Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Aturan Pembuktian

1. Pendahuluan 
Pokok bahasan perihal pembuktian memanggil perbedaan pendapat diantara hebat aturan dalam mengklasifikasikannya apakah tergolong kedalam aturan perdata atau hukum program perdata.
Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa sesungguhnya soal pembuktian ini lebih sempurna diklasifikasikan selaku hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengendalikan hal-hal yang tergolong aturan materil.
Akan namun memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam aturan acara materil dan aturan acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (aturan program perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang perihal hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia tentang pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang menampung aturan acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.
Hukum positif perihal pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku ketika ini di RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya aturan pembuktian materiil.
2. Pembahasan 
A. TEORI PEMBUKTIAN 
Pengertian Pembuktian/menunjukan 
“Membuktikan” berdasarkan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian:
a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti menunjukkan kepastian mutlak, sebab berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
b) Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan mempunyai arti memperlihatkan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
– kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
– kepastian yang didasarkan atas pertimbangan nalar (conviction raisonnee)
c) Membuktikan dalam aturan acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu aturan tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti musuh.
Akan namun merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju terhadap kebenaran mutlak.
Ada kemungkinan bahwa pengesahan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau artifisial atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti musuh.
Pembuktian secara yuridis tidak lain ialah pembuktian “historis” yang mencoba memutuskan apa yang sudah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka mengambarkan pada hakekatnya berarti menimbang-nimbang secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa masalah yang bersangkutan guna memberikan kepastian ihwal kebenaran peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum program pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan sudah melakukan tindakan melawan hukum, kecuali kalau menurut buki-bukti yang sah hakim memperoleh iktikad perihal kesalahan terdakwa, dalam hukum program perdata untuk mengungguli seseorang, tidak perlu adanya iman hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan menurut alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan wacana siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam aturan acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
Prinsip-Prinsip Pembuktian 
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim yaitu untuk menilik apakah suatu korelasi hukum yang menjadi dasar gugatan betul-betul ada atau tidak. Adanya korelasi aturan inilah yang harus terbukti bila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu masalah. Apabila penggugat tidak sukses membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan jika sukses, maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar somasi harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak dibantah, jika diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak butuhdibuktikan lagi.
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :
– hal-hal/keadaan-kondisi yang telah diakui
– hal-hal/keadaan-kondisi yang tidak disanggah
– hal-hal/kondisi-kondisi yang telah dikenali oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). 
Atau hal-hal yang secara kebetulan sudah dimengerti sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.
Dalam soal pembuktian tidak senantiasa pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa masalah itu yang mau menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang mau diwajibkan menawarkan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang hendak memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak berakal dan bijaksana, serta dihentikan berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai fatwa, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa:
“Barang siapa mengajukan kejadian-kejadian atas mana ia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan insiden-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan insiden-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-kejadian itu”
# Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk kejadian yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, tetapi pembuktian itu masih mesti dinilai.
Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [pola: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [acuan: terhadap akta yang ialah alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].
Terdapat 3 (tiga) teori yang menerangkan tentang sampai berapa jauhkah aturan kasatmata mampu mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian insiden didalam sidang, yakni :
a) Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak mengharapkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga evaluasi pembuktian seberapa mampu diserahkan terhadap hakim. Teori ini diharapkan jumhur/usulan biasa alasannya adalah akan menunjukkan fleksibilitas wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
b) Teori Pembuktian Negatif
Teori ini cuma mengharapkan ketentuan-ketentuan yang menertibkan larangan-larangan terhadap hakim untuk melaksanakan sesuatu yang bekerjasama dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)
c) Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini mengharapkan adanya perintah terhadap hakim. Disini hakim diwajibkan, namun dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW). 
# Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian
Seperti telah diuraikan sekilas diatas (dalam sub judul prinsip-prinsip pembuktian), maka pembuktian dilaksanakan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang menyuruh terhadap para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori wacana beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:
a) Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
b) Teori hukum subyektif
Menurut teori ini sebuah proses perdata itu selalu ialah pelaksanaan aturan subyektif atau bermaksud mempertahankan aturan subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak mesti membuktikannya.
c) Teori aturan obyektif
Menurut teori ini, mengajukan somasi hak atau gugatan mempunyai arti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif kepada pristiwa yang diajukan. Oleh alasannya itu penggugat mesti menunjukan kebenaran ketimbang insiden yang diajukan dan lalu mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada insiden itu.
d) Teori hukum publik
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan ialah kepentingan publik. Oleh alasannya itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk menunjukan dengan segala jenis alat bukti. Kewajiban ini harus disertai hukuman pidana.
e) Teori aturan acara
Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama dibandingkan dengan para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Hakim harus membagi beban pembuktian menurut kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak ialah sama.
B. Alat-Alat Bukti
Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, ialah
1. Surat-surat
2. Kesaksian
3. persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas wacana alat-alat bukti tersebut; 
Surat-Surat 
Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu goresan pena yang semata-mata dibuat untuk menerangkan sesuatu hal atau kejadian, kesudahannya suatu akte mesti senantiasa ditandatangani.
Surat-surat akte mampu dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands).
Suatu akte resmi (authentiek) yakni suatu akte yang dibentuk oleh atau dihadapan seorang pejabat biasa yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat biasa yang dimaksud yakni notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut undang-undang sebuah akte resmi (authentiek) memiliki sebuah kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan sebuah akte resmi, hakim harus mendapatkannya dan menilai apa yang dituliskan didalam akte itu, betul-betul sudah terjadi, sehingga hakim tidak boleh menyuruh penambahan pembuktian lagi.
Suatu akte di bawah tangan (onderhands) yaitu tiap akte yang tidak dibentuk oleh atau dengan mediator seorang pejabat biasa . Misalnya, surat kontrakjual-beli atau sewa menyewa yang dibentuk sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang bermakna dia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat kesepakatanitu, maka akte dibawah tangan tersebut mendapatkan sebuah kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi.
Akan tetapi kalau tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat kontraktersebut diwajibkan untuk menerangkan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini ialah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku kepada sebuah akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada sebuah akte resmi, diwajibkan menunjukan bahwa tanda tangan itu artifisial, dengan kata lain, pejabat lazim (notaris) yang menciptakan akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat.
Berbagai goresan pena-goresan pena lain, artinya tulisan yang bukan akte mirip surat, faktur, catatan yang dibentuk oleh sebuah pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada usulanhakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya. 
Kesaksian 
Sesudah pembuktian dengan goresan pena, pembuktian dengan kesaksian ialah cara pembuktian yang paling penting dalam kasus yang sedang diperiksa didepan hakim.
Suatu kesaksian, mesti perihal insiden-kejadian yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Makara tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja perihal adanya insiden dari orang lain.
Selanjutnya dihentikan pula keterangan saksi itu ialah kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari kejadian yang dilihat atau dialaminya, sebab hakimlah yang berhak menawan kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang tepat dan mengikat hakim, namun terserah pada hakim untuk mendapatkannya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.
Seorang saksi yang sungguh rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, mampu ditolak oleh pihak musuh, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk menunjukkan kesaksian.
Selanjutnya, undang-undang memutuskan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim dilarang mendasarkan putusan perihal kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain. 
Persangkaan 
Persangkan yaitu sebuah kesimpulan yang diambil dari suatu kejadian yang sudah jelas dan positif. Dari kejadian yang jelas dan aktual ini ditarik kesimpulan bahwa suatu insiden lain yang dibuktikan juga telah terjadi.
Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).
Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari keharusan menerangkan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga sudah dibayar olehnya.
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada investigasi sebuah masalah dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah menyaksikan peristiwa itu. Misalnya, dalam sebuah perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sulit menemukan saksi-saksi yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan namun, jikalau ada saksi-saksi yang menyaksikan si istri itu bermalam dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari informasi saksi-saksi itu hakim dapat memutuskan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melaksanakan tindakan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya mampu dibuktikan dengan persangkaan. 
Pengakuan 
Sebenarnya pengukuhan bukan sebuah alat pembuktian, karena kalau suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak musuh dibebaskan untuk pertanda hak tersebut, sehingga tidak mampu dikatakan pihak musuh ini sudah membuktikan hal tersebut. Sebab investigasi didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut undang-undang, sebuah pengesahan di depan hakim, ialah sebuah pembuktian yang tepat wacana kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini mempunyai arti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu insiden yang telah diakui memang benar-benar sudah terjadi, meskipun bahwasanya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.
Adakalanya, seorang tergugat dalam sebuah masalah perdata mengakui suatu kejadian yang diajukan oleh penggugat, tetapi selaku pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar permintaan. Misalnya, dia mengakui adanya kesepakatanjual beli, namun mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang sudah ia terima dari penggugat. Menurut UU sebuah pengesahan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengukuhan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengesahan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus mengambarkan adanya kontrakperdagangan dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli.
Perlu diterangkan, bahwa dalam sebuah hal UU melarang digunakan legalisasi sebagai alat pembuktian dalam sebuah proses, yakni dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk menerima pemisahan kekayaan. 
Sumpah 
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yakni sumpah yang “memilih” (decissoire eed) dan “embel-embel” (supletoir eed).
Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang ditugaskan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk menuntaskan masalah yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, beliau akan dimenangkan, sebaliknya, bila ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, beliau akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta terhadap pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya sudah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak mendapatkan barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula menyuruh pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim bila dia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya beliau akan dikalahkan bila dia menolak pengangkatan sumpah itu.
Jika suatu pihak yang berperkara hendak menyuruh pengangkatan suatu sumpah yang memilih, hakim harus menimbang-nimbang dulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu tindakan yang sudah dijalankan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau sebuah peristiwa yang sudah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya mesti diperhitungkan apakah benar-benar dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti pertikaian antara kedua pihak yang berperkara itu mampu diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “memilih” jalannya perkara.
Suatu sumpah aksesori, adalah suatu sumpah yang ditugaskan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara kalau hakim itu barpendapat bahwa didalam sebuah perkara telah terdapat suatu “awal pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, alasannya dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah dia akan menyuruh sebuah sumpah embel-embel atau tidak dan apakah suatu hal telah ialah permulaan pembuktian.
Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat sebuah sumpah pemanis, hanya mampu mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak mampu “mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, kepada sumpah aksesori ini pun dapat dibilang, bahwa dia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan bergotong-royong dengan sebuah sumpah decissoir yakni, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh sebuah pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah pemanis diperintahkan oleh hakim sebab jabatannya, jadi atas keinginanhakim itu sendiri. 
Kesimpulan 
Bahwa aturan program itu dapat dibagi lagi dalam aturan program materil dan aturan program formil. Peraturan perihal alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (aturan acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang ihwal hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia wacana pembuktian ini sudah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat aturan acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.
Hukum nyata ihwal pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku saat ini di RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil.
Daftar Pustaka 
  • R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Intermasa, 2005, Cet. XXXII 
  • R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, 2005, Cet. XXV 
  • Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005, Cet. X 
  • R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politeia, 1995 
  • Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7, Yogyakarta: Liberty, 2006, Cet. I
  Hukum Transportasi