HUKUM LINGKUNGAN
Disusun Oleh:
Kelompok 2:
– Ryan Angriawan
– Rahmat Riyadi
– Nur Fadillah
– Virda Fabiola Mondigir
– Brenda Prisyella Satti
– Muhammad Nur Adnan
– Nurnaningsih Al Hasmi
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
LATAR BELAKANG
Masalah lingkungan mulai ramai dibicarakan sejak diselenggarakannya Konferensi PBB perihal Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia, pada tanggal 15 Juni 1972. Di Indonesia, tonggak sejarah masalah lingkungan hidup dimulai dengan diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Pajajaran Bandung pada tanggal 15 – 18 Mei 1972. Faktor paling penting dalam problem lingkungan yaitu besarnya populasi insan (laju pertumbuhan penduduk). Pertumbuhan penduduk yang pesat menjadikan tantangan yang dicoba tertuntaskan dengan pembangunan dan industrialisasi. Namun industrialisasi disamping mempercepat persediaan segala keperluan hdup insan juga memberi pengaruh negatif terhadap insan akibat terjadinya pencemaran lingkungan.
Isu Lingkungan Global Sebelumnya orang menerka duduk perkara lingkungan global lebih banyak dipengaruhi aspek alam, seperti iklim, yang meliputi temperatur, curah hujan, kelembaban, tekanan udara dll. Belakangan orang mulai menyadari bahwa aktifitas manusia pun mempengaruhi iklim dan lingkungan secara signifikan. Maka dari itu,aturan mengenai lingkungan perlu diciptakan semoga manusia menyadari bahwa fungsi manusia dan fungsi “daerah hidup” itu sama pentingnya alasannya adalah saling isi-mengisi dan saling pengaruh dan mempengaruhi. Atas dasar realita alam tersebut, maka insan juga selalu perlu melindungi dan memelihara “kawasan hidupnya” secara seksama, mirip halnya manusia melindungi dan memelihara dirinya sendiri. Manusia dalam hidupnya mesti melindungi dan mengamankan “alam” supaya dapat terselenggara secara terencana dan pasti, pula supaya dapat disertai serta ditaati semua pihak, maka perlu pertolongan dan pengawalan itu dituangkan dalam peraturan hukum.
Hukum lingkungan ialah seperangkat peraturan yang mengendalikan perihal pertolongan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ialah upaya sistematis dan terpadu yang dikerjakan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lewat langkah-langkah penataan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan aturan. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan perjuangan dan upaya yang sifatnya terpadu, komprehensip dan integral, dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup melalui langkah-langkah penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Dalam hal ini berbagai peraturan tersebut tidak hanya mengontrol relasi antara manusia dan insan, tetapi juga mengontrol relasi insan dan lingkungan hidupnya. Misalnya bagaimana cara atu upaya dalam menjaga agar sumber daya alam yang tersedia tatap dipakai dan dimanfaatkan secara baik dann bijak biar mampu terjaga kelestariannya seberapa besar mampu dikerjakan eksploitasi suatu materi tambang sehingga tetap dapat dikendalikan persediannya.
Berbagai peraturan hukum tergolong juga hukum lingkungan mengandung kaidah hukum yang bermaksud mengendalikan sikap dan tindakan manusia untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya mendatang. Hukum lingkungan mampu digunakan untuk memprediksi keadaaan atau kondisi lingkungan pada abad mendatang. Selain itu aturan lingkungan mampu pula berfungsi selaku fasilitas yang dapat dipakai mengantisipasi aneka macam keadaan lingkungan abad mendatang dan selaku fasilitas untuk memprediksikan keadaan di masa mendatang hal tersebut menyebabkan banyak sekali peraturan aturan lingkungan yang diciptakan dan dibutuhkan sebaiknya mampu pula meraih kondisi dan pengaturan jauh kedepan dalam memutuskan banyak sekali kaidah atau norma yang menyangkut pula penetapan nilai-nilai yakni nilai yang berlaku dikala ini dan nilai yang dibutuhkan diberlakukan di era mendatang.
Penegakan aturan lingkungan berkaitan akrab dengan kesanggupan aparatur dan kepatuhan warga penduduk kepada peraturan yang berlaku,yang mencakup tiga bidang hukum,ialah administratif,pidana dan perdata. Penegakan aturan lingkungan dapat dilaksanakan secara preventif dan repesif sesuai dengan sifat dan efektivitasnya.
Menurut Andi Hamsah (2005:9), bahwa dalam ruang nasional,hukum lingkungan menempati titik silang berbagai bab hukum klasik,adalah hukum publik dan privat. Penegakan hukum lingkungan itupun menjadi titik silang penggunaan instrumen aturan tersebut,utamanya instrumen aturan pemerintahan atau administratif,perdata dan hukum pidana. Penegakan hukum lingkungan Ilyas Asaad (2008:3) terdiri atas:
1. Tindakan untuk menerapkan perangkat hukum melalui upaya pemaksaan sanksi hukum guna menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan perundang-ajakan lingkungan hidup.
2. Penegakan hukum lingkungan bermaksud untuk penataan terhadap nilai-nilai perlindungan ekosistem dan fungsi lingkungan hidup.
Selain itu dalam hukum lingkungan juga,terdapat banyak jenis perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang lingkungan hidup baik yang bersifat biasa -khusus,klasik-modern, tertulis-tidak tertulis,multilateral-bilateral dan global-regional yang sudah mencapai lebih dari 300 jenis. Bahkan berdasarkan Mitchell (2003) menyebutkan lebih dari 700 persetujuaninternasional mutiateral dan 1000 persetujuanintenasional bilateral dalam bentuk konvensi,protokol,amandemen yang didesain untuk lingkungan hidup. Salah satunya ialah International Tropical Timber Agreement yang akandibahas lebih mendalam mengenai struktur yang tercakup dalam kontrakinternational tersebut.
Saat semua orang menyadari tentang kenaikan pcnebangan hutan di negara-negara tropis. Timbul komitmen bareng bahwa perdagangan kayu tropis merupakan salah satu kunci penting dalam pembangunan ekonomi di beberapa negara. Latar belakang terjadinya ITTA ini yaitu ingin mengakui imponansi dan keperluan akan konservasi dan pengembangan yang tepat dan efektif kepada hutan kayu tropis dengan tujuan untuk memutuskan pemanfaatan yang optimal dengan tetap menjaga ekologi keseimbangan daerah yang terlibat dan biosfernya, mengakui imponansi kayu tropis kepada ekonomi anggota, utamanya untuk ekspor anggota produksi dan kriteria pasokan kepada anggota yang mengkonsumsi. Perjanjian ini juga ingin membangun kerangka koordinasi internasional antar negara yang memproduksi dan negara yang mengonsumsi dalam mencari solusi untuk masalah yang dihadapi.
Selain itu, ITTA ini ada untuk berusaha meningkatkan ekspansi jual beli internasional kayu tropis dan peningkatan terhadap keadaan structural di pasar kayu tropis, untuk mengembangkan observasi dan pengembangan dengan tujuan mengembangkan pengelolaan hutan dan pemanfaatan kayu, dan untuk mendorong kebijakan nasional yang ditujukan untuk penggunaan berkelanjutan dan konservasi hutan tropis dan sumber daya genetiknya dan untuk mempertahankan keseimbangan ekologis negara yang terlibat. Pada tahun1983 (59 negara), 1994 (62 negara), 2006 (74 negara), ini merupakan kesepakatanyang memiliki tenggat waktu. ITTA pertama kali diadopsi pada 18 November 1983 di Geneva dan mulai diberlakukan pada 1 April 1985. Setelah lewat dua kali era perpanjangan, kala berlaku ITTA 1983 rampung pada 31 Maret 1994. Setelah lewat dua kali Preparatory Committee (PrepCom) dan empat kali perundingan yang dimulai pada September 1992 sampai dengan Januari 1994, ITTA 1983 telah diperbaharui dengan ITTA 1994. ITTA 1994 diadopsi pada 26 Januari 1994 dan diberlakukan mulai 1 Januari 1997. Pada tahun 2000, ITTA 1994 telah diperpanjang tiga tahun dan sudah selsai pada 31 Desember 2003, namun kemudian diperpanjang kembali sampai dengan 2006. Pentingnya eksistensi organisasi ini tercermin dari adanya proses perpanjangan ITTA 1983 menjadi ITTA 1994.
1. PASAL 29 : KEWAJIBAN UMUM ANGGOTA
1. Anggota seharusnya, selama rentang waktu Perjanjian ini, berupaya sebaik-baiknya dan bekerja sama untuk mengiklankan pencapaian maksudnya dan menghindari langkah-langkah-langkah-langkah yang bertentangan dengan itu.
2. Anggota berjanji untuk menerima dan melaksanakan keputusan Dewan menurut ketentuan Perjanjian ini dan semestinya menahan diri dari penerapan langkah-langkah yang mau berdampak menghalangi atau bertentangan dengan mereka.
OBLIGASI: Moderate, alasannya berdasarkan isi kedua poin pasal tersebut walaupun setiap anggota dalam penerimaan keputusan diharuskan berjanji untuk patuh terhadap hasil keputusan Dewan, tetapi dalam hal pelaksanaan kewajiban lain seperti dalam aspek sikap anggota mengimplementasikan isi pasal ini terkait kerjasama maupun langkah-langkah tindakan pelanggaran, pasal ini tidak secara berpengaruh menegaskan anggota untuk mematuhi isi perjanjian. PRESISI: Low, sebab berdasarkan isi kedua poin pasal tersebut walaupun sudah terang melarang anggota melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perjanjian, namun tidak di jabarkan secara jelas langkah-langkah atau langkah seperti apa yang dilarang di sabung oleh anggota ITTO. DELEGASI: High, dalam pasal ini Dewan mempunyai kedudukan dan imbas yang berpengaruh dalam penyelesaian masalah karena hasil keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan harus diterima oleh setiap anggota ITTO.
2. PASAL 31: KELUHAN DAN PERSELISIHAN
Setiap anggota dapat mengajukan kepada Dewan segala keluhan jika seorang anggota gagal memenuhi kewajibannya berdasarkan Perjanjian ini dan setiap pertikaian mengenai interpretasi atau penerapan Perjanjian ini. Keputusan Dewan perihal hal-hal ini semestinya diambil menurut konsensus, terlepas dari ketentuan lain dari Perjanjian ini, dan bersifat simpulan dan mengikat.
OBLIGASI: Moderate, alasannya menurut isi pasal ini setiap anggota diberikan kesempatan untuk mengajukan unek-unek-ganjalan persoalan atau kesulitan selama proses penerapan perjanjian ini, tetapi tidak mengharuskan secara tegas setiap anggota untuk mesti mengajukan unek-unek jika menerima persoalan terhadap Dewan yang terkait. PRESISI: Moderate, walaupun menyebutkan cara pengambilan keputusan Dewan baiknya memakai konsensus namun, pasal ini hanya tidak mengharuskan secara tegas pengambilan keputusan harus memakai cara tersebut. DELEGASI: High, sama mirip yang telah diterangkan pada pasal 29, Dewan memiliki kedudukan dan pengaruh yang kuat dalam penyelesaian duduk perkara-duduk perkara atau pelanggaran yang terjadi antar anggota karena hasil keputusan yang di keluarkan oleh Dewan mesti diterima oleh setiap anggota ITTO.
3. PASAL 24: KERJA KEBIJAKAN ORGANISASI
1. Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam pasal 1, Organisasi harus melakukan pekerjaan kebijakan dan kegiatan proyek secara terpadu.
2. Pekerjaan kebijakan Organisasi mesti berkontribusi untuk meraih Tujuan Perjanjian ini untuk anggota ITTO secara luas.
3. Dewan akan memutuskan secara terencana rencana aksi untuk memandu kegiatan kebijakan dan mengidentifikasi prioritas dan program tematik yang dimaksud dalam pasal 20, paragraf 4, Perjanjian ini. Prioritas yang diidentifikasi dalam rencana aksi harus tercermin dalam acara kerja yang disetujui oleh Dewan. Kegiatan kebijakan dapat mencakup pengembangan dan antisipasi ajaran, manual, studi, laporan, komunikasi dasar dan alat penjangkauan, dan pekerjaan serupa yang diidentifikasi dalam rencana aksi Organisasi.
4. PASAL 30: BANTUAN DARI KEWAJIBAN
1. Apabila diperlukan karena kondisi luar biasa atau kondisi darurat atau force majeure yang tidak secara tegas ditentukan dalam Perjanjian ini, Dewan dapat, melalui pemungutan suara khusus sesuai dengan pasal 12, membebaskan anggota dari keharusan berdasarkan Perjanjian ini jika dipenuhi dengan penjelasan dari anggota tersebut mengenai argumentasi mengapa kewajiban tersebut tidak dapat dipenuhi.
2.Dewan, dalam menunjukkan dukungan kepada anggota berdasarkan ayat 1 pasal ini, harus menyatakan secara eksplisit syarat dan ketentuan di mana, dan periode di mana, anggota dibebaskan dari kewajiban semacam itu, dan alasan pertolongan pinjaman tersebut.
Diberikan Obligasi nya bersifat HIGH sebab mengikat semua negara yang bergabung dalam suara pasal yang disepakati adalah saat terjadi sesuatu yang dirasa darurat akan dikembalikan oleh council untuk melakukan vote. Secara presisi bersifat HIGH sebab kejelasan bunyi pasal ini tidak ambigu, dapat dilihat dari syarat voting yang disebutkan pada pasal 12 yang mengatakan bahwa voting mesti dijalankan secara consensus. Secara delegasi dinilai HIGH karena terdapat pihak ketiga ialah council yang akan ambil andil dalam solusi problem tersebut.
3. PASAL 32: TINDAKAN PERBEDAAN DAN PERBAIKAN DAN TINDAKAN KHUSUS
1. Anggota konsumen yang merupakan negara meningkat yang kepentingannya terkena imbas negatif dari langkah-langkah yang diambil menurut Perjanjian ini dapat berlaku untuk Dewan untuk tindakan pembedaan dan perbaikan yang tepat. Dewan akan memikirkan untuk mengambil langkah-langkah yang tepat sesuai dengan bagian III, paragraf 3 dan 4, resolusi 93 (IV) dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa perihal Perdagangan dan Pembangunan.
2. Anggota dalam klasifikasi negara-negara kolot sebagaimana didefinisikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa mampu mengajukan permohonan terhadap Dewan untuk langkah-langkah-langkah-langkah khusus sesuai dengan bab III, paragraf 4, resolusi 93 (IV) dan dengan paragraf 56 dan 57 Deklarasi Paris dan Program Aksi untuk Negara-Negara Paling Berkurang meningkat untuk tahun 1990-an.
Obligasinya bersifat LOW sebab suara inti pasalnya terletak pada bagaimana persetujuanini menawarkan peluang terhadap negara meningkat untuk bergabung pada council. Presisi pada pasal ini dinilai HIGH alasannya suara pasalnya yang telah terfokus pada negara berkembang berdasarkan pendifinisan PBB. Secara utusan dinilai LOW alasannya tidak terdapat pihak ketiga dalam pasal ini.
ANALISIS KASUS
“Kasus Illegal Logging Di Kalimantan, Indonesia”
Eksploitasi hutan merupakan aktivitas yang mendatangkan menghadirkan kapital yang terhitung cukup besar. Kegiatan eksploitasi hutan tercatat sudah dimulai pada masa antara tahun 1965 – 1970, yang dilaksanakan oleh penduduk . Di beberapa kawasan Indonesia, kala tersebut dikenal sebagai kala “banjir kap”, dimana pada era ini kegiatan eksploitasi hutan dikerjakan secara bebas dan nyaris tidak ada prosedur yang mengkontrol kegiatan tersebut. Pada periode tersebut, telah terjadi praktek illegal seperti praktek penebangan diluar blok tebangan, didalam kawasan lindung, dan sebagainya serta sebagian lagi praktek “pencurian” kayu yang dijalankan masyarakat atau oknum dalam manajemen tubuh usaha pemegang izin. Hingga tahun 1997, mudah dapat dibilang, bahwa praktek-praktek illegal tersebut belum terangkat menjadisuatu informasi-isu penting, dalam perjalanan pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Indonesia. Praktek-praktek illegal lebih condong dianggap sebagai suatu pelanggaran, dengan tingkat solusi yang lebih lebih banyak didominasi pada hukuman administrasi. Istilah Illegal logging pun belum menjadi animo, karena faktor keillegalannya menjadi terbungkus sedemikian rupa dengan legalitas izin pengusahaan dan legalitas penyelesaian melalui pinjaman sanksi manajemen. Hingga pada kala waktu antara 1998 – 2004, perjalanan pengelolaan hutan mendapat sorotan tajam dari dalam maupun luar negeri. Illegal Logging merupakan bentuk perusakan hutan yang sampai sekarang sulit untuk teratasi.
Salah satu contoh perkara Illegal logging atau jenis pelanggaran dari kesepakatanInternational Tropical Timber Agreement, ialah yang terjadi di Kalimantan, Indonesia. Kasus tersebut terjadi pada tahun 2004, dimulai dikala Polisi Malaysia menangkap 120 pengusaha kayu Indonesia. Sebabnya, jual beli kayu gelap. Pemerintah Malaysia siap berhubungan dengan Indonesia yang sering berhadapan dengan persoalan kayu illegal.Namun tanggung jawab tetap di pihak Indonesia untuk mengurusi masalah kayu illegal. Pernyataan ini menyusul laporan yang ditulis beberapa kelompok pencinta lingkungan Greenpeace, Sierra Club, Rainforest Action Network dan Earth Justice kelompok pencinta lingkungan tersebut mengantarkan petisi ke Menteri Luar Negeri AS. Petisi itu menyampaikan bahwa pemerintah Malaysia melanggar Konvensi Internasional Perdagangan Tumbuhan Langka. Sebuah video dan dokumen yang dipublikasikan di Jakarta, menawarkan keterlibatan pejabat selatan Malaysia di Pelabuhan Pasir Gudang Johor. Terlihat kayu gelondongan ramin, yang tergolong tanaman langka diIndonesia.
Salah satu akibat dari acara Illegal logging yaitu kerusakan ekosistem terutama hutan dan pada akhirmya menimbulkan musibah seperti banjir. Pada Februari 2004, banjir andal melanda Kalimantan Barat meski kasus ini bukan pertama kalinya terjadi. Namun faktor penyebab terjadinya bencana banjir jago tersebut yakni akibat makin rusaknya hutan dan lingkungan balasan penebangan liar yang menjadikan lahan kritis. Saat ini satu juta meter kubik kayu illegal pertahun dikirim ke luar kawasan Kalbar. Untuk pengiriman keluar negeri, aktivitas perdagangan kayu illegal melalui pintu lintas batas Entikong setiap harinya diangkut sekitar 450 meter kubik kayu dengan menggunakan sekitar 43 truk. Adapun lewat Badau, Kabupaten Kapuas Hulu,setiap bulan sekitar 8.100 meter kubik kayu di angkut ke Sarawak, dengan mengunakan 1.500 truk. Selama dua tahun terakhir,dari dua pintu itu saja negara mengalami kerugian sedikitnya Rp. 289 milyar. Selain dua pintu perbatasan tersebut, di sepanjang perbatasan Kalbar-sarawak terdapat sekitar 34 jalur darat penyeludupan kayu ke Sarawak. Gubernur Kaltim Suwarna AF menyatakan keyakinannya bahwa illegal logging di kawasan ini bisa diberantas tuntas dalam waktu cuma dua bulan. Asalkan semua kekuatan militer di Kaltim, baik di darat, maritim maupun udara dikerahkan dengan kekuatan penuh dan bekerjasama dengan pemprov dalam memberantas aksi penebangan yang merugikan negara triliunan rupiah pertahun tersebut
Berkaitan dengan kegiatan transaksi illegal logging di Kalimantan tersebut, sejumlah anggota DPR menilai Pemerintah Malaysia berbohong soal keterlibatannya dalam penyeludupan kayu dari Indonesia. Alasannya, selama ini Pemerintah Malaysia memungut bea masuk setiap kali ada kayu yang masuk dari Kalimantan ke Malaysia. Setelah bea masuk diterima, kayu illegal tersebut eksklusif dinyatakan legal dan diperbolehkan untuk dimanfaatkan industri setempat. Kegiatan ini sudah berjalan bertahun-tahun. “Kalau Pemerintah Malaysia menyatakan tak pernah terlibat dalam penyeludupan kayu, mengapa kayu illegal yang masuk dari Indonesia tak pernah ditahan dan pelakunya tak pernah dijebloskan ke dalam penjara. Jadi perilaku membisu itu memperkuat praduga keterlibatan Pemerintah Malaysia di balik penyeludupan kayu dari Indonesia,”kata anggota dewan perwakilan rakyat asal Kalbar Uray Faisal Hamid.
Green Peace menyebutkan bahwa mereka telah memperoleh bukti praktek jual beli kayu illegal di Propinsi Kalimantan Tengah. Konsultan Greenpeace, Faith Doherty mengungkapkan hasil investigasinya, berupa kegiatan penebangan kayu disekitar kawasaneks areal HPH yang tidak aktif. Seruan Green peace terhadap Dinas Kehutanan setempat untuk secepatnya beraksi,sudah menerima respondari TNI AL.Namun bukti perdagangan kayu illegal di DAS Lamandau dan Pelabuhan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat, tetap ialah kewenangan Polisi Republik Indonesia. Direktur LSM Lingkungan Telapak, Hapsoro menuntut kesungguhan pemerintah Indonesia untuk memutuskan tegaknya hukum di Kumai dan Lamandau, karena semua bukti telah ada di depan mata. Jika yang berwajib tidak mampu melaksanakan ini maka dipastikan akan susah juga menegakkan hukum di tempat lain diIndonesia.
Dengan laju deforestasi di Indonesia selama ini yang terus berkembanglebih dari 3,8juta hektar per tahunnya, namun pembalakan hutan dan penyeludupan kayu masih merajalela. Menurut Greenpeace, hal ini disebabkan korupsi,dan tidak adanya penegakan hukum yang benar sertatidak adanya kemauan politis dari pemerintah untuk pemecahan persoalan ini. 90 persen pembalakan kayu di Indonesia adalah illegal yang dipasarkan ke sejumlah negara seperti China, Uni Eropadan AS.
Untuk kelanjutan dibandingkan dengan kasus ini sendiri meskipun dimulai di tahun 2004 namun sampai sekarang (2019) masih terus berlanjut mengingat bahwa belum adanya sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh negara yang mengontrol mengenai penevangan, pemasaran, dan pencurian kayu secara illegal walaupun memang sudah terdapar undang-undang yang mengendalikan tetapi hal tersebut masih terus terjadi sampai sekarang. Dilansir juga dari suatu postingan bahwa kegiatan Illegal Logging ini ibarat menyembuhkan penyakit kronis menahun. Indonesia dan Malaysia yang tentu saja sebagai pihak yang melaksanakan aktivitas Illegal Logging ini mesti diberikan tindakan yang komperehensif, sistematis, dan kolaborasi antara aparatur dan penduduk secara mamksimal dimana hulu hingga hilirnya dan melibatkan penduduk yaitu kunci kemenangan penanganan pembalakan liar.
Dari pihak Indonesia sendiri sebagai bentuk penanganan yang mampu dilakukan adalah mendorong pemerintah untuk melaksanakan atau pemberlakuan perizinan dengan kata lain menjalin kekerabatan bilateral antara Malaysia dan Indonesia untuk menangani perkara Illegal Logging tersebut. Dan tentu saja diperlukan adanya transparansi antara kedua pihak ini untuk penyelasian kasus ini alasannya adalah sejauh ini untuk menyelasaikan masalah ini cenderung tertutup dan tidak transparan. Meskipun dengan demikian diperkuatnya kekerabatan antara Indonesia dan Malaysia mengenai perdagangan kayu tersebut, namun aktivitas Illegal Logging antara kedua negara masih terus berlanjut sampai sekarang dan belum didapatkan solusi yang teapat untuk menanggulangi hal tersebut.
Dari pihak organisasi yang membawahi mengenai pelestarian hutan dan perdagangan kayu secara illegal mengambil jalan selaku solusi dari perkara illegal logging di Kalimantan maka ITTO mengambil langkah untuk secara terbuka memperlihatkan peluang bagi setiap negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut untuk bantu-membantu mencari solusi untuk menyelesaikan sebuah perkara yang terjadi terkait duduk perkara illegal logging (illegal timber). Sebagai perwujudan dalam mencapai visinya ITTO berhubungan dengan komunitas atau organisasi seperti Greenpeace yang mana ialah sebuah organisasi peduli lingkungan dan bertujuan melaksanakan kampanye untuk menghentikan banyak sekali agresi perusakan hutan termasuk diforestasi hutan.
Pada masalah ini pastinya terdapat sebuah hukum yang dilanggar yakni pasal 24 pada kesepakataninternational tropical timber agreement yang berbunyi harus berupaya dalam melakukan kebijakan dan acara proyek dibidang isu ekonomi, reboisasi, pengelolaan hutan dan industri kehutanan secara seimbang semoga dapat mengintegrasikan kerja kebijakan dan kegiatan proyek, yang mana faktor yang dilanggar dimana sebagian negara-negara anggota dalam ITTO masih belum mampumenetapkan kebijakan yang bagus untuk melindungan kayu tropisnya dari terjadinya Illegal Logging. Disamping itu hukum atau kebijakan yang ditetapkan oleh kedua negara tersebut ialah Indonesia dan Malaysia masih belum dibilang efektif dan belum bisa menempatkan prioritas dan yang paling utama dari dibentuknya sebuah kebijakan untuk menyingkir dari terjadinya acara Illegal Logging.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan bahan terkait aturan lingkungan dimana lebih spesifiknya merujuk pada international tropical timber agreement kita mampu melihat beberapa aspek yag terdapat dalam sebuah perjanjian mirip aspek yang melatar belakangi dibentuknya kesepakatantersebut, faktor aturan yang dimiliki oleh suatu perjanjian, dan pola kasus yang hendak membuat lebih mudah kita dalam memahami suatu kontraktersebut. Dari kasus yang dianalisa dapat ditarik suatu kesimpulan bahwainternational tropical timber agreement ini merupakan perjanjian yang bertujuan untuk mendorong tiap negara anggota supaya berbagi budi nasionalnya dan ITTO juga mendorong setiap negara anggotanya untuk memperbaiki marketIntellegence agar mampu memelihara keseimbangan ekologi dan ekonomi di wilayahnya, salah satunya dilema terkait kasus Illegal Logging di Kalimantan, Indonesia.
Hal diatas pastinya telah menawarkan bahwa betapa pentingnya pengetahuann terkait aturan lingkungan dan sangat pentingnya juga suatu persetujuanantar negara-negara perihal lingkungan supaya terciptanya lingkungan yang stabil dan mengurangi pertentangan antar negara-negara dalam pemanfaatan lingkungan sebagai salah satu kawasan terdapatnya sumber daya terkhususnya alam. Disamping itu perkara diatas masih terus berlanjut hingga sekarang yang mana belum ditemukan cara penyelesai secara efektif yang dapat dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
2006. International Tropical Timber Agreement, 2006. https://www.itto.int/direct/topics/topics_pdf_download/topics_id=3363&no=1&disp=inline [diakses 31 Oktober]
1983. International Tropical Timber Agreement, 1983. https://www.itto.int/direct/topics/topics_pdf_download/topics_id=1814&no=0&disp=inline [diakses 31 Oktober]
1994. International Tropical Timber Agreement, 1994. https://www.itto.int/direct/topics/topics_pdf_download/topics_id=1811&no=4&disp=inline [diakses 31 Oktober]
Eucharisti, Feitty. 2007. International Timber Organization.file:///C:/Users/PERSONAL/Downloads/474-471-1-PB%20(1).pdf [diakses 31 Oktober 2019]
Rangkuti, Siti Sundari. 2004. Pengertian Hukum Lingkungan. Jakarta.
Siran, Sulistyo A, Nina Juliaty, Budi Arti. 2004. PROSIDING EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BALAI LITBANG KEHUTANAN KALIMANTAN. Penerbit: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan serta Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan: Samarinda. hlm, 21-29.
Kartono, Kartono. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Vol (9): 3
Dita Puspa. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Perusakan Hidup Lingkunggan Akibat Eksploitasi Pertambangan Kapur di Kawasan Karsr Citeureup Kabupaten Bogor Jawa Barat. Diakses pada 30 Oktober 2019 di https://digilib.esaunggul.ac.id
Yovanda. 2017. Pembalakan Liar Tetap Terjadi Bagaimana Mengatasinya?..Mongabay. https://www.mongabay.co.id/2017/02/27/pembalakan-liar-tetap-terjadi-bagaimana-mengatasinya/ Diakses pada tanggal 28 November 2019
SUMBER TUGAS :
MAHASISWA UNHAS : Nur Fadillah
Wallahu a’lam..