Teladan Peran Wawasan Sosial Budaya Laut

1.  ISTEM KELEMBAGAAN PUNGGAWA SAWI DI SULAWESI SELATAN
Orang Sulawesi Selatan, utamanya suku Bugis, Makassar dan Mandar, sejak dulu abad diketahui sebagai pelaut dengan etos laut yang tinggi. Masyarakat nelayan suku Bugis-Makassar telah menyebarkan kemampuannya menjadi penduduk nelayan yang tertata pada sebuah metode sosial kemasyarakatan dengan orientasi kebudayaan terhadap bahari selaku sarana dalam rangka kegiatan kehidupan mereka maupun dalam aktivitas pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan bahari yang tergambar dalam kehidupan masyarakatnya yang bisa membuatkan kemampuan dalam bidang pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha jual beli dan aturan-aturan aturan dibidang perdagangan. 
Nelayan merupakan salah satu komunitas di Sulawesi Selatan yang kondisi realitasnya hingga dikala ini mengorganisir, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hayati bahari berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya melalui pegunaan teknologi cara (soft ware technology) maupun teknologi alat (hard ware technology) yang bersifat partisipatif, assosiatif, analogik dan orientif yang melembaga serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (social control) oleh setiap warganya.Oraganisasi nelayan Bugis dan Makassar diketahui dengan ungkapan punggawa-sawi. Punggawa yaitu mereka yang memiliki modal (perahu dan alat tangkap), wawasan dan kekuasaan. Sedangkan sawi ialah mereka (nelayan) yang tidak mempunyai apa-apa, kecuali tenaga. 
Berdasarkan statusnya, punggawa terdiri atas dua macam, adalah punggawa posasi (pemimpin di laut) dan punggawa pottana (pemimpin di darat) atau biasa disebut pappalele. Punggawa posasi atau dalam komunitas nelayan lebih terkenal disebut punggawa saja, ialah pemimpin dalam aktivitas operasional penangkapan ikan di maritim. Ada kalanya punggawa posasi tidak mempunyai bahtera dan alat tangkap, sehingga mereka menggunakan bahtera dan alat tangkap dari pappalele, sedangkan punggawa pottana (pappalele) ialah pemilik modal, baik berbentukperalatan (termasuk bahtera) maupun finansial (ongkos operasional pengkapan). 
Dalam kedudukannya sebagi pemimpin dan pemilik modal, punggawa pottana tidak langsung dalam kegiatan operasional penangkapan ikan. Akan namun ia mengangkat punggawa posasi (yang tidak mempunyai perahu) untuk memimpin aktivitas operasional penangkapan ikan di luat. Pekerjaan sehari-hari punggwa pottana yakni menjual hasil tangkapan nelayan, sehingga punggawa pottana lebih populer disebut pappalele dalam komunitas nelayan. Pappalele berasal dari kata lele yang berarti pindah dan mappalele mempunyai arti meindahkan. Jadi arti harfiah pappalele yaitu orang yang meindahkan ikan dari tangan nelayan ke tangan penjualpengecer atau pelanggan. Propesi pappalele lazimnya dilaksanakan oleh istri nelayan atau orang diluar anggota saudara. Ada dua jenis pappalele, ialah pappalele yang terikat dengan punggawa posasi dan pappalele yang tidak terikat (bebas dan mampu berdiri diatas kaki sendiri). 
Organisasi punggawa-sawi tidak cuma diketahui dalam kegiatan nelayan pancing dan nelayan pappukaq, tetapi nyaris seluruh bentuk aktivitas penangkapan yang dikerjakan oleh nelayan, contohnya nelayan paqgae, nelayan pappukaq, nelayan panjala, nelayan paroppo dan sebagainya. Oragnisasi punggawa-sawi yang ada pada setiap bentuk kegiatan penangkapan pada prinsipnya sama, bedanya umumnya terletak pada pappalelenya. Oleh sebab khusus pada nelayan pancing yang menangkap ikan tuna atau ikan karang kebanyakan ialah komoditas ekspor, sehingga pappalelenya ialah pemodal besar. Biasanya dia yang menanggung ongkos operasional penangkapan, kaadang abad pula dia selaku pemilik perahu dan alat tangkap. Berbeda dengan nelayan panjala yang hasil tangkapannya rata-rata merupakan konsumsi lokal, sehingga pappalelenya rata-rata dari istri punggawa posasi itu sendiri.
Untuk suksesnya kegiatan organisasi penangkapan ikan, anggota (sawi) yang direkrut oleh punggawa kebanyakan mempunyai korelasi hubungan dengan punggawa itu sendiri. Misalnya anak, kemenakan, ipar, menantu, dan sebagainya. Kalau hal itu tidak ada, maka baru mencari di luar kerabat. seperti tetangga atau orang lain dalam kampung itu sendiri. Demikian pula dengan pappalele, umumnya lebih cenderung menjalin kekerabatan organisasi ke nelayan dengan punggawa jikalau mempunyai korelasi ke kerabatan.
 Prioritas untuk merekrut anggota saudara dimaksudkan adalah untuk memberi pekerjaan biar anggota kerabatnya tersebut mempunyai penghidupan ekonomi untuk keluarganya.
Semua sawi dalam organisasi kenelayanan, baik nelayan pancing maupun nelayan pappukaq sepertinya tidak mengenal spesialisasi pekerjaan dan senioritas, sehingga sawi dinyatakan sama statusnya, baik yang berusia muda maupun yang berusiatua. Demikian pula pemasukan dan imbalan yang mereka terima atas satus dan pekerjaannya juga sama. Hubungan emosional antara punggawa dan sejumlah sawi tidak cuma didasarkan pada korelasi-relasi fungsional berdasarkan pekerjaan, namun juga berhubungan dengan relasi sosial. Interaksi sosial yang intens dan cukup berpengaruh diantara mereka (punggawa-sawi) ,terlebih ada hubungan relasi di antara mereka. Kegiatan pekerjaan senantiasa dijalankan secara kolektif melalui gotong-royong disertai dengan canda dan tawa. 
 Sifat individu dan perasaan untuk “menang sendiri” hendaknya dibuang jauh-jauh alasannya akan mengganggu keselarasan dalam bahtera. Tolong membantu, bantu menolong dan kerjasama dalam kegiatan penangkapan sudah menjadi hal lazimdan berkala   dilaksanakan. Hal initerbawa pula pada kehidupan sosial diantara keluarga-keluarga mereka di darat. Hubungan punggawa-sawi ini tidak cuma berkaitan dengan urusan eksklusif mereka dalam acara penangkapan ikan berlanjut pula pada korelasi-korelasi sosial di darat, bukan hanya pada personal punggawadan para sawi, tetapi melibatkan seluruh keluarga mereka. Hubungan sosial yang tampak atas keterlibatan keluarga-keluarga mereka akan tampakbilamana di antara mereka ada yang melakukanh ajatan, mirip perkawinan, kelahiran bayi, kematian dan sebagainya. Kelembagaan punggawa-sawi dalam penduduk nelayan, golongan kerja umumnya sekaligus berperan mengendalikan aneka macam aktivitas, baik dalam proses-prose bikinan, distribusi maupun konsumsi. 
Dalam masyarakat nelayan Bugis, Makassar dan Bajodari Sulawesi Selatan contohnya, kelompok punggawa –sawi yang disamping mengontrol pembagian dan menyerap tenaga kerja, juga sekaligus berperan selaku lembaga perolehan modal (mirip fungsi koperasi), selaku pasar, solusi permasalahan utang piutang, memutuskan hukum bagi hasil, dan bahkan berperan selaku wadah sosialisasi golongan dan jaminan-jaminan sosial ekonomi nelayan. Kegiatan pekerjaan selalu dikerjakan secara kolektif lewat bantu-membantu dibarengi dengan canda dan tawa. Sifat individu dan perasaan untuk “menang sendiri” hendaknya dibuang jauh-jauh sebab akan mengusik keserasian dalam bahtera. Tolong menolong, bantu menolong dan koordinasi dalam kegiatan penangkapan telah menjadi hal biasa dan berkala dilakukan. ( 1 Zainuddin Badollahi, Muhammad. 5 Maret 2019. : “Punggawa-Sawi, Organisasi Nelayan Bugis (KearifanLokal)”. )

Pandangan saya terkait budaya penduduk pesisir terkhusus penduduk Bugis-Makassar, kebudayaan ini sungguh unik dan sepantasnya dilestarikan. Mereka bisa dibilang telah mempunyai nilai kebudayaan yang maju alasannya budaya ini mampu menyesuaikan dengan budaya modern dan bisa menyembangkan rancangan perekonomian mereka sendiri sekaligus menjalin ikatan kekeluargaan di dalam anggota masyarakatnya. Budaya masyarakat pesisir ini selayaknya terus dijaga dan diapresiasi bukan cuma oleh masyarakat setempat namun juga oleh pemerintah. Bisa kita bayangkan jika desain seperti ini dicanangkan di berbagai pesisir daerah Indonesia, para nelayan akan bisa hidup lebih sejahtera dan bukan hanya mempengaruhi perekonomian penduduk saja tetapi juga secara besar-besaran akan mempengaruhi perekonomian bangsa secara besar-besaran.
2. KETERGANTUNGAN NELAYAN / MASYARAKAT PESISIR

•    Ketergantungan pada Kondisi Lingkungan
Salah satu sifat perjuangan perikanan yang sungguh menonjol adalah bahwa keberlanjutan atau kesuksesan perjuangan tersebut sungguh bergantung pada keadaan lingkungan, utamanya air.  Keadaan ini mempunyai implikasi yang sungguh penting bagi kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir.  Kehidupan penduduk pesisir menjadi sungguh tergantung pada keadaan lingkungan itu dan sangat rentan kepada kerusakan lingkungan, utamanya pencemaran, alasannya limbah industri maupun tumpahan minyak, contohnya, dapat menggoncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir.
•    Ketergantungan pada Musim
Karakteristik lain yang sangat menyolok di kelompok masyarakat pesisir,  utamanya  penduduk nelayan,  yaitu ketergantungan mereka pada isu terkini. Pada isu terkini penangkapan para nelayan sungguh sibuk melaut.  Sebaliknya, pada isu terkini peceklik aktivitas melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur. Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap keadaan sosial ekonomi penduduk pantai secara lazim dan kaum nelayan khususnya.  Mereka mungkin mampu membeli barang-barang yang mahal pada musim tangkap.  Sebaliknya, pada demam isu paceklik pendapatan mereka menurun drastis, sehingga kehidupan mereka juga makin buruk.
Secara umum pemasukan nelayan  memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari.  Di tempat yang padat penduduknya mirip tempat pantai utara Jawa, misalnya, sudah terjadi  keunggulan tangkap (overfishing).  Hal  ini  menjadikan volume  hasil tangkapan para nelayan menjadi semakin kecil,  sehingga  pada  jadinya  akan  menghipnotis  pendapatan  mereka. Kondisi di atas turut pula mendorong hadirnya teladan relasi tertentu yang sungguh biasa dijumpai di kalangan nelayan ialah teladan hubungan yang bersifat patron-klien. Karena kondisi ekonomi yang jelek, maka para nelayan kecil, buruh nelayan kerap kali terpaksa meminjam uang dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang pengumpul (tauke).Konsekuensinya,  para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau pedagang.
Keterikatan tersebut antara lain berupa kewajiban menjual produknya terhadap pedagang atau juragan tersebut.  Pola hubungan yang tidak simetris ini pastinya sangat gampang menjelma alat dominansi dan eksploitasi. Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada penduduk nelayan adalah stratifikasi yang berdasarkan penguasaan alat bikinan.  Pada penduduk nelayan,  biasanya  terdapat tiga strata  golongan  ialah  :
(1) Strata pertama dan yang paling atas ialah mereka yang memiliki kapal motor lengkap dengan alat tangkapnya.  Mereka ini lazimnya dikenal dengan nelayan besar atau  terbaru. Biasanya mereka tidak ikut melaut.  Operasi penangkapan diserahkan terhadap orang lain.  Buruh atau tenaga kerja yang digunakan lumayan banyak, mampu sampai dua atau tiga puluhan.   
(2) Strata kedua yakni mereka yang mempunyai bahtera dengan  motor tempel.   Pada strata ini lazimnya pemilik tersebut ikut melaut memimpin aktivitas penangkapan.  Buruh yang ikut mungkin ada tetapi terbatas dan kerap kali merupakan anggota keluarga saja.
(3) Strata terakhir yaitu buruh nelayan.   Meskipun para nelayan kecil  mampu juga merangkap menjadi buruh, namun banyak pula buruh ini yang tidak mempunyai fasilitas bikinan apa-apa, cuma tenaga  mereka itu sendiri. Seringkali nelayan besar juga merangkap sebagai pedagang pengumpul.  Namun demikian, umumnya ada pula penjualpengumpul yang bukan nelayan, sehingga pedagang ini merupakan kelas tersendiri.
Bagi para nelayan, penguasaan alat bikinan tadi sungguh berhubungan dengan daya jelajah mereka dalam melakukan penangkapan.  Mereka yang beroperasi dengan memakai kapal motor, contohnya, dapat melaksanakan penangkapan dan sekaligus pemasaran di kawasan-daerah yang sangat jauh.  Sementara nelayan kecil yang memakai perahu tanpa motor cuma bisa beroperasi di kawasan yang akrab atau kawasan pantai/pesisir saja. Sifat perjuangan penangkapan juga menyebabkan munculnya contoh tertentu dalam hal kebersamaan antar anggota keluarga nelayan.  Bagi para nelayan kecil, contohnya, seringkali mereka berangkat sore hari lalu kembali besok harinya.  Ada juga yang berangkat pagi-pagi sekali, lalu kembali pada sore atau malam harinya. Sementara mereka yang beroperasi dengan kapal motor mampu meninggalkan rumah berminggu-ahad bahkan berbulan-bulan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan pada masyarakat pantai yaitu acara kaum wanita dan belum dewasa.  Pada masyarakat ini, umumnya perempuan dan belum dewasa ikut melakukan pekerjaan mencari nafkah.  Kaum wanita (orang bau tanah maupun belum dewasa) kadang-kadang bekerja selaku pedagang ikan (pengencer), baik pengencer ikan segar maupun ikan olahan.  Mereka juga melakukan pembuatan ikan, baik kecil-kecilan di rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai buruh pada pengusaha pengolahan ikan.  Sementara itu, anak laki-laki acap kali telah dilibatkan dalam acara melaut.  Ini antara lain yang menyebabkan anak-anak nelayan banyak yang tidak sekolah.

•    Ketergantungan pada Pasar 
Karakteristik lain dari perjuangan perikanan yang dilakukan oleh penduduk pesisir ini adalah ketergantungan pada pasar.  Tidak seperti petani padi, para nelayan ini sungguh tergantung pada kondisi pasar.  Hal ini disebabkan alasannya adalah komoditas yang dihasilkan oleh mereka itu mesti dijual gres bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.  Jika petani padi yang bersifat tradisional mampu hidup tanpa memasarkan produknya atau cuma memasarkan sedikit saja, maka nelayan harus memasarkan sebagian besar alhasil.  Setradisional atau sekecil apapun nelayan tersebut, mereka harus memasarkan sebagian besar alhasil demi menyanggupi kebutuhan hidup. Karakteristik di atas memiliki implikasi yang sangat penting, yakni penduduk perikanan sangat peka terhadap harga.  Perubahan harga produk perikanan sangat mensugesti kondisi sosial ekonomi penduduk perikanan. (2 Wahyudin, Yudi. October 2015. : “Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir”.)

  Lakukan Hal-Hal Ini Supaya Tubuhmu Tidak Gampang Letih

SUMBER TUGAS :

NUR FADILLAH
Ilmu Hubungan Internasional