Tata Cara Moneter Islam Dan Konvensional Dalam Tinjauan Sejarah

Sistem moneter yang berlaku didunia sekarang ini keberadaannya sudah ada sesudah melalui beberapa kala evolusi. Sistem moneter yang telah berlaku pada kurun Nabi Muhammad saw ialah bimetallic standard dimana emas dan perak (dinar dan dirham) bersirkulasi secara terus-menerus.

Ketika khalifah kedua dari Bani Umayyah (41-132 H/662-750 M)2 rasio antara dinar dan dirham yakni 1: 12, dan ketika Bani Abassyiah berkuasa (132-656 H/ 750-1258 M) rasionya meraih 1:15 atau kurang.3 Berhubungan dengan turunya rasio dinar dan dirham secara terus menerus, nilai tukar antara dinar dan dirham telah berfluktuasi secara lebar pada perbedaan waktu dan dalam perbedaan bagian-bab negara Muslim. Rasio itu turun rendah sekali hingga meraih 1:35 dan bahkan 1:50.4 Menurut al-Maqrizi (w. 845 H/ 1442 M) dan muridnya al-Asadi (wafat setelah 854 H/ 1450 M), instabilitas ini dimungkinkan karena adanya perubahan atau keluarnya sirkulasi coin yang buruk dengan coin yang baik5, dimana penomena ini berikutnya pada 16 era yang hendak tiba dikenal sebagai aturan Grasham (Gresham’s Law).

Amerika Serikat telah mengadopsi bimetallic ini pada tahun 1792. Kemudian pada tahun 1873 Amerika untuk mencabut perak dari peredaran duit sebab fluktuasi harga antara emas dan perak. Pada tahun 1880 kriteria internasional dan mayoritas negar-negara dari bimetallic dan silver monometallic beralih terhadap tolok ukur emas dengan mengakibatkan emas selaku basis mata uang mereka. Dibawah tolok ukur ini, nilai mata uang suatu negara secara sah diputuskan dengan berat yang tetap dari emas, dan otoritas moneter berkewajiban mengubah ajakan mata uang domestik kedalam emas yang secara legal sudah ditetapkan tingkatnya.

  Wakalah

Berdasarkan sejarahnya terdapat tiga jenis dari standar emas : patokan coin emas (the gold coin standard) ketika coin-coin emas aktif dalam sirkulasi, persyaratan lantakan emas (the gold bullion standard) saat coin-coin emas tidak dalam sirkulasi tetapi otoritas moneter telah mengambil untuk menjual emas lantakan melawan mata duit setempat dan kriteria pertukaan emas (the gold exchange standard) atau yang diketahui Bretton Woods System ketika otoritas moneter disyaratkan untuk menukar mata duit domestik dengan dollar US yang dapat dikonversikan kedalam emas dengan paritas yang tetap. Sistem ini selsai pada pada bulan Agustus 1971 karena defisit AS pasca perang dunia kedua menenteng pada penurunan secara kontinyu dalam kepemilikan emasnya dan tak mampu diputuskan kemampuannnya untuk mempertahankan konvertabilitas dollar AS kedalam emas.

Sejak berakhirnya Bretton Woods System, metode moneter dunia mengadopsi tata cara gres ialah full fledged managed money standard yang secara mutlak tak ada hubungannya dengan emas. Sistem ini secara resmi diimplemetasikan sehabis ratifikasi amandemen kedua kepada artikel persetujuan IMF pada April 1978. Setelah sistem ini diberlakukan, perekonomian dunia menghadapi tingkat inflasi yang tinggi dan pengaruh instabilitas dalam tingkat pertukaran. Salah satu penyebab utama tingginya tingkat inflasi yakni ekspansi yang cepat atas supply uang selama kurun 1971-1990-an lebih dari lima kali negara-negara industri dan hal ini nyaris 12 kali di dunia.9 Sedangkan instabilitas dalam tingkat pertukaran terjadi karena diberlakukannya metode nilai tukar mengambang (floating exchange rate regime) pada Maret 1973. Bagaimanapun, untuk menstabilkan nilai tukar dalam suatu tata cara floating exchanges rate dibutuhkan kedisiplinan untuk kebijakan baik fiskal maupun moneter.

  Belakang Layar Bank

Tidak ada teks yang spesifik dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mampu menerangkan bahwa tata cara berdasarkan bimetallic tolok ukur yang berlaku selama periode nabi Muhammad SAW dan sejarah Islam pertama atau bahkan full-bodied monometallic standard yang berlaku kemudian ialah kewajiban bagi umat Islam untuk menggunakannya secara terus-menerus. Hal ini secara terang terlukiskan dalam fakta sejarah bahwa Khalifah Umar bin Khatab pernah berpikiran untuk memperkenalkan kulit unta selaku mata uang yang kemudian membawa refleksi bagi tulisan-tulisan para fukaha’ (jago fikih) lewat sejarah Muslim. Contoh, Imam Ahmad bin Hambal (w 241H/1328M) telah mengamati bahwa tidak ada kerusakan dalam pengadopsian mata duit lain yang secara lazim diterima oleh masyarakat.11 Ibnu Hazm (w 456H/1064M) juga tidak mendapatkan beberapa alasan bagi kaum Muslimin membatasi mata uangnya cuma terhadap dinar dan dirham.12 Ibnu Taimiyyah (w 505H/1328H) merasa bahwa dinar dan dirham tidak dinginkan untuk demi milik mereka saja alasannya kemampuannya menolong menjadi media alat pertukaran.

Namun, hal ini bukan mempunyai arti bahwa seseorang mampu mengeluarkan mata duit dalam berapapun jumlahnya. Para fukaha’ secara secara umum dikuasai telah menekankan bahwa mata duit harus diterbitkan oleh aturan otoritas dan harus memiliki nilai yang stabil, bisa menandakan efisiensi fungsinya selaku measure of value, a medium of exchange, dan a store of purchasing power. Stabilitas nilai duit ialah prioritas utama dalam bidang administrasi moneter karena stabilitas nilai uang akan dapat membantu perwujudan tujuan lainnya16 mirip pemenuhan keperluan, distribusi kekayaan dan pendapatan yang sama, tingkat kemajuan ekonomi optimum, full employment dan kestabilan ekonomi.