Muhammad Yamin |
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun usaha kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin tergolong seorang yang berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, beliau tidak pernah mendapatkan mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga beliau tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini ialah efek lingkungan keluarganya alasannya adalah ayah ibu Yamin yaitu keturunan kepala etika di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adab dan agama sampai tahun 1914. Dengan demikian, mampu dipahami kalau Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun metode pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Pada tahun 1928 Yamin menerbitkan kumpulan sajaknya yang berjudul Indonesia, Tumpah Darahku. Penerbitan itu bertepatan dengan Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu. Dalam kumpulan sajak ini, Yamin tidak lagi menyanyikan Pulau Perca atau Sumatera saja, melainkan telah menyanyikan kebesaran dan keagungan Nusantara. Kebesaran sejarah banyak sekali kerajaan dan suku bangsa di Nusantara seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Pasai terlukis dalam sajak-sajaknya. Dalam salah satu sajaknya, beliau mengatakan demikian: ‘….. kita sedarah sebangsa/Bertanah air di Indonesia’.
Patriotisme Yamin yang juga mengilhami untuk menumbuhkan kecintaan pada bangsa dan sastra. Yamin melihat adanya relasi eksklusif antara patriotisme yang diwujudkan lewat kecintaan pada bahasa dan pengembangan sastra Indonesia. Sebagai penyair yang kecintaannya pada bahasa nasionalnya berkobar-kobar, beliau cenderung mengekspresikan rasa estetisnya dalam bahasa nasionalnya dengan keinginan kesusastraan gres akan tumbuh lebih pesat.
Di Jakarta, dalam usia 59 tahun, yaitu pada tanggal 17 Oktober 1962, Muhammad Yamin tutup usia. Walaupun pada era dewasanya dia simpel meninggalkan lapangan sastra dan lebih banyak terjun dalam lapangan politik dan kenegaraan ia telah meninggalkan karya-karya yang bermakna dalam pertumbuhan sastra Indonesia. Di samping menulis sajak, misalnya Ken Arok dan Ken Dedes (1943) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932?). Yamin memang banyak meletakkan minat pada sejarah, utamanya sejarah nasional. Baginyta sejarah yakni salah satu cara dalam rangka merealisasikan cita-cita Indonesia Raya. Dengan fantasi seorang pengarang roman dan dengan bahasa yang liris, ia pun menulis Gadjah Mada (1946) dan Pangeran Diponegoro (1950). Ia banyak pula menerjemahkan karya sastra aneh ke dalam bahasa Indonesia, antara lain karya sastrawan Inggris William Shakespeare (1564–1616) berjudul Julius Caesar (1952) dan dari pengarang India Rabindranath Tagore (1861–1941) berjudul Menantikan Surat dari Raja dan Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga.