Teladan Makalah Filsafat Hukum Tentang Korelasi Hukum Dengan Kekuasaan

MAKALAH FILSAFAT HUKUM

(Hubungan aturan dengan kekuasaan)



KELOMPOK I

ANDI AMRULLAH ARMANSYAH    04020130603
MUHAMMAD JUFRIANSYAH    04020130273
MUH. AKBAR PERDANA        04020130686
RESTU ABDILLAH               04020130293
NURUL SAFITRI DJAFAAR        04020130238

KELAS C2

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2016


KATA PENGANTAR
Assalamu ’alaikum Wr. Wb. 
            Alhamdulillah, puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menuntaskan makalah  yang membahas tentang HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEKUASAAN.
            Makalah ini disusun untuk menyanggupi tugas mata kuliah FILSAFAT HUKUM di Kelas C2 Tahun 2016 Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia dengan dosen pengampu Ibu Dr. SALMAWATI, S.Hi., MH.. Dengan membaca makalah ini, diperlukan pembaca dapat memahami dan mengerti ihwal salah satu ruang lingkup Filsafat Hukum yakni Hubungan Hukum dengan  Kekuasaan serta hal-hal  yang berhubungan dengan judul makalah ini yang tentunya Penulis akan diskusikan lebih lanjut.
Dalam penulisan makalah ini, Penulis menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kelemahan. Untuk itu Penulis sungguh menghendaki masukan dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, agar makalah ini mampu berguna bagi kita semua.
 Wassalammu ’alaikum Wr. Wb.

DAFTAR ISI

KATA  PENGANTAR ……………………………………………………………………….    i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………    ii

BAB I  PENDAHULUAN ………………………………………………………………….    1
 
A.     LATAR BELAKANG ……………………………………………………………….    1   
 
B.    RUMUSAN MASALAH …………………………………………………………..    2
 
C.    TUJUAN PENULISAN ……………………………………………………………    2
 
D.    MANFAAT PENULISAN …………………………………………………………    2
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………………    3
 
A.     PENGERTIAN HUKUM DAN KEKUASAAN ……………………………..    3
 
B.     HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEKUASAAN …………………………    5
 
C.     FUNGSI KEKUASAAN TERHADAP HUKUM ……………………………    11   
 
D.     FUNGSI HUKUM TERHADAP KEKUASAAN ……………………………    11
 
E.     HUKUM DALAM MEMPENGARUHI KEKUASAAN ……………………    12
 
F.     KEKUASAAN DALAM MEMPENGARUHI HUKUM ……………………    12
 
G.    HUKUM DAN KEKUASAAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN…    13
BAB III   PENUTUP ………………………………………………………………………..    16
 
A.    KESIMPULAN ………………………………………………………………………    16 
 
B.    SARAN ………………………………………………………………………………..    17 
 
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………..    18   


BAB I
PENDAHULUAN


A.        Latar Belakang

Hukum dan kekuasaan ialah dua hal yang berbeda tetapi saling menghipnotis satu sama lain. Hukum yakni sebuah tata cara aturan-hukum perihal perilaku insan. Sehingga hukum tidak merujuk pada satu hukum tunggal, tapi mampu disebut selaku kesatuan aturan yang membentuk sebuah metode. Sedangkan kekuasaan yaitu kesanggupan seseorang atau sebuah kalangan untuk mempengaruhi sikap seseorang atau golongan lain, sesuai dengan keinginan sikap. Bisa dibayangkan dampak jika hukum dan kekuasaan saling besar lengan berkuasa. Di satu sisi kekuasaan tanpa ada tata cara aturan maka akan terjadi kompetisi mirip halnya yang terjadi di alam. Siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan berhak melakukan apapun kepada siapa pun. Sedangkan hukum tanpa ada kekuasaan di belakangnya, maka aturan tersebut akan “mandul” dan tidak bisa diterima dengan baik oleh penduduk . Hal ini sebab masyarakat tidak memiliki ikatan keharusan dengan si pengeluar kebijakan. Sehingga penduduk berhak melakukan hal-hal yang di luar aturan yang telah dibuat dan di sisi lain pihak yang mengeluarkan hukum tidak mampu melakukan paksaan ke penduduk untuk mematuhi hukum.
    Dari dasar pedoman diatas maka bisa disimpulkan bahwa antara hukum dan kekuasaan saling bekerjasama dalam bentuk saling kuat satu sama lain. Kekuasaan perlu sebuah “kemasan” yang mampu memperebutkan dan menjaga kekuasaan yakni politik. Yang menjadi masalah ialah mana yang menjadi hal yang mensugesti atau yang dipengaruhi. Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, bahwa tidak bisa satu hal saja yang menghipnotis hal yang dipengaruhi. Antara hukum dan kekuasaan saling kuat satu sama lain atau bisa disebut saling melengkapi. Sehingga di satu sisi hukum yang dipengaruhi oleh kekuasaan begitu sebaliknya. Namun tetap tidak dapat dibantah bahwa proporsi dari kekuasaan dalam mensugesti aturan lebih berperan atau menyentuh ke ranah substansial dalam artian hukum dijadikan “kendaraan” untuk melegalkan kebijakan-kebijakan dari yang berkuasa. Sedangkan aturan dalam menghipnotis kekuasaan hanya menyentuh ke ranah-ranah formil yang mempunyai arti hanya mengendalikan bagaimana cara membagi dan menyelenggarakan kekuasaan seperti yang ada dalam konstitusi.

B.         Rumusan Masalah

 
Adapun rumusan dilema yang mau di bahas yaitu selaku berikut:
1.   Apa pengertian aturan dan kekuasaan ?
2.   Bagaimana  relasi aturan terhadap kekuasaan ?
3.   Bagaimana fungsi kekuasaan terhadap hukum ?
4.    Bagaimana fungsi aturan kepada kekuasaan ?
5.    Bagaimana hukum dalam menghipnotis kekuasaan ?
6.    Bagaimana kekuasaan dalam menghipnotis hukum ?
7.   Bagaimana aturan dan kekuasaan dalam perspektif Al-Qur’an ?

C.        Tujuan Penulisan

 
1. Untuk memenuhi peran mata kuliah Filsafat Hukum
2.  Untuk mengetahui pengertian aturan dan kekuasaan
3.  Mendeskripsikan hubungan aturan terhadap kekuasaan
4.   Ingin menerangkan fungsi kekuasaan kepada hukum 
5.   Ingin menerangkan fungsi aturan terhadap kekuasaan
6.   Untuk menjelaskan bagaimana hukum dan kekuasaan saling mensugesti
7.   Untuk menerangkan hukum dan kekuasaan dalam perspektif Al-Qur’an      

D.        Manfaat Penulisan

    Dengan penulisan makalah ini akan memberi faedah teoritis maupun mudah. Secara teoritis berguna begi pengembangan ilmu hukum, khususnya untuk memperluas wawasan dan menambah acuan dalam salah satu kajian ruang lingkup filsafat hukum. Kemudian faedah praktis dari penulisan makalah ini yakni untuk memberi santunan aliran bagi Penulis dan sahabat-sobat mahasiswa semester VI kelas C2 Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia 2016 secara khusus serta para pembaca makalah ini pada umumnya sehinggga dapat melakukan tugas dan fungsinya dalam masyarakat sesuai motto Universitas tersayang adalah “Berilmu Amaliah, Beramal Ilmiah, dan Berakhlaqul Karimah” agar fungsinya dalam masyarakat terealisasi secara profesional, manusiawi, dan berkeadilan.

BAB II
PEMBAHASAN
HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEKUASAN

A.      Pengertian Hukum dan Kekuasaan


Pengertian Hukum 
Hukum dalam bahasa Yunani disebut “Ius “, dalam bahasa Inggris disebut “law” dan dalam bahasa Belanda disebut “recht”.
Selanjutnya, walaupun aturan itu sulit didefenisikan, namun banyak pakar tetap memperlihatkan pengertian. Dan sebagai aliran cukup kiranya memperhatikan pengetian yang dikemukakan oleh Simorangkir dan Wiryono Sastropronoto,  ( 1957 : 6 ),  Bahwa hukum itu yaitu “peraturan–peraturan yang  bersifat memaksa yang memilih tingkah laku insan dalam lingkungan masyarakat, yang dibentuk oleh tubuh-tubuh resmi yang berwajib, pelanggaran mana kepada peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya langkah-langkah aturan yaitu dengan eksekusi tertentu”.
         Dari pengertian di atas mampu ditarik beberapa unsur ialah :
1. Hukum itu berupa peraturan-peraturan tingkah laku insan dalam         masyarakat;
2. Hukum itu bersifat memaksa;
3. Peraturan-peraturan itu dibentuk oleh forum yang berwenang; dan
4. Peraturan-peraturan itu memiliki sanksi atau bahaya aturan.
           Dengan pengertian diatas menawarkan pengertian bahwa penduduk bersedia menerima aturan sebab menyadari bahwa kadang kepentingan perorangan dan atau kalangan lebih lebih banyak didominasi sehingga diharapkan adanya tatanan normatif yang dikokohkan dengan sistem sanksi . Hans Kelsen ( 1973 : 50 ) menyebutkan “ The sanctions of law have the character of coercive acts in the sense developed above “. Jika demikian, tatanan itu memaksakan anggota penduduk yang tidak taat agar kelangsungan hidup penduduk mampu dipertahankan .
          Mengungkap makna hakekat dan sifat menurut persepsi anutan filsafat positivisme hukum, secara harfiah mampu dibedakan bahwa komponen daya paksa itu yaitu suatu sifat hukum sedang hakekat aturan intinya berpangkal tolak pada korelasi antara manusia dalam dinamika kehidupan masyarakat, yang berupa selaku proses sosial pengaturan cara bertingkah laku. Selain itu hakekat aturan yakni bertumpu pada ilham keadilan dan kekuatan susila .
         Ide keadilan tidak pernah terlepas dari kaitan aturan, ia yaitu sebuah hakekat dari aturan. Demikian pula kekuatan moral, yaitu unsur hakekat hukum, karena tanpa adanya moralitas, maka aturan akan kehilangan supremasi ( imperative mood ) dan ciri independensinya. Bahkan keadilan ataupun ketidak adilan itu berdasarkan hukum akan diukur oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat insan. Hal ini melahirkan persoalan-problem yang membutuhkan kajian tersendiri.
 Hukum ialah tata cara yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan penduduk dalam berbagai cara dan bertindak, selaku perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat kepada kriminalisasi dalam hukum pidana, aturan pidana yang berupayakan cara negara mampu menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan aturan, perlindungan hak asasi insan dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif aturan digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengontrol masalah antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari jual beli lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristoteles menyatakan bahwa “Sebuah supremasi aturan akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela.
Para andal aturan dalam pandangan mereka mengemukakan perihal hukum berbeda satu sama lain. Perbedaan pandangan itu dapat dilihat dari pengertian hukum yang mereka kemukakan. Meskipun ada perbedaan pandangan, tetapi pemahaman itu mampu diklasifikasikan dalam tiga kalangan.
Pertama, hukum diartikan selaku nilai-nilai. Misalnya Viktor Hugo yang mengartikan aturan sebagai kebenaran dan keadilan. Grotius mengemukakan bahwa hukum yaitu suatu aturan akhlak tindakan yang wajib yang merupakan sesuatu yang benar. Pembahasan aturan dalam konteks nilai-nilai mempunyai arti memahami hukum secara filosofi alasannya nilai -nilai merupakan abstraksi tertinggi dari kaidah-kaidah aturan.
Kedua, aturan diartikan selaku asas-asas mendasar dalam kehidupan penduduk definisi hukum dalam perspektif ini tampakdalam persepsi Salmond yang menyampaikan “hukum ialah kumpulan asas-asas yang diakui dan dipraktekkan oleh negara di dalam peradilan”
Ketiga, aturan diartikan selaku kaidah atau hukum tingkah laku dalam kehidupan penduduk . Vinogradoff mengartikan hukum sebagai seperangkat aturan yang diadakan dan dijalankan oleh sebuah masyarakat dengan menghormati kebijakan dan pelaksanaan kekuasaan atas setiap manusia dan barang. Pengertian yang sama dikemukakan oleh Kantorowich, yang berpendapat bahwa aturan yaitu sebuah kumpulan aturan sosial yang mengontrol perilaku lahir dan menurut pertimbangan

  Dinamika Rancangan Kepemimpinan

Pengertian Kekuasaan

Pengertian kekuasaan  dalam bahasa Belanda disebut “Macht“, dalam bahasa Inggris disebut “Otoritie“.
             Menurut pandangan politik, kekuasaan yakni merupakan hakekat dari suatu politik alasannya adalah proses politik tidak lain ialah serangkaian peristiwa yang keterkaitannya satu sama lain didasarkan atas kekuasaan, mirip yang dinyatakan oleh Joseph Roucek (Cheppy Haricahyono, 1986; 186 ) “ … the central duduk perkara of politics is thet of the distinction and control of power. Politics is the quest for power and political relationships are power relationships, actual or potential “.
            Selanjutnya, menurut Meriam Budiardjo ( 1982 :10) kekuasaan yakni “Kemampuan seseorang atau kalangan untuk mensugesti tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku. “
          Pengertian kekuasaan diatas, kendati berarti sosiologis tetapi secara realistis mengingatkan bahwa manusia hidup pada dasarnya memiliki banyak sekali impian dan tujuan yang akan diraih. Dalam konteks ini , demikian pula yang terjadi pada kekuasaan yang dimiliki oleh negara , tidak terbatas pada kehidupan dibidang politik semata, namun dibidan hukum pun kekuasaan selalu seiring dan bergandengan .
             Agar kekuasaan itu kuat, membutuhkan legitimasi, dalam hal ini khususnya legitimasi etis. Etika politik menuntut biar kekuasaan sesuai dengan hukum yang berlaku ( legalitas ) perlu disahkan secara demokratis ( legitimasi demokratis ) dan tidak berlawanan dengan perinsip-perinsip etika ( legitimasi tabiat). kesemuanya itu merupakan permintaan yang mampu disebut legitimasi normatif atau etis, sebab berdasarkan kepercayaan bahwa suatu kekuasaan hanya sah secara etis manakala sesuai dengan permintaan legitimasi tersebut.
            Apabila legilitas kekuasaan diperoleh secara konstitusional dan dipergunakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka aturan memiliki wewenang tertinggi dan penguasa berada dibawa hukum. Lili Rasyidi ( 1985  : 56 ) menyatakan : “Unsur pemegang kekuasaan ialah aspek penting dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan kehendak masyarakat. Maksudnya. aturan harus menjaga kekuasaan semoga tidak merusak sifat dasar harkat dan martabat kodrati manusia. “
           Adapun sifat kekuasaan menurut G.J. Wolhoof ( 1955 : 210 ) terdiri dari 3 macam adalah :       
       
1. Tindakan mengendalikan (regeling) yang bersifat memutuskan hukum umum;
2. Tindakan mengelola (bestuur) yang bersifat mengambil tindakan khusus yang perihal kejadian kongkrit yang ditujukan buat pribadi khusus; 
3.    Tindakan mengadili  (recht praak) yang bersifat mengambil keputusan khusus untuk menuntaskan persengketaan aturan antara dua pihak.
Kekuasaan yaitu kewenangan yang ditemukan oleh seseorang atau kalangan guna melaksanakan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan dihentikan dijalankan melampaui kewenangan yang diperoleh atau kesanggupan seseorang atau golongan untuk memengaruhi tingkah laris orang atau kalangan lain sesuai dengan harapan dari pelaku (Miriam Budiardjo, 2002) atau Kekuasaan ialah kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan bertingkah sesuai dengan hasratyang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Dalam pembicaraan lazim, kekuasaan dapat memiliki arti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah kalau dikatakan kekuasaan yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain berdasarkan hasratyang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laris orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah / dengan tidak langsung dengan jalan memakai semua alat dan cara yang tersedia. Kekuasaan umumnya berupa korelasi, ada yang memerintah dan ada yang diperintah. Manusia berlaku selaku subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Contohnya Presiden, dia menciptakan UU (subyek dari kekuasaan) tetapi juga mesti tunduk pada UU (objek dari kekuasaan).
Menurut Lasswell dan Kaplan kekuasaan ialah korelasi atau korelasi antara seseorang atau kalangan kepada kelompok lainnya dimana salah satu individu atau kelompok bisa mendeterminasi imbas yang lain. Van Doorn menyatakan bahwa kekuasaan ialah kemungkinan membatasi alternatif-alternatif tingkah laris orang-orang atau kelompok-golongan lain sesuai dengan tujuan-tujuan seseorang atau sebuah golongan. Valkenvurgh menambahkah kekuasaan ialah suatu korelasi yang melahirkan kemungkinan membatasi alternatif-alternatif tingkah laris dari orang atau kelompok yang lain.
Kekuasaan dalam beberapa definisi tersebut di atas hanya diartikan sebagai suatu ‘pembatasan’ dan tidak perluasan alternatif-alternatif tingkah laris atau sikap politik. Definisi lain yang bergotong-royong juga tidak komprehensif diutarakan oleh Parsons dan Deutch yang menganggap kekuasaan selaku alat tukar-menukar dan alat pembayaran yang unggul di dalam politik. Menurut pandangan ini, seorang politisi mendapatkan kekuasaan dalam bentuk tunjangan dari para konstituen dan memberi kekuasaan dalam bentuk keputusan-keputusan kebijaksanaan. Penggunaan kekuasaan yang efektif dan efisien kadang kala dinamakan penguasaan (control).
Penggunaan kekuasaan yaitu salah satu sarana yang paling banyak digunakan dan yang paling beraneka ragam dalam politik. Apabila tujuan utama suatu kecerdikan politik adalah memperoleh dan menjaga kekuasaan, maka kita bahu-membahu membahas politik kekuasaan. Namun, terlalu menyamaratakan atau menyederhanakan bila kita menganggap bahwa semua politik adalah politik kekuasaan. Kekuasaan adakala bukan menjadi tujuan, namun sarana atau tujuan untuk tujuan-tujuan lainnya. Kekuasaan juga dapat diartikan selaku kesanggupan untuk menghipnotis tingkah laku orang atau golongan lain sesuai dengan tujuan-tujuan seseorang atau golongan yang menjadi pemain film.
Kekuasaan dalam kaitannya dengan persoalan kenegaraan, mampu dibedakan dalam dua kalangan, yakni kekuasaan negara dan kekuasaan penduduk . Kekuasaan Negara berhubungan dengan otoritas negara untuk menertibkan kehidupan penduduk secara tertib dan tenang. Kekuasaan penduduk yaitu kekuatan/kesanggupan penduduk untuk mengurus dan mengorganisasikan kepentingan individu-individu dan kelompok-kelompok penduduk yang menjadi anggotanya sehingga interaksi sosial mampu berjalan secara lancar. Ketidakseimbangandiantara keduanya akan mendorong terjadinya kekuasaan hegemonikdimana negara sangat besar lengan berkuasa dan penduduk sungguh lemah, sehingga tercipta acuan kekerabatan dominatif dan eksploitatif. Hal ini mengakibatkan negara bukan hanya campur tangan dalam masalah-masalah kenegaraan dan kemasyarakatan, namun juga intervensi atas seluruh tindakan penduduk yang bekerjsama bukan dalam lingkup wewenangnya. Selain kesanggupan untuk mempengaruhi orang lain dan penetapan alternatif-alternatif bertindak, kekuasaan juga mengandung makna sarana pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat dan atas nama masyarakat. Pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat mencakup pelaksanaan fungsi politik, pelaksanaan fungsi ekonomi, pelaksanaan fungsi sosial dan budaya, pelaksanaan fungsi hukum dan pemerintahan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi yang lain. Pelaksanaan fungsi itu bertujuan untuk memperlancar interaksi sosial dan penyelenggaraan kehidupan penduduk .

B.     Hubungan Hukum dengan Kekuasaan

 
Pola kekerabatan hukum dan kekuasaan ada dua macam. 
Pertama, aturan ialah kekuasaan itu sendiri, Menurut Lassalle, konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang hanya ialah “secarik kertas”, melainkan hubungan-relasi kekuasaan yang nyata dalam sebuah negara” Pendapat Lassalle ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan. Dari sudut kekuasaan, aturan-hukum aturan yang tertuang dalam konstitusi sebuah negara ialah deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara tersebut dan kekerabatan-hubungan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, aturan-aturan hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (Undang-Undang Dasar) 1945 merupakan deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan kekerabatan-hubungan kekuasaan antara forum-lembaga negara. 
Hakekat aturan dalam konteks kekuasaan berdasarkan Karl Olivercrona tak lain dibandingkan dengan “kekuatan yang terorganisasi”, hukum yaitu “seperangkat hukum perihal penggunaan kekuatan”, ia mengingatkan “kekerasan fisik atau pemaksaan” sebagai demikian sama sekali tidak berlawanan dari kekerasan yang dijalankan pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh. Walaupun kekuasaan itu yaitu aturan, namun kekuasaan tidak identik dengan aturan. Van Apeldorn mengemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi ini bermakna bahwa aturan tidak lain ketimbang kekuasaan belaka. Hukum yakni kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak seluruhnya aturan. “Mightis not right” pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya akan tetapi tidak bermakna bahwa beliau berhak atas barang itu.

  Rangkuman Materi Kuliah Ihwal Pasar Modal Syariah

Kedua, yaitu bahwa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Artinya aturan dan kekuasaan merupakan dua hal yang terpisah, namun ada korelasi yang akrab diantara keduanya. Hubungan itu dapat berupa relasi dominatif dan relasi resiprokal (timbal balik)

          Menurut Mahmud MD, relasi kausalitas antara antara hukum dan politik atau ihwal pertanyaan ihwal apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang menghipnotis hukum maka ada 3 macam penjelasannya. 
Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa aktivitas-acara politik dikontrol oleh dan mesti tunduk pada hukum-aturan aturan. Kedua, politik determinan atas hukum, alasannya aturan ialah hasil atau kristalisasi dari kehendak-hasratpolitik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga, politik dan aturan sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya sebanding antara yang satu dengan lainnya, alasannya meskipun aturan merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua acara politik mesti tunduk pada hukum-hukum aturan. 
Mereka yang cuma memandang aturan dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis berpegang teguh pada persepsi, bahwa aturan mesti merupakan fatwa dalam segala tingkat relasi antar anggota penduduk termasuk dalam segala aktivitas politik. Sedangkan mereka yang menatap aturan dari sudut das sein (kenyataan) atau para penganut paham empiris menyaksikan secara kongkret, bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam perbuatannya, tetapi juga dalam realita-realita empirisnya. Kegiatan legislatif (pembuatan UU) dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik ketimbang melakukan pekerjaan hukum yang bahu-membahu, lebih-lebih jika pekerjaan aturan itu dikaitkan dengan problem mekanisme. Tampak terperinci bahwa lembaga legislatif yang menetapkan produk hukum.
Selanjutnya, hukum dalam kaitannya dengan kekuasaan ada dua sisi yang mesti dibedakan adalah aturan obyektif, yaitu merupakan kekuasaan yang mengatur dan aturan subyektif yaitu merupakan kekuasaan yang diatur oleh aturan obyektif . Karena itu mampu dibilang bahwa pada satu segi hukum yakni kekuasaan, namun pada segi lain kekuasaan itu belum tentu aturan. Hukum gres dapat bergerak kalau disertai dengan kekuasaan  sebagaimana yang dikemukakan Harun Utuh (1998:118) “Hukum dapat bergerak karena kekuasaan (power). Kekuasaan bisa bergerak alasannya adalah kekuatan (force). Tetapi kekuasaan dan kekuatan harus dikontrol dan menurut aturan. Perwujudan hukum dalam sebuah negara ialah undang-undang dan kebiasaan serta sumber hukum lainnya. Perwujudan kekuasaan adalah pemerintah atau penguasa. dan perwujudan kekuatan yakni angkatan bersenjata”.
            Dari usulan di atas, terperinci memperlihatkan bahwa aturan memerlukan adanya kekuasaan, namun hukum itu tidak akan membiarkan suatu kekuasaan menungganginya. Sering terjadi komplik antara keduanya disebabkan kekuasaan dalam banyak sekali bentuknya tidak mendapatkan pembatasan-pembatasan, bahkan terlalu jauh mengintervensi hukum baik dalam perwujudannya maupun dalam pelaksanaan atau penegakannya..
            Yang ideal dalam hal ini ,  justru aturan harus bekerja memperlihatkan patokan-standar tingkah laku berupa pembatasan-pembatasan kepada kekuasaan disamping menyalurkan atau memberiakan kekuasaan kepada orang-orang tertentu. Satjipto Rahardjo ( 1996 : 148 ) dalam hal ini menyatakan  :”Hukum itu ialah sumber kekuasaan, oleh karena dialah kekuasaan itu dibagi-bagikan dalam masyarakat. “
            Pertalian antara aturan dan kekuasaan itu sungguh akrab, hukum memerlukan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan memerlukan pengaturan dari aturan . Sudikno Mertokusumo (1991 :20 ) menyatakan “ Hukum ada alasannya adalah kekuasaan yang sah  kekuasaan yang sahlah yang membuat hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah aturan .Jadi aturan bersumber pada kekuasaan yang sah “
            Tanpa adanya kekuasaan, maka pelaksanaan aturan dimasyarakat akan mengalami hambatan. Lagi pula suatu masyarakat mampu dibilang tertib manakala penduduk itu telah memiliki kesadaran aturan, dalam hal ini sangat terkait bagaimana kekuasaan itu dikerjakan dengan sebaik mungkin.
            Suatu kenyataan dalam penduduk , wibawa negara (kekuasaan)  dapat dipermasalahkan oleh rakyatnya, kalau terjadi penyimpangan atau pelanggaran yang sangat fundamental kepada tata hukum yang dijunjung tinggi oleh penduduk ,  dalam keadaan demikian ternyata  aturan mengontrol segala perintah dari negara sehingga suatu kekuasaan yang dibangun ialah wibawa .  Sebaliknya,  kekuasaan yang menggunakan kekerasan semata–mata ternyata tidak sanggup bertahan lama, sebab ketaatan yang ada berubah dengan perlawanan terhadap wibawa  dan kekuasaan negara. Oleh sebab itu  diciptakan pertalian antara hukum dan kekuasaan yang kondusip ialah sesuai dengan kesadaran  dan kultur penduduk serta berorientasi pada persiapan kurun depan yang dicita-citakan.

C.     Fungsi Kekuasaan kepada Hukum

Kekuasaan merupakan sarana untuk membentuk aturan, khususnya pembentukan undang-undang (lawmaking). Kekuasaan untuk membentuk aturan dinamakan kekuasaan legislatif (legislatif power), yang merupakan kekuasaan dewan legislatif atau badan perwakilan. Kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan pembentuk undang-undang berasal dari aliran John Locke dan Montesquieu.
Dalam praktek ketatanegaraan di berbagai negara, terdapat konvergensi kekuasaan pembentukan undang-undang. Pembentukan undang-undang tidak lagi menjadi monopoli dewan legislatif, namun kerjasama antara dewan legislatif dan pemerintah. kekuasaan merupakan alat untuk menegakkan aturan. Penegakan aturan ialah suatu proses merealisasikan cita-cita-harapan aturan menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai cita-cita-impian hukum ialah di sini tidak lain ialah fikiran-asumsi badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Kekuasaan merupakan media untuk melakukan aturan.
Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan hukum ialah upaya melakukan (eksekusi) putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan aturan tetap. Putusan tubuh peradilan tidak akan banyak artinya bagi pengorganisasian kehidupan penduduk kalau tidak dilaksanakan secara konsekwen dan konsisten. Otoritas hukuman merupakan kewenangan kejaksaan dan pengadilan.

D.      Fungsi aturan kepada Kekuasaan
Hukum yakni media untuk melegalisasi kekuasaan. Legalisasi hukum terhadap kekuasaan bermakna menetapkan keabsahan kekuasaan dari segi yuridisnya. Setiap kekuasaan yang memiliki landasan hukum secara formal memiliki legalitas. Namun yang sering menjadi persoalan yaitu jikalau kekuasaan yang legal itu yakni kekuasaan yang otoriter, tidak layak, dan tidak adil. Hal itu bantu-membantu ialah duduk perkara legitimasi kekuasaan, adalah pengakuan penduduk kepada keabsahan kekuasaan. 
Hukum yakni instrumen untuk menertibkan kekuasaan. Hubungan-relasi kekuasaan dalam penyelenggaraan negara harus dikelola sedemikian rupa biar tidak menyebabkan kesemrawutan di antara kekuasaan-kekuasaan negara yang ada atau antara kekuasaan pejabat yang satu dengan kekuasaan pejabat yang lain. Adanya kekuasaan yang  paradoks bukan cuma akan menjadikan ketidakjelasan wewenang dan pertanggungjawabannya, tapi juga akan melahirkan ketidaksinkronan dan ketidakpastian aturan. Hukum yaitu alat untuk membatasi kekuasaan.Pembatasan kekuasaan dimaksudkan untuk menyingkir dari terjadinya penumpukan atau sentralisasi kekuasaan pada satu tangan atau pada satu forum.

E.      Hukum dalam Mempengaruhi Kekuasaan

Kekuasaan tanpa sebuah aturan maka akan mengkondisikan keadaan seperti hal nya hutan rimba yang cuma berpihak terhadap yang kuat dalam dimensi sosial. Disnilah aturan berperan dalam membentuk rambu-rambu cara bermain pihak-pihak yang berada di lingkaran kekuasan. Hal tersebut mampu dijumpai di konstitusi dimana konstitusi secara garis besar berisi perihal bagaimana mengatur, membatasi dan mengadakan kekuasaan dan mengendalikan wacana Hak Asasi Manusia. Peran aturan dalam mengatur kekuasaan berada dalam lingkup formil.
Kekuasaan yang dikelola hukum ialah untuk kepentingan penduduk luas biar penduduk yang merupakan objek dari kekuasaan tidak menjadi korban dari kekuasaan. Selain selaku kepentingan masyarakat, aturan dalam mempengaruhi kekuasaan juga memiliki kegunaan selaku aturan bermain pihak-pihak yang ingin berkuasa atau merebut kekuasaan. Aturan tersebut berguna selaku cara main yangfairyang bisa mengkordinir semua pihak yang terlibat dalam kekuasaan. Hukum dalam hal ini tidak cuma mengontrol penduduk tetapi juga mengatur pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.

F.     Kekuasaan dalam Mempengaruhi Hukum

Eksistensi hukum tanpa ada kekuasaan yang melatarbelakanginya menciptakan aturan menjadi mandul. Oleh sebab itu perlunya sebuah kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Muncul pertanyaan bagaimana kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang bisa diandalkan untuk mempengaruhi hukum yang bertujuan untuk mengatur penduduk . Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka bisa didekati dengan tata cara konseptual bukan empiris alasannya adalah secara empiris kebanyakan hukum cuma dipakai untuk melegalkan kepentingan penguasa saja.
Secara konseptual, kekuasaan yang dimiliki oleh sebagian pihak berangkat dari rasa tidak tenteram masyarakat kepada kondisi-kondisi yang dianggap bisa menggoyahkan kestabilan penduduk . Hal ini sama saja baik dalam penduduk yang liberal ataupun sosialis. Masyarakat tersebut sepakat untuk memperlihatkan mandat kepada sekelompok orang untuk berkuasa dan mempunyai kewenangan untuk mengontrol mereka biar tetap tercipta kestabilan sosial. Kewenangan untuk mengontrol masyarakat dari penguasa itulah terletak hukum.
Dalam perkembangannya tentu saja tidak mampu dikesampingkan bahwa setiap rezim penguasa mempunyai karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut mampu dilihat dari karakteristik aturan yang menjadi produk politiknya. Karakteristik hukum ternyata berlangsung linier dengan karakteristik rezim kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Apabila kekuasaannya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsif sedangkan jika kekuasaannya  diktatorial, maka produk hukumnya berkarakter konservatif atau ortodoks.
Namun ada perkiraan bahwa antara demokrasi dan absolut ambigu. Artinya tidak mampu dilihat secara tegas pembedanya. Bisa saja penguasa yang otoriter di suatu negara berdalih bahwa karakterisitik produk hukum yang bersifat konservatif digunakan untuk melindungi penduduk . Dalam hal ini demokratis yang “dari, untuk, dan oleh rakyat”  mengalami penghematan peran hanya “untuk rakyat”  sehingga rakyat sekedar menikmati hasil atau kemanfaatannya.

  Makna Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

G.     Hukum dan Kekuasaan dalam Perspektif Al-Qur’an

Islam sebagai agama yang sempurna menggunakan Al-qur’an sebagai pemikiran yang di dalamnya menertibkan segala hal. Hukum dan kekuasaan juga termuat dalam Kitab yang paling agung ini. Kajian teoretis ataupun perspektif praktis perbincangan perihal makna yang hakiki dari hukum dan kekuasaan dalam semua sisinya tetap menjadi perihal faktual yang tak berkesudahan. Hal ini disebabkan, karena keberadaannya secara fungsional identik dengan eksistensi penduduk itu sendiri. Selain itu, desain hukum dan kekuasaan serta kekerabatan keduanya masih banyak kalangan yang menganggap hukum dan kekuasaan itu selaku sesuatu yang jelek dan harus disingkirkan, hukum dianggap mengekang penduduk dan kekuasaan terutama kekuasaan politik disinonimkan dengan tipu muslihat, akal busuk, dan kelicikan.
Sebagai tentang dan upaya mendudukan perumpamaan hukum dan kekuasaan pada posisi yang baik, pengkajian kepada ungkapan ini dalam prespektif Islam sungguh dibutuhkan, khususnya dalam kerangka inovasi konsep-desain aturan dan kekuasaan dalam perspektif Al-Qur’an.

Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa : 58-59

 “Sesungguhnya Allah memerintahkan kau menunaikan amanat terhadap yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kau supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik mungkin kepada kau. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.(58).  Wahai orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah dan taatilah rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kau. Kemudian jika kau bertikai ihwal sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jikalau kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari lalu. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik alhasil.(59).”

Kedua ayat di atas tersebut dinilai oleh para ulama selaku prinsip–prinsip pokok yang menghimpun aliran Islam perihal hukum dan kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah SWT. Hal ini membuktikan bahwa semua aspek kehidupan manusia sudah diatur oleh Allah SWT lewat konstitusi yang ada di dalam Al-qur’an, ini pertanda adanya syumuliatul Islam.
Dari Surah An-Nisa ayat 58 pelajaran yang dapat dipetik:
1.      Setiap amanah memiliki  pemiliknya  yang mesti diserahkan kepadanya. Penyerahan amanah sosial seperti pemerintahan dan pengadilan kepada orang orang yang bukan ahlinya ialah tidak sejalan dengan akidah.
2.      Bukan hanya hakim yang mesti adil,  namun  semua orang  mukmin haruslah memelihara keadilan dalam segala bentuk penanganan problem keluarga dan sosial.
3.      Dalam memelihara amanah dan mempertahankan keadilan, haruslah kita tahu bahwa Tuhan sebagai pengawas. Karena Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
4.      Manusia membutuhkan rekomendasi dan penasehat yang terbaik, yaitu yaitu Tuhan yang  Maha Esa.
Dalam ayat sebelumnya sudah disebutkan bahwa disarankan untuk  menyerahkan permasalahan pemerintahan dan keadilan kepada  orang  yang layak dan adil. Ayat ini menyampaikan terhadap kaum  Mukmin, selain taat kepada Tuhan dan Rasul-Nya, maka haruslah kalian taat terhadap para pemimpin (pemegang kekuasaan) yang adil. Karena ketaatan itu ialah kelaziman keyakinan terhadap Allah Azza wa Jalla.
Berangkat dari ada kemungkinan masyarakat akan berselisih menentukan Ulil Amri, kelanjutan ayat menyatakan, “Dalam kondisi mirip ini, rujuklah kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul yang ialah sebaik-baik aturan kalian”. Namun yang terperinci, ketaatan kepada Ulil Amri (pemegang kekuasaan) dan Rasul SAW adalah dalam rangka ketaatan terhadap Tuhan. Perkara ini tidak bertentangan dengan tauhid. Karena kita menaati Nabi dan Ulil Amri atas perintah Allah  juga.
Dari Surah An-Nisa ayat 59 pelajaran yang mampu dipetik ialah:
1. Ketaatan terhadap Rasul dan Ulil Amri dalam ayat ini bersifat mutlak.
2. Rasul mempunyai dua kedudukan. 
Pertama, menerangkan aturan-aturan Tuhan dan menunaikan risalahNya. Kedua, mengurus permasalahan penduduk dan menerangkan peraturan-peraturan pemerintahan berdasarkan kebutuhan.
3. Jalan yang terbaik menyelesaikan pertikaian mazhab Islam yakni merujuk terhadap Al-Alquran dan  Sunnah Rasul yang diterima oleh semua orang.
4. Masyarakat Islam (Mukmin) haruslah menerima pemerintahan Islam dan mendukung para pimpinan yang adil. 
Tujuan utama Negara, sebagai institusi siyasah, ialah mewujudkan pelaksanaan kekuasaan Allah di bumi. Sedangkan pelaksanaan kekuasaan Allah tersebut menuntut konsistensi kepada syariat-Nya yang harus dilakukan. 
Selanjutnya aturan-hukum yang terkandung dalam syari’at berorientasi pada pemeliharaan kemashlahatan (kebaikan biasa ) dan penolakan kemafsadatan (kerusakan). Syari’at Islam bermaksud menegakkan kebaikan semua makhluk dan menunjukkan kemashlahatan bagi hamba-Nya, baik dalam kehidupannya di dunia ataupun di akherat. Al-Ghazali memastikan, “Agama yaitu poros, dan penguasa ialah penjaga, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan hancur”. Aktualisasi nilai-nilai Islam mampu terealisasi dengan sempurna bila kaum muslimin mempunyai otoritas dan kekuasaan untuk mewujudkan kemashlahatan.

BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Dalam kehidupan masyarakat kekuasaan memiliki arti penting bagi aturan alasannya kekuasaan bukan cuma merupakan instrumen pembentukan aturan (law making), namun juga instrumen penegakan aturan (law enforcement). Kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal (formal authority) yang memperlihatkan wewenang atau kekuasaan terhadap seseorang atau pihak dalam sebuah bidang tertentu. Dalam hal demikian dapat dikatakan, bahwa kekuasaan itu bersumber pada aturan, ialah ketentuan-ketentuan aturan yang mengendalikan perlindungan wewenang.
Mengingat bahwa hukum itu memerlukan paksaan bagi penataan ketentuannya, maka hukum membutuhkan kekuasaan bagi penegakannya. Tanpa kekuasaan, aturan itu tak lain akan menjadi kaidah sosial yang berisikan proposal belaka. Hukum membutuhkan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri diputuskan oleh batas-batasnya oleh aturan.
Ada tiga bentuk manifestasi relasi aturan dengan kekuasaan dalam konteks ini :    Pertama, aturan tunduk terhadap kekuasaan. Maksudnya, aturan bukan cuma menjadi subordinasi kekuasaan, tapi juga sering menjadi alat kekuasaan, dengan kata lain, kekuasaan memiliki supremasi terhadap hukum. Oleh alasannya adalah itu, definisi aturan yang dikemukakan oleh para andal menempatkan hukum berada di bawah kontrol kekuasaan.    Kedua, kekuasaan tunduk kepada hukum. Artinya, kekuasaan berada dibawah hukum dan aturan yang menentukan keberadaan kekuasaan. Dalam fikiran aturan, tunduknya kekuasaan kepada aturan merupakan desain dasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Konsep itu dirumuskan dalam terminology supremasi aturan (supreme of law). Ketiga, ada hubungan timbal balik (simbiotik) antara aturan dan kekuasaan. Dalam hal ini hubungan hukum dan kekuasaan tidak bersifat dominative dimana yang satu secara umum dikuasai atau menjadi faktor determinan terhadap lainnya, tapi kekerabatan imbas mempengaruhi yang bersifat fungsional, artinya kekerabatan itu dilihat dari sudut fungsi-fungsi tertentu dan mampu dikerjakan di antara keduanya. Demikian, kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum, dan sebaliknya aturan mempunyai fungsi kepada kekuasaan.
        Sebagai slogan dan closing statement yaitu bahwa “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum ialah kezaliman”. Dan dalam falsafah Islami hukum terbaik ialah aturan dari Allah, serta kekuasaan tertinggi (disebut kedaulatan) itu di tangan Allah.
B.         Saran
Kebenaran yang objektif dan hakiki tentang Hubungan Hukum dengan Kekuasaan tidaklah mudah diraih sedangkan Penulis dan makalah kami ini diakui keterbatasannya, maka dianjurkan perlu mencar ilmu lagi secara berkelanjutan serta terus menerus berpikir dan zikir yang konsiten dengan lurus menurut sumber-sumber ilmu yang shahih dan otentik. Kemudian sebagai mahasiswa Fakultas Hukum yang beragama Islam maka telah sepatutnya mencari, mempelajari, mengkaji, mendapatkan, dan mengerti Ilmu Hukum secara umum dan Filsafat Hukum secara khusus tidak cuma dari dan berdasarkan buku dan usulan para ahli tetapi juga dan memang sebaiknya memakai rujukan dari ulama dan pemikir atau cendikiawan Muslim dan Kitab Suci kita, adalah Al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

•    Prof. Dr. H.R. Otje Salman S., SH. 2010. Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah.  Bandung. PT Refika Aditama.
•    Cheche, Wardah. 2014. http://wardahcheche.blogspot.co.id. Hubungan Hukum dan Kekuasaan. 12 April 2016, 00:47 WITA.
•    Zainuddin, Ansar. 2016. http://ansarbinbarani.blogspot.co.id. Hukum dan Kekuasaan. 13 April 2016, 16:01 WITA.
•    Maher Wijaya, Pamela. https://agendapamel.wordpress.com. Kekuasaan Politik Perspektif Al-Qur’an. 13 April 2016, 16:03 WITA.
•    Indonesia, IRIB. http://indonesian.irib.ir. Tafsir Al-qur’an, Surah An-Nisaa Ayat 58-59. 13 April 2016, 16:07 WITA.