Tradisi Selamatan

I. PENDAHULUAN

Satu-satunya yang tidak berganti ialah pergeseran, itulah hokum alam. Melihat sejarah kedatangan islam, di kepulauan Nusantara yang masuk ketengah kehidupan masyarakat Indonesia, ketika itu sudah bukan lagi islam yang orisinil, seperti yang pertama meningkat ditanah Arab atau semenanjung Arabia sana. Islam yang datang ialah islam yang bertradisi lokal, sesuai dengan yang dianut para pembawanya.

Sebelum kedatangan islam, penduduk Indonesia juga memiliki tradisi yang mewakili doktrin mereka terhadap suatu kekuatanalam yang misteri dan gaib. Tradisi ini berujud doktrin yang dikenal dengan perumpamaan Animisme dan Dinamisme. Keyakinan semacam itu membentuk perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam wujud budbahasa maupun ekspresi berkesenian.

Sebagaimana kalimat pembukaan diatas ialah satu-satunya yang tidak berganti yakni perubahan itu sendiri, dalam problem ini bagaimana terjadinya sebuah metode dialektik antara islam yang gres tiba itu dengan tradisi yang sudang tiba dan ada lebih dahulu. Salah satunya ialah tradisi ”slametan”. Bagaimana korelasi islam dengan tradisi atau kebudayaan lokal tersebut. Dan bagaimana proses terjadinya sampai saat ini, apakah mereka menerima dengan apa adanya saja pemikiran dari tanah jazirah arab sana. Disini pemakalah akan mencoba untuk menjelaskanya, pemakalah akan mengambil salah satu dari sekian tradisi yaitu slametan.

II. PEMBAHASAN

a. Tradisi dan Slametan
Tradisi meningkat dari generasi ke generasi, dari kurun lalu ke periode kini. Tradisi mengalami perubahan perubahan baik dalam skala besar maupun kecil. Tradisi tidak cuma diwariskan secara pasif, tetapi juga di rekonstruksi dengan maksud membentuk atau menanamkanya kembali kepada orang lain. Maka, dalam memandang kekerabatan islam dengan tradisi atau kebudayaan itu sendiri, terdapat variasi interpretasi sesuai dengan konteks lokalitas masing-masing[1].

Masyarakat jawa, sebgai komunitas yang sudah terislamkan memang memeluk agama islam. Namun dalam praktiknya, contoh-acuan keberagaman mereka tidak jauh dari efek komponen dogma dan keyakinan pra-islam, yaitu kepercayaan animisme-dinamisme.

Salah satu etika istiadat, sebagai ritual keagamaan yang paling terkenal di dalam maasyarakat islam jawa yakni ”slametan”. Yaitu upacara ritual yang sudah mentradisi di kalangan penduduk islam jawa yang dilakukan untuk peristiwa penting dalam kehidupan seseorang[2].

Secara biasa , tujuan slametan adalah untuk membuat keadaan aman, makmur, dan bebas dari gangguan makhluk yang aktual dan juga makhluk halus, adalah suatu keadaaan yang disebut slamet. Alasan utama penyelenggaraan slametan meliputi peringatan siklus hidup, menempati rumah gres, penenan, memenuhi nadzar atau akad, itu yang paling umum. Tapi tak ada alasan yang lebih berpengaruh, daripada cita-cita untuk meraih sebuah kondisi yang kondusif dan sejahtera.

b. Interpretasi slametan
Interpretasi kepada slametan yang sudah memiliki formulasi tertentu dalam sambutan-sambutan upacara menyelimuti posisi dan motivasi yang beragam. Dari sini ada dua titik garis ekstrim, yakni mistikal dan santri, dengan lebih banyak didominasi terletak diantara keduanya. Adalah kaum gaib yang bergerak lebih jauh dalam mengembangkan pemikiran dan penerjemahan yang berkenaan dengan simbul-simbul slametan[3].

Slametan memiliki makna-makna yang berlawanan-beda, dan itu semua yaitu problem perbedaan interprestasi. Makna suatu simbol tergantung pada tingkat srategi apa seseorang menggunakannya dalam obrolan. Seperti postur dikala bersembahyang dalam konteks dari luar, itu ialah sebagai pemenuhan keharusan spiritual tertentu, memang benar untuk tingkat itu. Akan namun, yang mengandung kebenaran lebih mendalam di tunjukan lewat teknik-teknik interprestasi tertentu.

Para santri, umumnya merelatifkan wawasan jawa hanya sekedar budbahasa, sedangkan golongan gaib kadang mengacu pada tingkat-tingkat kesufian[4].

Dalam hal ini, penyelenggaraan slametan berkhasiat lebih luas. Antara lain mengembangkan tali silaturrahmi, rasa persaudaraan, dan rukun diantara tetangga, kerabat, atau buruh. Rukun bermakna harmoni sosial dan ketentraman serta ketenangan bersama.merupakan nilai sosial yang amat penting dalam kehidupan penduduk desa.

Dengan demikian, slametan bukan sekedar pesta makan untuk menerangkan gengsi tertentu di mata masyarakat, melainkan, wujud rasa syukur atas karunia yang maha kuasa dan keinginan untuk selalu berada dalam lindungan dan rahmat-Nya. Tidak ada yang salah secara teologis dalam slametan, sebab beliau selalu diawali dengan do’a kepada tuhan.

Demikian juga, mungkin pada sedekahan yang di istilahkan ngirim dungo. Bagi para keluarga yang diperuntukan bagi orang yang telah meninggal. Meskipun kaum muslim berlainan dalam menyikapi problem ini, namun yang jelas ada landasan skriptual untuk mengatakan hal tersebut tidak menyalahi semangat syariat islam.

III. KESIMPULAN

Semua ini terjadi atas prinsip dialektik antara satu dengan yang lainnya ialah saling mempengaruhi dan dipengaruhi membentuk dan di bentuk islam dan jawa melahirkan islam budaya jawa atau budaya islam jawa. Yaitu terjadinya segitiga prisma antara yang pertama yang kedua.

IV. PENUTUP

Demikianlah makalah ini kami buat, dengan yang sebenar-benarnya. Setiap manusia tidak lepas dari salah dan dosa, namun juga manusia menginginkan kesempurnaan, mohon kritikan dan usulan yang hangat dan menolong.

DAFTAR PUSTAKA

  • Simuh, sufisme jawa : Transformasi Tasawuf Islam Kemistik Jawa. Yokyakarta: bentang 2002. 
  • Harkono kama jaya. Kebudayaan Jawa: perpaduan dengan islam. Yokyakarta ikatan penerbit indonesia 1995. 
  • Ahmad kholil, islam jawa: Sufisme Dalam Etika Jawa Dan Tradisi Jawa. Win malang press.2008.
[1] Ahmad Khalil Islam Jawa: Sufisme Dalam Etika Jawa Dan Tradisi Jawa, UIN-MALANG PRESS. 2008
[2] Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa. Yogyakarta : Bentang 2002
[3] Ahmad khalil. Islam Jawa : Sufisme Dalam Etika Jawa& Tradisi Jawa. UIN MALANG PRESS.2008
[4] Ibid
  Sejarah Pendidikan Di Jawa