Ukhuwah, Hotel dan Akad Nikah

Selalu ada cerita indah wacana ukhuwah. Bahkan sebagiannya membuat mata berkaca-beling. Seperti yg gue saksikan hari ini.

“Mbak, bayar hotelnya ke mana ya?” Tanya seorang akhwat yg pulang semobil dgn kami. Ia merasa belum membayar.

“Sudah ada yg membayar”

***

Tiga pekan sebelumnya.

Sejumlah akhwat mendiskusikan tempat bermalam. Mereka perlu tiba sehari sebelum pernikahan agar bisa menolong saudarinya menyiapkan hari H. Rasanya tak mungkin jikalau bermalam di rumahnya. Tidak muat alasannya adalah para akhwat itu sudah berkeluarga. Mereka pula menjinjing anak-anaknya.

Menginap di hotel menjadi alternatif utama. Namun tak semua setuju. Di tengah naiknya harga-harga, mulai BBM sampai listrik, menginap di hotel bukanlah ide yg cocok. Memang semua bisa bayar, terlebih hotelnya cuma bintang satu. Namun naluri hemat emak-emak berkata lain.

“Semuanya sudah dipesankan hotel,” sang murabbiyah menetapkan. “Kecuali yg belum menikah, bermalam di rumahnya ya.”

“Mbak, gue mau bantu iuran hotel sahabat-sobat,” seorang akhwat menyerahkan sejumlah uang.

“Nggak usah. Cukup kamar antum saja. Yang lain biar gue yg nanggung.”

Jawaban itu menjadikannya terharu. Diam-membisu, ia memesankan satu kamar di hotel yg sama untuk dua akhwat sisanya.

***

Itu baru kepingan kecil dr parade pengorbanan. Pengorbanan untuk cinta yg berjulukan ukhuwah.

Sebelumnya kami bukan siapa-siapa & antara kami tak ada hubungan apa-apa. Namun ikatan ukhuwah ini telah mengikat sedemikian berpengaruh.

Maka tatkala hari ini ia menikah, puluhan orang menempuh perjalanan delapan jam pulang pergi ke kotanya. Belasan orang sengaja tiba sehari sebelumnya, bermalam di sebuah hotel biar bisa menolong antisipasi di hari H.

  Abbad bin Bisyr, Memilih Terputus Nyawa daripada Memutus Shalatnya

Akhwat-akhwat itu luar biasa. Meski letih & sebagiannya mabuk kendaraan, mereka hanya check in & menaruh barang di hotel ini. Lalu pergi ke rumahnya, menolong aneka persiapan hingga melalui waktu Isya’.

Mereka yg tiba belakangan, tak kalah pengorbanannya. Ada yg selesai peran kerja tengah malam dr provinsi lain, segera naik kereta semoga pagi hari bisa melihat ijab kabulnya. Ada sepasang suami istri yg naik motor, menempuh jarak yg sama dgn kami. Bisa dibayangkan lelahnya. Namun seluruhnya indah sebab cinta.

Dan semua letih itu seakan sirna begitu janji nikahnya tiba. Sang ikhwan tak kuasa menahan air mata. Berkali-kali ia mengusap parasnya dgn sapu tangan. Aku tahu, itu air mata bahagia & kesyukuran.

Sedangkan aku… gue berkaca-beling menyaksikan indahnya ukhuwah ini. [Muchlisin BK/Wargamasyarakat]