pembinaan kerja hanya dikenakan terhadap program training yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.

(4) Bagi penyelenggara pembinaan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi usulan perbaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program training.

(5) Penyelenggara pembinaan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan acara training kerja yang sudah tidak boleh sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan abolisi registrasi penyelenggara pembinaan.

(6) Ketentuan perihal sistem penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan penghapusan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 18

(1) Tenaga kerja berhak menemukan legalisasi kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, forum training kerja swasta, atau pembinaan di kawasan kerja.

(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikerjakan melalui sertifikasi kompetensi kerja.

(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mampu pula dibarengi oleh tenaga kerja yang telah terlatih.

(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibuat badan nasional sertifikasi profesi yang independen.

(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikelola dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat keganjilan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.

Pasal 20

(1) Untuk mendukung peningkatan pembinaan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pembinaan kerja nasional yang merupakan contoh pelaksanaan training kerja di semua bidang dan/atau sektor.

(2) Ketentuan mengenai bentuk, prosedur, dan kelembagaan tata cara pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21

Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan metode pemagangan.

Pasal 22

(1) Pemagangan dijalankan atas dasar kontrakpemagangan antara akseptor dengan usahawan yang dibentuk secara tertulis.

(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pebisnis serta rentang waktu pemagangan.

(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak lewat kontrakpemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status akseptor bermetamorfosis pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 23

Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas akreditasi kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.

Pasal 24

Pemagangan dapat dikerjakan di perusahaan sendiri atau di kawasan penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar kawasan Indonesia.

Pasal 25

(1) Pemagangan yang dilaksanakan di luar kawasan Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Untuk menemukan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara pemagangan mesti berupa badan aturan Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-seruan yang berlaku.

(3) Ketentuan tentang tata cara perizinan pemagangan di luar kawasan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dikontrol dengan Keputusan Menteri.

Pasal 26

(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar daerah Indonesia mesti mengamati :

  1. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
  2. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
  3. pemberian dan kesejahteraan akseptor pemagangan, tergolong melaksanakan ibadahnya.

(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indonesia jika di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 27

(1) Menteri mampu mewajibkan terhadap perusahaan yang memenuhi kriteria untuk melakukan program pemagangan.

(2) Dalam menetapkan tolok ukur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mesti mengamati kepentingan perusahaan, penduduk , dan negara.

Pasal 28

(1) Untuk menunjukkan rekomendasi dan pendapatdalam penetapan kebijakan serta melakukan kerjasama pelatihan kerja dan pemagangan dibuat forum kerjasama training kerja nasional.

(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja forum kerjasama pembinaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikelola dengan Keputusan Presiden.

Pasal 29

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemda melaksanakan training pelatihan kerja dan pemagangan.

(2) Pembinaan pembinaan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, mutu, dan efisiensi penyelenggaraan training kerja dan produktivitas.

(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dikerjakan melalui pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi aktivitas ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.

Pasal 30

(1) Untuk mengembangkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional.

(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring kelembagaan pelayanan kenaikan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun kawasan.

(3) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja forum produktivitas nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikontrol dengan Keputusan Presiden.

BAB VI

PENEMPATAN TENAGA KERJA

Pasal 31

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan potensi yang sama untuk memilih, menerima, atau pindah pekerjaan dan menemukan penghasilan yang patut di dalam atau di luar negeri.

Pasal 32

(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.

(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang sempurna sesuai dengan keterampilan, kemampuan, talenta, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan pertolongan aturan.

(3) Penempatan tenaga kerja dilakukan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.

Pasal 33

Penempatan tenaga kerja terdiri dari :

  1. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
  2. penempatan tenaga kerja di mancanegara.

Pasal 34

Ketentuan tentang penempatan tenaga kerja di mancanegara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 karakter b dikelola dengan undang-undang.

Pasal 35

(1) Pemberi kerja yang membutuhkan tenaga kerja mampu merekrut sendiri tenaga kerja yang diperlukan atau lewat pelaksana penempatan tenaga kerja.

(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperlihatkan tunjangan semenjak rekrutmen hingga penempatan tenaga kerja

(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam memberdayakan tenaga kerja wajib menawarkan tunjangan yang mencakup kemakmuran, keamanan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.

Pasal 36

(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dikerjakan dengan memperlihatkan pelayanan penempatan tenaga kerja.

(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu dalam satu tata cara penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-komponen :

  1. pencari kerja;
  2. lowongan pekerjaan;
  3. info pasar kerja;
  4. mekanisme antar kerja; dan
  5. kelembagaan penempatan tenaga kerja.

(3) Unsur-komponen sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dijalankan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga kerja.

Pasal 37

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari :

  1. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan
  2. lembaga swasta berbadan hukum.

(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) abjad b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib mempunyai izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 38

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, tidak boleh memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak eksklusif, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.

(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya mampu memungut ongkos penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja kelompok dan jabatan tertentu.

(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

BAB VII

PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

Pasal 39

(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan ekspansi kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar relasi kerja.

(2) Pemerintah dan masyarakat bahu-membahu mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar relasi kerja.

(3) Semua kebijakan pemerintah baik sentra maupun tempat di setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan perluasan potensi kerja baik di dalam maupun di luar relasi kerja.

(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu menolong dan menawarkan akomodasi bagi setiap kegiatan masyarakat yang mampu menciptakan atau berbagi perluasan potensi kerja.

Pasal 40

(1) Perluasan peluang kerja di luar kekerabatan kerja dijalankan melalui penciptaan acara yang produktif dan berkesinambungan dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi sempurna guna.

(2) Penciptaan ekspansi potensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan contoh pembentukan dan training tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi sempurna guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang mampu mendorong terciptanya ekspansi kesempatan kerja.

Pasal 41

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan ekspansi kesempatan kerja.

(2) Pemerintah dan penduduk bahu-membahu mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan komponen pemerintah dan unsur penduduk .

(4) Ketentuan perihal perluasan potensi kerja, dan pembentukan badan kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini dikelola dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII

PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 42

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja gila wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja aneh.

(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara abnormal yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.

(4) Tenaga kerja aneh mampu dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.

(5) Ketentuan perihal jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

(6) Tenaga kerja aneh sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang periode kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing yang lain.

Pasal 43

(1) Pemberi kerja yang memakai tenaga kerja gila mesti memiliki rencana penggunaan tenaga kerja aneh yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Rencana penggunaan tenaga kerja gila sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan :

  1. alasan penggunaan tenaga kerja ajaib;
  2. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja aneh dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;
  3. jangka waktu penggunaan tenaga kerja abnormal; dan
  4. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia selaku pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, tubuh-badan internasional dan perwakilan negara ajaib.

(4) Ketentuan mengenai metode pengukuhan rencana penggunaan tenaga kerja aneh dikontrol dengan Keputusan Menteri.

Pasal 44

(1) Pemberi kerja tenaga kerja aneh wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan kriteria kompetensi yang berlaku.

(2) Ketentuan mengenai jabatan dan kriteria kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikontrol dengan Keputusan Menteri.

Pasal 45

(1) Pemberi kerja tenaga kerja gila wajib :

  1. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keterampilan dari tenaga kerja aneh; dan
  2. melaksanakan pendidikan dan pembinaan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada aksara a yang tepat dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja abnormal.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja gila yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.

Pasal 46

(1) Tenaga kerja aneh tidak boleh menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu.

(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikontrol dengan Keputusan Menteri

Pasal 47

(1) Pemberi kerja wajib mengeluarkan uang kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.

(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara gila, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.

(3) Ketentuan perihal jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikelola dengan Keputusan Menteri.

(4) Ketentuan perihal besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja gila wajib memulangkan tenaga kerja aneh ke negara asalnya sehabis hubungan kerjanya berakhir.

Pasal 49

Ketentuan perihal penggunaan tenaga kerja ajaib serta pelaksanaan pendidikan dan pembinaan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.

BAB IX

HUBUNGAN KERJA

Pasal 50

Hubungan kerja terjadi sebab adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Pasal 51

(1) Perjanjian kerja dibentuk secara tertulis atau mulut.

(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dijalankan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Pasal 52

(1) Perjanjian kerja dibentuk atas dasar :

  1. akad kedua belah pihak;
  2. kesanggupan atau kecakapan melaksanakan perbuatan aturan;
  3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
  4. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban lazim, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) abjad a dan b dapat dibatalkan.

(3) Perjanjian kerja yang dibentuk oleh para pihak yang berlawanan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) aksara c dan d batal demi hukum.

Pasal 53

Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dikerjakan oleh dan menjadi tanggung jawab usahawan.

Pasal 54

(1) Perjanjian kerja yang dibentuk secara tertulis sekurang kurangnya menampung :

  1. nama, alamat perusahaan, dan jenis perjuangan;
  2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
  3. jabatan atau jenis pekerjaan;
  4. kawasan pekerjaan;
  5. besarnya upah dan cara pembayarannya;
  6. syarat syarat kerja yang memuat hak dan keharusan pebisnis dan pekerja/buruh;
  7. mulai dan rentang waktu berlakunya kontrakkerja;
  8. kawasan dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
  9. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

(2) Ketentuan dalam kontrakkerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) abjad e dan f, dilarang bertentangan dengan peraturan perusahaan, kesepakatankerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang memiliki kekuatan aturan yang serupa, serta pekerja/buruh dan usahawan masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Pasal 55

Perjanjian kerja tidak mampu ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.

Pasal 56

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas :

  1. rentang waktu; atau
  2. selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Pasal 57

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibentuk secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai persetujuankerja untuk waktu tidak tertentu.

(3) Dalam hal persetujuankerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa ajaib, jika kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibentuk dalam bahasa Indonesia.

Pasal 58

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya abad percobaan kerja.

(2) Dalam hal disyaratkan periode percobaan kerja dalam persetujuankerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kurun percobaan kerja yang disyaratkan batal demi aturan.

Pasal 59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu cuma mampu dibentuk untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau acara pekerjaannya akan final dalam waktu tertentu, ialah :

  1. pekerjaan yang sekali tamat atau yang sementara sifatnya;
  2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling usang 3 (tiga) tahun;
  3. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
  4. pekerjaan yang berafiliasi dengan produk baru, acara gres, atau produk pemanis yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu mampu diperpanjang atau diperbaharui.

(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas rentang waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(5) Pengusaha yang berencana memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling usang 7 (tujuh) hari sebelum persetujuankerja waktu tertentu berakhir sudah menginformasikan tujuannya secara tertulis terhadap pekerja/buruh yang bersangkutan.

(6) Pembaruan persetujuankerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melampaui abad tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya persetujuankerja waktu tertentu yang usang, pembaruan kesepakatankerja waktu tertentu ini hanya boleh dilaksanakan 1 (satu) kali dan paling usang 2 (dua) tahun.

(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi aturan menjadi kontrakkerja waktu tidak tertentu.

(8) Hal-hal lain yang belum dikelola dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 60

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu mampu mensyaratkan kala percobaan kerja paling usang 3 (tiga) bulan.

(2) Dalam abad percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), usahawan dihentikan mengeluarkan uang upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Pasal 61

(1) Perjanjian kerja rampung bila :

  1. pekerja meninggal dunia;
  2. berakhirnya rentang waktu kontrakkerja;
  3. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan forum penyelesaian pertikaian korelasi industrial yang sudah memiliki kekuatan aturan tetap; atau
  4. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau kontrakkerja bersama yang mampu menjadikan berakhirnya relasi kerja.

(2) Perjanjian kerja tidak rampung alasannya adalah meninggalnya pebisnis atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.

(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pebisnis gres, kecuali diputuskan lain dalam kontrakpengalihan yang tidak meminimalkan hak-hak pekerja/buruh.

(4) Dalam hal usahawan, orang perseorangan, meninggal dunia, andal waris pebisnis dapat mengakhiri kontrakkerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.

(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, jago waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak haknya sesuai dengan peraturan perundang-usul yang berlaku atau hak hak yang sudah dikontrol dalam kontrakkerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bareng .

Pasal 62

Apabila salah satu pihak mengakhiri relasi kerja sebelum berakhirnya rentang waktu yang ditetapkan dalam kesepakatankerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan alasannya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi terhadap pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu persetujuankerja.

Pasal 63

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibentuk secara mulut, maka pebisnis wajib menciptakan surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.

(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya memuat keterangan :

  1. nama dan alamat pekerja/buruh;
  2. tanggal mulai bekerja;
  3. jenis pekerjaan; dan
  4. besarnya upah.

Pasal 64

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibentuk secara tertulis.

Pasal 65

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dijalankan lewat kontrakpemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

(2) Pekerjaan yang mampu diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menyanggupi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. dikerjakan secara terpisah dari aktivitas utama;
  2. dilaksanakan dengan perintah eksklusif atau tidak pribadi dari pemberi pekerjaan;
  3. merupakan acara penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
  4. tidak menghalangi proses produksi secara pribadi.

(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan aturan.

(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan bantuan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-usul yang berlaku.

(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikelola lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.

(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) mampu didasarkan atas kesepakatankerja waktu tidak tertentu atau kesepakatankerja waktu tertentu jika menyanggupi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.

(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak tercukupi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan akseptor pemborongan beralih menjadi kekerabatan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

(9) Dalam hal kekerabatan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka kekerabatan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

Pasal 66

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan pemasokjasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau acara yang berafiliasi eksklusif dengan proses buatan, kecuali untuk aktivitas jasa penunjang atau acara yang tidak bekerjasama pribadi dengan proses bikinan.

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk acara jasa pendukung atau acara yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi mesti menyanggupi syarat selaku berikut :

  1. adanya korelasi kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyuplaijasa pekerja/buruh;
  2. perjanjian kerja yang berlaku dalam relasi kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah persetujuankerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau kontrakkerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
  3. dukungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang muncul menjadi tanggung jawab perusahaan penyuplaijasa pekerja/buruh; dan
  4. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak selaku perusahaan penyuplaijasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib menampung pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

(3) Penyedia jasa pekerja/buruh ialah bentuk perjuangan yang berbadan aturan dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, abjad b, dan aksara d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status relasi kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemasokjasa pekerja/buruh beralih menjadi relasi kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

Nah itulah tumpuan bunyi naskah UU Ketenagakerjaan ialah UU No. 13 Tahun 2003 diterangkan secara lengkap dari bab 1 hingga bab terakhir. Dijelaskan secara lengkap hal-hal mengenai ketenagakerjaan Indonesia tergolong syarat perjanjian kerja, kesempatan dan potensi kerja serta mekanisme perihal tenaga kerja ajaib (TKA).

  Pengertian Akuntansi Beserta Arti, Fungsi Dan Definisinya [Lengkap]