DARI SEBUAH CERITA “NAK… DAN KISAH-KISAH PILIHAN”
“Waktu tak ubahnya deburan ombak, akan terus menggulung, mengikat, menyempit, mendekati, dan menyudutkan kepala kita”
Nak…
Dapatkah kau melihat waktu? Kau memang tak akan kuasa menerjemahkan waktu kedalam warna-warna. Jangan pernah membayangkan warna waktu. Karenanya kamu akan tahu mengapa kamu tak sepenuhnya putih bersinar. Hari ini kita sedang meliuk-liuk didalam dongeng sesuka hati. Adapun besok tetaplah kamu pada kebesaran hatimu.
Kamu awalnya putih, tetapi aku tak kuasa menahan pucatnya cahaya yang dipancarkan dari luar sana. Jadilah santun perangaimu sebagai benteng bagi jiwamu sendiri.
Nak….
Sebagai gurumu, boleh saja, kamu anggap saya serupa pucuk dedaunan. Ya aku barangkali seperti pucuk. Pucuk yang berkembang mendekati langit dan menjauhi pijakan. Aku kian mampu menyaksikan ke segala penjuru alasannya ketinggianku. Saat mana kupu-kupu sering hinggap pada daun-daun basahku.
Tapi aku justru tertawa hingga lupa akan segala hal yang seharusnya tak kulupakan. Memang seharusnya aku tak membuang kupu-kupu yang hanya bisa menggeliat di ubun-ubun pucukku, hijau muda, nan cerah.
Tentu kamu mengajukan pertanyaan, Nak. Perihal apa kupu-kupu dan pucuk yang meliuk-liuk dalam dongeng ini. Didalamnya ingin bertutur tentang suatu ruang. Duniaku ialah suatu ruang dimana kamu tak cukup akil memasukinya.
Tertawa Hingga Lupa Akan Segala Hal Yang Seharusnya tak Kulupakan |
Kubekali makna dan arti, agar kamu bisa menelusuri jalan hidupku untuk masuk ke ruang rahasiaku. Tapi ya duniamu memang bukanlah duniaku. Sebagaimana duniaku yang saya terima dari para pendahulu.
Kelak kamu akan mengetahui akan diriku. Tapi bukan sekarang, namun nanti.