Oleh: Maulita Noor Aisha
(Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Banyak manusia dgn beragam tingkah sikap yg tak dapat diterima dgn nalar sehat. Lagi-lagi masalah pembunuhan yg melibatkan suatu keluarga. Baru-baru ini di daerah Cilacap sudah terjadi kasus pembunuhan yg dilakukan oleh seorang anak pada ibu kandungnya sendiri. Seorang anak merenggut nyawa ibu kandungnya sendiri.
Motif pembunuhan tersebut sudah tak ajaib lagi didengar oleh seluruh kalangan masyarakat. Mulai dr seorang anak yg membunuh orang tua, seorang membunuh temannya, ataupun orang tua yg membunuh anaknya. Mungkin sudah menjadi hal yg wajar bagi beberapa orang atas apa yg akan diperbuat baik merugikan orang lain atau bahkan merugikan dirinya sendiri. Namun, orang-orang yg melakukan hal tersebut memiliki argumentasi atas apa yg mereka perbuat. Seperti kata pepatah, tak akan ada asap jikalau tak ada api.
Hal itupun tak akan terjadi apabila seseorang tak mempunyai alasan & tujuan untuk melaksanakan hal keji tersebut. Ada banyak kemungkinan yg perlu ditanyakan atas apa yg dikerjakan oleh pelaku. Entah si pelaku tersebut sedang berada di puncak emosi yg tak dapat dibendung lagi, atau bahkan faktor dr duduk perkara rumah tangga yg tak bisa dituntaskan dgn musyawarah, & bisa jadi pula faktor lingkungan yg mendorong si pelaku untuk melaksanakan perbuatan keji tersebut.
Akan tetapi kita tak bisa menawarkan kesimpulan hanya menurut pada suatu persepsi. Namun intinya tak ada seorang anak yg tak mengasihi Ibunya. Karena bagiamanapun perlakuan baik buruk seorang ibu terhadap anaknya itu yaitu salah satu bentuk rasa kasih sayang orang bau tanah pada anaknya. Tugas kita selaku anak ialah berbakti pada orang tua dgn mematuhi apa yg diperintahkan oleh orang tua.
Terkadang ada beberapa anak yg tak paham dgn bentuk-bentuk perwujudan kasih sayang yg diberikan oleh orang tuanya. Dengan begitu terjadilah kontradiksi antara anak dgn orang bau tanah yg berujung dgn ketidaknyamanan anak berada di dlm rumah karena kesalahapahaman. Yang dikerjakan oleh kebanyakan anak tatkala sudah tak lagi mendapatkan klarifikasi orang renta ialah dgn menentang, baik dgn ujaran maupun sikap yg menyimpang.
Oleh alasannya itu fakta tersebut sungguh mempesona apabila dilihat dr perspektif Islam. Bahwasanya pelaku pembunuhan masih marak terjadi di semua kelompok, baik belum dewasa, remaja maupun remaja. Dalam perspektif Islam, hukuman duniawi terhadap seorang pembunuh dlm Islam sangatlah berat yakni dibunuh balik selaku hukuman qishash atasnya. Sementara eksekusi ukhrawinya ialah dilemparkan dlm neraka oleh Allah SWT suatu masa nanti, sesuai dgn firmanNya: “Dan barangsiapa yg membunuh seorang mukmin dgn sengaja maka hasilnya ialah Jahannam, abadi ia di dalamnya & Allah murka kepadaNya, & mengutukinya serta menyediakan azab yg besar baginya.” (QS. An.-Nisa’: 93)1. Dalam Islam sungguh jelas, bahwa “nyawa diganti dgn nyawa.”
Pembunuhan
Tindak kejahatan pembunuhan bukanlah penyakit mematikan yg dibawa oleh individu sejak lahir. Capelli (dalam Kartono, 2003, h. 130) mengungkapkan bahwa pembunuhan mampu dijalankan oleh semua individu, baik oleh individu yg dengan-cara kejiwaan tak mengidap gangguan ataupun individu yg memang mengidap gangguan kejiwaan. Tipe pelaku kejahatan menurut Aschaffenburg, salah satunya adalah pelaku kejahatan yg mengalami krisis jiwa, di mana pelaku tak bisa menguasai diri tatkala krisis jiwa berlangsung2.
Menurut Albert Bandura (1973) perilaku kejahatan manusia merupakan hasil proses belajar psikologis, mekanismenya diperoleh lewat pemaparan perilaku kejahatan yg dilakukan oleh orang di sekitarnya & kemudian terjadinya pengulangan paparan yg disertai dgn penguatan sehingga semakin mendukung orang untuk menggandakan sikap kejahatan yg mereka lihat. Dengan begitu, faktor lingkungan sekitarpun pula dapat menjadi pendorong motif pembunuhan ini. Dari perspektif teori cognitive neo-associanist model dan teori general affective aggression model dari Anderson mengemukakan bahwa penyebab hadirnya perilaku bernafsu yakni suasana yg tak mengasyikkan atau mengusik pula adanya faktor individual & situasional yg dapat saling berinteraksi mensugesti kondisi internal seseorang3. Perilaku berangasan yg sulit dikendalikan muncul pada diri insan akhir rendahnya rasa toleransi dlm mengatasi kekecewaan & kemarahan yg ditumbulkan oleh pertentangan dgn orang lain. Sikap tak gampang memaafkan menjadi penyebab rendahnya toleransi, hal tersebut yg mendorong hadirnya agresivitas pada orang lain.
Terdapat permasalahan antara faktor kognitif, afektif, & asertif sehingga menimbulkan perasaan negatif terhadap stimulus yg ada. Dalam masalah di atas, perlu adanya pemahaman proses kognitif terhadap pelaku dlm menentukan sikap mana yg baik & mana yg buruk. []
1 Pembunuhan dlm PerspeltifIslam. Serambinews.com.2021
2 Cikal, Kritstiana. Jejak Psikologis Remaja & Pembunuhan. Semarang
3 Nursaadah.2020. Meninjau Motif Pembunuhan Dari Berbagai Aspek. Jakarta: Puspensos