Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, alasannya atas berkat rahmat dan hidayah-Nya aku mampu menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah ini aku menerangkan tentang kebiasaan dalam kebudayaan suku dayak. Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam matakuliah tentang Hukum Adat dengan mempelajari kebudayaan penduduk yang ada di Indonesia. Saya menyadari, dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. hal ini disebabkan terbatasnya kesanggupan, wawasan dan pengalaman yang aku miliki. Oleh karena itu, saya menginginkan kritik dan saran. Demi perbaikan dan kesempurnaan. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Makassar, 17 April 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Letak Geografis
2.2 Persebaran Suku-Suku Dayak di Pulau Kalimantan
2.3 Pengertian Suku Dayak
2.4 Sejarah Suku Dayak Maanyan
2.5 Tradisi Penguburan Suku Dayak Maanyan
2.6 Proses Penguburan Suku Dayak Maanyan
2.7 Galery Suku Dayak Maanyan
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suku Dayak sebagaimana suku bangsa lainnya, mempunyai kebudayaan atau adab-istiadat tersendiri yang pula tidak sama secara tepat dengan suku bangsa yang lain di Indonesia. Adat-istiadat yang hidup di dalam masyarakat Dayak merupakan unsur terpenting, akar identitas bagi insan Dayak. Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan tata cara pemikiran , tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan penduduk yang dijadikan milik dari manusia dengan berguru (Garna, 1996).
Jika pengertian tersebut dijadikan untuk mengartikan kebudayaan Dayak maka paralel dengan itu, kebudayaan Dayak Maanyan adalah seluruh metode ide, langkah-langkah dan hasil karya insan Dayak Maanyan dalam rangka kehidupan penduduk Dayak yang dijadikan milik manusia Dayak dengan belajar. Ini memiliki arti bahwa kebudayaan dan adat-istiadat yang sudah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Dayak Maanyan, kepemilikannya tidak lewat warisan biologis yang ada di dalam badan insan Dayak, melainkan diperoleh melalui proses berguru yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Berdasarkan atas pemahaman kebudayaan tersebut, jikalau merujuk pada wujud kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka dalam kebudayaan Dayak juga mampu ditemukan ketiga wujud tersebut yang mencakup: Pertama, wujud kebudayan selaku sebuah himpunan gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan. Wujud itu merupakan wujud hakiki dari kebudayaan atau yang sering disebut dengan budbahasa, yang berfungsi selaku tata kelakuan yang menertibkan, mengontrol dan memberi arah kepada sikap manusia Dayak,.Tampak terang di dalam banyak sekali upacara akhlak yang dilaksanakan berdasarkan siklus kehidupan, adalah kelahiran, perkawinan dan maut, juga tampak dalam banyak sekali upcara akhlak yang berkaitan siklus perladangan; Kedua, wujud kebudayaan sebagai sejumlah sikap yang berpola, atau biasa disebut sistem sosial. Sistem sosial itu terdiri dari acara insan yang berinteraksi yang senantiasa merujuk pada acuan-acuan tertentu yang di dasarkan pada adab tata kelakuan yang mereka miliki, hal ini tampak dalam metode kehidupan sosial orang Dayak yang sejak kurun kecil sampai renta senantiasa dihadapkan pada aturan-hukum mengenai hal-hal mana yang mesti dikerjakan dan mana yang dihentikan yang sifatnya tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi sebagai ajaran dalam bertingkah laris bagi masyarakat Dayak; Ketiga, wujud kebudayaan selaku benda-benda hasil karya manusia, yang lazim disebut kebudayaan fisik, berupa keseluruhan hasil karya insan Dayak, contohnya seperti rumah panjang dan lain-lain. Berdasarkan atas pengertian itu, maka kebudayaan Dayak sangat mempunyai makna dan tugas yang amat penting, yakni ialah bagian yang tak terpisahkan dari proses kehidupan orang Dayak. Atau dengan kata lain kebudayaan Dayak Maanyan dalam kemajuan sejarahnya telah tumbuh dan meningkat seiring dengan masyarakat Dayak sebagai pendukungnya.
Dewasa ini, seiring dengan pertumbuhan dan perubahan zaman, kebudayaan Dayak juga mengalami pergantian dan perubahan. Hal ini mempunyai arti bahwa kebudayaan Dayak itu sifatnya tidak statis dan selalu dinamik; meskipun demikian, hingga ketika ini masih ada yang tetap bertahan dan tak tergoyahkan oleh adanya perubahan generasi, bahkan kian memperlihatkan identitasnya selaku sebuah warisan leluhur.
Dalam makalah ini bermaksud untuk mengupas kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Dayak Maanyan dan memperkenalkannya salah satunya yaitu ‘’ Proses Penguburan Suku Dayak Ma’anyan.’’
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaiman Persebaran Suku-Suku Dayak di Pulau Kalimantan?
2. Bagaimana Sejarah Suku Dayak Maanyan?
3. Bagaimana Tradisi dan Proses Penguburan Suku Dayak Maanyan?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Persebaran Suku-Suku Dayak di pulau Kalimantan
2. Mengetahui Letak dan Sejarah Suku Dayak Maanyan
3. Mengetahui Tradisi dan Proses Penguburan Suku Dayak Maanyan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Geografis
Antara daratan Asia dan Australia terletak Nusa Tenggara Indonesia termasuk pulau Borneo yang oleh orang Indonesia dinamakan Kalimantan. Nama Borneo mungkin berasal dari nama Brunei dan sering digunakan untuk menamai seluruh pulau sedangkan nama Kalimantan mungkin berasal dari kondisi pulau yang punya banyak kali, banyak mas, dan banyak intan, sehingga menjadi Kalimantan. Menurut beberapa pihak lain mungkin nama Kalimantan berasal dari nama Lamanta. Lamanta ialah sagu dari pohon yang gres ditebang, yang masih mentah. Pada biasanya nama Kalimantan digunakan untuk bagian geografis tanah di bawah pemerintahan Indonesia dan West Malaysia atau nama Borneo untuk bab di bawah pemerintahan Malaysia.
2.2 Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Dikarenakan arus migrasi yang besar lengan berkuasa dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan budpekerti budayanya risikonya menentukan masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan memiliki budpekerti istiadat dan budaya yang mirip, merujuk terhadap sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan akhlak istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa kemudian penduduk yang sekarang disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, berisikan 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.
2.3 Pengertian Suku Dayak
Dayak atau Daya yaitu nama yang oleh masyarakatpesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan yang mencakup Brunei, Malaysia yang berisikan Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang berisikan Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan . Budaya masyarakat Dayak yakni Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti selaku sesuatu yang berafiliasi dengan “perhuluan” atau sungai, utamanya pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan adalah Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis menyaksikan 5 kalangan bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki saudara di luar pulau Kalimantan:
• “Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kalangan bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau),
• “Dayak Darat” (13 bahasa)
• “Borneo Utara” (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.
• “Sulawesi Selatan” dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
• “Melayik” dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Kutai, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak yaitu Tidung, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito Raya).
2.4 Sejarah Suku Dayak Maanyan
Suku Dayak Maanyan (olon Maanjan/meanjan) atau Suku Dayak Barito Timur merupakan salah satu dari bagian sub suku Dayak dan juga ialah salah satu dari suku-suku Dusun (Kelompok Barito bagian Timur) sehingga disebut juga Dusun Maanyan. Suku-suku Dusun termasuk kalangan rumpun Ot Danum (Menurut J.Mallinckrodt 1927) meskipun dikemudian hari teori tersebut dipatahkan oleh A.B Hudson 1967 yang beropini bahwa orang Maanyan ialah cabang dari “Barito Family”. Mereka disebut rumpun suku Dayak sehingga disebut juga Dayak Maanyan. Suku Dayak Maanyan mendiami bab timur provinsi Kalimantan Tengah, utamanya di Kabupaten Barito Timur dan sebagian Kabupaten Barito Selatan yang disebut Maanyan I. Suku Dayak Maanyan juga mendiami bagian utara provinsi Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten Tabalong yang disebut Dayak Warukin. Dayak Balangan (Dusun Balangan) yang terdapat di Kabupaten Balangan dan Dayak Samihim yang terdapat di Kabupaten Kotabaru juga digolongkan ke dalam suku Dayak Maanyan. Suku Maanyan di Kalimantan Selatan dikelompokkan selaku Maanyan II. Suku Maanyan secara manajemen baru timbul dalam sensus tahun 2000 dan ialah 2,80% dari masyarakatKalimantan Tengah, sebelumnya suku Maanyan tergabung ke dalam suku Dayak pada sensus 1930.
Menurut orang Maanyan, sebelum menempati tempat daerah tinggalnya yang sekarang, mereka berasal dari hilir (Kalimantan Selatan). Walaupun kini wilayah Barito Timur tidak termasuk dalam daerah Kalimantan Selatan, tetapi daerah ini dahulu termasuk dalam daerah terakhir Kesultanan Banjar sebelum digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860, yakni wilayah Kesultanan Banjar yang sudah menyusut dan tidak mempunyai akses ke maritim, sebab dikelilingi tempat-tempat Hindia Belanda. Menurut situs “Joshua Project” suku Maanyan berjumlah 71.000 jiwa.
Menurut sastra ekspresi suku Maanyan, setelah mendapat serangan Marajampahit (Majapahit) terhadap Kerajaan Nan Sarunai, suku ini terpencar-pencar menjadi beberapa sub-etnis. Suku ini terbagi menjadi beberapa subetnis, di antaranya:
o Maanyan Paku
o Maanyan Paju Epat (murni)
o Maanyan Dayu
o Maanyan Paju Sapuluh (ada pengaruh Banjar)
o Maanyan Banua Lima/Paju Dime (ada efek Banjar)
o Maanyan Warukin (ada imbas Banjar)
o Maanyan Jangkung (sudah punah, ada efek Banjar)
Keunikan Suku Dusun Maanyan, antara lain mereka mempraktikkan ritus pertanian, upacara maut yang rumit, serta memanggil dukun (balian) untuk mengobati penyakit mereka.
2.5 Tradisi Penguburan Suku Dayak Maanyan
Tradisi penguburan dan upacara etika ajal pada suku bangsa Dayak dikelola tegas dalam hukum etika. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan insan di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
• penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
• penguburan di dalam peti batu (dolmen)
• penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan metode penguburan yang terakhir meningkat .
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
1. penguburan tahap pertama (primer)
2. penguburan tahap kedua (sekunder)
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dijalankan di goa. Di hulu sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kaltim, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang ialah peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan memakai peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, adalah :
• dikubur dalam tanah
• ditaruh di pohon besar
• dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, selaku simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dikerjakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2. Ijambe yakni prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan diposisikan dalam satu wadah.
3. wara
4. marabia
5. mambatur (Dayak Maanyan)
6. kwangkai (Dayak Benuaq)
Bagi orang Dayak Maayan, kematian tidak lebih daari perpindahan kehidupan.Ritual penguburan dianggap hanya mengantarkan jiw aorang yang meninggal ke daerah peristirahatan sementara. Sedangkan rituak pembakaran tulang akan mengirimkan jiwa ke nirwana.
Melalui pemikiran leluhur Dayak Maayan mempunyai konsep ajal yang sederhana tetapi sacral. Menurut mereka, ajal tidak lebih dari erpindahan kehidupan. Konsep ini masih dipeprcaya dan ditaati hingga sekarang, walaupun membutuhkan biiaya yang tak sedikit.alasannya untuk menghormati akhir hayat, mereka mesti menggelar ritual kematian (JU. Loontan,1975;Fridolin ukur,1992).
Ritual akhir hayat yang digelar pada hakikatnya hanyalah mengirimkan liau (jiwa) semoga sampai di kawasan yang dituju, yaitu lewu (surge) dan biar yidak tersesat di tengah jalan . Dalam ritual dibacakan nyanyian oleh seorang balian ( dukun) yang mempunyai arti dua sisi, negative dan aktual. Nyanyian negative merupakan perayaan terhadap liau supaya jangan kehilangan arah, adapun nyata memberikan jalan yang harus di ttempuh. Ritual kematian secara tidak pribadi juga berfungsi melindungi manusia yang masih hidup dari teguran dan gangguan liau-liau yang masih gentayangan ( loontan,1975).
Orang Dayak Maayan memiliki tiga ritual selain ritual penguburan adalah marabe, ngadatun, dan ijambe. Ritual penguburan dianggap hnaya menghantarkan liau ke bukit pasaha raung ( tempat peristirahatan sementara). Sedangkan ritual pembakaran tulang akan mengantarkan liau ke lewu liau (surga). Makam orang-orang maayan menawarkan hierarki social tertentu. Makam kaum bangsawan terletak di hulu sungai, disusul kea rah hilir untuk makam kelompok tentara, penduduk biasa, dan yang paling hilir ialah makam untuk kaum budak ( loontan,1975;ukur,1992)
Konsep akhir hayat orang Dayak Maanyan tampak mencerminkan sebuah pandnagan yang sederhana namun sacral. Bagi mereka, akhir hayat tidak lebih dari perpindahan kehidupan. Dalam bahasa local, akhir hayat dirumuskan dengan sederhana selaku berikut:
Mi-idar jalan, ma-alis enoi, ngalih penyui teka insan.
Artinya:
Berpindah jalan beralih lorong,mengalihkan langkah dari dunia insan.
Dalam rangka memindahkan kehidupan manusia yang mati ini, suku Dayak Maanyan menggelar ritual kematian yang pada hakekatnya hanyalah mengirimkan jiwa agar sampai ke tempat yang di tuju. Oleh Karen itu, nyanyian balian saat memimpin ritual terdiri dari dua sisi ialah negatif dan faktual.
Tawang kanju erang tumpalalan, angkang kedang ba ie wu jumpun hakekat; Ada malupui laln mainsang inse, enoi esasikang piak;takut tawang ma-ulung kakenreian, umbak basikunrung akil.
Artinya:
Agar jangan tersesat di perapatan, tertahan dihutan lebat; jangan mengikuti jalan yang berliku-liku, lorong bersimpang; seperti kaki anak ayam kesasar ke bahari lepas,gelombang memukul dasyat
Sementara itu, nyanyian positif menawarkan jalan yang mesti ditempuh. Berikut syairnya :
Lalan buka sadapa, enoi salawangan petan ; lalan banteng ue, lalan masa imasisit enoi alang ingapeleh.
Artinya :
Jalan dibuka sedepa, lorong selebar sumpitan; jalan selurus rotan ampuh, lorong yang bening bersih;jalan yang licin rata, seperti halusnya rotan diraut.
Ritual akhir hayat secara tidak eksklusif juga berfungsi untuk melindungi insan yang masih hidup. Artinya , dengan menggelar ritual kematian, insan yang masih hidup dibebaskan dari teguran dan gangguan dari liau-liau yang masih gentayangan. Melalui ritual akhir hayat, liau dikirimkan ke lewu liau oleh tempon telon semoga berjumpa dengan para leluhur.
Menurut orang Dayak Maanyan, kehidupan mendatang tidak ubahnya kehidupan kini ini. Oleh sebab itu, terdapat syarat-syarat tertentu yang mesti disiapkan oleh keluarga dan saudara yang masih hidup dalam menggelar ritual kematian. Lengkap tidaknya syarat ritual tersebut akan menentukan kedudukan liau di lewu liau. Meskipun demikian, bagi warga suku yang miskin, bukan memiliki arti mereka tidak dapat menggelar ritual dengan sempurna. Bagi mereka justru mampu mempersiapkan sebaik mungkin agar liau dapat pergi ke lewu liau (jiwa) dengan lancar.
Orang Dayak Maanyan memiliki tiga ritual akhir hayat yang dianggap sempurna yakni marabe, ngadatun, dan ijambe. Ketiga ritual ini dilakukan setelah ritual penguburan. Ritual penguburan dianggap selaku hanya mengirimkan liau ke bukit pasaha raung (kawasan penyimpanan tulang,orang dayak ngaju menyebt sanding. Pembakaran tulang ini mempunyai dua tujuan, yakni ;
1. Penyucian, yakni melenyapkan segala najis, kotor, kelemahan,kesialan dan sebagainya dari yang orang meninggal sehingga menemukan kesucian tanpa cacat.
2. Selaku detik penobatan mereka menjadi Sang Hyang. Oleh sebab itu, daerah pembakaran tulang itu disebut Gunung Padudusan Hyang ( Gunung Penobatan Sang Hyang).
Ritual pembakaran ini bersifat wajib . jikalau tidak, liau dikhawatirkan tidak dapat melanjutkan perjalanan ke lewu liau. Liau terpaksa bertahan di bukit psaran raung, sehingga sebuah saat mereka kehilangan daya hidup dan hilang begitu saja, di mana itu ialah kesedihan yang berat bagi yang meninggal dan keluarganya. Oleh karena itu, keluarga dan kerabat mesti mengantarkan sesaji guna memelihara daya dengan menggelar ritual pembakaran tulang. Jika dalam jangka waktu yang lama tidak dikerjakan, konon liau akan menegur dan memperingatkan kerabatnya lewat pertanda, misalnya dengan terjadinya kecelakaan atau terkena penyakit.
Pengetahuan orang Dayak Maanyan ihwal akhir hayat ini memiliki efek sosial yang kasatmata dalam kahidupan , antara lain:
1. Menghormati manusia.
Konsep ini besar lengan berkuasa kepada perilaku suku dayak maanyan kepada manusia, khusunya yang telah meninggal. Ritual maut dijalankan untuk menghormati saudara yang wafat biar jiwanya hingga ke liau (surga).
2. Tanggungjawab sosial dan keluarga.
Konsep ini menyebabkan tanggungjawab sosial keluarga kian terperinci, ialah mereka memiliki tanggungjawab kepada keluarga dan leluhurnya yang telah meninggal dengan menggelar ritual.
Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan hingga higienis, lalu diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul menghadapi mayit, berikutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung busana si mati yang dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke suatu daerah bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu akhlak, kepala desa, mantir dan sanak keluarga yang lain untuk menghadapi pemasukan jenazah ke dalam rarung. Pasambe bertugas merencanakan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat dan isyarat semoga amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa hingga di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si mati dengan masakan yang sudah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain.
Jika penuturan wadian telah akhir tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada dikala itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan selaku cinta kasih sayang terhadap si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei sudah sampai dan rasa haru mengenang semua perbuatan dan kebijaksanaan baik si mati selagi berada di dunia fana.
Suku Dayak Maanyan
Penguburan dalam watu atau goa
Proses Penguburan Ijambe
Proses Penguburan Tiwah
penguburan dengan wadah kayu ( peti )
Proses Penguburan Wara
Kehidupan dalam penduduk banyak membawakan atau mewarisi banyak sekali hukum maupun kebiasaan yang harus disertai oleh generasi-generasi penerus dari nenek moyang. Kebiaasan tersebut mulai membawakan keunikan masing- masing di dalam golongan masyarakat yang ada di Indonesia. Adat Istiadat atau lazimdi sebut kebiasaan ini ialah kehidupan berulang-ulang yang timbul dan meningkat terus menerus sehingga di jadikan sebagai tradisi atau insiden penting yang wajib dipertahankan dan di ikuti oleh golongan masyarakatnya. Oleh karena itu, tradisi dan rancangan kematian suku Dayak Maanyan telah menggambarkan bahwa setiap eksklusif mempunyai tanggungjawab langsung dan sosial yang tidak gampang dalam masyarakatnya. Meskipun demikian , mereka tetap menaati konsep leluhurnya dengan menerapkan di dalam kehidupan aktual.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://hurahura.wordpress.com/2011/07/16/religi-dan-makna-upacara-maut-penduduk -dayak/
Fridolin Ukur, ‘’ Kebudayaan Dayak’’, dalam Kalimantan Review ( Juli-Desember 1992).
J.U. Lontaan, 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Jakarta : Bumi Restu.
Yekni Maunati.2006. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS