close

Teori-Teori Akuntabilitas Korporasi ( Corporate Accountability Theory)

Teori Akuntabilitas Korporasi ( Corporate Accountability Theory)
Menurut teori ini, perusahaan mesti bertanggung jawab atas semua konsekuensi yang ditimbulkan baik sengaja maupun tidak sengaja terhadap para pemangku kepentingan (stakeholder). Secara teori tersebut menyatakan CSR tidak hanya sekedar acara kedermawanan (charity) atau aktivitas saling mencintai (stewardship) yang bersifat sukarela terhadap sesame mirip yang dimengerti para usahawan selama ini, namun juga mesti dimengerti sebagai sebuah keharusan asasi yang menempel dan menjadi “roh kehidupan” dalam sistem serta praktik bisnis. Alasannya, CSR ialah konsekuensi logis dari adanya hak asasi yang diberikan Negara terhadap perusahaan untuk hidup dan berkembang dalam sebuah area lingkungan. Jika tidak ada keselarasan antara hak dan keharusan asasi perusahaan, dalam area tersebut akan hidup dua pihak ialah, gainers (perusahaan) dan losers adalah penduduk (Dellaportas,dkk,2005) dalam Andreas Loko (2011: 5 ).
Teori stakeholder
Teori ini menyatakan bahwa kesuksesan dan hidup-matinya sesuatu perusahaan sungguh tergantung pada kemampuannya menyeimbangkan beragam kepentingan dari para stakeholder atau pemangku kepentingan. Jika mampu, maka perusahaan bakal meraih santunan yang berkelanjutan dan menikmati perkembangan pangsa pasar, pemasaran, serta keuntungan.
Teori Legitimasi
Dalam perspektif teori legitimasi, perusahaan dan komunitas sekitarnya mempunyai korelasi sosial yang bersahabat alasannya keduanya terikat dalam sebuah “social contract”. Teori kontrak sosial (social contact) menyatakan bahwa keberadaan perusahaan dalam suatu area alasannya adalah didukung secara politisi dan dijamin oleh regulasi pemerintah serta dewan perwakilan rakyat yang juga merupakan representasi dari masyarakat. Dengan demikian, ada kontrak sosial secara tidak eksklusif antara perusahaan dan penduduk member costs dan benefits untuk keberlanjutan sebuah korporasi. Karena itu, CSR merupakan kewajiban asasi perusahaan yang tidak bersifat suka rela.
Teori sustainabilitas korporasi (corporate sustainability theory)
Menurut teori ini, semoga bisa hidup dan berkembang secara berkelanjutan korporasi harus mengintegrasikan tujuan bisnis dengan tujuan sosial dan ekologis secara utuh. Pembangunan bisnis mesti berlandaskan pada tiga pilar utama yaitu ekonom, sosial, dan lingkungan secara terpadu, seri tidak mengorbankan kepentingan generasi-generasi selanjutnya untuk hidup dan memenuhi kebutuhannya. Dalam perspektif teori corporate sustainability, masyarakat dan lingkungan adalah pilar dasar dan utama yang menentukan kesuksesan bisnis sebuah perusahaan sehingga harus senantiasa diproteksi dan diberdayakan.
Teori political economy
Menurut teori ini, domain ekonomi tidak dapat diisolasikan dari lingkungan di mana transaksi-transaksi ekonomi dikerjakan. Laporan keuangan (ekonomi) perusahaan merupakan dokumen sosial dan politik serta juga dokumen ekonomi. Karena tidak dapat diisolasikan dari masyarakat dan lingkungan, perusahaan wajib mengamati dan melaksanakan CSR.
Teori keadailan (justice theory)
Menurut teori ini, dalam tata cara kapitalis pasar bebas laba/rugi sangat tergantung pada the unequal rewards and privilages yang terdapat dalam laba dan kompensasi. Laba/rugi merefleksikan ketidakadilan antarpihak yang dicicipi atu diderita sebuah perusahaan. Karena itu, perusahaan mesti adil terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya yang sudah turut menanggung imbas eksternalitas perusahaan melalui acara-acara CSR.
Konsep Corporate Social Responbility (CSR)
1.  Definisi CSR
Definisi CSR berdasarkan World Bank ( Bank Dunia) adalah :
CSR is commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of live, in ways that are both good for business and good for development.
Yang dimaksud didalam definisi tersebut yaitu CSR merupakan sebuah janji bisnis untuk berperan dalam pembangunan ekonomi yang mampu bekerja dengan karyawan dan perwakilan mereka, penduduk sekitar dan masyarakat yang lebih luas untuk memperbaiki kualitas hidup, dengan cara yang bagus bagi bisnis maupun pengembangan.
Definisi CSR menurut International Finance Corporation
“Komitmen dunia bisnis usaha untuk meberi bantuan terhadap pembanguanan ekonomi berkelanjutan malalui kerjasama dengan karyawan, keluarga merekea, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka lewat cara-cara yang bagus bagi bisnis maupun pembangunan.
ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responbility , mendefinisikan CSR sebagai beriukut : “tanggung jawab sebuah organisasi terhadap efek-pengaruh dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada penduduk dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk sikap transparan dan etis yang sejalan dengan pembanguanan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, memikirkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan aturan yang ditetapkan dan norma-norma sikap internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh (draft 3. 2007).
Dalam UU PM, yang dipakai sebagai rujukan pewajiban CSR dalam RUU PT di penjelasan Pasal 15 huruf b, CSR didefinisikan selaku “tanggung jawab yang menempel pada setiap perusahaan untuk tetap membuat hubungan yang harmonis, sepadan, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya penduduk setempat.” Dalam teks Pasal 74 RUU PT sendiri CSR tidak didefinisikan. Namun dalam dokumen kerja Tim Perumus terdapat definisi “Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah kesepakatan Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkesinambungan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang berguna, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”
2. Pengungkapan CSR dalam Laporan Tahunan di Indonesia
Hendriksen (1991:203) mendefinisikan pengungkapan sebagai penyajian sejumlah info yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara maksimal pasar modal yang efisien. Pengungkapan ada yang bersifat wajib (mandatory), ialah pengungkapan berita wajib dilakukan oleh perusahaan yang didasarkan pada peraturan atau tolok ukur tertentu, dan ada yang bersifat sukarela (voluntary) yang merupakan pengungkapan gosip melebihi tolok ukur minimum dari peraturan yang berlaku.
Setiap pelaku ekonomi selain berupaya untuk kepentingan pemegang saham dan mengkonsetrasikan diri pada pencapaian laba juga memiliki tanggung jawab sosial, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan, sebagaimana dinyatakan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (Revisi 2009) paragraf keduabelas: 
Entitas dapat pula menyuguhkan, terpisah dari laporan keuangan, laporan tentang lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), terutama bagi industri dimana aspek lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap karyawan sebagai golongan pengguna laporan yang memegang peranan penting. Laporan perhiasan tersebut di luar ruang lingkup Standar Akuntansi Keuangan. 
Pengungkapan sosial yang dijalankan oleh perusahaan biasanya bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu). Oleh sebab itu, perusahaan memiliki kebebasan untuk mengungkapkan berita yang tidak diharuskan oleh tubuh penyelenggara pasar modal. Keragaman dalam pengungkapan disebabkan oleh perusahaan yang dikontrol oleh manajer yang memiliki pandangan filosofi manajerial yang berlainan dan keluasan yang berhubungan dengan pengungkapan gosip terhadap penduduk .
Menurut Zhegal dan Ahmed (1990) dalam Anggraini (2006) mengidentifikasikan beberapa hal yang berhubungan dengan pelaporan CSR perusahaan, ialah sebagai berikut: 
1. Lingkungan, mencakup pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau perbaikan kepada kerusakan lingkungan, konservasi alam, dan pengungkapan lain yang berhubungan dengan lingkungan. 
2. Energi, meliputi konservasi energi, efisiensi energi. 
3. Praktik bisnis yang masuk akal, mencakup, pemberdayaan kepada minoritas dan wanita, santunan terhadap usaha minoritas, tanggung jawab sosial 
4. Sumber daya insan, meliputi aktivitas di dalam sebuah komunitas, dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan, pendidikan dan seni. 
5. Produk, meliputi keamanan, penghematan polusi. 
Sementara itu, dalam Anggraini (2006), Darwin (2004) mengatakan bahwa Corporate Sustainability Reporting terbagi menjadi tiga klasifikasi yang biasa disebut selaku aspek Triple Bottom Line, yakni kinerja ekonomi, kinerja lingkungan, dan kinerja sosial. Tujuannya yakni supaya stakeholder mampu mendapat yang lebih komprehensif untuk menilai kinerja, risiko, dan proyek bisnis, serta kelancaran hidup sebuah korporasi.
3. Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan CSR
Karakteristik perusahaan mampu menjelaskan kombinasi luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan, karakteristik perusahaan merupakan prediktor kualitas pengungkapan.
Setiap perusahaan memiliki karakteristik yang berlawanan antara entitas yang satu dengan lainnya. Dalam penelitian ini karekteristik perusahaan yang mempengaruhi pengungkapan CSR dalam laporan tahunan perusahaan mengacu pada penelitan yang dilaksanakan Amran dan Devi (2008) yakni kepemilikan saham pemerintah (government shareholding), kepemilikan saham gila (foreign shareholding), ukuran perusahaan (corporate size), tipe industri (industry type), profitabilitas (profitability). Sebagai variabel aksesori ialah regulasi pemerintah (Government Regulation).
4. Kepemilikan Saham Pemerintah (Government Shareholding)
Kepemilikan saham pemerintah (government shareholding) yakni jumlah saham perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah. Melalui kepemilikan saham ini pemerintah berhak memutuskan administrator perusahaan. Selain itu pemerintah mampu mengatur kebijakan yang diambil oleh manajemen agar sesuai dengan kepentingan/aspirasi pemerintah. Untuk dapat bertahan, perusahaan ini harus dapat mensinkronkan dirinya dengan pemerintah (Amran dan Devi, 2008). 
Di Indonesia perusahaan ini disebut dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mayoritas sahamnya dimiliki oleh pemerintah sehingga stakeholder utama perusahaan ini adalah pemerintah. Dalam melaksanakan operasional perusahaannya, BUMN berpedoman terhadap perundang-usul dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu BUMN akan menerima sorotan yang lebih oleh masyarakat, hal ini karena masyarakat memiliki ekspektasi yang lebih besar kepada BUMN dari pada perusahaan swasta. Bagi penduduk , pengelolaan BUMN yang baik mencerminkan keberhasilan pemerintah dalam buka usaha dan dalam pelaksanaan good corporate governance. 
Berdasarkan akal diatas maka tekanan pemerintah dan publik mempunyai efek kepada pengelolaan perusahaan termasuk dalam pelaksanaan CSR. Akan tetapi terdapat penelitian yang mendapatkan hasil bahwa hanya tekanan publiklah yang mempunyai imbas signifikan terhadap pelaksanaan CSR.
5. Kepemilikan Saham Asing (Foreign Shareholding)
Kepemilikan saham gila (foreign shareholding) ialah jumlah saham perusahaan yang dimiliki oleh pihak asing. Jika dilihat dari sisi stakeholder perusahaan, pengungkapan CSR ialah salah satu media yang dipilih untuk memperlihatkan kepedulian perusahaan kepada masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, jika perusahaan mempunyai kesepakatan dengan foreign stakeholders baik dalam ownership dan trade, maka perusahaan akan lebih disokong dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR). 
Terdapat beberapa argumentasi bagi perusahaan yang mempunyai kepemilikan saham asing memperlihatkan pengungkapan yang lebih dibandingkan yang tidak. Alasan yang pertama, perusahaan aneh medapatkan pelatihan yang lebih baik dalam bidang akuntansi dari perusahaan induk di mancanegara. Kedua, perusahaan tersebut mungkin memiliki sistem gosip yang lebih efisien untuk menyanggupi kebutuhan internal dan keperluan perusahaan induk. Ketiga, kemungkinan permintaan yang lebih besar pada perusahaan berbasis gila dari pelanggan, pemasok dan penduduk umum. 
6. Tipe Industri (Industry Type)
Tipe industri dibedakan menjadi dua jenis, ialah industri yang high-profile dan industri yang low-profile. Robert (1992) dalam Anggraini (2006) menggambarkan industri yang high-profile selaku perusahaan yang memiliki tingkat sensivitas yang tinggi terhadap lingkungan (consumer visibility), tingkat risiko politik yang tinggi atau tingkat kompetisi yang ketat. Keadaan tersebut membuat perusahaan menjadi lebih mendapatkan sorotan oleh masyarakat luas mengenai acara perusahaannya. Industri low-profile yaitu kebalikannya. Perusahaan ini memiliki tingkat consumer visibility, tingkat risiko politik, dan tingkat persaingan yang rendah, sehingga tidak terlalu menerima sorotan dari masyarakat luas perihal kegiatan perusahaannya walaupun dalam melakukan aktivitasnya tersebut perusahaan melakukan kesalahan atau kegagalan pada proses maupun hasil produksinya.
Klasifikasi tipe industri yang diuraikan oleh banyak peneliti terdahulu sifatnya sungguh subyektif dan berlawanan-beda. Dalam Anggaraini (2006) dan Sembiring (2005) , Roberts (1992), Hackston dan Milne (1996) menggolongkan perusahaan otomotif, penerbangan dan minyak sebagai industri yang high-profile, sedangkan Diekers dan Perston (1977) dalam Hackston dan Milne (1996) menyampaikan bahwa industri ekstraktif ialah industri yang high-profile. Patten (1991), Hackston dan Milne (1996) menggolongkan industri pertambangan, kimia, dan kehutanan selaku industri high-profile. Atas dasar pengelompokan di atas, maka penelitian ini menggolongkan industri migas, kehutanan, pertanian, pertambangan, perikanan, kimia, otomotif,transportasi, barang konsumsi, masakan dan minuman selaku industri yang high-profile
7. Ukuran Perusahaan ( Corporate Size)
Ukuran perusahaan (size) merupakan salah satu variabel yang banyak dipakai untuk menerangkan perihal kombinasi pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan. Terdapat beberapa penjelasan tentang dampak ukuran perusahaan (Size) terhadap mutu ungkapan. Hal ini mampu dilihat dari berbagai penelitian empiris yang sudah dijalankan memperlihatkan bahwa efek total aktiva hampir senantiasa konsisten dan secara statistik signifikan. Beberapa klarifikasi yang mungkin mampu menerangkan fenomena ini yakni bahwa perusahaan besar memiliki biaya info yang rendah, perusahaan besar juga mempunyai kompleksitas dan dasar pemilikan yang lebih luas dibanding perusahaan kecil.
8. Profitabilitas ( Profitability)
Profitabilitas merupakan suatu kesanggupan perusahaan untuk menciptakan keuntungan untuk mengembangkan nilai pemegang saham. Menurut Heinze (1976); Gray, et al. (1995b); dalam Sembiring (2005) profitabilitas merupakan aspek yang menciptakan administrasi menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan CSR terhadap pemegang saham. Oleh alasannya itu, kian tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka kian besar pengungkapan gosip sosialnya. Hackston dan Milne (1996) dalam Anggraini (2006) dalam penelitiannya memperoleh bahwa tidak ada relasi yang signifikan antara tingkat profitabilitas dengan pengungkapan gosip sosial. Hubungan antara kinerja keuangan suatu perusahaan, dalam hal ini profitabilitas, dengan pengungkapan tanggung jawab sosial berdasarkan Belkaoui dan Karpik (1989) paling baik diekspresikan dengan pandangan bahwa balasan sosial yang diminta dari manajemen sama dengan kesanggupan yang diminta untuk menciptakan sebuah perusahaan mendapatkan keuntungan. Manajemen yang sadar dan mengamati persoalan sosial juga akan memajukan kemampuan yang diperlukan untuk menggerakkan kinerja keuangan perusahaan. Konsekuensinya, perusahaan yang mempunyai tanggapansosial dalam hubungannya dengan pengungkapan tanggung jawab sosial seharusnya menyingkirkan seseorang yang tidak merespon kekerabatan antara profitabilitas perusahaan dengan variabel akuntansi mirip tingkat pengembalian investasi dan variabel pasar mirip differential return harga saham.
9. Regulasi Pemerintah ( Government regulation )
Regulasi pemerintah yaitu segala peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menertibkan perusahaan. Aspek ini sungguh penting untuk diamati oleh perusahaan, baik perusahaan pemerintah maupun perusahaan aneh. Beberapa peraturan terkait isu utama CSR di Indonesian yakni: Organisational governance, Environment, Labour practices, Consumer issues, Fair operating practices, Human rights, Social and economic development. Semakin banyak peraturan yang mesti diataati oleh perusahaan maka makin luas pula pengungkapan yang mesti dijalankan terkait pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut. 
Belum lama ini Bapepam LK mengeluarkan keputusan No. 134/BL/2006 perihal Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. Dibanding hukum yang lama (SK Bapepam No. 38/PM/1996) jumlah informasi yang wajib diungkapkan, terutama yang terkait dengan praktek Corporat Governance, jauh lebih banyak. Pada tahun 2007, dewan perwakilan rakyat juga sudah mengesahkan UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dalam pasal 74 undang-undang tersebut mewajibkan perusahaan untuk menguraikan kegiatan dan ongkos yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Hal ini akan mempunyai efek pada makin banyaknya isu operasional perusahaan yang harus diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan, tergolong dalam pengungkapan CSR. Peraturan lain yang menjamah CSR yakni UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15(b) menyatakan bahwa “Setiap penaman modal berkewajiban melaksanakan tabggung jawab sosial perusahaan”. Meskipun UU ini sudah menertibkan sanksi-hukuman secara jelas terhadap badan perjuangan atau usaha perseroan yang mengabaikan CSR (Pasal 34), UU ini baru bisa meraih penanam modal ajaib dan belum menertibkan secara tegas wacana CSR bagi perusahaan nasional.