Terapi Latihan Pasca Cedera Bahu

Prevalensi cedera dikala ini cukup besar dan sebagian besar penyembuhannya tidak sempurna, sehingga ada kecenderungan untuk mengalami cedera ulangan/kambuhan. Pada beberapa perkara, cedera membuat seorang olahragawan terpaksa harus pensiun dini dari dunia olahraga prestasi. Petenis Angelique Wijaya yakni salah satu pola kasus berhentinya karir olahragawan akibat cedera yang tidak dapat sembuh tepat. Di Amerika, kira-kira 20 % anak-anak dan remaja yang  berpartisipasi dalam olahraga mengalami cedera setiap tahunnya. Satu dari empat perkara cedera yang terjadi merupakan cedera yang serius (Konin, 2009). Di KONI DIY selama pelatda PON XII tampakbahwa dari 98 kasus cedera yang ditangani, 72 perkara (73,5 %) diantaranya merupakan cedera kambuhan akhir penyembuhan cedera usang yang tidak tepat (Litbang KONI DIY, 2008). 
            Di segi lain, banyak sekali model terapi latihan untuk rehabilitasi cedera sudah diteliti. Model terapi latihan untuk cedera bahu dan lengan sudah banyak diteliti dan terbukti bermanfaat dalam memulihkan cedera baik secara subyektif maupun obyektif. Tekanan yang dihadapi pada pertandingan terkadang tidak mampu ditoleransi oleh tubuh. Jika kekuatan luar yang mengenai tubuh melampaui daya tahan jaringan tubuh, maka cedera akan terjadi.  Cedera bisa mengenai otot dan tendon, sendi dan ligamen, tulang, saraf, dan lain sebagainya.
PATOFISIOLOGI CEDERA
            Respon jaringan muskuloskeletal kepada stress berat berdasarkan Kannus (2000) terdiri atas tiga fase, yakni fase inflamasi akut, fase proliferatif, serta fase maturasi dan remodelling. Pada fase inflamasi akut, terjadi iskemia, gangguan metabolik, dan kerusakan membran sel sebab proses peradangan, yang pada gilirannya ditandai dengan infiltrasi sel-sel inflamasi, edema jaringan, eksudasi fibrin, penebalan dinding kapiler, penututpan kapiler, dan kebocoran plasma. Segera sesudah terjadi cedera, terjadi proses peradangan sebagai mekanisme pertahanan badan. Peradangan ditandai dengan panas, merah, abses, nyeri, dan hilangnya fungsi. Panas dan warna merah di tempat cedera disebabkan alasannya meningkatnya anutan darah dan metabolisme di tingkat sel. Pembengkaan akan terjadi di daerah cedera karena kerja agen-distributor inflamasi dan tingginya fokus protein, fibrinogen dan gamma globulin. Cairan akan mengikuti protein, keluar sel dengan cara osmosis, sehingga timbul abses. Rasa nyeri disebabkan oleh iritan kimiawi yang dilepaskan di daerah cedera. Nyeri juga terjadi akibat meningkatnya tekanan jaringan karena abses yang hendak menghipnotis reseptor saraf, dan menimbulkan nyeri (The Athlete Project, 2005).
Pada fase proliferatif, terjadi pembentukan aspek pembekuan fibrin dan proliferasi fibroblast, sel sinovial, dan kapiler. Sel-sel inflamasi menetralisir jaringan yang rusak dengan fagositosis, dan fibroblast secara ekstensif memproduksi kolagen (pada awalnya adalah yang paling lemah, ialah kolagen tipe 3, selanjutnya tipe 1) dan bagian matriks ekstraselular lainnya.        Fase maturasi ditandai dengan berkurangnya kandungan air proteoglikan pada jaringan penyembuhan dan serabut kolagen tipe 1 akan kembali wajar . Kira-kira 6 sampai 8 minggu sesudah cedera, serabut kolagen baru mampu menahan tekanan yang mendekati normal, walaupun maturasi tendon dan ligamen mungkin memerlukan waktu lebih usang, bisa sampai 6-12 bulan.
REHABILITASI CEDERA
            Menurut Houglum (2005), prinsip rehabilitasi mesti memperhatikan prinsip-prinsip dasar selaku berikut: 1) menyingkir dari memperburuk keadaan, 2) waktu, 3) kepatuhan, 4) individualisasi; 5) beruntun secara spesifik, 6) Intensitas, dan 7) total pasien. Pada penanganan rehabilitasi cedera, sungguh penting untuk tidak memperburuk cedera. Terapi latihan, jikalau tidak dilakukan dengan benar berpotensi untuk menciptakan cedera lebih parah. Pengetahuan ihwal bagaimana respon tubuh terhadap cedera  menentukan dalam penyeleksian latihan yang digunakan. Keterampilan dalam observasi respon pasien diharapkan untuk mengenali kapan dan seberapa jauh efek program terapi latihan dapat memberi imbas tanpa memperburuk cedera.
            Prinsip terapi latihan dalam acara rehabilitasi harus dimulai sesegera mungkin, tanpa memperburuk cedera. Semakin cepat pasien memulai porsi latihan, kian cepat dapat kembali ke acara sepenuhnya. Setelah cedera, istirahat memang dibutuhkan, namun demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa terlampau banyak istirahat akan memperlambat pemulihan. Dikatakan bahwa imobilisasi seminggu pertama setelah cedera, 3 % – 4 % kekuatan otot menyusut setiap harinya. Beberapa studi mendapatkan bahwa laju pemulihan jauh lebih lambat daripada laju kehilangan kekuatan otot. Penemuan tersebut mengindikasikan pentingnya memulai program terapi latihan sesegera mungkin sehabis keadaan memungkinkan. Tanpa kepatuhan pasien, program rehabilitasi tidak akan sukses. Untuk memutuskan kepatuhan, sangatlah penting untuk menginformaskan isi dan tujuan program kepada pasien. Pasien akan lebih patuh jikalau pasien menyadari acara yang diikutinya. Seringkali seseorang yang mengalami cedera merasa kehilangan kekuatan balasan cedera. Perasaan ini mampu menghalangi keberhasilan acara terapi latihan. Kepatuhan dalam hal ini berarti bahwa acara dikerjakan secara konsisten.
            Masing-masing orang menanggapi cedera secara berlainan-beda, dan hal ini mempengaruhi acara rehabilitasi yang mesti disertai. Perbedaan psikologis dan kimiawi menghipnotis respon spesifik kepada cedera. Sangat penting untuk menyadari bahwa walaupun suatu cedera nampaknya sama, namun demikian perbedaan yang tidak terdeteksi dapat mengubah tanggapanindividu kepada cedera. Urutan acara rehabilitasi cedera, yaitu latihan kelonggaran dan range of motion (ROM), latihan kekuatan dan daya tahan otot, serta latihan proprioseptif, kerjasama, dan kelincahan mesti diikuti secara konsisten.
            Intensitas terapi latihan harus memberi tantangan pasien dan daerah cedera, tetapi dilarang memperburuk cedera. Mengetahui kapan meningkatkan intensitas tanpa memperberat cedera membutuhkan observasi tanggapanpasien dan pengetahuan wacana proses penyembuhan. Sebagai pola, jika seorang pasien mampu dengan gampang memepertahankan keseimbangan satu kaki, buat program dengan aktivitas yang sama di atas permukaan yang tidak stabil, misalnya di atas trampolin mini. Jika di atas lantai terlalu mudah dan di atas trampolin terlalu sukar, maka pasien mampu melakukannya di atas lantai degan mata tertutup.
            Sangatlah penting bagi pasien cedera untuk menjaga kebugaran pada tempat yang tidak terkena cedera. Hal ini berarti bahwa pasien mesti menjaga sistem kardiovaskular pada tingkat sebelum cedera, mempertahankan ROM, kekuatan dan daya tahan otot, serta koordinasi pada anggota gerak dan sendi yang tidak cedera. Saat pasien cedera, fokus program rehabilitasi tidak hanya pada daerah cedera, namun juga pada seluruh badan. Menurut Viljoen (2000), rehabilitasi cedera mencakup pencegahan cedera, penilaian cedera, dan manajemen cedera. Pencegahan cedera terdiri atas tes sebelum partisipasi olahraga, intervensi secara individual, evaluasi dan skrining terstruktur, latihan kekuatan dan kondisioning dengan benar, serta melibatkan jago biomekanik olahraga. Idealnya tim medis meliputi dokter olahraga, fisioterapis, dan andal biokinetik/biomekanik. Dokter olahraga bertugas mengkoordinasi dan menilai kondisi medis bersama dengan tim, menganggap persiapan medis dalam even olahraga, mengkoordinasi rehabilitasi dan perkembangannya, mengendalikan dan menganggap penggunaan alat-alat pelindung, administrasi cedera, mendiagnosis cedera, menciptakan keputusan klinis terkait beratnya cedera dan akibat yang ditimbulkannya, mengevaluasi kapan kembali bermain bareng dengan tim, serta mengedukasi olahragawan wacana zat-zat ergogenik dan daftar obat terlarang.
Fisioterapis olahraga bertugas memeriksa kondisi muskuloskeletal, mengawali segera rehabilitasi, manajemen cedera di lapangan bareng dokter olahraga, melaksanakan pembalutan pada cedera, memeriksa kesiapan kembali bertanding, bareng tim medis mengedukasi pemain wacana pencegahan cedera, dan menggunakan aneka macam pendekatan multidisiplin dalam rehabilitasi. Ahli biokinetik/biomekanik bertugas menciptakan acara kondisi fisik, sebelum, selama, dan setelah pertandingan, mengecek acara rehabilitasi, memonitor dan menangkal overtraining, mengevaluasi kesiapan kembali bertarung , mengedukasi pemain tentang pencegahan dan pengobatan cedera, menggunakan pendekatan multidisiplin dalam rehabilitasi dan kondisioning, mengoreksi kondisi biomekanik yang tidak benar, merawat rekam medis dan data-data pertumbuhan pemain, serta memfasilitasi manajemen.
            Penilaian cedera pada tahap permulaan dilakukan oleh dokter atau fisoterapis, dan kalau diharapkan bisa dilaksanakan pemeriksaan embel-embel, seperti foto rongten, CT Scan, MRI, atau bahkan pembedahan jika diperlukan. Kunci kesuksesan rehabilitasi adalah diagnosis cedera yang sempurna. Penilaian cedera meliputi riwayat cedera, observasi dan inspeksi, palpasi, penilaian fungsi otot, tes-tes khusus, mirip tes instabilitas ligamen. Tes tergantung pada lokasi, riwayat cedera, dan gejala yang timbul. Setelah dilaksanakan penilaian, disusun action plan, yang meliputi pengobatan segera, memilih frekuensi dan durasi terapi, menentukan tujuan dan bagaimana memonitor kemajuan program, mengedukasi pasien, serta memilih patokan kapan mampu kembali bermain.
            Manajemen cedera mencakup aneka macam target yang bertujuan mengembangkan fungsi otot serta kondisi badan secara keseluruhan. Adapun unsur-unsur yang tergolong di dalamnya mencakup fleksibilitas, kekuatan dan daya tahan otot, power, kestabilan sendi, reaktivitas neuromuskular, kebugaran kardiovaskular, reedukasi gerak dan koordinasi, serta komponen biomotor spesifik yang lain.
KOMPONEN DASAR TERAPI LATIHAN
            Program rehabilitasi mempunyai dua elemen dasar, adalah terapi modalitas dan terapi latihan. Terapi modalitas dipakai untuk mengobati imbas-imbas akut cedera, seperti nyeri, abses, spasme, sedangkan terapi latihan sungguh esensial dan ialah faktor kritis bagi pasien untuk bisa kembali berpartisipasi dalam olahraga atau kembali ke aktivitas semula. Houglum (2005) menyebutkan  bahwa unsur dasar terapi latihan mencakup latihan fleksibilitas dan ROM, latihan kekuatan dan daya tahan otot, serta latihan proprioseptif, kerjasama, dan kelincahan.
Fleksibilitas terkait dengan mobilitas otot dan kesanggupan otot untuk memanjang. Jika otot mengalami imobilisasi selama masa waktu tertentu, ada kecenderungan untuk kehilangan fleksibilitas atau derajat mobilitas. Jika latihan peregangan disertakan dalam acara keadaan fisik berkala , otot akan condong untuk menjaga fleksibilitas. ROM merujuk pada jumlah gerakan yang mungkin dilaksanakan oleh suatu sendi. Sebagai pola, normal ROM untuk abduksi sendi pundak ialah 180°. ROM dipengaruhi oleh fleksibilitas otot dan kelompok otot yang mengelilingi sendi. Jika fleksibilitas otot kurang, sendi tidak mampu melaksanakan ROM secara sarat . Selain itu ROM juga dipengaruhi beberapa faktor, mirip mobilitas kapsul sendi dan ligamen, fascia, serta kekuatan otot. Pencapaian kelonggaran lebih awal dalam terapi latihan dibutuhkan alasannya adalah parameter lain diputuskan oleh keleluasaan kawasan cedera dan efek dari proses penyembuhan. Jaringan yang sembuh dari cedera meninggalkan jaringan penyembuhan yang dapat meneyebabkan kontraktur. Selama kurun penyembuhan, ada kesempatan emas untuk mengganti jaringan sikatrik tersebut.
            Kekuatan otot merupakan kekuatan maksimum yang mampu dilaksanakan oleh otot, sedangkan daya tahan otot ialah kesanggupan otot untuk menjaga kekuatan submaksimal, baik dalam acara statis maupun acara repetitif. Kekuatan dan daya tahan otot saling menghipnotis. Saat kekuatan otot meningkat, daya tahan juga berkembangdan sebaliknya.          Lemahnya keseimbangan, proprioseptif, dan kerjasama, baik akhir cedera maupun kurangnya latihan keterampilan khusus, akan memajukan risiko cedera. Berbagai faktor besar lengan berkuasa kepada proprioseptif, koordinasi, dan kelincahan. Di segi lain, ketiga unsur ini akan mempengaruhi power otot, kemampuan eksekusi, dan performa secara lazim. Untuk mengembangkan kesanggupan proprioseptif dan kerjasama, keleluasaan dan kekuatan otot harus telah diraih. Koordinasi dan kelincahan didasarkan pada fleksibilitas dalam menampilkan kemampuan melalui ROM yang mencukupi dan kekuatan, daya tahan, serta power otot untuk menampilkannya secara berulang, cepat, dan benar.
CEDERA BAHU
            Bahu ialah area unik, yang tersusun atas beberapa persendian, mirip sendi sternoclavicular, acromioclavicular, scapulothoracic, dan glenohumeral. Dalam melaksanakan fungsi mobilitas dan stabilitas, bahu disokong oleh sendi-sendi penyusunnya dan otot-otot di sekelilingnya, yang bekerja secara selaras biar pundak dapat berfungsi wajar . Hal mendasar yang mendukung fungsi sendi wajar adalah stabilitas. Saat cedera terjadi, stabilitas sendi wajar terusik dan pemulihan tepat mampu terancam, kecuali bila stabilitas dipertahankan. Stabilitas sendi dipengaruhi aspek statis dan dinamis. Stabilitas statis didukung oleh struktur yang membentuk sendi bahu, yakni kapsul sendi, ligamen, dan labrum glenoid. Stabilitas dinamis ialah tanggungjawab saraf dan otot, menyediakan input yang tepat dari reseptor aferen ke metode saraf pusat. Saat ligamen mengalami cedera, reseptor aferen yang berlokasi di ligamen tersebut tidak bisa menyediakan input sensori yang adekuat. Hal ini membuat input neural lemah dan pada gilirannya menyebabkan respon otot yang tidak tepat. Hasilnya ialah berkurangnya stabilitas statis sebab cedera itu sendiri dan ketidakstabilan dinamis disebabkan oleh kerusakan reseptor aferen. Ketidakstabilan dinamis terjadi bila otot di sekeliling bahu tidak seimbang. Jika kalangan otot agonis dan antagonis tidak sebanding, otot-otot tersebut kehilangan kendali proprioseptif dan kinestetik sehingga timbul ketidakstabilan dinamis. Ketidakseimbangan otot, jika tidak dikoreksi, berpotensi menimbulkan cedera bahu. Ahli rehabilitasi mesti mampu memecah siklus penyebab cedera, dengan merancang program rehabilitasi yang mampu mempertahankan stabilitas dinamis. Program rehabilitasi mencakup reedukasi tata cara neuromuskular dan latihan untuk membuat keseimbangan antara agonis dan antagonis.
            Teknik rehabilitasi bahu yaitu mobilisasi jaringan lunak dan mobilisasi sendi. Pelepasan trigger point dan pemakaian es dipakai untuk memperbaiki otot-otot rotator cuff, otot scapula, dan otot-otot glenohumeral. Mobilisasi sendi digunakan untuk memperbaiki mobilitas sendi glenohumeral, sendi scapulothoracic, dan sendi clavicular. Otot-otot rotator cuff mencakup otot supraspinatus, subscapularis, teres minor, dan infraspinatus. Otot dan tendo supraspinatus mampu menjalarkan nyeri ke lengan, nyeri dirasakan sebagai nyeri dalam di sisi lateral pundak, bab tengah otot deltoid turun ke insersi deltoid.  Rasa nyeri juga mampu dijalarkan ke epicondylus lateral siku. Penyembuhan trigger point bisa dijalankan dengan posisi pasien berbaring miring atau duduk. Sisi medial trigger point lazimnya lebih sensitif. Dengan posisi lengan flexi, pemfokusan dilaksanakan di atas trigger point di atas spina clavicular, sebelah lateral batas vertebra (bagian atas bahu, agak ke belakang). Pemakaian es disapukan dari insersi supraspinatus proksimal, melintasi otot dan acromion, di atas deltoid, menuju siku.
            Otot subscapularis menjalarkan nyeri ke segi posterior pergelangan tangan dan aspek inferior daerah pundak posterior, di pertemuan lengan dengan togok. Kadang nyeri juga dijalarkan ke scapula, turun ke posterior lengan, menuju siku dan mengelilingi sekitar pergelangan tangan. Pelepasan trigger point dilakukan dalam posisi supinasi dan lengan abduksi sekitar 60° hingga 90°. Otot teres minor menjalarkan nyeri ke bab posterior lengan sebelah atas, proksimal pelekatan deltoid. Nyeri dirasakan dalam dan tajam. Pelepasan trigger point dikerjakan dalam posisi berbaring miring di sepanjang batas lateral scapula antara teres mayor inferior dan infraspinatus superior. Otot infraspinatus menjalarkan nyeri ke bagian anterior pundak, lengan, pergelangan tangan, dan segi radial jari tangan. Pelepasan trigger point dijalankan dengan pengutamaan di atas otot. Otot secara progresif diregangkan dengan menggerakkan lengan ke belakang punggung dengan pundak rotasi medial.
            Otot-otot scapula mencakup otot trapezius, levator scapula, serratus anterior, rhomboid, pectoralis minor, sedangkan otot-otot glenohumeral meliputi otot latissimus dorsi, teres mayor, pectoralis mayor, dan deltoid. Mobilisasi sendi mampu dikerjakan pada semua sendi pada pundak. Namun perlu dikenali adanya pembatasan capsular sendi glenohumeral, yakni gerakan abduksi lebih terbatas ketimbang flexi, dan flexi lebih terbatas ketimbang rotasi medial. Dalam melakukan mobilitas sendi, mesti dingat bahwa permukaan humerus cembung, bergerak pada fosa glemoid yang cekung sehingga aturan cembung-cekung dipraktekkan.
            Latihan keleluasaan untuk pundak bisa berbentuklatihan pendulum, peregangan aktif. Peregangan dilarang sampai menimbulkan nyeri.  Latihan kelonggaran dijalankan pada semua penyusun sendi pundak. Latihan kekuatan untuk pundak dimulai dengan aktivitas isometrik, lalu latihan isotonik. Latihan isometrik dimulai pada permulaan acara rehabilitasi dikala pasien terbatas mobilitas pundak dan kekuatannya. Masing-masing kontraksi isometrik secara bertahap ditingkatkan hingga kontraksi maksimum, dipertahankan, kemudian dikurangi secara bertahap hingga otot relaksasi. Tiap kontraksi isometrik dipertahankan 5 samapi 10 detik dan diulangi 10 kali. Latihan isometrik dijalankan untuk memperkuat otot-otot flexor, abduksi, ekstensor, rotasi medial, dan rotasi lateral.
Saat kekuatan otot telah bisa menertibkan sendi selama pergerakan, latihan lebih lanjut mampu dilakukan. Jika pasien merasa nyeri saat bahu dalam posisi elevasi, sangat diusulkan untuk melaksanakan latihan dengan tahanan manual. Pasien yang telah mencapai kekuatan dan stabilitas bahu dapat melakukan latihan pliometrik pada permukaan yang tidak stabil, pliometrik push-up, aktivitas dengan beban, dan latihan dengan medicine-ball. Bentuk-bentuk terapi latihan untuk cedera bahu dan lengan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Codman’s Pendulum Swing (Mengayun lengan)
Letakkan lengan sehat ke meja untuk menyangga badan. Bungkukkan tubuh dan biarkan lengan/pundak yang cedera menggantung rileks. Perlahan ayunkan lengan memutar searah dan bertentangan arah dengan jarum jam, lalu ke depan-belakang dan samping-menyamping. Ulangi 30 kali pada masing-masing arah.
2.    Wall Lader (Merambat tembok)
Berdirilah menyamping tembok, jangkaulah tembok dengan lengan cedera dalam posisi lurus. Merambatlah ke atas dengan tunjangan jari-jari tangan setinggi mungkin, kemudian pertahankan posisi tersebut. Ulangi 3-5 kali. Lakukan latihan ini dengan menghadap tembok maupun menyamping tembok.
3.    Supine Flexion (Tekuk lengan ke belakang)
Tidur terlentang dan peganglah T-Bar atau tongkat dengan kedua tangan. Angkat lengan diatas kepala sejauh mungkin dan tahan 5-10 detik. Kembali ke posisi semula dan ulangi kembali gerakan ini. Apabila keleluasaan dan kekuatan telah bertambah, boleh ditambahkan beban pada tongkat.
4.    Bent Arm Flexion (Angkat lengan ke depan-atas)
Sangga lengan yang cedera dengan tangan yang sehat, dan perlahan angkat lengan cedera tersebut ke depan dan ke atas sejauh mungkin. Pertahankan dan turunkan kembali ke posisi semula. Istirahatkan, dan ulangi gerakan ini sebanyak 30 kali.
5.    T-Bar Flexion (Angkat lengan dengan T-Bar)
Pegang secara kendor ujung T-Bar dengan lengan yang cedera, dan lengan sehat memegang ujung panjang T-Bar. Angkat lengan cedera dengan mendorong T-Bar setinggi mungkin, kemudian tahan dan turunkan kembali secara perlahan. Ulangi 30 kali. T-Bar Flexion (Angkat lengan dengan T-Bar)
Pegang secara kendor ujung T-Bar dengan lengan yang cedera, dan lengan sehat memegang ujung panjang T-Bar. Angkat lengan cedera dengan mendorong T-Bar setinggi mungkin, lalu tahan dan turunkan kembali secara perlahan. Ulangi 30 kali.
6.    Active Flexion (Angkat lengan Secara Aktif)
Berdirilah dengan siku lurus dan ujung jari menghadap ke depan. Angkat lengan cedera ke atas di depan badan setinggi mungkin, pertahankan dan turunkan secara perlahan. Ulangi gerakan ini
7.    Bent Arm Extension (Tarik lengan ke belakang-bawah)
Sangga lengan yang cedera dengan telapak tangan yang sehat, dan perlahan dorong lengan cedera ke belakang sejauh mungkin. Pertahankan, dan lalu kembali ke posisi semula secara perlahan. Ulangi 30 kali.
8.    T-Bar Extension (Tarik ke belakang-bawah dengan T-Bar)
Genggam renggang ujung T-Bar dengan lengan cedera, dan pegang ujung lain dengan tangan yang sehat. Gunakan tangan sehat untuk mendorong lengan cedera ke belakang tubuh sejauh mungkin. Pertahankan dan kembalikan ke posisi permulaan. Ulangi 30 kali.
9.    Prone – Extension (Lengan melekat panggul)
Tidurlah telungkup dengan lengan cedera menggantung kearah lantai. Dengan lengan cedera yang diputar keluar, angkat ke belakang menuju panggul sehingga sejajar dengan lantai. Tidak perlu lebih dari sejajar lantai.
10.     Bent Arm Abduction (Angkat lengan menjauhi badan)
Letakkan lengan cedera di tangan yang sehat, dan dengan perlahan bawa lengan cedera menjauhi badan semaksimal mungkin. Pertahankan dan kembalikan pelan ke posisi semula. Rilekskan sebentar dan ulangi 30 kali.
11.     T-Bar Abduction (Angkat menjauhi badan dengan T-Bar)
Pegang ujung T-Bar dengan lengan cedera, dan ujung lain dengan lengan sehat. Pergunakan tangan sehat untuk mengangkat lengan cedera menyamping menjauhi badan semaksimal mungkin. Pertahankan dan kembalikan perlahan ke posisi semula. Ulangi 30 kali.
12.     Active Abduction (Angkat menjauh dari tubuh secara aktif)
Berdirilah dengan siku lurus. Angkat lengan cedera menjauhi badan setinggi mungkin. Pertahankan dan turunkan perlahan. Ulangi kembali
13.     Prone Horizontal Abduction (Angkat menjauhi badan)
Tidurlah tengkurap di meja. Angkat keluar lengan cedera menjauhi tubuh hingga sejajar lantai. Pertahankan, kembalikan ke posisi semula dan ulangi gerakan tersebut
14.     Adducted Internal / External Rotation (Memutar lengan ke dalam dan ke luar)
Dengan lengan cedera disamping tubuh dan menekuk siku 90 derajat, putarlah lengan menyilang tubuh ke perut sejauh mungkin. Pertahankan, lalu ganti putar ke luar dan pertahankan. Dengan perlahan kembalikan ke posisi semula dan ulangi 30 kali.
15.     Side Lying Internal Rotation (Putar lengan ke dalam dengan posisi tidur miring)
Tidurlah miring ke segi lengan cedera dengan siku menekuk 90 derajat. Dengan perlahan, angkat tangan cedera ke perut. Pertahankan, lalu kembalikan ke posisi semula. Ulangi berulang kali.
16.     Side Lying External Rotation (Putar lengan ke luar dengan posisi tidur miring)
Tidurlah miring ke sisi lengan yang sehat dengan siku terletak di dada dan menekuk 90 derajat. Perlahan angkat tangan ke atas menjauhi badan semaksimal mungkin. Pertahankan dan turunkan kembali. Ulangi gerakan ini beberapa kali.
17.     Supine Internal/External Rotation (Putar lengan ke depan dan ke luar dengan posisi tidur terlentang)
Tidurlah terlentang di meja dengan bahu renggang dan siku tersangga dalam posisi menekuk. Perlahan angkat tangan ke atas dan ke depan sejauh mungkin. Pertahankan 1-2 detik, dan kembalikan ke posisi semula. Usahakan punggung tangan menyentuh meja pada posisi ke belakang dan telapak tangan menjamah meja pada posisi ke depan. Ulangi gerakan ini beberapa kali.
18.     Supraspinatus
Berdirilah dengan siku lurus dan lengan memutar ke dalam. Angkat tangan setinggi mata dengan sudut 30 derajat kepada tubuh. Jaga jangan hingga lebih tinggi dari mata. Pertahankan, dan kembalikan ke posisi semula. Ulangi gerakan ini berulang kali.
19.     Shrugs
Berdirilah dengan lengan disamping badan. Angkat bahu ke telinga dan pertahankan. Tarik pundak ke belakang sehingga saling mendekat. Pertahankan dan kemudian rilekskan. Ulangi berulang kali.
20.     Towel Squeeze (Memeras handuk dengan lengan atas)
Lipat handuk menjadi 1/8, kemudian letakkan diantara dada dan lengan cedera. Perlahan tekankan lengan ke handuk dan dada dengan lengan bawah menyilang di depan badan pada sudut 45 derajat. Pertahankan kontraksi isometrik ini 5-10 detik, lalu rilekskan. Ulangi gerakan ini beberapa kali.
21.     Supine Triceps Extension (Ekstensi trisep dalam posisi terlentang)
Berbaringlah terlentang dengan siku menekuk di dekat kepala. Letakkan lengan cedera ke bahu sehat. Perlahan luruskan siku sejauh mungkin tanpa menggerakkan lengan atas. Perlahan kembali ke posisi semula. Ulangi gerakan ini berulang kali.
22.     Standing Triceps Press (Tekan trisep dalam posisi berdiri)
Angkat lengan cedera ke atas kepala. Sangga siku dengan lengan sehat. Perlahan luruskan lengan di atas kepala. Pertahankan dan kembalikan ke posisi semula. Ulangi berulang kali.
23.     Seated Dips
Duduklah di tepi meja atau dingklik dengan tangan memegang tepian meja/dingklik. Perlahan luruskan lengan dan angkat pantat. Pertahankan 3-5 detik dan kembali ke meja dengan perlahan. Ulangi beberapa kali.
24.     Chair Dips
Letakkan bagian belakang badan di pinggiran bangku dengan kaki menjulur ke depan. Perlahan turunkan badan ke lantai sampai lengan atas sejajar lantai. Angkat badan ke atas dengan hati-hati dan pertahankan. Secara perlahan kembalilah ke posisi semula dan ulangi gerakan ini berulang kali.
25.     Biceps Curls
Lengan lurus disamping badan dengan tangan menghadap ke depan. Perlahan tekuklah siku kearah bahu sejauh mungkin. Pertahankan dan rilekskan ke posisi semula. Ulangi gerakan ini berulang kali.
26.     Supine Press
Berbaringlah terlentang dengan siku disamping dada dan menekuk 90 derajat. Perlahan angkat dan luruskan lengan ke atas. Pertahankan dan kembalikan perlahan ke posisi semula. Ulangi beberapa kali.
27.     Progressive Push-Ups
Peganglah tepian kawasan tidur atau meja dengan kedua kaki sejajar dan berjarak 3-4 kaki dari tempat tidur. Perlahan turunkan tubuh kearah tepi tempat tidur, tetapi tidak sampai menyentuhnya. Kembalilah ke posisi semula dan ulangi gerakan ini. Tingkatkan dengan memakai tempat tidur/meja yang makin rendah dan pada karenanya di lantai.
28.     Bent Over Rows
Bungkukkan badan sehingga sejajar dengan lantai dan lengan menggantung. Perlahan tariklah lengan ke atas sehingga tangan setinggi dada, mirip orang menggergaji. Turunkan dan kembali ke posisi awal. Ulangi gerakan ini beberapa kali.
KESIMPULAN
            Hasil Latihan dapat dievaluasi dari adanya kenaikan fleksibilitas atau Range of Movement (ROM), kekuatan, dan daya tahan otot. Untuk unsur kekuatan mampu dinilai dari kemampuannya melawan beban, baik mendorong, menarik, mengangkat, maupun menekan. Untuk daya tahan otot mampu dinilai dari kemampuannya melaksanakan usaha secara berulang-ulang, sedangkan untuk keleluasaan dinilai dari kemampuannya menusuri kisaran gerak sendi. Besarnya kisaran gerak sendi pada saat tidak cedera mampu menjadi sasaran hasil latihan, dan secara rinci tersaji selaku berikut: 1) Fleksi ke depan: 0 – 180 derajat, 2) Ekstensi: 0 – 70 derajat, 3) Adduksi: 0 – 45 derajat
            Beberapa hal yang perlu diterapkan dalam menerapkan program terapi latihan ini yakni: 1) Mulailah latihan setelah tanda radang (infeksi, merah, nyeri) mereda, 2) Terapkan Kompres panas pada lokasi cedera sebelum memulai latihan, 3) Lakukan sedikit masase sambil menerapkan kompres panas sebelum latihan, 4) Latihlah bab cedera dengan batas rasa nyeri dan kian lama semakin ditingkatkan, 5) Gunakan peralatan di sekeliling yang tersedia dengan tetap berorientasi pada tujuan latihan, 6) Kompres dan gosok dengan es lokasi cedera sesudah simpulan latihan, 7) Lakukan latihan sesegera dan sesering mungkin

DAFTAR PUSTAKA
Houglum, Peggy. (2005). Therapeutic Exercise for Musculoskeletal Injuries. Second Edition. Human Kinetics.
Kannus, Pekka. (2000). Immobilization or Early Mobilization After an Acute Soft-Tissue Injury? The Physcician and Sportsmedicine, Vol. 28, No.3.
Konin, Jeff. (2009). Current Trends in Youth Sports Injuries, USF Health Orthopedic and Sports Medicine, USA.
Litbang KONI DIY. (2008). Laporan Litbang KONI DIY, Yogyakarta.
The Athlete Project. (2005). The Injury Process. www.athleteproject.com. Diakses pada tanggal 28 Januari 2007.
Viljoen, Wayne. (2000). Principles of Rehabilitation. Diploma in Sports Management. Presentation.
.