Teori Culture Conflict atau konflik kebudayaan akan dikaji dari perspektif social heritage, intellectual heritage, teori serta asumsi dasarnya sehingga diperlukan relatif mencukupi untuk memahami teori culture conflict.Berangkat dari polarisasi fatwa di atas lebih lanjut dikaji tentang :
– Social Heritage
Sejak beberapa tahun terakhir, banyak kajian dilaksanakan ihwal pertentangan budaya dan kenakalan. Asumsinya bahwa keberadaan conduct norm yang legal maupun tidak, berada dalam pertentangan satu sama lainnya. Konflik budaya yang menyertai conduct norm merupakan akibat migrasi (perpindahan conduct norm dari satu budaya atau daerah yang kompleks ke budaya lainnya).
Menurut anutan Chicago, urbanisasi dan industrialisasi sudah membuat masyarakat yang memiliki variasi budaya berkompetisi dan berpeluang terpecah belah sebagai ulah masing-masing keluarga, kelompok persahabatan dan kalangan sosial yang menjadi lebih perorangan, sehingga muncul pertentangan. Perilaku menyimpang lazimnya terjadi tatkala seseorang bertingkah menurut tindakannya yang berkonflik dengan tatanan budaya yang secara umum dikuasai.
– Intellectual Heritage
Teori konflik budaya dipengaruhi kondisi intelektual (Intellectual Heritage) dari beberapa kaum intelektual, yaitu :
-
Frank Speek, menyatakan bahwa pertentangan budaya dapat terjadi akibat dari perkembangan peradaban,
-
Edwin H. Sutherland, menyatakan bahwa culture conflict merupakandasar terjadinya kejahatan.
-
Taft, menyatakan, crime is product of culture
-
Louis With, menyatakan bahwa culture conflict ialah aspek penting dalam timbulnya kejahatan.
-
Clifford Shaw, menunjukkan bahwa tempat perkotaan ditandai adanya kemiskinan yang amat sungguh, perumahan kumal yang tidak layak huni, dampak tetangga yang kurang menguntungkan, adanya kelompok gang anak-anak badung, menjadi pemicu terjadinya pertentangan sikap.
– Teori Culture Conflict
Teori ini dikemukakan Thorsten Sellin, dalam bukunya Culture Conflict and Crime (1938). Fokus utama teori ini mengacu pada dasar norma kriminal dan corak fikiran/sikap. Thorsten Sellin menyepakati bahwa maksud norma-norma menertibkan kehidupan manusia saban hari.
Norma yaitu aturan-aturan yang mencerminkan perilaku dari golongan satu dengan yang lain. Konsekuensinya, setiap golongan memiliki norma dan setiap norma dalam setiap golongan lain memungkinkan untuk pertentangan. Setiap individu boleh setuju dirinya berperan sebagai penjahat lewat norma yang disetujui kelompoknya, jikalau norma kelompoknya berlawanan dengan norma yang dominan dalam masyarakat. Persetujuan pada rasionalisasi ini, ialah bagian terpenting untuk membedakan antara yang kriminal dan nonkriminal dimana yang satu menghormati pada perbedaan kehendak/etika norma.
– Asumsi Dasar Teori Culture Conflict
Secara gradual dan substansial, menurut Thorsten Sellin, semua culture conflict merupakan konflik dalam nilai sosial, kepentingan dan norma. Karena itu, pertentangan adakala ialah hasil sampingan dari proses perkembangan kebudayaan dan peradaban atau acapkali sebagai hasil berpindahnya norma-norma sikap tempat/budaya satu ke budaya lain dan dipelajari sebagai konflik mental. Konflik norma tingkah laku mampu timbul sebab adanya perbedaan cara dan nilai sosial yang berlaku di antara kelompok-kalangan.
Begitupula, pertentangan norma terjadi alasannya berpindahnya orang desa ke kota. Konflik norma dalam hukum-hukum kultural yang berlawanan mampu terjadi antara lain disebabkan tiga faktor, adalah :
1. bertemunya dua budaya besar
Konflik budaya dapat terjadi kalau adanya benturan aturan pada batas tempat kultur yang berdampingan. Contohnya, bertemunya orang-orang Indian dengan orang-orang kulit putih di AS. Pertemuan tersebut menimbulkan terjadinya kontak budaya di antara mereka, baik terhadap agama, cara bisnis dan budaya minum minuman kerasnya yang mampu memperlemah budaya suku Indian tersebut.
2. budaya besar menguasai budaya kecil
Konflik budaya dapat juga terjadi kalau satu budaya memperluas tempat berlakunya budaya tersebut terhadap budaya lain. Aspek ini terjadi dengan norma aturan dimana undang-undang suatu kelompok kultural diberlakukan untuk daerah lain. Misalnya, diberlakukannya aturan Perancis kepada suku Khabile di Aljazair, atau bergolaknya tempat Siberia ketika diterapkannya aturan Uni Soviet.
3. apabila anggota dari suatu budaya pindah ke budaya lain
Konflik budaya muncul alasannya orang-orang yang hidup dengan budaya tertentu kemudian pindah ke lain budaya yang berbeda. Misalnya, walaupun memiliki budaya vendetta, sebab pindah ke AS maka orang-orang Sicilia tunduk pada aturan AS.
Berdasar asumsi di atas ternyata Thorsten Sellin membedakan antara pertentangan primer dan pertentangan sekunder, adalah :
-
Konflik Primer, dapat terjadi dikala norma dari dua kultur, berlawanan. Pertentangan ini mampu terjadi pada batas areal kultur yang dimiliki masing-masing ketika hukum dari golongan lain muncul ke permukaan kawasan/teritorial lain atau dikala orang-orang satu kelompok pindah pada kultur yang lain.
-
Konflik Sekunder, timbul ketika dari sebuah kultur kemudian terjadi varietas kultur, salah satunya dibentuk dari penormaan perilaku/akhlak. Tipe pertentangan ini terjadi saat kesederhanaan kultur pada penduduk yang homogen berubahmenjadi masyarakat yang kompleks.
*selaku bahan kuliah
S.Maronie / 4 Mei 2012 / @K10CyberHouse